Cicatrize ✔️

By chocokiiim

53K 6.1K 1K

Dia hadir dan memperbaiki semuanya, menjadikanku sosok tangguh yang lebih baik. Dia datang dengan cinta, dan... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43 - Fin
Epilog
Bonus Chapter - 2

Bonus Chapter - 1

948 91 20
By chocokiiim

Terik matahari seolah telah menjadi teman bagi penduduk Suna yang se per sekiannya tengah berlalu lalang di jalanan. Musim panas di Sunagakure sangatlah berbeda dari desa kebanyakan. Berada di tengah gurun membuat mereka mau tak mau harus hidup berdampingan dengan suhu ekstrem yang dapat membakar kulit. Kendati demikian, hal tersebut tidaklah memberi pengaruh berarti bagi para penduduk desa karena terbukti, bahwa siklus kehidupan tetap berjalan meski dalam cuaca panas seperti saat ini.

Sementara bagi seorang ninja medis kebanggaan dua desa ini, panas Sunagakure hari ini terasa berbeda baginya- ah entahlah. Setiap hari rasanya cuaca semakin panas saja menurutnya. Tiga tahun memijakkan kaki di tanah berpasir ini rupanya tak kunjung membuatnya terbiasa dengan iklim di desa ini. Di siang hari ia akan mengeluh betapa panas cuaca hari ini dan di malam hari ia akan bergulung dalam selimut serta pelukan sang suami karena angin malam yang sangat dingin.

Wanita bersurai merah muda itu menghela napas. Melihat situasi di luar yang sangat tidak bersahabat membuatnya memasang wajah malas. Namun tidak mungkin kan baginya untuk mendekam di dalam rumah sakit sampai nanti malam? Terlebih ia memiliki janji temu dengan saudara iparnya, membuatnya harus bergegas pulang agar ia dan sang suami bisa langsung berangkat ke rumah utama.

Wanita itu, Sabaku no Sakura, memutuskan untuk menggunakan jubah berwarna merah maroon yang senantiasa tergantung di ruangannya. Panjang jubah yang mencapai separuh paha membuat gadis itu tersenyum puas, senang karena dengan ini, ia bisa melindungi kulit lenganya yang tak tertutupi lengan baju. Tak lupa ia menutup surai merah mudanya dengan tudung jubah, melindungi kepalanya yang entah mengapa terasa pusing sejak tadi pagi.

"Anda pulang sekarang, Sakura-sama?"

"Siapa itu Sakura-sama, hm?"

Gadis bersurai coklat itu terkekeh kala mendapati wajah Sakura yang tampak kesal. Ia pun menepuk punggung wanita merah muda itu lalu berkata, "Ha'i, ha'i. Bagaimana kabarmu, Sakura? Apa kau merindukanku selama aku pergi?"

Sakura mendengus. "Kau hanya pergi menjalankan misi selama dua hari, untuk apa aku merindukanmu, Ameno?"

Gadis bersurai coklat yang dipanggil Ameno itu tersenyum manis. "Aa, aku kan hanya bertanya. Ngomong-ngomong, apakah semuanya baik-baik saja selama aku tidak ada?"

Sakura tersenyum seraya melambaikan tangan. "Tenang saja. Semua aman terkendali di tanganku. Istirahatlah. Kau sudah bekerja keras."

"Aku mengerti. Hati-hati di jalan, Sakura."

"Hm. Aku duluan, ya."

Keduanya berpisah di koridor rumah sakit, dimana Ameno melangkah menuju ruangannya untuk mengambil sesuatu sementara Sakura beranjak ke luar. Sepanjang perjalanan, wanita itu menundukkan kepala, tak tahan untuk mendongak karena sinar matahari terasa silau di matanya. Ketika wanita itu melewati pasar, ia mengingat jika persediaan makanan hampir habis. Menerka jika ia masih ada waktu, maka wanita yang menyandang status sebagai istri dari pemimpin desa itu menipir ke salah satu kios penjual sayur langganannya, memilah beberapa jenis sayur sebelum memangggil Bibi Shima yang saat ini tengah sibuk melayani pembeli yang lain.

"Ne, ne, sudah mendengar gosip baru, tidak?"

"Apa itu?"

Sakura mengindahkan perkataan kumpulan wanita di sisinya. Meski pada dasarnya Sakura juga hobi menggosip- mengingat bagaimana tabiatnya dulu jika sudah bergabung bersama Ino, namun untuk kali ini semuanya berbeda. Sakura nyaris tak pernah lagi mengikuti perkembangan berita yang simpang siur layaknya ketika ia masih gadis. Ia adalah orang sibuk, baik itu sebagai kepala rumah sakit ataupun sebagai istri dari seorang Kazekage yang terkadang menuntutnya untuk mendampingi sang suami melakukan beberapa hal, sehingga nyaris tidak punya waktu untuk bergosip ria dengan orang-orang selain dengan kakak iparnya.

"Kalian tau kan, kakak iparku bekerja di rumah sakit Suna?"

"Iya tau. Ada apa?"

"Kakak ipar bilang, beberapa hari yang lalu Sakura-sama memeriksakan diri ke departemen kandungan."

Sakura tersentak ketika namanya terseret ke dalam obrolan itu. Secara spontan, manik hijau bak baru emerald itu melirik ke samping, mulai memusatkan fokus pada kumpulan ibu-ibu muda yang setia membicarakan dirinya tanpa menyadari keberadaannya.

"Sungguh? Apakah dia hamil?"

Dapat dilihat jika wanita bersurai abu-abu yang membawa kabar itu menggeleng. "Tidak. Masih kosong."

"Hee? Benarkah? Biar kutebak, sudah ratusan kali dia memeriksa kandungan dan dia tidak kunjung hamil."

"Apakah dia punya penyakit sehingga sulit punya anak? Atau mungkin dia mandul?"

Sontak saja tubuh wanita merah muda itu menegang, terkejut mendengar kalimat itu. Namun entah apa yang mendorongnya, alih-alih menyangkal, ia justru menurunkan tudung jubahnya sehingga menutup rambut hingga wajahnya dengan sempurna.

"Tidak tau. Kata kakak ipar, mereka berdua sama-sama sehat. Tapi entahlah. Jika memang sehat, kenapa mereka belum punya keturunan sampai sekarang?"

"Apakah Sakura-sama tidak mau punya anak? Bisa jadi dia takut tubuh langsingnya akan melar setelah hamil dan melahirkan."

"Mungkin saja. Perempuan jaman sekarang terlalu modern. Mereka lebih mempedulikan bentuk tubuh dibandingkan memiliki keturunan."

Perlahan tapi pasti, kedua tangan Sakura mendadak gemetaran. Wanita itu berulang kali menjatuhkan sayuran dalam genggamannya akibat tubuhnya mendadak kehilangan tenaga. Sebisa mungkin ia mengendalikan diri, memilah sayuran dengan cepat agar ia bisa beranjak dari tempat ini sesegera mungkin.

"Hei kalian ini. Apakah kalian sadar akan apa yang baru saja kalian bicarakan? Jangan membiasakan diri untuk menyebar berita palsu!"

Sakura kembali kehilangan fokus ketika mendengar suara Bibi Shima mengudara. Jujur saja, ia memang sudah begitu akrab dengan wanita paruh baya itu karena Sakura telah lama berlangganan membeli sayuran di tempat ini. Kendati demikian, hatinya tetap merasa tidak tenang meski mengetahui jika ada orang lain yang membelanya.

Ia tersinggung? Tentu saja. Namun apa yang bisa Sakura lakukan untuk menyangkal semua perkataan wanita-wanita itu? Karena pada dasarnya, semua yang mereka katakan adalah kebenaran.

Ah, tidak semuanya. Hampir, mungkin?

"Hee, itu bukan berita palsu, bibi. Bibi bayangkan saja, masa sudah tiga tahun menikah mereka tidak punya anak? Tidakkah itu membuat orang-orang curiga?"

Bibi Shima pun berdecak keras. "Mau mereka punya anak atau tidak, tidak ada urusannya dengan kalian semua. Lagipula, kita tidak tau apa yang terjadi pada mereka, jadi jangan asal menyimpulkan. Bagaimana jika nyatanya Sakura-sama juga mengiginkan anak? Apa kalian tidak memikirkan perasaan Sakura-sama jika dia mendengar hal ini?"

Sejenak pasar menjadi hening, terlihat jelas jika kini kios Bibi Shima menjadi pusat perhatian. Namun apa yang terjadi selanjutnya justru membuat Sakura semakin gelisah dalam diam.

"Memangnya kenapa? Apakah kami akan dihukum jika kami membicarakan istri seorang Kazekage? Apakah kebebasan kami berbicara sudah dibatasi sekarang?" tantang seorang wanita bersurai biru gelap, yang kemudian membuat tiga orang lainnya mengangguk setuju.

Kalimat bernada tinggi tersebut sukses membuat suasana semakin panas. Perlahan tapi pasti, kios Bibi Shima kini ramai dikerubungi oleh para pembeli ataupun penjual yang rela meninggalkan kios mereka demi menyaksikan perdebatan tak berguna tersebut. Namun siapa yang peduli? Dimana ada keributan, pasti akan ada segelintir orang yang penasaran, bukan?

"Harusnya Sakura-sama tidak boleh sakit hati, karena kami membicarakan kebenaran. Jika dia merasa, sudah pasti ada yang tidak beres, kan? Berarti perkataan Ruka mungkin saja benar. Ne, bagaimana jika Sakura-sama benar-benar mandul?"

"Ah, Kasihan sekali Gaara-sama. Mengapa dia mau saja menikah dengan perempuan cacat."

Sementara di sisi lain, sang wanita musim semi menelan ludahnya kasar. Tubuhnya kian bergetar. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha untuk menata perasaannya yang entah mengapa kian bercampur aduk. Marah, sedih, dan juga kecewa. Ditambah lagi, kini rungunya menangkap suara bisikan lirih dari banyak orang yang tentu saja tengah membicarakannya. Tanpa bisa ditahan, setetes air mata pun berhasil lolos. Bibirnya terbuka sedikit, berusaha meraup oksigen di sekitarnya kala merasa dadnaya semakin menyempit.

Kendati demikian, Sakura tetap saja diam. Ia tidak bisa melakukan apapun saat ini. Sakura tidak bisa menyalahkan para masyarakat yang berspekulasi buruk atas dirinya. Karena nyatanya, setelah tiga tahun pernikahannya dengan Gaara, tak sekalipun Sakura mendengar kabar bahwa dirinya dinyatakan hamil.

Sungguh menyedihkan, bukan?

"Aku siap menunggu jika Gaara-sama menceraikannya. Kurasa ini saat yang tepat untukku menikah lagi, hahaha."

"Wah, kau benar, Hikari. Lagipula, ayahmu juga kenalan dekat Gaara-sama, bukan? Tidak menutup kemungkinan jika kau akan dijodohkan dengannya jika Gaara-sama benar-benar menceraikan Sakura-sama."

"Itu benar. Lagipula tidak ada alasan bagi Gaara-sama untuk mempertahankan wanita tidak berguna sepertinya."

"Ah, kau benar. Kalian harus berlatih memanggilku Hikari-sama kalau begitu."

"Kau ini, ahahaha."

Keempat wanita itu tertawa girang, sementara Bibi Shima telah naik pitam karenanya.

"Dasar wanita gila! Cepat selesaikan urusan kalian di sini lalu pergi sejauh mungkin! Aku sudah muak mendengar suara kalian semua!"

Mendengar kalimat yang bermakna pengusiran itu membuat keempat perempuan tersebut terkejut. Salah seorang yang diketahui bernama Ruka pun memasang wajah berang, merasa terhina karena mendengar kalimat tersebut.

"Kau ini. Hei, bibi! Kau ini hanya pedagang sayur! Jangan sembarangan menantang bangsawan!"

"Aku tidak peduli. Mau kalian bangsawan atau anak daimyo sekalipun, di mataku kalian hanyalah kumpulan wanita tidak beretika. Pergilah! Cari pedagang sayur lain untuk melayani kebutuhan kalian!"

"Sombong sekali!"

Hikari mengambil salah satu tomat lalu mengangkatnya, berniat melempar Bibi Shima menggunakan tomat tersebut. Namun belum sempat ia menunaikan niatnya, satu suara bariton yang begitu familiar pun sontak saja menghentikan pergerakannya, yang secara bersamaan membuat semua orang di sana ikut mematung.

"Sayang."

Sementara tubuh Sakura telah menegang sepenuhnya. Ia menoleh ke kiri, menatap ke arah sumber suara. Maniknya yang telah basah pun membulat kala mendapati sosok pria berambut merah yang tengah menghampirinya. Senyuman tipis pria itu begitu meneduhkan siapapun yang melihatnya, namun tidak berarti apa-apa bagi sang wanita musim semi yang tengah hancur sejak awal pertikaian itu berlangsung.

"Kau berbelanja? Kenapa tidak menungguku pulang dulu, hm? Aku bisa menemanimu jika kau mau menunggu."

Gaara membuka tudung jubah yang dikenakan Sakura, membuat puluhan mata di sekitarnya mmbulat sempurna, termasuk empat orang perempuan yang sejak tadi menghina sang istri Kazekage. Mendadak tubuh mereka bergetar, tidak menyangka jika sosok yang sejak tadi mereka bicarakan ternyata tengah berdiri di sisi mereka dan hanya terpisah dalam jarak satu meter.

"G-Gaara-kun.."

Sakura tak mampu berkutik kala mendapati Gaara berada di hadapannya. Pria itu sedikit memiringkan kepala, menatap bingung pada sang istri.

"Ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?"

Langsung saja Sakura menggeleng. "Tidak. Aku baik-baik saja."

"Begitu, ya. Sudah selesai? Apakah kau masih ingin membeli sesuatu?"

Kedua mata Sakura mengerjap. Ia merasa tenggorokannya tengah tercekat, tak mampu bersuara karena telah lama menahan rasa sesak di dadanya. Wanita itu memilih untuk menggeleng, membuat Gaara tersenyum kecil lalu mengacak surai merah mudanya.

"Baiklah, kalau begitu kita kembali. Bibi, berapa harga belanjaan istriku?"

"A-ah, iya, Kazekage-sama. Mohon tunggu sebentar."

Bibi Shima langsung menguasai diri lalu menghitung belanjaan Sakura dengan cepat. Meski ia masih terkejut karena eksistensi Sakura yang tidak disadari oleh siapapun, ia tetap melempar senyum pada pasangan suami istri itu dengan ramah. Seolah paham jika Sakura pasti mendengar perkelahian sedikit banyak, Bibi Shima justru melayani Sakura dengan sangat baik sebagaimana biasanya, bahkan tak lupa menyelipkan kalimat godaan betapa mesra pasangan suami istri itu karena mereka belanja bersama- satu hal yang sebenarnya sudah tak asing lagi baginya.

Bagi sebagian besar penduduk Sunagakure, eksistensi Sakura tidak hanya dikenal sebagai sosok dari istri pemimpin desa mereka. Sudah tak terhitung ada berapa banyak orang yang telah Sakura sembuhkan dengan kemampuannya tanpa menerima bayaran sepeserpun. Meski memiliki jabatan yang penting di desa ini, dimana ia merupakan seorang kepala rumah sakit Sunagakure, tak jarang wanita itu ikut turun tangan untuk menyembuhkan pasien. Bahkan tak sekali wanita itu menanggung biaya pengobatan untuk beberapa penduduk kalangan menengah ke bawah. Sosoknya yang ramah, sederhana serta rendah hati membuatnya menjadi idola para penduduk desa dalam waktu singkat.

Namun semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang pula angin yang menghempas. Di saat dirinya menjadi sosok berharga bagi penduduk desa, tak jarang ditemukan segelintir orang yang membenci dirinya. Mendengar dirinya menjadi bahan gosip bukanlah kali pertama bagi Sakura. Bahkan berita tentang dirinya yang tak kunjung hamil pun seringkali dipertanyakan, baik secara bersembunyi ataupun terang-terangan di hadapannya. Namun untuk kali ini, ia baru menyangka jika keadaan dirinya ini membuat beberapa orang menarik kesimpulan yang menyakitkan secara sepihak. 

"Ini, bi. Kembaliannya ambil saja," ujar Gaara sembari memberi sejumlah uang pada Bibi Shima, yang kemudian dibalas dengan senyum lebar oleh wanita paruh baya itu. Hal tersebut sukses membuat lamunan Sakura buyar. Kini wanita itu manatap Bibi Shima yang tengah mengembangkan senyum.

"Oh Tuhan.. Terima kasih banyak, Gaara-sama, Sakura-sama. Semoga kalian panjang umur dan bahagia selalu."

Gaara menanggapi dengan senyuman. "Terima kasih, bibi. Ayo, sayang."

Sakura yang masih tak kuasa berbicara pun hanya bisa melempar senyum pada Bibi Shima lalu menundukkan kepala, meski semua orang pun dapat menyadari jika ada yang berbeda dengan senyum wanita itu.

Kedua sudur bibirnya memang terangkat, namun mata wanita itu tak mampu berbohong, terlihat sangat jelas jika tatapannya menyiratkan luka yang amat dalam.

Kepergian Gaara dan Sakura tak luput dari puluhan pasang mata di sana. Bagaimana cara Gaara menyahut bungkusan belanjaan sang istri, menggenggam tangan wanitanya dnegan lembut sembari melayangkan senyum membuat orang-orang meleleh seketika. Tak perlu untuk berpikir keras, karena cinta sang Kazekage terpancar begitu jelas di matanya ketika ia menatap sang istri.

"I-i-itu, s-sejak.. Kapan?"

Kembali lagi pada keempat perempuan yang sejak tadi mati kutu. Mereka memandang tak percaya pada punggung pasangan suami istri yang kian menjauh. Melihat keadaan yang semakin tak kondusif karena diiringi oleh bisikan dari penjual ataupun pengunjung di pasar, Bibi Shima pun merebut bungkusan plastik yang ada di tangan Ruka lalu menatap mereka dengan emosi yang melonjak.

"Pergilah! Cari tempat lain yang mau menerima wanita bermulut besar seperti kalian! Dan untuk kalian yang lain, bubar dari tempatku sekarang juga!"

***

Mandul, cacat, tidak berguna.

Ketiga kata itu terus berputar dalam benak Sakura bahkan setelah ia memijakkan kaki di kediamannya. Seolah masih segar dalam ingatannya, bagaimana keempat wanita itu melayangkan kalimat-kalimat tak pantas atas dirinya. Tetapi apa yang bisa Sakura lakukan? Terlepas dari dirinya yang sebagai seorang istri dari Kazekage, ia jugalah seorang wanita yang memiliki hati rapuh jika dihadapkan pada kenyataan yang begitu pahit.

Benar, ia sendiri pun tidak mau berada dalam situasi seperti ini. sudah berulang kali ia memeriksakan diri beserta sang suami ke departemen kandungan, dan tidak ada satu pun hasil yang menyatakan jika keduanya memiliki masalah kesehatan pada organ reproduksi. Mereka juga telah lama mengikuti anjuran ninja medis departemen kandungan untuk segera mendapat keturunan. Keduanya tak pernah absen berhubungan badan di masa subur wanita itu, memperhatikan pola makan serta mengonsumsi sayuran yang kiranya baik untuk kesuburan hormon, bahkan mereka juga rajin berolahraga bersama di beberapa kesempatan.

Lalu apa yang salah?

Mengapa Sakura tak kunjung hamil setelah semua usaha itu dilakukan?

"Sakura."

Tubuhnya tersentak, pertanda jika ia terkejut kala merasakan tepukan lembut di pundaknya. Sakura menoleh, menghadapkan kedua iris sewarna zamrud itu pada sosok yang baru saja memanggilnya. Dari sini, Sakura dapat melihat dengan jelas jika sang suami tengah menatapnya penuh kekhawatiran.

Ah, lagi lagi ia membuat suaminya khawatir, ya?

"Iya, Gaara-kun?"

"Kunci rumahnya, sayang."

Kedua mata Sakura mengerjap. "O-oh, iya, sebentar."

Wanita itu buru-buru merogoh kantung celananya, mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan kepala panda yang lucu. Setelah pintu kediaman mereka terbuka, pasangan suami istri itu melangkah lebih dalam. Sakura membawa dirinya ke dapur terlebih dahulu, berniat untuk membersihkan sayuran yang baru ia beli lalu menyimpannya di lemari pendingin.

"Gaara-kun, kau mandi saja dulu. Aku akan membereskan ini sebentar."

Tepat dua detik setelah Sakura berujar demikian, ia merasakan pinggangnya dilingkari oleh sepasang lengan kekar. Kembali lagi, wanita itu tersentak, terkejut akan pergerakan tiba-tiba seperti itu.

"Gaara-kun.."

Sedangkan sang empu nama hanya bergumam di ceruk lehernya.

"Bersiaplah. Temari dan Kankuro-nii akan menunggu terlalu lama nanti."

"Sebentar."

Sakura menipiskan bibir. Jika sudah begini, maka menurut akan menjadi satu-satunya jalan. Ia pun membiarkan Gaara setia berada di belakangnya, sementara kedua tangannya dengan cekatan membersihkan sayur serta memotong beberapa bagian yang diperlukan. Tepat lima belas menit setelahnya, semua pekerjaannya selesai. Wanita itu berniat untuk beranjak, menyimpan beberapa sayuran yang telah diposisikan ke dalam wadah untuk disimpan di lemari pendingin. Namun menyadari Gaara yang tampaknya begitu betah dalam posisi ini, membuatnya memutuskan untuk berdiam sejenak.

"Ada apa, hm?"

Sakura bertanya dengan nada lembut, tak lupa ikut mengusap tangan Gaara di perutnya. Pria itu pun mendongak. "Harusnya aku yang bertanya. Ada apa, Sakura?"

"Loh? Kenapa kau bertanya kembali?"

"Karena kau terlihat tidak baik saat ini."

Kalimat itu sukses membuat sang wanita musim semi bungkam sejenak. Namun buru-buru ia tersenyum. "Hanya sedikit lelah."

Tetapi respon yang ia dapatkan justru di luar dugaan.

"Sungguh? Kalau begitu istirahatlah. Aku akan menelpon Kankuro jika kita tidak akan datang."

"Jangan berlebihan, Gaara-kun. Aku baik-baik saja. lagipula apa kau tidak merindukan kakakmu, hm?"

Benar. Hari ini Sabaku bersaudara berjanji untuk makan malam di rumah utama yang sekarang ditempati oleh Kankuro, seraya menyambut kepulangan Temari ke Sunagakure. Beberapa hari yang lalu, Shikadai -anak Temari dan Shikamaru, berulang tahun dan kedua pamannya ingin merayakan hari jadi keponakan pertama mereka. Namun mengingat keadaan istri Kankuro, Chihara, tengah hamil tua dan tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, maka mereka pun meminta Temari untuk datang ke Suna. Hitung-hitung sebagai liburan, kata mereka.

Jadi, bisa disimpulkan jika hari ini adalah momen langka dimana mereka akan saling melepas rindu. Tidak mungkin Sakura melewatkannya, kan?

"Apa kau sungguh baik-baik saja?"

Sakura memutar bola matanya malas. "Apa aku terlihat seburuk itu? Tidak, kan?"

Pasalnya Gaara tak kunjung berhenti untuk menanyakan hal yang sama, bahkan ketika keudanya telah smapai di depan pintu rumah Kankuro. Ketika Gaara ingin menjawab, Sakura langsung menatapnya tajam dan membuat pria itu tak berkutik seketika.

Melihat Gaara yang sudah tenang pun, Sakura langsung mengetuk papan kayu di depannya. Tak butuh waktu lama bagi mereka hingga sang tuan rumah mempersilahkan mereka masuk. Di sini, keduanya pun berpisah, dimana Sakura langsung menghampiri para wanita -setelah menyapa Shikamaru dan mencium pipi Shikadai tentunya, sementara Gaara memutuskan untuk berkumpul bersmaa para pria di ruang tengah.

"Kapan prediksi kelahiran anakmu, Chihara?"

"Kata Ameno-san, kemungkinan bulan depan. Atau mungkin bisa lebih cepat dari itu."

"Begitu, ya."

Saat ini Sakura dan Temari tengah menyiapkan menu makan malam, sementara Chihara melakukan tugasnya untuk mendekorasi kue ulang tahun untuk Shikadai. Jika sudah urusan membuat kue, maka kemampuan Chihara tak perlu dipertanyakan. Namun khusus untuk kali ini, proses pengadonan sampai pemanggangan telah dituntaskan oleh Temari. Katanya Chihara cukup mendekorasinya saja agar ia tidak kelelahan.

"Bagaimana dengan Konoha? Apakah ada hal menarik di sana?" Tanya Sakura sembari membalikkan daging yang ia panggang.

"Oh iya, aku baru ingat. Ino menitipkan sesuatu untukmu. Benda itu ada di kamarku. Ingatkan aku untuk mengambilnya nanti saat kau mau pulang."

Sakura tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu. Jadi, bagaimana?"

Melihat Sakura yang begitu antusias menanyakan keadaan kampung halamannya, Temari dan Chihara kompak mengulum senyum.

"Konoha baik-baik saja. Kudengar dari Shikamaru, Rokudaime semakin menggalakkan pelatihan Naruto sebagai persiapannya menjadi Hokage. Lalu, Sai telah resmi menjadi ketua umum ANBU. Oh, putra Ino baru saja dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu. Tubuhnya panas tinggi sampai mengalami kejang."

Kedua mata Sakura membulat. "Sungguh? Apakah sangat parah?"

"Awalnya iya. tapi beberapa hari setelahnya, keadaan Inojin sudah lebih baik. Tapi dia sampai dirawat selama dua minggu di rumah sakit."

"Kasihan sekali." Sakura meringis, merasa khawatir karena keadaan anak dari sahabatnya tersebut.

"Lalu, adakah kabar yang lain?"

Wajah Temari tampak sedikit ragu untuk mengatakannya. Namun akhirnya ia pun bersuara, "Istri Chouji hamil tiga bulan."

Sakura tertegun mendengarnya. Hamil. Entah mengapa khusus untuk hari ini, ia begitu sensitif untuk mendengar kata tersebut. Seolah ia tidak ingin mendengar dan merasakan kepedihan itu lagi dan lagi. Namun buru-buru wanita itu mengendalikan diri. Ini adalah kabar baik. Tidak seharusnya ia memasang wajah murung atas kebahagiaan orang lain, kan?

Walaupun dalam hati, ia tengah menjerit, menahan rasa sakit yang terus mengoyak dadanya tanpa ampun.

"Syukurlah. Sampaikan ucapan selamatku untuk Karui ya, Temari."

"A-aa."

Sejenak hening menyelimuti dapur tempat ketiga wanita ini bercengkerama. Temari dan Chihara saling bertatapan, seolah tau apa yang menyebabkan Sakura jadi pendiam dan kehilangan antusiasnya.

"Sakura," panggil Chihara dengan lembut. Gadis mantan anggota ANBU Sunagakure itu melayangkan senyuman tipis.

"Iya, Chihara?"

Chihara pun tersenyum. "Tidak apa-apa. Masih ada kesempatan bagi kalian untuk mencoba lagi."

Sadar kemana pembicaraan ini berakhir, Sakura pun tersenyum miris.

"Aku tau. Hanya saja, aku lelah jika terus menunggu."

Temari pun ikut bergabung. "Jangan begitu. Kalian tidak boleh menyerah. Lagipula Gaara tidak memaksamu, kan? Lalu kenapa kau merasa begitu tertekan?"

Sakura menggeleng kecil. "Dia memang tidak memaksa, bahkan mengeluh pun tidak pernah. Tapi, aku tau, betapa besar keinginannya untuk mendapat keturunan."

Wanita itu melempar pandangan ke ruang tamu, yang kebetulan hanya dipisahkan dengan lemari berisi barang pecah belah sebagai sekat menuju dapur. Melihat wajah cerah serta raut kebahagiaan yang terpancar dari sang suami, membuat Sakura yakin seratus persen akan ucapannya. Terlebih lagi ketika ia tertawa lepas saat Shikadai begitu antusias untuk bermain bersamanya. 

Ah, hati Sakura terasa begitu perih sekarang.

"Dia selalu berkata, jika dia baik-baik saja selama aku berada di sisinya. Tapi matanya tidak akan bisa berbohong."

Sakura menarik senyum pahit. "Benar. Dia sangat menginginkan seorang anak. Aku tau itu."

Temari dan Chihara terdiam, tidak tau harus berkata apa. Bukan kali pertama bagi mereka untuk mendengar hal ini dari Sakura. Tidak, mereka tidak muak. Hanya saja, melihat wajah murung adik iparnya seperti ini membuat kedua wanita itu ikut merasakan sakit. Chihara pun bangkit dari duduknya, menghampiri Sakura lalu menatapnya serius.

"Jika Gaara merasa cukup dengan adanya hadirmu, lalu bagaimana denganmu? Apa kau tidak merasakan hal yang sama?"

Kedua mata Sakura sontak membola.

"Tentu saja. aku juga merasa cukup. Tapi-"

"Kalau begitu, tidak seharusnya kau terus menyalahkan dirimu sendiri, Sakura. Tidak ada orang yang menuntutmu untuk bisa hamil secepatnya. Jangan jadikan ini beban atau semua akan berakibat buruk untuk dirimu sendiri."

Chihara menggenggam tangan Sakura. "Lupakan semua perkataan orang lain. Selama Gaara berkata bahwa dia baik-baik sjaa, maka kau harus percaya. Kau yang menikah dengannya. Kau di sini untuknya. Kau adalah pendampingnya. Lalu apa gunanya perkataan orang lain, Sakura?"

Setets air mata berhasil lolos dari manik emerald tersebut. Ya, Chihara dan Temari tau semuanya. Kejadian tadi siang bukanlah kali pertama bagi Sakura untuk menerima spekulasi serta caci maki dari orang-orang. Namun entah bagaimana, ia merasa kali ini pertahannya runtuh. Sakura tidak sekuat biasanya, dan kedua iparnya hanya bisa meringis melihatnya.

"Sakura..."

Temari menarik Sakura ke dalam pelukannya, memeluk tubuh ramping sahabat sekaligus iparnya itu. Chihara pun tidak ketinggalan. Ia turut merangkul pundak Sakura, berusaha menguatkan wanita merah muda itu melalui perhatian kecil dari sang kakak. Hingga tanpa keduanya sadari pun, mereka ikut menangis.

"Semua akan baik-baik saja. teruslah berusaha dan berdoa. Aku yakin, Tuhan telah menjanjikan satu hal paling indah untuk kalian di kemudian hari," bisik Temari yang dibalas dengan anggukan oleh Sakura.

*

*

*

Tbc...

Tadinya mau buat satu chapter doang. Eh rupanya kepanjangan wkwkk.

Gatau sih kenapa kepikiran buat begini sebagai bonchapt nya. Tapi aku harap semoga kalian suka ngueehheh.

Okede, tersisa satu chapter lagi untuk bonusnya. Cuss menipir ke samping!! Jangan lupa vote dan komen yaakk><

Salam

Ilaa.


Continue Reading

You'll Also Like

369K 32.2K 91
Sequel to my MHA fanfiction: •.°NORMAL°.• (So go read that one first)
209K 9.5K 59
Orm Kornnaphat's feelings for Lingling Sirilak have undergone a transformation over time. Initially, at the age of 11, Orm held an unromantic, platon...
27.8K 2.7K 33
Omega prince Xiao Zhan was sealed all his life by his father because of his difference and was made a tool of victory by his father, he was beyond hu...
131K 8.2K 28
Anne de Mortimer lost everything. Her parents, her brothers, and her future. Others have toyed with her family for their own power and it has left wi...