Rindu: Puisi Praditya Dylan [...

By feelarte

4.9K 3.3K 1.7K

"Saat kamu memilih untuk jatuh cinta, kamu akan dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, merencanakan hari bes... More

Prolog.
1. Pangeran Hujan
2. Not Bad
3. Characters
4. Bertemu Kembali
5. Puisimu Tentang Ku, Nanti.
6. Sepenggal Kisah
7. Terima Kasih
8. Teman
9. Rumah yang Sebenarnya
10. Selamat Datang, Teman
11. Bandung dan Harapan
12. Seperti Kisah
13. Rasa dan Pilu
14. Peluk dan Dengar
15. Mita yang Malang
16. Choice
17. Kita di Masa Lalu
18. Pelik yang di Peluk
19. Kisah Cinta Baru
20. Hari yang lebih dari Menyebalkan
21. Berbahasa
22. Bersama Lebih Baik
23. Hidup hanya untuk Hari Ini
24. Memaknai Hidup
25. "Jatuh" untuk "Cinta"
26. Untuk Kebahagiaan Selanjutnya
27. Laki-laki yang Dicintai
28. Hampir Sempurna
29. Logika dan Hati
30. Aku yang berbahagia, katanya
31. Ending Choice
33. Hidup Layak dan Bijak
34. Sampai
35. Puisi Praditya Dylan
Epilog.

32. Selamat Berpulang

44 17 105
By feelarte


Chapter 32: Selamat Berpulang.

"Karena, bagian paling menyesakan dalam hidup adalah perihal menyambut kepulangan."

•••



Taman itu, seperti tidak pernah sepi. Kedua anak yang telah sama-sama beranjak dewasa seolah tidak bisa pergi dari tempat ini. Taman sederhana. Hanya ada satu buah kursi panjang, tanaman yang tumbuh karena dirawat dengan baik dan Rumah pohon yang masih berdiri utuh.

"Radit, hari itu, kamu pernah bilang akan ajak aku ke Saturnus. Tapi, setelah dipikir-pikir, kamu aneh. Saturnus kan isinya gas. Mana bisa kita tinggal di sana?" ucap Rindu, menutup buku-- setelah ia membacanya. Sebuah buku puisi.

Radit terdiam. Ia menyimpan kuas dan cat warna yang dipegang nya. Dirinya, belum selesai melukis.

"Rindu, ada satu cara supaya kita sampai kesana."

"Oh, ya? Aku gak yakin, ah."

Radit mendekat kearah Rindu-- berbisik "Sebelum kita sampai dan buat kehidupan disana, kita perlu kunci." jawabnya, serius.

"Kunci apa?" Rindu terheran. Padahal ia tau, ini pasti fantasinya.

"Kunci untuk membuka Negeri Dongeng."

Rindu terdiam. Dugaannya memang benar. "Hm, baiklah. Kalau gitu, dimana kunci itu disembunyikan?"

"Itu masalahnya..." Radit menghela nafas. "Sampai sekarang, belum ada yang berhasil menemukan kuncinya. Aku pun, masih mencari."

"Terus, kalo ketemu, hubungan nya sama Saturnus, apa?"

"Kalo kamu udah sampai di Negeri Dongeng. Kamu baru bisa ke Saturnus. Kamu bahkan, bisa membuat kehidupan di sana."

"Ya, berarti itu kehidupan di Negeri Dongeng. Bukan di dunia nyata," Jawab Rindu lesu.

"Hhh.. Rindu, di kehidupan nyata, kamu gak bisa lakukan itu. Hidup kita terbatas. Hidup kita hanya sementara. Akan ada banyak kepulangan. Akan ada banyak kisah-kisah yang manusia buat menjadi sempurna."

Keduanya terdiam. "Salah satunya Papa ku. Dia berpulang, ketika aku sudah menemukan cara untuk sampai ke Saturnus." ucap Radit, lagi.

Rindu menatap mata Radit, dalam. "Benar. Tanpa kita sadari, sudah begitu banyak kepulangan. Pulang pada tempat yang abadi. Kenapa, ya? Sebagian orang, bisa kuat. Padahal, perpisahan adalah hari yang mereka tau, mereka gak bisa bertemu kembali. Bahkan sebagian orang, seolah menyambut kepulangan itu."

"Rindu.. aku ingin bergabung dengan komunitas orang itu. Orang kuat yang bisa menyambut kepulangan dengan baik."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa ingin menyambut kepulangan?"

"Karena kepulangan bukan hal mengerikan. Untuk beberapa hal, kadang kepulangan perlu dirayakan."

"Dirayakan? Maksudnya diberi ucapan selamat? Aneh." Rindu mulai tidak paham dengan cara pikir Radit.

Radit terkekeh. "Oh, ya. Kamu bisa praktekan itu, ketika waktunya tiba. Misalnya, kalo aku duluan yang pergi. Kamu jangan lupa beri selamat."

"Enggak, deh. Gak mau. Kita bareng-bareng aja. Biar nanti sama-sama ngucapinnya."

"Mana bisa, Rindu."

"Bisa. Pokoknya, aku mau minta sama Tuhan."

Percakapan hari itu seperti sejarah. Sejarah yang terjadi dihari ini. Kejadian yang mungkin, Rindu akan mengingatnya sampai kapanpun. Bahkan, dari sejarah itu, akhirnya, ia mengatakan 'selamat berpulang' pada Radit yang sebenarnya, tidak ingin ia ucapkan.

☔☔☔

Sore yang cerah. Cuaca yang bagus untuk upacara kepulangan. Praditya Dylan. Ia dibawa kembali pulang kerumahnya. Kini, untuk sementara waktu, Rumah itu menjadi Rumah duka.

Para tetangga baru datang setelah ambulans membawa Radit pulang. Bahkan kini, jenazahnya ada ditengah-tengah mereka. Ditutupi oleh kain. Bundanya sendiri masih tidak sanggup. Rasanya, ini masih tidak nyata. Radit nya, tidak mungkin secepat ini meninggalkannya.

Mata nya masih mengarah pada Raditnya, dengan pipi yang sudah begitu basah. Dengan Al-Qur'an kecil yang dipegangnya, namun masih tidak sanggup ketika harus membacanya. Membacakan satu buah surat untuk kepulangan putra nya.

Kini, Ira mulai mempertanyakan hidupnya. Apa yang akan ia lakukan setelah kepergian Radit. Kepergian yang sungguh tidak diharapkan. Rasanya ini terlalu mendadak. Padahal tidak. Radit pasti senang karena akan bertemu ayahnya. Lalu bagaimana dengan dirinya? Apa yang akan ia lakukan ketika ia harus tinggal sendiri di bumi? Radit, tidak pernah memberi tau caranya.

Sedangkan Rindu kini berada di kamar Radit. Sambil masih mendengar suara orang-orang yang mengaji untuk Radit. Ia menatap kamar ini kosong. Ya, memang kosong. Pemiliknya telah berpulang. Ada begitu banyak hal yang ingin ia ucapkan. Tapi sungguh, ia tidak sanggup. Lidahnya begitu kelu. Hanya air mata yang jadi responnya.

Rindu duduk dimeja belajar Radit. Membenahi buku-buku Radit. "Saat kamu buka mata nanti, mungkin kamu akan sadar. Bahwa dunia bukan lagi tempat terindah untuk kamu tinggal." ucapnya didalam hati.

"Mungkin, dimensi lain itu akan membuatmu jatuh cinta."

"Sekarang, aku harus hidup dengan bagaimana? Masih ada banyak janji yang belum ku tepati." Kemudian Rindu bangkit setelah buku-buku itu berhasil tersusun rapi.

"Tolong! Tolong jangan bawa Radit dulu! Tolong! Aku masih belum rela. Radit pasti bangun. Radit pasti bangun.." Ira memohon sambil memeluk Radit nya, karena harus segera dimakamkan.

"Istighfar, Ra. Ini gak baik. Radit harus segera dibawa," kata, salah seorang tetangga.

Rindu yang mendengar teriakan langsung keluar. Ini terlalu menyesakan. Ia benci kepulangan. "Lihat Radit, lihat yang kamu lakukan. Bundamu.. bahkan tidak merelakan mu. Bahkan aku sendiripun tidak. Tolong kembali. Masih ada waktu. Tolong jangan lakukan ini. Tolong untuk tetap hidup. Hidup sedikit lebih lama lagi." Rindu menangis. Berpegang erat pada tongkat nya, namun sayang. Ia tidak sanggup. Jatuh. Ia terjatuh.


☔☔☔

Upacara kepulangan memang bagian paling menyesakan. Suara orang-orang yang baru datang, seperti disambut oleh para penghuni. Mereka seolah menyaksikan. Mereka mendengar. Mereka tau, ada orang baru yang berpulang. Ada orang yang siap tidak siap harus tinggal di alam yang sesungguhnya.

Langkah kaki semakin mendekat. Pakaian duka telah mereka pakai. Ada begitu banyak orang. Ada begitu banyak air mata. Mungkin, Radit tau. Mungkin kini, Radit merasakan. Bahwa ada banyak orang yang menyayangi nya.

Semua dilakukan dengan sempurna. Sebagaimana ia dilahirkan dengan sempurna. Semua kerabat menatap sendu. Para tetangga juga ikut meramaikan pemakaman. Mau sehebat apapun ia di dunia, mau sekuat apapun ia hidup, caranya pulang... selalu sama.

Upacara kepulangan selesai. Laporan itu, seolah jadi hal yang tidak dibayangkan. Radit bersama jiwanya, bersama seluruh tubuhnya, bersama dengan segala mimpi-mimpi nya, telah usai. Telah selesai. Bunda Ira terpaksa bangkit. Setelah selesai menaburi bunga. Radit nya telah tiada. Entah harus berapa kali di ingatkan. Tapi rasanya, masih tidak percaya. Laki-laki kuat itu, memang telah berpulang.

Teman kelasnya banyak yang hadir. Termasuk Irene cs. Mereka hanya menunduk dalam. Tidak ada yang bisa dilakukan. Hanya bergumam kata maaf. Maaf karena pernah jahat. Maaf karena tidak sengaja melukai.

Semua orang pun beranjak. Pergi. Perlahan, rumah baru Radit, mulai kosong. Dari jarak beberapa meter dibelakang, Bella menyaksikan nya. Ia tidak sanggup jika berada di sana. "Radit.. tadinya, gue mau jenguk lo di Rumah sakit. Bukan disini. Bukan di tempat pulang. Pulang untuk selamanya. Makasih, ya. Makasih karena pernah jadi manusia keren. Lo benar-benar layak di banggakan." lirih Bella, dalam hatinya. Kemudian ia meneteskan air mata. Kata yang diucapkan itu, jadi perpisahan terakhir untuk Radit. Ya, terimakasih. Terimakasih telah menjadi manusia keren. Kemudian, Bella pergi.

Rindu masih duduk dihadapan pusara Radit nya. Menangis sekeras-kerasnya. Memukul dadanya, sesak. Dibelakangnya ada Ken bersama teman-temannya. Berdiri, menyaksikan bagaimana rasanya nyaris gak mungkin. Tapi, inilah kenyataannya.

"Sorry ya, Dit. Gue pernah jahat," ucap Bagas. Semuanya menunduk. Benar. Bagaimana pun, mereka pernah berbuat salah.

Hening. Yang terdengar hanyalah suara isak tangis Rindu. Yang masih tidak bergerak dari tiduran di tanah bersama Radit nya. Rindu bahkan tidak mendengar ketika teman-teman Ken pamit.

Ken masih berdiri. Menatap ke arah nisan yang mana, nama Praditya Dylan. Nama kebanggaannya itu tertulis dengan indah. Kacamata hitam yang menutupi nya pun tidak dapat membohongi ketika air mata nya lolos begitu saja.

"Radit.. aku di sini. Walaupun aku tau, kamu berani. Kamu gak pernah takut sendiri. Tapi, aku disini..." ucapnya putus-putus dengan air mata yang tidak berhenti menangis.

Rindu memainkan bunga yang ada di atas pusara Radit. "Oh iya, aku akan tetap.. tetap tepati janji untuk makan es krim. Tidak apa-apa, aku akan pergi sendiri. Karena aku tau, kamu akan di sana nanti." Rindu mencoba senyum.. Tapi lagi-lagi, hanya tangisan pilu yang ia keluarkan. Ia tidak sanggup. Ini terlalu cepat. Waktu berjalan terlalu cepat.

Bayangan Radit terasa sangat nyata. Rasanya, masih sangat menempel di kepala Rindu. Bagaimana untuk pertama kali, Radit dengan berani nya datang mengajak Rindu berteman. Mereka bermain hujan. Hujan akan selalu jadi bagian hidup keduanya. Atau tawa Radit yang menggema ketika ia berhasil menemukan hal lucu. Rindu masih mengingat semuanya dengan jelas. Bagaimana tidak? Ia hanya bersama Radit nya.

Kini, tidak lagi. Tidak akan ada lagi. Yang tersisa hanya puing-puing kenangan. Memori yang akan selalu Rindu bawa. Oh tuhan! Tawa Radit begitu khas. Isi dari kepala Rindu adalah bagaimana Radit tertawa. Bahkan kini, tempat-tempat yang ia kunjungi dengan Radit akan menjadi sejarah hidupnya. Dan setelah itu, tidak akan ada lagi.

Tidak akan pernah ada lagi. Bagaimana mereka berjalan lambat ditengah hujan. Bagaimana Rindu marah karena Radit malas pergi ke kedai, bagaimana Radit tidak pernah bosan menatap wajah Rindu lama, hanya untuk melukisnya. Kata Radit, walau belum sempurna, tapi ia melakukan yang terbaik untuk gambarannya. Sepuluh tahun. Ternyata, belum cukup. Ternyata, tidak akan pernah cukup. Rindu masih ingin membuat memori itu, Rindu ingin bersama Radit dimasa depan yang masih menjadi tanda tanya.

Rindu menangis semakin histeris. Berteriak. Semakin keras memukul dadanya yang sesak. Melihat bagaimana foto Radit tersimpan dengan baik didekat Bunga dan nisan. Seolah, itu jadi tampilan yang menarik. "KENAPA DIT!! KENAPA HARUS KAMU!! SEKARANG... SEKARANG GIMANA AKU HARUS HIDUP!! RADIT KAMU LUPA? KITA MASIH PUNYA BANYAK JANJI..Aku gak bisa.. aku gak bisa Dit.. Tolong.. aku gak kuat.. Radit.. aku cuma mau kamu.." suara Rindu, semakin memelan-- nyaris habis. Rindu menangis sesenggukan. Radit pasti dengar. Tuhan juga. Seluruh alam semesta ini juga. Mereka harus tau, Rindu belum bisa merelakan Radit nya. Praditya Dylan hanya miliknya.

Ken berjongkok, setengah memeluk Rindu. Meredakan amarah. Walaupun, itu tidak mungkin. Ken tau, Radit segalanya. Radit dunianya. Radit tempat nya pulang. Dan akan selalu seperti itu.

"Kita pulang, Rindu.. Nanti Radit marah.." Ken mencoba berbicara dengan benar. Walaupun, sulit. Bibirnya bergetar karena air mata nya.

Rindu menggeleng. "Enggak, Ken. Radit kesepian. Radit sendirian. Aku mau disini. Mau sama Radit. Aku gak ingin dia sendiri."

Ken semakin terisak. Ini terlalu menyesakan. Sangat-sangat sakit. "Dit.. mungkin, gue gak bisa jaga Rindu sebaik lo. Tapi gue janji. Ini demi lo. Demi Rindu. Gue akan tepati janji-janji gue itu. Hidup damai, ya. Makasih, karena pernah jadi manusia hebat." ucap Ken dalam hatinya.

Tiba-tiba, hujan turun cukup deras. Keduanya, masih belum beranjak. Momen ini, terasa begitu pas. Tapi tidak utuh. Dulu, mungkin mereka akan bermain dengan hujan. Tapi, sekarang, hujan hanyalah hujan. Tidak memiliki arti apapun. Hanya air yang jatuh ke bumi.

"Hujan Radit.. aku akan tetap disini. Semoga hujan tidak reda. Itu yang biasa kita minta sama Tuhan. Supaya kita semakin lama mainnya. Hari ini, aku sedang tidak ingin meminta apapun lagi pada hujan. Aku hanya ingin sama kamu..."

"Kamu bisa sakit, Rindu."

"Aku gak perduli, Ken! Aku hanya ingin disini. Di rumah baruku. Radit bilang.. apapun yang jadi rumah nya, akan jadi rumah ku..."

Ternyata, penghujung tahun ini memberi luka yang teramat dalam. Dari awal Desember hujan mengguyur Bandung setiap harinya-- mungkin hingga akhir nanti. Di ujung hari ini pun, Desember malah mengantarkan Radit pada Rumah barunya. Desember, seolah tidak memberi harapan pada Rindu. Mau tidak mau, siap atau tidak. Praditya Dylan memang harus selesai. Tugasnya di bumi, ternyata hanya sebentar. Setidaknya, ia pernah jadi yang berbahagia. Sedikitnya, tujuan hidupnya pernah jadi bermakna. Kata Bunda, Radit berhasil meraih satu cita-citanya; menjadi manusia yang layak dan bijak.

Kepulangan memang tragedi. Tapi seperti kata Radit, kepulangan juga perlu dirayakan. Sekalipun dengan tangisan. Kepulangan akan tetap jadi kepulangan. Berpulang. Pulang pada tempat keabadian. Kalau Radit memilih, ia senang. Karena sepertinya, Tuhan punya maksud. Mengapa ia tidak hidup lama di Bumi. Entahlah, mungkin akan Radit cari tau sendiri. Bersama petualangan baru nya. Di semesta yang lain.






Next chapter...

Continue Reading

You'll Also Like

461 109 17
[Setiap alur cerita mengembangkan konflik yang menyenangkan, memastikan Anda tidak akan bosan. Silahkan terus membaca. Tinggalkan pesan yang berkesan...
5.7M 378K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
993K 95K 52
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
711 279 52
Kukira mendapatkanmu kembali hanya sebuah mimpi, tetapi pada kenyataannya mimpi itu menjadi suatu hal yang nyata. ~Rasya Ashaz Gohan~ Aku mengira dia...