Jendela Joshua (End)

By meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 29 - Tujuan dan Impian

48 18 0
By meynadd

"Saya harap Mba mau mempertimbangkannya lagi. Jadi menurut Mba, bagaimana?"

Joshua bertanya dengan mantap. Dua sudut bibirnya terangkat tinggi. Tak ada lagi keraguan yang ada pada dirinya.

Dalam kurun waktu lima hari saja kumpulan naskah puisinya telah rampung. Dia berhasil melalui berbagai kendala saat menulis. Merombak sana-sini. Mengganti kalimat satu dengan kalimat lain. Lalu beberapa kali dia meminta pendapat maupun saran pada Budiman agar naskahnya dapat dipermak dan dimodifikasi.

Terakhir kali Joshua ingat ekspresi Budiman ketika membaca tulisannya, bukannya mengernyit tapi pria renta itu justru ternganga dan kedua matanya membola.

Joshua sama sekali tidak tahu, apakah mendatangi penerbit Magnet Group yang merupakan penerbit mayor adalah pilihan yang terbaik untuknya atau bukan.

Insting Joshua mengatakan bahwa ini jalan yang harus dia coba terlebih dahulu karena kemungkinan peruntungannya lebih besar.

Dia duduk santai sambil memperhatikan Kartika yang duduk di seberangnya yang sedang sibuk meneliti kertas-kertas HVS di atas meja kerja.

Wanita itu tampak serius membaca dari mode diam hingga bergumam.

Sekilas sudut bibir Kartika terangkat. Sampai dia harus menutup mulut saking takjub. Kemudian dirinya terkekeh sendiri seperti orang gila.

Belum lagi, tatapan mata yang begitu terpana saat menelisik kata demi kata setiap lembar kertas.

Sekitar dua puluh menit Joshua menunggu, Kartika selesai mengkhatamkan kumpulan naskah puisi tersebut dalam sekali duduk.

Matanya masih terpaku pada tumpukan kertas di atas meja kerja kemudian melirik sang penulis di seberangnya seakan dia sedang menemukan sesosok yang sangat langka.

Kartika lantas mengangkat telapak tangan yang mengarah ke tumpukan kertas. "Ini ... sungguh ... fantastis, Josh!"

Raut wajah wanita itu berseri-seri. Lekas tersenyum begitu lebar. Sambil menghujam telunjuk berkali-kali ke atas tumpukan kertas.

"Entah kenapa, saat membacanya malah saya merasakan hal yang sama seperti yang tertulis di sini, Josh. Dari gaya bahasamu yang sedikit menyindir justru bikin saya bergidik bercampur geli." Kartika antusias menilai.

"Ditambah kamu mengikuti saran saya waktu itu, Josh. Naskah ini jelas sekali bacaan yang diinginkan dan dibutuhkan orang-orang karena kamu mewakilkan suara hati mereka. Pendapat dan pesan yang terkandung juga cukup relevan dengan kondisi masyarakat saat ini," lanjutnya tak henti-henti tersenyum.

Mendengar itu, hati Joshua seakan melompat-melompat. Saking girangnya, Joshua tersenyum hingga menampakkan jejeran gigi putihnya.

"Serius? Mba?!?" tanya pemuda berkulit putih pucat itu memastikan.

"Iya, bukan cuma serius tapi dua rius," timpal Kartika seraya merentangkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Joshua lantas terkekeh. "Makasih, Mba Tika."

"Berarti naskah ini siap untuk diterbitkan?"

"Oh, nggak secepat itu, Josh."

Kartika mengangkat telapak tangannya ke arah Joshua.

"Sebelum itu, saya ingin tanya. Kenapa kamu mau mengangkat tema pekerjaan dan impian dalam naskahmu?"

Sejujurnya, tidak ada alasan khusus yang membuat Joshua mengangkat tema seperti itu. Dia menulis berdasarkan naluri dan insting yang mana dia mau sampaikan.

Seketika Joshua kalut.

Tampak kebingungan untuk mengucap sepatah dua patah kata yang benar-benar dapat menyakinkan sang editor yang menilai bahwa naskah tersebut layak.

"Karena menurut saya itu adalah hal yang dirasakan semua orang?"

Itulah kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibir pemuda dua puluh satu tahun tersebut.

Sedangkan Kartika hanya bisa memijat pelipisnya seakan-akan tak sanggup lagi untuk menjumpai orang-orang naif di luar sana. Joshua saja sudah cukup.

"Bukan itu. Maksud saya tadi, apa alasan kamu mengangkat tema pekerjaan dan impian ini sebagai patokannya?"

Betul.

Joshua sudah tahu itu. Malah jelas sekali.

Dia tidak terlalu bodoh memahami maksud Kartika barusan. Hanya saja dia agak kesulitan dalam menjabarkannya yang berbeda sekali pada saat dia terlihat gampang menuliskannya. Bahkan ketika memikirkan alasannya, Joshua pening sendiri.

"Eum ... itu ...."

"Ya?"

"Sebenarnya saya ...."

Joshua menelan air liurnya dengan grogi.

Sampai menjeda kalimat yang justru membuat Kartika gemas sambil menggerak-gerakkan kedua telapak tangan ke atas seperti sedang mendorong seorang anak kecil untuk meneruskan lirik lagu berikutnya.

Karena kepalang tanggung, dengan berusaha keras Joshua mengulik-ngulik kembali jawaban di benak.

"Alasannya karena saya ingin menyampaikan olah pikir saya terhadap orang-orang yang betapa beruntungnya mereka mempunyai tujuan hidup. Bekerja dan menggapai impian. Dibandingkan saya yang hanya meratapi nasib yang datang tanpa memikirkan secara pasti tujuan saya sebenarnya ingin kemana."

Wanita muda itu tertegun. Memasang ekspresi yang sulit diartikan. Antara tercengang atau prihatin.

Jelas sekali apa yang didengarnya bukan sekadar jawaban ngambang tapi itu juga berupa sebuah pengakuan.

Begitu lihat raut wajah Joshua yang berubah sendu usai mengatakan hal itu, buru-buru Kartika mengembalikan situasi.

"Oke, Josh. Gimana kalau kita rayakan penerimaan naskah ini nanti malam?"

***

***

Langit kelam lekas tampak.

Sang rembulan akhirnya menunjukkan diri lagi setelah berapa lama tak bersua di angkasa. Bintang-bintang pun menjulang di atas sana dan menghiasi malam di penghujung hari.

Orang-orang menghabiskan waktu mereka berkeliaran mencari hiburan diri. Dan dua di antara mereka adalah dua sejoli yang satu ini.

Jalan Malioboro menjadi lokasi bagi mereka berdua untuk berkencan.

Di sebelah jalan itu, Joshua dan Kartika berjalan bersisian dan melirik orang-orang berlalu lalang dari deretan toko satu ke toko lain hingga para PKL tampak mangkal dan berjejer di sepanjang pedestrian tersebut di bawah naungan lampu sorot jalanan.

Joshua tak menyangka, dia berkencan dengan wanita yang jauh lebih tua darinya.

Dia justru sedikit gugup, ditambah penampilan Kartika malam ini berbeda dari biasanya.

Kalau biasanya wanita itu mengenakan kemeja putih dengan celana jeans. Malam ini, wanita itu mengenakan dress panjang berwarna kuning bermotif bunga. Lalu rambut panjang kecoklatannya di sanggul rapi.

Sementara pemuda itu hanya mengenakan kaus polo hijau dengan celana pendek selutut berwarna cokelat yang sudah berapa kali dia pakai.

Joshua juga merasa malu karena membiarkan Kartika menunggu lama sejak tadi. Belum lagi merasa merepotkan Budiman yang jauh-jauh mengantarnya ke sini setelah urusan di toko milik pria itu selesai.

"Maaf ya Mba Tika, saya kelamaan. Padahal Mba sudah ngasih alamatnya tadi pagi di kantor tapi saya masih bingung sendiri."

Dia lantas memulai percakapan.

"Oh, nggak apa-apa, Josh. Tenang saja," timpal Kartika, mengibaskan tangan.

Begitu mereka berjalan kaki selama tiga menit, langkah kaki Kartika berhenti tepat di depan gerobak PKL yang menjual es cendol.

Wanita itu lantas memesan dua gelas sekaligus kepada ibu penjual dan mengajak Joshua duduk menunggu di kursi plastik yang disediakan.

"Ngomong-ngomong, saat kamu nyerahkan naskah beserta data dirimu. Saya baru tahu kalau nama aslimu itu Lim Joohwa. Bukan Joshua Evans," terang Kartika. Menatap Joshua penuh tanda tanya.

Joshua menghela napas, lalu mengalihkan pandangan dan menatap ke aspal jalanan.

"Iya, betul. Ayah saya yang memberikan nama pena itu. Sampai sekarang pun saya senang jika dikenali dengan nama Joshua Evans."

"Asal Mba tahu, Tirto Koesno. Penyair yang Mba Tika gemari selama ini adalah Ayah saya sendiri," lanjutnya.

Lagi-lagi Kartika dibuat tercengang atas pengakuan tersebut. Di sela-sela itu pula, ibu penjual tadi menyodorkan masing-masing dari mereka segelas cendol berukuran besar lalu melenggang pergi begitu saja.

Sambil mengaduk-ngaduk isi gelasnya, Kartika berkata. "Kenapa kamu nggak cerita dari awal, Josh? Maaf kalau saya lancang nyuruh kamu berguru ke Tirto Koesno waktu itu."

Joshua tersenyum kecut.

Begitu dia menyedot isi gelas. Sensasi gula aren dan santan meledak di dalam mulut, hingga beberapa saat mood-nya kembali.

"Ceritanya panjang pokoknya, Mba. Nggak apa-apa kok. Wajar saja karena Mba belum tahu."

Joshua tak mungkin untuk menceritakan itu ke semua orang yang dia kenal, karena itu dia merahasiakannya.

Kartika turut menyedot isi gelasnya. Kemudian terkekeh lalu mengangguk-ngangguk.

"Oke. Terus ... kenapa kamu tadi di kantor berpikir kalau kamu nggak punya tujuan hidup, Josh?"

Joshua berhenti menyedot isi gelas, menatap Kartika yang duduk di sebelahnya sekilas lalu mengidikkan bahu.

"Entahlah. Apakah menerbitkan sebuah buku merupakan tujuanku? Apakah berharap dibaca semua orang itu juga bisa disebut impian?" ujarnya sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang seolah-olah Joshua melihat mereka sebagai para calon pembacanya kelak.

Satu hal yang dia takutkan di masa depan.

Kegagalan.

Walaupun dia tahu bahwa konsep kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.

Lalu bagaimana dia bisa menghadapi kegagalan dalam menjalani tujuan hidupnya? Bagaimana kalau ternyata apa yang dia sebutkan bukanlah tujuannya yang sebenarnya? Lantas seperti apa impian yang dia dambakan jika saja impian yang dia sebutkan bukanlah impian yang sesungguhnya?

Joshua ragu dalam menentukan jalan dan arah. Ragu membawa impian masa kecil. Dan ragu kalau bekerja sebagai penulis akan membuahkan hasil.

Hening semakin terasa di antara mereka berdua.

Namun, berbeda di sekitar pedestrian yang terdengar bising dan sangat ramai oleh hiruk pikuk manusia.

Derum-derum dan klakson pengendara roda dua maupun empat turut mendominasi di jalan raya Malioboro yang bersebelahan dengan pedestrian itu.

Belum lagi masing-masing gelas besar es cendol yang mereka pegang sudah tandas lima menit kemudian.

Kartika mendeham panjang. Menyodorkan kembali kedua gelas besar ke ibu penjual lalu membayarnya.

Lantas Kartika menggenggam tangan kanan Joshua sehingga membuat pemuda itu sedikit tersentak sampai kedua pipi putihnya memerah. Menatap Kartika tidak percaya.

"Jangan ragu. Saya yakin naskahmu menjadi salah satu naskah dari sekian naskah yang diumumkan lolos oleh redaksi kami, Josh."





Hlm 29 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

22.1K 2.2K 26
Gayatri sayang Raka, begitu juga Prajna.
736 99 24
Sebagai seorang manajer penyanyi papan atas yang sedang naik daun, Seta Wibisana, Raia sudah terbiasa mengikuti cowok itu ke mana pun pergi. Hidup ba...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

135K 18.5K 48
hanya fiksi! baca aja kalo mau
13.1K 1.8K 33
Bertahan dalam suka duka menjalin hubungan adalah bukan perkara mudah. Menjalani semuanya dengan penuh keikhlasan saat musibah singgah dalam kehidupa...