If Something Happens I Love Y...

By Mozajia

11.4K 206 4

Pernikahan nyatanya tak menjamin bahwa Ranu dan Raline akan hidup tenang bersama selamanya. Bulan madu mereka... More

Prolog
1. (Gift) on Birthday
2. Misteri Dua Tiket Pesawat
3. Did You Fuck Her?!
4. Sex After Fight
5. Delicate
6. Kejutan
7. Kamu dan Kematian
8. Paris in the Rain
9. Foto Keluarga
10. Story About His First Love
11. Laki-Laki atau Perempuan
12. Mr Hot Robot
13. Es Krim Coklat
14. Hati yang Patah
15. Berita Kematian
17. Revenge!
18. After 2 Years
19. Maaf yang Tak Cukup
20. Drunk
21. Kehilangan Kepercayaan
22. Ricuh
23. Stunning
24. Unconditionally
25. Bukan Soal Waktu
26. Fans Club
27. Gym
28. Surat Cerai
29. Sebuah Pelukan Hangat
30. Hallucination
31. Run to You
32. Warm Night
33. Omelet
34. You're Mine!
35. Cause You're My Husband
36. Deep Talk
37. Bola api
36. Hadiah

16. Lost Hope

180 4 0
By Mozajia

Seseorang terguncang. Kelopaknya membuka bersamaan menampilkan bola mata hitam dengan corak abu kelam. Tatapannya berpendar menjelajahi langit-langit atap yang tak asing dalam memori. Sesuatu seperti selang tabung menjerat punggung tangan kirinya. Tubuhnya terbaring di atas dipan kayu model khas jaman dulu.

Sebetulnya, ia juga tak tau pasti apa yang terjadi. Di otaknya hanya terputar kejadian saat helikopternya tiba-tiba hilang kendali dengan deru yang mulai melemah. Asap mengepul dari balik kotak mesin. Benda yang ditumpanginya itu kehilangan dorongan. Lalu selang beberapa saat kemudian, benda itu meledak seperti kembang api yang bersaut-sautan. Untungnya, ia lebih dulu sadar pada kejanggalan mesin sehingga bisa menyelamatkan diri dengan terjun bebas menggunakan parasut sepersikan detik sebelum suara dentuman terdengar.

Tak ada yang dapat diharapkan pada kondisi terjun bebas di atas hutan belantara yang lebat dan dipenuhi pohon pinus berdahan tajam. Ia tak bisa melakukan pendaratan sempurna. Ketika telah yakin menemukan lahan lega untuk pendaratan, angin mengombang ambingkan parasutnya hingga kembali terbang tak tentu arah seperti daun kering yang terhempas angin. Ia melayang cepat di atas rindang hutan, tubuhnya tercabik-cabik ranting yang seperti jarum. Nyaris seluruh kain yang menutup tubuhnya terkoyak. Ia tak mendengar apapun selain dengung dan bunyi ranting yang tak henti-hentinya mencakar kulitnya. Pada kesadarannya yang tinggal separuh, angin menyeretnya sekali lagi dengan sangat kasar. Selang satu tarikan napas, tubuhnya dibanting ke suatu benda yang keras dan besar, sekeras batu yang menghuhuni tebing jurang. Nyeri luar biasa menyetrum punggungnya, merambat hingga ke aliran darah dan membuat sekujur tubuhnya bergetar. Berselang hembusan napas kemudian, kegelapan mengambil alih pandangannya.

Entah bisa dianggap keberuntungan atau tidak, tapi saat ia terbangun tubuhnya telah dibungkus buntalan kasa. Hanya mata dan bibir yang bisa ia gerakan. Ketika ia terbangun untuk pertama kali setelah kecelakaan itu, hal pertama yang melintas di kepalanya adalah Raline-tidak-mungkin lebih tepatnya, ia terbangun karena teringat Raline. Ia telah meninggalkan istrinya tersebut dalam keadaan marah tanpa mengucap maaf lebih dulu. Dan hal itu memelintir hatinya.

Disaat bersamaan saat ia terbangun, sosok pria tua telah berdiri disampingnya. Dibalik matanya yang telah berkeriput, pria itu memandanginya sambil menganggukan kepala. Pria yang ia ketahui sebagai orang yang telah berjasa menolongnya itu menyodorkan ponsel yang telah tersambung dengan suatu panggilan kepadanya. Lalu dalam ketidakmengertiannya, ia menuruti perintah pria tua itu untuk bersuara pada panggilan. Selang beberapa detik setelahnya, suara berat khas yang ia kenal menyahut. Dan ketika ia hendak menjawab sahutan itu, nyeri hebat kembali menjalari tulang belakangnya. Membuatnya bibirnya kaku tak dapat bergerak. Kelopaknya merapat dengan kerutan mengelilingi kulit sekitar. Sangat rapat dan banyak seperti sprei yang diremas. Ia menahan sakit hebat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Dalam keadaan itu, pria tua disampingnya memasang wajah panik. Ia meluncur pada mangkuk alumunium, mengambil jarum suntik dan sebotol kecil cairan bening. Ketika jarum yang sudah terisi penuh oleh cairan itu menghunus pembuluh darahnya, nyeri perlahan-lahan meluruh. Dirinya diguyur napas lega. Namun tak bertahan lama, kegelapan kembali melahapnya. Ia tenggelam dalam keadaan koma-lagi.

Kini, ia terbangun setelah koma untuk kedua kalinya. Tubuhnya sudah tak dililit kasa. Luka-luka itu sirna entah kemana meninggalkan hanya bekasnya saja. Nyeri tak lagi menggulung dirinya. Namun, sosok yang sama dengan sosok yang terakhir ia lihat sebelum kesadarannya hilang kembali terlihat tak jauh darinya.

"Tulang belakangmu mengalami cidera serius. Jangan terlalu banyak bergerak kalau masih ingin hidup." suara baritone berbicara dengan nada dingin.

Ia mengacuhkan kalimat pria tua yang berdiri memegang tongkat kayu. Tak perlu bertanya, ia sudah tahu siapa jati dirinya. Sudah jelas pria itu adalah Reymond-ayahnya yang telah ia anggap sudah mati bertahun-tahun lalu.

Ketika ia hendak beranjak bangun, sakit merambati tangan kanannya. Seperti sekoloni semut merah menyengat otot-ototnya bersama-sama menimbulkan panas membara yang berdenyut-denyut. Suara erangan tak bisa ia tahan, wajahnya merah menahan perih hebat.

Melihatnya yang begitu kesakitan membuat Reymond berdecak. Ia meraih sebuah suntikan kecil diatas nakas dan membiuskan cairan di dalamnya ke jaringan otot sekitar lengan lelaki yang kesakitan itu. "Sudah kubilang jangan terlalu banyak bergerak. Saraf motorikmu mengalami trauma akibat kecelakaan itu. Untuk sementara tangan kananmu tak bisa digerakkan bebas, kau juga sudah tak bisa berjalan jauh dalam waktu lama. Sebaiknya, turuti apa kataku jika masih ingin hidup, Ranu. Jangan keras kepala." katanya sambil menekan ujung suntikan hingga seluruh cairan masuk ke dalam tubuh lelaki yang dipanggil Ranu itu.

Ketika nyeri berhenti merambati tangan kanannya, Ranu menghembuskan napas lega. Ia melirik Reymond sesaat lalu bertanya, "Sampai kapan?"

"Tergantung, kalau beruntung hanya 1-2 tahun. Kalau tidak, bisa seumur hidup." Melihat Ranu yang terdiam dengan wajah tercekat, Reymond kembali membuka mulutnya,"Ada yang menyabotase helikoptermu."

Ranu tampak tak terkejut. Ia sudah tahu sejak merasa aneh pada mesin setelah mengudara. "Aku tahu."

"Kau tahu pelakunya?"

"Ya, Adyan menjebaku malam itu." jawab Ranu sambil menatap lurus ke depan. Ada murka yang tersembunyi di balik tatapannya.

Reymond menghela panjang, "Dia dan sekutunya pasti sedang bersenang-senang saat ini karena mendengar kabar kematiannmu. Awal yang bagus untuk menyingkirkan mereka," Ketika Ranu menoleh cepat padanya, Reymon melanjutkan, "-Aku memalsukan kematianmu."

"Apa?!"

"Musang harus pura-pura mati untuk mengelabuhi musuhnya. Adyan pasti merasa bebas sekarang karena mengira kau telah mati. Sebenarnya tidak hanya dia, berita kematianmu sudah diketahui oleh semua orang."

Ditempatnya duduk, Ranu ternganga, "S-semua? termasuk-"

"Ya, termasuk istrimu juga." Reymond menyerobot, membuat Ranu terbelalak dengan napas tertahan.

"Kenapa kau....melakukan itu?" Ranu melihat Reymond dengan konsentrasi mengerikan, "Dia tidak terlibat apapun! Seharusnya kau memberitahu-"

"Dengarkan aku baik-baik, Son." Reymond memotong lebih dulu sebelum Ranu semakin menghardiknya, "Adyan tidak akan pernah berhenti mengusikmu dan orang-orang yang kau cintai selama kau masih hidup. Mungkin sekarang ia hanya menyabotase helikoptermu. Bisa jadi setelah mengetahui kau selamat, ia akan meletakkan bom di rumah yang kau tinggali bersama istrimu. Sangat mudah baginya melakukan itu, apa kau akan membiarkan istrimu yang tidak bersalah ikut terbunuh?" perlahan wajah Ranu mulai melunak, lalu Reymond kembali menambahkan, "Lebih baik istrimu menganggapmu mati sementara sampai keadaan aman. Adyan pasti sedang mengawasinya, karena dia tahu kalau kau selamat kau pasti akan menghampiri istrimu dulu. Dan itu sangat berisiko untuknya."

Ranu terdiam dengan isi kepalanya yang sedikit demi sedikit menyetujui perkataan Reymond. Terjadi jeda sesaat lalu dua mata sedarah itu lantas saling menatap, "Terkadang, cara untuk melindungi seseorang yang kau cintai adalah dengan menjauh darinya."

Berselang tak lama dari ucapan terakhir Reymond, pintu terbuka menampilkan sosok lelaki bertubuh tegap yang ramping dan kekar. Ketika melihat lelaki di atas tempat tidur sudah tersadar ia mengeluarkan napas lega disertai senyum kecil yang membuat lesung pipitnya terlihat.

"Syukurlah kau sudah bangun." Ucap Jay-laki-laki yang baru saja masuk.

"Bagaimana Raline?" pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut Ranu ketika melihat Jay muncul.

Melihat Jay yang malah jadi terdiam, membuat Ranu kembali bertanya dengan suara yang lebih tinggi, "Bagaimana keadaan istriku?"

Jay tergugu, "Dia...dia..."

Menyerah karena tak sanggup mengatakannya, Jay membuang napas kasar lalu satu tangan Jay merogoh kantung dalam jas hitamnya. Ia mengeluarkan benda kecil berbentuk strip kombinasi putih dan biru. Menyodorkan benda itu sambil berucap, "Aku menemukannya di toilet kapal. Itu... milik Raline."

Ranu mengernyit. Ia meraih benda yang disodorkan Jay. Dua garis merah muda yang terlihat begitu jelas cukup membuat raut wajah Ranu berubah total.

"Aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku"

Deg

Ranu tercekat. Jadi, sesuatu yang ingin dia katakan saat itu...

"Dokter Will bilang usia kehamilan Raline baru 3 minggu. Tapi..."

"Tapi apa?"

Jay menarik napas dalam-dalam, "Janinnya sangat lemah karena syok yang dialami. Dia sangat histeris saat mendengar kabar kematianmu. Untung Megan datang sehingga bisa membuatnya tenang sementara waktu. Dia sangat terpukul. Bahkan setelah pemakamanmu minggu lalu, Raline masih selalu datang ke makam dan menghabiskan seharian penuh disana."

Diam-diam di tempatnya berdiri Reymond jadi ikut trenyuh. Ia melirik pada Ranu yang dikerubungi raut kalut.

 "Sekarang dia ada dimana?" tanya Ranu. 

".... di makammu,"

Sejurus kemudian Ranu bersicepat mencopot jarum infus yang tertanam di tangannya. Jay sempat ingin menghentikan Ranu tapi Reymond melalui kontak mata berkata jangan.

Dengan langkah setengah pincang, lelaki itu mengambil jaket bomber hitam yang tergantung di samping pintu. Rautnya menahan sakit saat berusaha memasukan tangan kanannya untuk memakai jaket. Namun tetap ia paksakan tanpa peduli.

"Tetap didekatnya, dia tidak akan mampu berjalan dalam waktu lama." Jay mengangguki petuah Reymond sebelum berlari pergi mengejar Ranu yang telah hilang dari pandangan.

— R&R 

Semilir angin menyentil satu persatu daun hingga terlepas dari tangkainya. Uap air yang digandeng angin membawa sejuk pada tiap-tiap hembusannya. Lain dari biasanya, matahari saat ini terpantau malas menunjukkan teriknya.

Awan hitam bertumpuk-tumpuk menjadi atap untuk seorang wanita bergaun hitam di pemakaman. Mendung yang tersirat di wajah perempuan itu menjalar hingga membuat atmosfer sekeliling menjadi ikut berduka. Sudah berjam-jam lamanya dia terduduk menghadap sebuah batu nisan. Berbeda dari sebelumnya yang selalu tulip merah. Hari ini, dia membawakan seikat kembang tulip bewarna putih yang ia letakkan di depan pusara.

Walau tak sehisteris sebelumnya, kondisi Raline saat ini juga tak bisa dianggap mendingan. Masih sulit baginya untuk percaya bahwa mayat yang ditemukan dalam kondisi hancur di dalam jurang adalah Ranu. Ia tak bisa menyangkal sebab polisi menemukan cincin pernikahan mereka tersemat di jemari mayat tersebut saat ditemukan.

Raline sudah mencoba setegar mungkin. Meyakinkan diri bahwa ini adalah sepenuhnya takdir. Namun semakin keras ia berusaha, semakin sesak pula rasa duka yang menggulung tubuhnya. Wajah pucatnya kentara sembab. Bola matanya seperti diperas, tak berhenti mengeluarkan air mata. Pipinya hampir tak pernah kering. Ketika ia mengusap bulir bening yang mengalir, bulir lain langsung meluncur dari mata yang lain. Berkali-kali bulir itu jatuh membuat Raline penat mengelapnya. Dibalik telapak tangan yang membekap mulutnya, Raline terus mengeluarkan suara sesegukan sembari sesekali merintih.

 "Ranu.... Kamu tahu aku tidak bisa hidup tanpamu, kenapa kamu malah pergi?hiks..."

Ketika suaranya yang bergetar itu terdengar, seseorang yang tengah memandang dari balik pohon beringin menjadi berkaca-kaca. Dari jarak yang kurang dari lima meter darinya, Ranu bisa melihat jelas bahu Raline terguncang kuat.  Namun Ranu tak bisa melakukan apa-apa untuk meredakannya. Di tempatnya berdiri, Ranu sekuat tenaga menahan sakit yang menerjang punggung dan pinggulnya. Napasnya terengah-engah sambil sesekali meringis sakit. Bahkan Ranu pun telah kehilangan kemampuan untuk menggenggam sesuatu.

Raline mengeluarkan sesuatu dari balik tas, membuat Ranu menajamkan penglihatannya. Selang satu tarikan napas kemudian, ia tercekat saat melihat puluhan butir butir obat di genggaman Raline.

".... Aku tidak yakin bisa hidup kalau kamu mati. Karena itu.... aku mungkin akan memilih mati juga bersamamu...."

Kalimat yang pernah Raline katakan memutari kepala Ranu. Ia terhenyak, kepalanya menggeleng lemah. "Tidak, Raline..... Aku mohon jangan." napasnya tertahan-tahan saat menggumamkan lirih kata yang selamanya tak akan bisa terdengar di telinga Raline.

Raline menatap nanar puluhan butir antidepresan dalam genggamannya. Katakan saja Raline sudah kehilangan akal, ia tak akan peduli. Ia memang sudah gila. Setiap jengkal kenangan yang dilalui bersama Ranu selalu menghantuinya. Malamnya tak pernah dilalui dengan lelap. Hanya ada gemuruh duka dan isak tangis yang membuatnya lelah.

Ketika telah yakin akan menenggak seluruh obat itu, sesuatu dari dalam perutnya bergejolak, seperti menendak kuat hingga membuat Raline terkejut. Secepat kilat, bulir-bulir itu lantas buyar dan menjadi berceceran di tanah makam. Raline meneguk ludahnya, ia tercekat. Seperti baru saja diguyur air dingin, Raline tersadar akan sesuatu yang sedang hidup di rahimnya. Ada sebagian dari Ranu yang masih tertinggal dan bedetak dalam tubuhnya.

"Sayang..." Raline berkata sambil mengelus perut ratanya dan memaksakan senyum diantara isak, "Sekarang hanya tinggal kita berdua. Daddy was gone. He left mom, he left us...but he always love you, I am sure..." Ketika mengatakan itu, Raline berusaha keras agar tak lagi menangis. Raline terpejam dengan bibir yang mengatup dan mengerut menahan diri agar jangan sampai terisak.

"hiks....Kamu harus kuat di dalam sana, ya?  Tolong jangan tinggalkan mom sendirian, karena tinggal kamu yang mom punya....hiks, janji ya sayang-hiks...hiks..."

Sepi yang terlampau sunyi di makam, berhasil mengantarkan suara itu pada Ranu. Pria itu tidak bisa membendung air matanya lagi. Ranu terisak dalam diam. Rintihan Raline terasa amat mencakar hatinya. Kendati demikian, Ranu terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Terlalu pengecut untuk tampil dalam keadaan cacat dan rasa bersalah besar yang bersemayam dalam diri.

-R&R-

Makam itu berupa bukit yang diratakan puncaknya. Area pemakaman ada di atas sementara pintu keluar dan masuk ada di bawah, keduanya dihubungkan oleh anak tangga yang terbuat dari campuran beton dan bebatuan.

Sampai matahari mulai menyingsing ke barat, Lelaki berkostum serba hitam lengkap dengan topi yang bertengger menutupi kepalanya masih menjaga fokus pada Raline. Ia mengekor dari jauh, dalam hati ia was-was bilamana Raline tergelincir atau semacamnya. Wanita itu berjalan dengan mata kosong menuruni satu persatu anak tangga menuju pintu keluar.

Derik-derik senja memantul di permukaan danau. Indahnya sama sekali tak membuat Raline tertarik. Perempuan itu menyeret kakinya di atas paving trotoar dingin. Matanya layu menatap lurus ke depan. Ia melangkah tak tentu arah, sekadar untuk meredakan hatinya yang merana.

Ranu terlalu fokus memerhatikan Raline saat tiba-tiba sebuah mobil SUV merah melaju kencang dari belakang. Mobil itu menerobos trotoar dan menyerempet pejalan kaki berjenis kelamin wanita yang mengenakan dress hitam selutut.

Ranu terbelalak melihat Raline tersungkur. Tak lama, seorang wanita berambut pirang keluar dari dalam mobil SUV merah tersebut.

Melissa-sosok yang sangat tergila-gila dengan Ranu dan sempat menjadi tunangannya dulu-tiba-tiba muncul dari balik pintu mobil dan langsung mencengram bahu Raline, memaksa wanita yang tengah meringis kesakitan itu bangkit.

"JALANG SIALAN!"

PLAKK

Ia melayangkan begitu telapak tangannya begitu ringan ke pipi Raline yang masih basah. Tamparan keras itu membuat Raline terhuyung. Ketika ia hendak jatuh, Melissa menahan bahunya dengan kuku -kuku tajam. Bola mata wanita pirang tersebut berkobar amarah. Satu tangannya kemudian menjambak rambut Raline kuat-kuat.

"RANU MATI KARENAMU! KARENA MENIKAHI PEMBAWA SIAL SEPERTIMU!" teriak wanita berambut pirang itu tepat di depan wajah Raline yang merintih.

Raline tidak peduli sebarapa dulu Melissa sangat membencinya karena dianggap telah menjadi perusak hubungannya dengan Ranu. Tapi sekarang, Raline melihat wanita itu dengan tatapan permohonan, berharap masih ada sedikit rasa kemanusiaan yang terkandung dalam jelmaan iblis tersebut. Sembari menahan rambutnya yang dijambak kuat, ia merintih, "Melissa, Aku mohon padamu. To-long kasihani aku sekali ini. Lepaskan, kumohon... aku sedang....mengandung."

"Kau hamil?" Melissa menyeringai, "Terima kasih telah memberitahuku. Aku jadi lebih mudah untuk menyingkirkannya lebih dini."

Tangan Melissa mengepal kuat ke udara membuat seorang pria yang tak jauh dari sana membelalak lebar.

Ketika Ranu hendak berlari kesana, rasa nyeri di pinggulnya mendadak tidak tertahankan lagi. Ia terjerambab ke lantai tanpa bisa menggerakkan kakinya sedikit pun. Dalam keadaannya yang lumpuh, ia tercekat saat melihat tangan Melissa terayun kencang menuju perut Raline.

BUGH

ARRGHHHH

Suara jeritan seorang wanita yang amat keras menggelegar sampai ke telinganya. Ranu tertegun, tubuhnya melemas seketika seperti seseorang telah mengambil separuh nyawanya. Tepat di depan mata, ia menyaksikan semua ini begitu jelas. Tubuhnya gemetaran, Kenapa kakinya harus lumpuh di saat yang tidak tepat?

Dari jauh, Jay berlari kencang saat-akhirnya-bisa menemukan Ranu setelah mencari kemana-mana.

"Ranu, Kau baik-baik saja?"Tanya Jay panik melihat kondisi Ranu yang menjadi lumpuh

Ranu menepis tangan Jay yang hendak membantunya. Laki-laki itu mendorong tubuh kasar Jay seraya memerintah, "Cepat selamatkan Raline!"

Jay mengikuti kemana mata Ranu berlari. ia terbelalak kemudian segera melesat. Namun langkahnya tertahan saat seorang wanita paruh baya lebih dulu datang kesana.

Megan datang dengan kobaran api di matanya. Tangannya mengepal tinggi-tinggi dan...

BUGH

Melissa tersungkur dengan darah yang mengalir di hidungnya. Megan tak peduli jika model pirang itu mati di tempat karena bogeman mautnya. Ia terfokus pada sosok wanita yang bersimpuh mengerang kesakitan.

"Oh God, Raline!" pekik Megan begitu melihat kondisi Raline yang terlihat kesakitan.

Mata Raline terpejam kuat sembari meringis menahan sakit. Ia meremas perutnya yang dirambati rasa nyeri hebat setelah dipukul keras oleh Melissa. Darah kental mengaliri paha mulus Raline membuat Megan kembali memekik lalu segera memapah putrinya itu untuk dibawa ke rumah sakit.

Jantung Ranu berpacu hebat. Bulir bening melapisi bola matanya. Ia cemas bukan main melihat dari jauh Raline sangat kesakitan. Lebih tepatnya, ia takut sesuatu yang buruk menimpa Raline dan calon anak mereka.

"Jay, ikuti mereka."

"Tapi-"

"Aku bilang ikuti mereka!"

Jay tak punya pilihan lagi selain menuruti apa kata bos-nya itu. Ia memapah Ranu menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.

-R&R-

"Mereka.... tidak bisa menyelamatkan janinnya."

Ucapan Jay seperti kilatan petir yang menyambar Ranu. Pria yang duduk di atas kursi roda itu melemas. Rautnya dinginnya menampakkan duka. "Lalu kondisi Raline?"

"Dokter bilang fisiknya baik-baik saja."

"and mentally?"

Jay mendesah singkat, "Tidak ada ibu yang mentalnya baik-baik saja setelah kehilangan anak. Dia... stress berat. Dokter telah memberikannya obat penenang."

Ranu bergeming. Ia menyugar rambut frustrasi. "Antar aku kepadanya."

"Tapi Ranu"

"I know, aku hanya ingin melihat kondisinya.... dari jauh."

Jay mengangguk. Ia berjalan mendorong kursi roda melalui koridor rumah sakit. Ranu menutupi wajahnya di balik topi hitam sehingga tak ada yang mengenalinya. Hingga sampailah mereka di depan pintu ruang perawatan yang menutup.

Melalui kaca bening di permukaan pintu, tatapannya menyelinap masuk. Menangkap seorang wanita yang terduduk diatas bangsal dengan bahu terguncang. Bunyi isakannya diantarkan oleh dinding hingga sampai ke telinga Ranu.

Kedua ujung bibir Pria di atas kursi roda itu tertarik kebawah. Matanya memanas, merambang duka. Berselang satu kedipan, bulir bening jatuh mengaliri rahangnya.

"Dia pasti sangat hancur. Kehilangan suami dan anaknya sekaligus," suara jay mengalir begitu saja. Ketika Ia melirik ke atas kursi roda dan mendapati kondisi majikannya juga berduka, ia kembali berkata, "Apa kau tidak bisa masuk kesana saja? Aku tidak kuat melihatnya seperti ini, dia sedang sangat membutuhkanmu sekarang, Ranu.""

Ranu mengelap jejak air matanya. Rautnya nampak menimbang-nimbang dan ragu. Lalu perkataan Reymond kembali terngiang dan memunculkan gelengan lemah di kepalanya.

Andai keadaannya tak sekacau ini. Andai ia tak lumpuh. Andai dia tak terpancing Adyan. Andai dia.... menuruti permintaan Raline malam itu. Semuanya pasti akan baik-baik saja.  Rasa bersalah besar yang bersemayam dalam jiwanya meruntuhkan kepercayaan diri Ranu untuk sekadar menunjukan diri di depan Raline. 

Segerombolan dokter dan perawat melangkah mendekat membuat Jay harus mendorong kursi roda dan berlalu pergi.

-R&R-

Perempuan diatas bangsal itu menatap keluar jendela. Ia terhanyut pada rintikan hujan yang pelan-pelan menutupi seluruh permukaan kaca. Merenungi segala yang tak bisa kembali. Setelah semua yang ia punya direnggut, Raline menjadi hampa. Hatinya kosong. Hidupnya tak lagi punya makna. Satu-satunya harapan yang Ranu tinggalkan dalam rahimnya sudah lenyap. Ia tak punya alasan lagi untuk hidup.

Bola matanya menggelinding pada benda tajam di genggamannya. Ditatapnya benda itu sesaat. Lalu tanpa berkedip, ia meletakkan bagian tajam pisau bedah itu dipergelangan tangannya. Ketika ia dengan tatapan kosong mulai menekan sisi tajam benda itu ke urat nadinya, sesuatu yang secepat kilat menepis benda itu hingga terjatuh.

Praangg

Bunyi besi yang membentur lantai menggelegar di penjuru ruang berdinding putih tersebut.

"KAU SUDAH TIDAK WARAS, HAH?!" Megan melotot menatap Raline. Beruntung, dia datang tepat waktu. Kalau tidak, sudah pasti dia harus datang ke pemakaman lagi besok.

"YA! AKU MEMANG SUDAH TAK WARAS! LALU KENAPA-"

PLAKK

Kepala Raline tertoleh kuat ke samping. Dada Megan naik turun menghembuskan rasa kesal. "Apa pikiranmu sedangkal itu sampai-sampai kau mencoba mengakhiri hidupmu dengan sia-sia?!"

Raline begemuruh, Ia mengangkat dagunya dan menatap Megan dengan mata merah, "Lalu aku harus bagaimana?! Suami dan anakku sudah mati. JADI BIARKAN AKU MENYUSUL MEREKA-"

PLAK

Lagi-lagi kepala Raline tertoleh kuat. Megan mencengkram pipinya erat-erat. "Kau akan mati lalu membiarkan orang yang telah membunuh anakmu hidup berfoya-foya?"

Ketika melihat Raline yang terdiam dalam posisnya mulut yang terjepit, Megan kembali berbicara dengan nada tegas "Dan bukankah aku sudah memberitahumu bahwa kecelakaan yang Ranu alami itu direncanakan oleh seseorang? Apa kau akan mati begitu saja dan membiarkan orang itu hidup tenang setelah membunuh suamimu, HAH?" Kedua bola mata Megan mendelik.

"Ini bukan takdir, bodoh! Ini adalah pertarungan. Sadarlah! Belum saatnya bagimu untuk mati konyol. Setidaknya pastikan bajingan-bajingan itu menderita sebelum kau menyusul suami dan anakmu diakhirat." Megan melepas cengkramannya.

Ucapan Megan terdengar seperti sihir yang memunculkan kabut hitam di mata Raline. Buih-buih dendam muncul di permukaan hatinya. Setiap kalimat yang Megan katakan, berhasil membangkitkan sisi mengerikan yang tertidur dalam jiwa perempuan itu. Kedua tangan Raline mengepal kuat. Aura membunuh terpancar dari sorot matanya. Ia mengeluarkan suara mendesis "Kau benar, aku harus membuat mereka menderita."

-R&R-

Yang sudah ikuti ISHILY dari buku pertama pasti tahu Melissa. Melissa itu model international sekaligus anaknya Thomas-salah satu rekan bisnis Ranu dulu. Jadi sebelum Ranu ketemu Raline di hutan terlarang itu, Ranu udah tunangan sama Melissa. Dia terpaksa menerima perjodohan cuman untuk mengembangkan bisnisnya.

Melissa ini punya tabiat buruk, suka ngata-ngatain orang, angkuh, jahat, manja, dan salah satunya ringan tangan juga-suka banget nampar kalo marah sedikit. Ranu ga suka dan benci banget kalau di deket dia. Makanya dulu, pas udah ketemu Raline tanpa babibu Ranu langsung batalin pertunangannya sama Melissa. Dan itu ngebuat Melissa jadi benci banget sama Raline. Dampaknya ga cuman di Melissa, tapi juga ke Thomas, dia balik arah dan jadi musuh usaha Ranu.

Nah, jadi begitu penjelasan singkat soal Melissa yang tiba-tiba main nampar aja di makam. For Sure, bakal lebih seru kalau baca cerita ini dari awal.

Sekian:)

Ranu saat di makam

Terimakasih

Continue Reading

You'll Also Like

395K 41K 22
انا العاصفة الحمراء ألتي تراهن وتربح انا القوة العظيمة الذي سوف تنهك كُل الارواح الجنون والتلاعب بحد ذاته هنا أستطيع ان اتلاعب بعقلك حَد الجنون امر...
PARIWAAR By

General Fiction

122K 13.1K 90
Arjun Shergill is a 28 years old, well renowned businessman, who has a big loving family and two kids. He is a caring and utmost loving man. This sto...
84K 3.5K 48
The MC may seem cringey in the first few chapters, but please give this story a chance. This story is an experiment, so I don't know how well it wil...
Ice Cold By m

General Fiction

2.7M 99.2K 54
COMPLETED [boyxboy] Wren Ridley is always two steps ahead of everyone, or so he thinks. His life seems out of his control when he starts having feeli...