Kami Pasutriāˆš

By onederfulonly

99.3K 6.4K 1.3K

Menikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak ma... More

Intro + Prolog
01. "Aku mau punya bayi! "
02. "Raf, kamu bisa serius nggak?"
03. "Bayi Siapa?"
04. "Kalau yang itu bayi besar, Mbak."
05. "Pikir aja sendiri."
06. "Aduh, anak Papa wanginyaaa!"
07. "Ngurus rumah itu tugas istri."
08. "Nggak ada sayangnya?"
09. "Jadi, maksud kamu kita kerja?"
10. "Kita bisa menghadapinya."
11. "Jangan kabur!"
12. "Ya, Pak. Saya mau."
13. "Aku mau kamu."
14. "Terima kasih semuanya."
15. "Aku mau berhenti."
16. "Kamu menyesal?"
17. "Gue harus gimana?"
18. "Rafli pasti dateng, Ma."
19. "Aku yang butuh kamu."
21. "Congratulations, Bi."
22. "Kita belum siap."
23. "Kamu mau apa?"
24. "Semalam ...." [END]
Epilog.
[announcement]
VOUCHER KP PART 2šŸ§šā€ā™€ļø

20. "Hari ini gimana, Bi?"

1.9K 156 9
By onederfulonly

Bia menggigit kuku di depan salah satu ruangan. Ersa dan Amar turut serta menemani. Namun, yang menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswa ketika melintas di hadapan mereka adalah Noah. Bayi itu duduk anteng di pangkuan Bia.

Pintu ruangan di depan mereka langsung berkeriut. Lantas mengomando tiga pasang mata yang duduk di bangku kayu. Dua orang pria dan satu wanita berjilbab keluar dari sana dengan wajah semringah. Lelaki yang mengekor di belakang mereka tidak kalah berseri. Rafli menjabat tangan dosen-dosen yang bergabung dengannya selama proses sidang skripsi. Bahkan mereka menepuk pundak Rafli tampak penuh kebanggaan.

“Gimana?”

Lengkung tipis terbentuk dari bibir Rafli yang sedikit menghitam. Membangkitkan letupan bahagia dalam dada Bia. Meledak-ledak penuh haru. Satu pelukan hangat langsung dihadiahi untuk Rafli. Tanpa dijawab pun, Bia sudah menemukan jawaban dari raut wajah suami dan bagaimana dosen-dosen tadi memperlakukan Rafli.

“Selamat, Sayang,” Bia berbisik dalam dekap itu.

Thank you, Bi. Dukungan dan bantuan kamu sangat berarti.”

Pelukan mereka terurai begitu Amar dan Ersa turut memberikan ucapan selamat. Teman-teman Rafli juga datang membanjiri ucapan selamat karena setelah menempuh pendidikan yang cukup lama, akhirnya telah tiba hari di mana ia akan segera mangkat dari kampus.

“Aku bakal segera nyusul kamu,” bisik Bia saat mereka turun menuju halaman depan gedung.

“Dan aku akan selalu bantuin kamu. Sedikit lagi tujuan kita menunggu, Bi.”

“Setelah ini kita harus lebih siap, Raf. Untuk apa pun di depan sana. Yang pasti ...,” ujar Bia seraya mempererat tautan tangan mereka, “aku harap kita bakal lebih baik ke depannya.”

-oOo-

“Aku sekarang agak luang, jadi bisa nemenin kamu sama Noah. Kalau ketemu teman-temen boleh?”

“Asal inget waktu aja. Kamu sekarang udah mulai aktif kerja.” Mulutnya yang penuh dengan martabak manis pun sedikit belepotan.

Rafli meraih selembar tisu dan mengelapnya. Bia juga heran Rafli tiba-tiba lupa dengan play station, beralih memperhatikannya yang sedang makan. Tatapan lembut dan penuh perhatian yang seolah kembali setelah hampir lima bulan rumah tangga mereka dipenuhi perdebatan.

“Jadi, kamu udah siap seminar?” Rafli menopang dagu, sesekali menyuapi sepotong martabak manis begitu mulut istrinya kosong.

“Dua hari lagi. Doain lancar, ya.”

Mereka menghabiskan malam berdua setelah Noah tertidur pulas di keranjang bayi. Seperti malam-malam sebelum pertengkaran yang mereka lewati, keduanya akan duduk bercerita di ruang tengah. Saling memandang penuh cinta, menjadi pendengar yang baik untuk masin-masing sampai membicarakan hal-hal random.

“Raf, kamu belum cerita gimana di tempat kerja hari ini.”

“Ya, semuanya lancar. Kayak lebih nyaman aja kerjanya. Tahu nggak ....” Rafli mengubah posisi menjadi bersila. “Mbak Maria sering senewen sama aku, tapi aku senyumin terus. Lama-kelamaan nadanya jadi nggak sinis. Tahu apa alasanku harus bertahan dan menghadapi mereka tanpa marah-marah?”

Bia meraih potongan martabak manis dan melahapnya dengan rakus. Bahkan sang suami sampai gemas menghapus sisa cokelat yang belepotan sampai ke sudut-sudut bibir.

“Karena kamu. Inget-inget wajahmu yang suka ngomel, aku jadi takut. Lebih takut ke kamu ketimbang Mbak Maria atau Pak Diki.”

Cerita Rafli menghadirkan tawa Bia sesaat. Jauh dalam batin, ia sangat bersyukur. Rafli-nya kembali seperti sedia kala. Asa terus tumbuh bersemayam dalam angan, bahwa mereka pasti akan baik-baik saja.

“Kamu?” Rafli menyadarkan Bia dari lamunan dan keterpanaan. “Hari ini gimana, Bi?”

“Lebih baik dari kemarin. Saat bangun tidur aku merasa lebih lega, bebas, ringan. Bersih-bersih rumah dan belajar jadi lebih enjoy.”

“Maaf, hari ini aku nggak bisa bantuin kamu karena harus ketemu temen-temen.”

“Nggak masalah selama kamu ingat rumah. Ingat aku dan Noah ....” Bia menepuk jidat ketika teringat sesuatu yang bahkan sampai detik itu belum ia bicarakan dengan Rafli. “Mbak Inggit ngabarin aku, Raf. Dia bakal segera balik dan ngambil Noah. Saat itu aku harus membiasakan diri tanpa Noah. Bukannya nggak senang karena akhirnya Noah kembali sama Mbak Inggit, tapi pasti rasanya bakal beda. Rumah kita yang selalu ramai sama tangis Noah. Aku bakal kangen itu.”

Jari Bia menghangat tatkala tangan besar merangkum tanpa permisi. Sepanjang berbicara, dua biner gelap meneduhkan itu selalu mengawasinya. Penuh perhatian, dalam, seakan-akan sorotnya siap menyedot Bia ke dalam sana. Sudah jelas, Bia hidup di tempat itu, dunia Rafli.

“Rasanya pasti bakal beda, tapi kita nggak selamanya bisa merawat Noah. Noah harus kembali sama Mbak Inggit, itu tanggung jawab mereka sebagai orang tua, Sayang.”

“Iya, aku tahu dan karena Noah ada di sini aku jadi lebih bisa menghargai Mama. Selama merawat Noah, aku belajar banyak. Jadi orang tua nggak mudah.”

Senyum simpul dari sang suami kontan menyita atensi Bia. Rafli mendekat memberikan sebuah dekapan yang hangat. “Untuk itu aku memikirkan ini, Bi. Ke depannya aku akan sibuk bekerja dan mungkin kamu juga. Jadi, kita nggak punya waktu untuk mengurus anak.” Rafli menarik diri dan mempertahankan kedua tangannya yang memegangi lengan Bia. “Punya anak juga pengeluarannya banyak. Sekarang aku baru paham alasan kamu mau menunda.”

Bia tidak bisa menyanggah ucapan Rafli. Namun, mengapa sekarang rasanya tidak terima mendengar ucapan tersebut.

“Lagian kita masih muda. Kalau udah punya anak gerak kita bakal terbatas. Aku mau kerja dulu, nyari uang yang banyak buat kita. Sekarang aku setuju sama kamu. Aku nggak mau punya anak dulu.”

Bia mengulas senyum tipis. Entah mengapa senyum itu begitu hambar. Rasa tidak terima membuat bahagia yang menggelegak mendadak menguap perlahan.

Ketika Rafli menguap, Bia terkesiap. Wajah suaminya yang menahan kantuk menyobek lamunan. “Ayo, tidur!” ajak Bia. Malam itu adalah malam yang tenang, Bia tidak mau merusak suasana hanya karena mendebat Rafli.

-oOo-

Akhir-akhir ini Bia sedang merasa sangat bahagia. Lebih baik dari hari sebelumnya yang penuh perdebatan. Salah satu hal yang lagi-lagi Bia syukuri adalah usaha dan kemauan Rafli. Siang tadi Rafli yudisium dan untuk ke sekian kali Bia mengucap syukur diam-diam. Berkat usaha dan kebaikan Tuhan akhirnya Rafli berhasil meraih gelar.

“Noah.” Maharani merentangkan tangan untuk meraih Noah dalam dekapan Bia.

Wanita itu bergabung dengan Andra, Deva, dan Fani. Sementara Brama memindai mereka semuanya dengan selengkung senyum yang merekah. Elisa juga tampak lebih bahagia. Ada pengasuh Fani dan Deva yang ikut.
Restoran berinterior raw architecture itu menjadi tempat janjian mereka. Andra yang memberi usul dan langsung disepakati oleh Brama. Demi merayakan hari kelulusan Rafli, mereka merogoh uang di tengah keadaan yang belum stabil. Mereka bertolak ke bilangan Jakarta Pusat.

Elisa yang mengatur reservasi, maka tidak heran mengapa sekarang mereka berada di bangunan yang hampiri—kiri dan kanan—dihiasi tanaman hias. Konsep green house yang menggambarkan sosok Elisa. Tanaman hidup dan aneka bunga terpajang hampir di seluruh lantai restoran.

“Harusnya Papa dan Mama nggak perlu repot-repot begini. Kita bisa makan di rumah, tahu sendiri keadaan kalian sekarang lagi kayak gimana.” Rafli mengambil tempat di samping kursi Andra.

“Justru itu, Bro. Hari ini bukan cuma perayaan kelulusan lo aja yang penting, tapi ada yang mau gue sampaikan juga,” ujar pria berkemeja abu, beralis tebal dengan rahang kokoh, yang sekilas mirip Rafli. Cuma Andra lebih bisa merawat kulitnya sendiri, ketimbang Rafli yang suka panas-panasan.

“Kita makan dulu. Makanannya udah dateng dari tadi.”

Brama menunjuk beberapa menu yang tersaji di hadapan mereka. Khas rumahan. Masakan Indonesia semua—cah kangkung, ayam kecap, sup buntut, soto, dan lainnya. Menu makanan ala keluarga Brama.

“Gimana kerjaanmu, Raf? Kenapa nggak pernah ngomong ke Papa atau masmu?”

“Dari mana Papa tau?”

“Mama yang ngasih tahu mereka, Raf.” Tiba-tiba Elisa yang angkat suara. “Mereka juga berhak tahu kalau sekarang kamu sudah mulai berusaha untuk rumah tangga kalian.”

“Iya, kerjaanku lancar, Pa. Aku senang bisa bekerja di sana sambil cari-cari kerjaan lain.”

Brama dan Maharani kompak mengulas senyum penuh bangga. Anak bungsu mereka yang selalu mengandalkan orang tua dan suka merajuk saat masih kecil, sekarang sudah bersikap seperti lelaki sejati.

“Nah, ini dia yang mau gue bicarakan, Raf. Gue dapet kerjaan di perusahaan Om Malik, temannya Papa. Kita semua tahu kondisi Papa sekarang lagi nggak terlalu stabil, jadi gue bakal kerja buat kita semua. Nanti kalau ada lowongan gue bakal kabarin lo."

“Gue tunggu kabar dari lo.”

Mereka melewati malam bahagia dengan berbincang mengenai banyak hal. Sepulang dari restoran mereka berkunjung ke rumah Bia. Brama dan keluarganya akan menginap di sana sebelum kembali ke Bogor besok pagi.

Waktu istirahat yang tadinya damai mendadak terusik karena pengasuh Deva dan Fani turun dari lantai dua dengan tergesa. Wajahnya panik bukan main saat melihat Noah dalam gendongan.

“Ada apa, Mbak Er?” Maharani langsung berlari dari arah dapur disusul Bia.

“Nggak tahu, Bu. Noah tiba-tiba muntah, saya nggak tahu kenapa ....”

“Noah!” Bia meraih Noah. Wajah bayi itu pucat pasi, bibirnya masih mengeluarkan muntah, dan badannya mendadak demam.

Bia bergerak ke arah ruang tengah di mana Rafli, Andra, dan Brama sedang berbincang. Mereka yang menyadari keadaan Bia dengan wajah panik sambil mendekap Noah erat-erat pun langsung berdiri dari tempat.

“Kenapa, Bi?” Rafli meraih pundak sang istri.

Bia menggeleng dan mendadak ketakutan memerangkap dirinya. Degup jantung terasa bekerja lebih cepat tatkala tubuh mungil Noah makin direngkuhnya dengan erat.

“R-rumah sakit ... Raf.”

Andra mendekat. “Kita ke rumah sakit sekarang!”

Andra, Rafli, Bia, dan Mbak Erlita bertolak ke rumah sakit terdekat. Bia duduk di kursi belakang bersama Rafli. Mbak Erlita dan Andra yang duduk di depan sesekali melirik pasutri itu dari rear view.

“Mas, cepetan!” Rasa kesal menghampirinya ketika keadaan jalan sedikit macet.

Rafli meraih jemari istrinya. “Noah pasti baik-baik aja.”

Bia merasakan kedua matanya memanas saat teringat cerita Elisa. Dahulu saat masih bayi, Bia pernah masuk rumah sakit dan membuat Elisa panik. Bahkan Bia nyaris meninggal kalau saja tidak segera dilarikan ke rumah sakit.

Ketika mereka tiba di rumah sakit. Bia turun secepat mungkin dan berlari, sehingga membuat Rafli kesulitan mengejarnya. Noah pun dibawa untuk diperiksa oleh dokter. Mereka diharapkan menunggu sejenak di luar.

“Mama pernah hampir kehilangan aku saat masih bayi, aku takut.”

“Hei, kita harus berdoa semoga dia nggak kenapa-kenapa.”

“Aku harus ngomong apa sama Mbak Inggit kalau Noah kenapa-kenapa?”

Suara serak bercampur isak tangis membuat Rafli terkesiap. Ternyata kedua netra cantik itu sudah basah karena air mata. Rafli mengulas senyum dan berucap, “Kamu sayang banget sama Noah, ya? Tanpa sadar udah kayak mamanya sendiri. Mbak Inggit pasti bangga sama kamu, Bi. Aku juga karena kamu menyayangi Noah seperti bayimu sendiri.”

Belum sempat Bia menjawab, seorang suster keluar dari ruangan itu. “Orang tua dari Noah?”

“Kami.” Bukan Bia, melainkan Rafli yang bergerak menarik tangan Bia untuk mendekat. Andra yang melihat itu pun mengulas senyum.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 127 18
#4 Kinan menemukan sebuah album foto, berisi dokumentasi dari setiap momen yang tak akan pernah dia dan suami lupakan dalam hidup. Ada yang tak terli...
55.4K 8K 69
Publish : 10 Maret 2021 End : 17 Januari 2022 Mulai Revisi : 14 Februari 2022 End Revisi : 10 Maret 2022 Jovita Auristella tidak terima dilangkahi sa...
7.4K 314 22
[[Sequel of "ASDOS"]] - romance/comedy/drama Semester 8 sudah dimulai, namun Rana dan Pak Raka tetap harus bekerja sama untuk menyembunyikan status h...
221K 7K 22
Menikah tidak hanya menyatukan dua hati agar saling mengikat. Lebih dari itu sebuah hubungan harus berlandaskan kejujuran, kesetiaan dan komitmen ya...