Kami Pasutriāˆš

By onederfulonly

99.3K 6.4K 1.3K

Menikahlah ketika sudah siap, baik secara fisik dan mental, itu adalah wejangan dari Oma Santi. Bia tidak ma... More

Intro + Prolog
01. "Aku mau punya bayi! "
02. "Raf, kamu bisa serius nggak?"
03. "Bayi Siapa?"
04. "Kalau yang itu bayi besar, Mbak."
05. "Pikir aja sendiri."
06. "Aduh, anak Papa wanginyaaa!"
07. "Ngurus rumah itu tugas istri."
08. "Nggak ada sayangnya?"
09. "Jadi, maksud kamu kita kerja?"
10. "Kita bisa menghadapinya."
11. "Jangan kabur!"
12. "Ya, Pak. Saya mau."
13. "Aku mau kamu."
14. "Terima kasih semuanya."
15. "Aku mau berhenti."
16. "Kamu menyesal?"
18. "Rafli pasti dateng, Ma."
19. "Aku yang butuh kamu."
20. "Hari ini gimana, Bi?"
21. "Congratulations, Bi."
22. "Kita belum siap."
23. "Kamu mau apa?"
24. "Semalam ...." [END]
Epilog.
[announcement]
VOUCHER KP PART 2šŸ§šā€ā™€ļø

17. "Gue harus gimana?"

2.1K 183 5
By onederfulonly

Suara alarm mengudara di ruangan itu. Baju-baju kotor tersampir di beberapa titik-bibir kasur, sandaran kursi, dan sofa. Kaleng minuman ionik tercecer di lantai, bergabung dengan beberapa bungkus makanan ringan dan tisu. Biasanya suara seorang perempuan akan membangunkannya. Suara berisik yang khas, bersamaan dengan tirai yang disingkap pelan oleh jemari lembut si pemilik lesung pipi.

Secercah sinar mentari menerobos masuk lewat celah kusen. Alarm berbunyi lagi setelah tangan panjang dari balik selimut sempat mematikannya. Kaki panjang si pemilik langsung menyembul dari balik selimut. Erangan kecil membentur udara.

"Alarm sialan!" umpat Rafli. Saat bangun tidur perasaannya masih jengkel. Kali ini bukan pada Bia atau siapa pun, tetapi pada dirinya sendiri. "Bi, kenapa nggak bangunin aku? Hari ini ada janji sama Amar. Katanya mau lihat aku cepet lulus, tapi-" Rafli membuka selimut. Ucapannya dibalas suara alarm yang berisik mengusik.

Tumben. Meski bunyi alarm begitu merdu, biasanya Bia akan lari ke kamar dan mematikannya karena tak tahan. Istrinya itu akan sedikit mengomel, tetapi dengan lembut membangunkan dan biasanya satu morning kiss mendarat di dahi Rafli.

Pagi itu ... nihil.

Dengan mata yang masih menahan kantuk, muka bantal, dan napas memburu sesaat, Rafli mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar.

"Bia?" Dia bergumam sambil menggaruk-garuk ceruk leher yang sedikit tertutup kaus putih.

Kepala Rafli mendadak pening saat melihat kamar yang seperti kapal pecah. Helaan napas berat pun lolos membentur udara. Hampir saja lelaki itu mengumpat lagi tatkala memorinya memutar kejadian kemarin. Meski berkali-kali Rafli menahannya agar tidak pergi, langkah dan keputusan sang istri sudah mantap. Dengan bercucur air mata sambil menggendong Noah, Bia berjalan tergesa menuju jalan raya, lalu menghentikan taksi dan meninggalkan Rafli.

Pagi itu setelah selesai membersihkan diri, Rafli bergerak turun. Sepi. Ke mana perginya suara ribut di dapur? Piring, gelas, sendok, atau garpu yang beradu dengan meja. Tiada suara siulan air mendidih dari teko dan tentu tiada senyum Bia yang menyapa.

"Raf, lo keterlaluan," gumam Rafli seraya melangkah menuju meja makan.

Makan roti tawar dingin dengan selai kacang saja tidak cukup. Jika ada Bia, Rafli mungkin tidak mempermasalahkan meski hanya roti, tetapi masalahnya sekarang dia sendirian. Bahkan sebentar lagi sudah jam setengah sembilan, Mbak Andar juga tidak datang. Rumah benar-benar sepi dan Rafli tidak suka sendiri.

Mau tak mau ia mengunyah roti tanpa minat sedikit pun. Ia mencoba menelepon Bia, tetapi nomornya tidak aktif. Berkali-kali mencoba, bahkan sampai abai pada pesan dan panggilan Amar, tetap saja tidak ada jawaban dari Bia. Rafli membanting sisa roti di tangannya. Sikap Bia membuatnya gerah.

"Kamu juga yang bikin aku marah-marah, terus aku juga yang harus datang bujuk kamu pulang?" Rafli menggeleng sesaat setelah meneguk air mineral di gelasnya. "Kita lihat aja, Bi. Sampai kapan kamu tahan jauh-jauh dariku."

Rafli beranjak dari tempatnya setelah melayangkan senyuman remeh pada sisa roti. Keadaan rumah masih sedikit rapi, sehingga ia tidak perlu membersihkannya. Setelah membuang tisu sembarangan, Rafli bergerak tak acuh meninggalkan piring kotor di atas meja. Seharian itu rencananya Rafli akan menyibukkan diri mengurus skripsi di kampus. Istirahat sejenak dari perdebatannya dengan Bia dan memberi waktu pada dirinya juga Bia untuk menenangkan diri.

-oOo-

Rafli baru saja selesai mencicil tugas akhirnya yang akan segera rampung. Ia agak deg-degan menjelang sidang, tetapi untung dukungan teman dan orang tua selalu mengalir. Sayangnya, kabar itu belum sampai ke telinga Bia.

"Lo gengsian banget emang dari dulu," tutur Amar di sepanjang perjalanan pulang. Hari itu Rafli menawarkan tumpangan karena Amar telah membantunya selama proses penggarapan skripsi.

"Gue manusia juga, ya. Bisa kesel kalau udah begini."

"Lo cowok bukan, sih? Kalian udah dewasa. Udah bukan remaja yang asyik pacaran, terus saling gengsian begini. Lo suami dan menurut gue, ucapan lo ke Bia emang sedikit keterlaluan."

Mobil berhenti di lampu merah bersamaan dengan kedua tangan Rafli yang meremas erat lingkar kemudi. Pikirannya kembali menyudut pada perdebatan hebat-entah yang ke berapa kali-dengan Bia. Memang sangat keterlaluan, tetapi satu sisi otaknya mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya salah. Itulah yang masih tertanam dalam diri Rafli, tidak mau terus-terusan mengalah.

"Bukan salah gue sepenuhnya."

"Ayolah, kalau lo begini terus, gue takut kalian kenapa-kenapa. Bener!" Amar sampai mengacungkan jemari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V. "Jangan egois, lah. Kalau lo minta maaf, Bia pasti ngerti. Gue kenal Bia udah lama, dia bakal dengerin lo, kok."

"Nanti aja, biar dia yang duluan."

Seperti yang Amar duga, Rafli pasti akan mengucapkan itu. Sosok sobat karibnya itu memang terlalu gengsi dan kekanak-kanakan. "Ini bukan masalah siapa yang duluan. Kalau kalian saling tunggu begini, nggak bakal ada yang mulai. Bia nungguin lo, lo nungguin dia."

Lampu merah berganti. Sinar hijau itu seolah mengomando kendaraan untuk segera membunyikan klakson untuk kendaraan lain. Mobil Rafli melaju membelah jalanan yang padat merayap, membiarkan hentakkan musik mengalun dalam Honda Jazz-nya.

"Jadi cowok harus jentelmen, Raf!" Amar menyengir seraya menepuk-nepuk pundak Rafli.

"Gue tau itu cuma kemarahan sesaat dan karena itu gue bikin Bia pergi dari rumah. Tapi, di sisi lain gue ngerasa dia juga keterlaluan. Gue manusia, sama kayak dia. Dia selalu nuntut ini-itu ke gue! Kalau dia mikirin gue, harusnya dia paham gimana gue diperlakukan di tempat kerja. Gue butuh istirahat."

Mobil bergerak ke arah rumah Amar dan berhenti tepat di depan gerbang.
Sebelum turun, Amar kembali menepuk pundak Rafli. "Gue tau lo capek, Raf. Ini baru awal, masih ada hal yang lebih besar di depan sana yang mungkin nggak bisa lo bayangin. Makanya, mulai sekarang kurang-kurangin nyantai, deh.

"Pikirin bini lo juga. Gue tau lo capek, tapi kehidupan bakal terus menempa lo jadi orang kuat. Menikah muda adalah keputusan lo dan Bia. Cuma kalian berdua yang bisa menghadapi masalah rumah tangga kalian. Pikirin baik-baik, perbaiki semuanya sama Bia. Jangan sampe lo nyesel dan semuanya sia-sia."

Berkat perkataan Amar, hati kecil Rafli tersentil. Amar benar-benar keluar dari mobil. Rafli menundukkan kepala dalam-dalam membiarkan kamuflase matanya menampilkan wajah Bia. Senyum dan semua ekspresinya.
Rafli kangen.

Bukan Bia, tetapi dirinyalah yang tidak bisa hidup tanpa Bia.

-oOo-

Sudah dua hari terlewat, suasana pagi di rumah Rafli tetap sama. Tanpa Bia dan Noah.

"Semalem lo mabuk apa gimana, sih?"

Suara Amar terdengar dari ponsel yang di-loudspeaker. Si pemilik hanya melirik malas ke arah benda pipih tersebut. Membiarkannya tergeletak begitu saja di atas meja makan. Sementara Rafli sibuk menuang air panas ke gelas kopinya.

"Raf, lo masih di sana?"

"Masih."

"Ya, ampun! Itu unggahan lo di Twitter gabut banget, dah. Kalau lo kangen Bia, samperin sana. Minta maaf."

Rafli hanya menghela napas. Benar-benar surut semangatnya beraktivitas. Semalam dia tidak mabuk, cuma saking frustrasi, Rafli membuat unggahan di akun Twitter pribadinya. Isinya foto Bia dan dirinya.

"Gue harus gimana?" Rafli lagi-lagi mendesah.

Ternyata tidak ada Bia tidak seenak yang dipikir. Justru dialah yang sekarang merasa tidak bisa hidup tanpa Bia. Penyelasan-penyesalan yang menghampiri membuat Rafli tidak tenang. Entah untuk ke berapa kali ia membuat Bia menangis. Hatinya tidak tega, sungguh.

"Apa gue pantes buat dia?"

Suara Rafli hanya dibalas suara tangis seorang bayi dari panggilan telepon. Anak Amar.

"Gara-gara lo gue jadi kangen Noah," gumam Rafli.

"Makanya samperin. Jangan diam aja sambil terus ngerasa bersalah. Percuma kalau lo nggak gerak. Jangan jadi pengecut!" Ucapan Amar lebih tegas dari biasanya. "Gue tutup dulu, mau ngurusin bocah."

Panggilan benar-benar terputus. Rafli mengaduk-aduk sisa kopi seraya berpikir keras. Ketika menemukan hal yang sepatutnya dilakukan, ia lantas menyingkirkan gelas kopi dan bergerak meninggalkan dapur.

"Rumah lo berantakan banget, Raf! Udah kayak rumah ditinggal pemiliknya berabad-abad."

Kontan langkah Rafli terhenti di depan pintu. Sosok itu berdiri memunggungi Rafli di garasi. Ia berkeliling sebentar melihat-lihat tanaman layu dan berdebu yang tidak terawat. Serta lantai kotor dan halaman yang dijatuhi dedaunan.

"Om Rafli!" Deva dan Fani keluar dari mobil sambil berlari memeluknya.

"Kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?"

"Papa lagi ngajak jalan-jalan dan diajak mampir ke sini. Aku mau ketemu Noah, Om," kata Fani.

Rafli meraih Deva dan menggendongnya. "Noah lagi ke rumah Oma Elisa. Nginap di sana."

"Yah, padahal mau ketemu." Giliran Deva yang berucap lirih dan sedikit cemberut.

Andra hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut anak lelakinya tersebut. "Fani, ajak Deva main ke dalam dulu." Si sulung pun menurut saat Deva turun dari gendongan Rafli.

Tersisa Rafli dan Andra di halaman depan. Rafli menggaruk kepala yang tidak gatal, entah harus dari mana menceritakan semua yang menimpa dirinya dan Bia. Andra maupun Inggit sangat mengenal dan menyayangi Bia. Seperti adik sendiri sejak dahulu. Sehingga sekarang Rafli merasa bersalah di hadapan saudaranya karena telah membuat Bia kecewa dan menyakitinya.

"Ya, namanya rumah tangga. Memang nggak selalu adem ayem, Raf." Andra menepuk-nepuk pundak Rafli. "Gue nggak tau apa yang terjadi, tapi begitu lihat kondisi rumah lo, kayaknya Bia pergi, ya? Kalian bertengkar hebat?"


"Begitu, lah. Tapi, gue belum mau cerita. Ada hal penting yang harus gue lakukan sebelum ketemu Bia."

"Apa? Itu juga kalau lo mau ngasih tau."

"Pekerjaan gue."

Continue Reading

You'll Also Like

813K 75.3K 40
Mereka menikah karena adanya perjanjian bisnis keluarga. Lantas, apakah mereka juga harus berpisah karena alasan yang sama?
7.4K 314 22
[[Sequel of "ASDOS"]] - romance/comedy/drama Semester 8 sudah dimulai, namun Rana dan Pak Raka tetap harus bekerja sama untuk menyembunyikan status h...
2.2M 30.9K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
65.2K 8.7K 47
Anindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia di...