ARAYA DOUBLE UP!!!
-H A P P Y R E A D I N G-
***
"Alaskar."
"Alaskar nanti pulangnya bareng, ya."
"Alaskar kapan main ke rumah?"
"Alaskar kok sekarang berubah?"
"Alaskar. Kata orang-orang kamu suka sama Kiran, apa iya?"
"Alaskar jangan suka Kiran, dia gak baik."
"Alaskar jauhi Kiran! Aya gak suka liat Alaskar deket-deket sama cewek gatel itu."
Belakangan ini Alaskar terus memikirkan gadis bernama Araya. Araya benar-benar berbanding terbalik dengan Araya yang dulu. Yang Alaskar tau, Araya adalah sosok gadis lembut, sangat feminim, dan juga polos. Namun sekarang sangat bertolak belakang.
"Alaskar, aku rasa punya kamu bagian yang ini kurang tepat."
Merasa tidak mendapatkan respon, Kiran yang fokusnya ke buku kini beralih kepada cowok di sampingnya.
"Alaskar," panggilnya.
"Kenapa? Kerjaan gue ada yang salah?" jawab Alaskar seperti terkejut.
Kiran menggeleng seraya tersenyum tipis.
"Sorry, gue enggak fokus."
"Mikirin Araya?"
Kiran terkekeh pelan saat Alaskar tidak menjawab pertanyaannya.
"Dari awal kita pacaran kamu selalu kayak gini, Kar. Kamu selalu mikirin Araya hampir setiap kita lagi berdua."
"Aku tau, kamu ngajak aku pacaran bukan atas dasar suka. Tapi kamu risih terhadap sikap Araya ke kamu. Benar, kan?"
"Gue bener-bener suka sama lo, sejak pertama liat lo," jelas Alaskar.
"Enggak, Kar. Kamu ke aku cuma sebatas penasaran aja, hati kamu cuma buat Araya."
Kiran menghela napas berat. "Awalnya aku nerima kamu karena kasihan liat kamu kayak risih sama Araya, aku berpikir kalo Araya itu gak baik. Tapi ternyata, dia berbanding terbalik. Malah kesannya kayak aku yang jahat."
"Tapi maaf, Kar. Aku jatuh cinta sama kamu."
"Kenapa minta maaf? Lo pacar gue," ujar Alaskar.
"Tapi hati kamu buat Araya. Dulu kamu emang gak sadar, tapi setelah Araya berubah, kamu jadi sadar, kalo kamu juga punya perasaan yang sama dengan Araya, kan?"
Alaskar terdiam. Semua yang dikatakan oleh Kiran benar.
"Semuanya udah terlambat. Gue punya lo saat ini," ucap Alaskar.
"Perbaiki semuanya Kar, gak ada kata terlambat."
Alaskar diam. Haruskah dia mengikuti perkataan Kiran? Tapi Araya benar-benar sudah berubah sekarang. Dan Alaskar juga sudah ada Kiran. Dia tidak boleh serakah, bukan? Tapi, masalah perasaan gak bisa diatur.
***
Araya melemparkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Ia merasa kelelahan setelah satu jam yang lalu membereskan apartemen Nathan.
"Cape banget hidup, pengen jadi batu aja gue."
Araya bangkit dari posisinya saat teringat sesuatu. Dia berjalan menuju sebuah laci kecil, dia mengambil buku berukuran sedang berwarna ungu.
"Gue gak boleh berleha-leha lagi. Gue harus cari tau apa yang dimaksud si Aya dalam buku ini."
Araya membaca sebagian isi buku tersebut, lalu menghela napas.
"Gue gak tau apa yang sebenarnya terjadi sama lo, Ay. Apa yang lo tulis di buku ini, gak ada di novel yang gue baca."
Araya kembali merebahkan badannya ke kasur. Memandang langit-langit kamar. Meratapi nasibnya yang kian memburuk.
"Gue pikir dengan gue ubah alurnya, semuanya akan baik-baik saja. Kenapa malah makin menjadi?"
"Mana si Nathan kampret bilang gue jadi bagian Levator. Bikin beban hidup gue makin bertambah aja," gerutu Araya.
"Misi gue kan harusnya ngabisin duit bokap, bukan mecahin teka-teki hidupnya si Araya Loovany!"
"Woi, ini penulisnya siapa, sih? Ngeselin banget sumpah!"
Araya membalikkan posisi tubuhnya menjadi tengkurap.
"Ay, lo balik dong. Gue gak suka jadi lo, hidup lo rumit banget walaupun banyak duit," lirih Araya.
Araya mengeluarkan ponselnya dari saku. Jari jempol tangannya terus naik turun. Matanya menangkap satu nomor yang baru tersimpan.
"AYA MAKANANNYA UDAH JADI!"
"Iya Ma, bentar!"
Arumi-Mama Araya berteriak di depan pintu kamarnya. Saat pulang, Araya melihat Mamanya yang sedang berkutat dengan alat-alat dapur. Ia meminta Mamanya untuk dibuatkan nasi goreng kesukaannya.
Araya bergegas keluar dari kamar, menghampiri Mamanya yang sudah menunggu di ruang makan.
"Widih ... kayaknya enak, nih," seru Araya saat melihat nasi goreng yang terlihat menggiurkan.
"Nasi goreng spesial dari Mama untuk kamu."
Araya menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Tumben. Kenapa, nih?" tanya Araya curiga.
"Kenapa natap Mama kayak gitu? Gak percaya kamu?!"
"Percaya, Ma."
Araya lebih mengalah saja ketimbang harus berdebat dengan Mamanya.
"Abang kamu mana? Tumben gak barengan."
"Aya kan udah gak bareng sama si dur—Bang Darren," saut Araya.
Arumi menggelengkan kepalanya. "Kalian berantem?"
"Enggak," jawab Araya malas. "Tumben Mama gak ngikut Papa, biasanya gak mau ketinggalan," lanjut Araya mengalihkan pembicaraan.
"Percuma ngikut Papa kamu terus, Papa kamu tuh kalo udah kerja gak bisa ditanya kayak patung. Ya mending Mama di rumah aja."
Araya mengangguk paham. "Lagian Mama ngapain ngikut Papa terus, mendingan diem di rumah dan bantu Aya habisin duit Papa."
"Heh, kurang ajar kamu!"
Araya hanya tertawa tanpa suara karena mulutnya penuh dengan nasi goreng.
"Aya," panggil Mamanya dengan nada serius.
"Kenapa, Ma? Mama mau?" tanya Araya yang mendapatkan gelengan kepala dari Arumi.
"Kamu ada di hadapan Mama. Tapi gak tau kenapa, Mama merindukan kamu."
Seketika Araya yang sedang makan berhenti. Dia tidak tau harus meresponnya bagaimana.
"Mama ada-ada aja," balas Araya sembari terkekeh.
Tiba-tiba Darren pulang, pandangan mereka beralih ke laki-laki itu.
"Darren!" panggil Mamanya.
Darren yang merasa terpanggil menoleh dan menghampiri mereka. Lalu menyalami tangan Arumi.
"Kenapa baru pulang?"
"Ada pelajaran tambahan," jawab Darren yang sudah duduk di samping Arumi.
"Kamu mau nasi goreng juga? Biar Mama masakin."
"Enggak usah, Ma. Darren makannya nanti aja," tolak Darren.
Darren sesekali melirik ke arah Araya yang sedang fokus makan.
"Darren ke kamar dulu, mau istirahat."
"Iya, ganti baju sana. Jangan kayak adik kamu, seragamnya masih dipake," sindir Arumi.
"Mama nyindir Aya?"
"Kamu pikir Mama nyindir siapa? Bi Tiyem?"
"Siapa tau, kan," jawab Araya mengedikkan bahunya.
Darren meninggalkan mereka berdua, Araya melihat ke arah laki-laki yang merupakan abangnya itu.
'Lo sasaran utama yang harus gue selidiki, Darren.'
-see you tomorrow-