Silence Of Tears (TERBIT)

bunnylovv द्वारा

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... अधिक

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 45 ] Hancurnya Genan

97.1K 7K 1.2K
bunnylovv द्वारा

Part ini Genan ketemu Nara. I know kalian udah nggak sabar 😌

Song : You Are The Reason - Calum Scott

Lagunya cocok banget buat part ini✨

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Wanita hamil itu asik bersenandung seraya merapikan beberapa perlengkapan bayi yang baru dibelinya kemarin. Nara terlihat begitu bahagia tak sabar menantikan kehadiran sang buah hati. Sembari melakukan kegiatannya, sesekali ia berceloteh ria seolah mengajak berbicara pada anaknya.

"Nona, saya punya hadiah untuk Nona."

Fokus Nara teralih pada Emy yang menaruh segelas teh hangat. Nara mengernyit saat Emy menyerahkan satu box mini yang didesain sangat lucu.

Nara tersenyum tipis saat Emy mengkodenya untuk segera membukanya. Saat ia buka, matanya sontak berbinar kala melihat sepasang kaos kaki rajut yang tampak mungil dan menggemaskan. Dengan senyum bahagia dan mata berbinar Nara mengambilnya.

"Ini buatanmu sendiri?" tanyanya pada Emy.

"Iya, Nona. Saya yang merajutnya sendiri."

"Terima kasih, Emy. Ini gemes banget."

Emy mengangguk bahagia, "syukurlah kalau Nona suka. Kalau begitu saya akan melanjutkan pekerjaan saya dulu."

Nara mengangguk singkat lalu melanjutkan kegiatannya. Setelah selesai dia meregangkan tubuhnya yang cepat merasa lelah karena kehamilannya yang sudah memasuki usia 9 bulan. Wanita itu mengelus pelan perutnya seraya berbincang mengajak interaksi sang anak. Sesekali dia meringis ngilu lalu tertawa senang kala merasakan beberapa kali tendangan.

Ting tong!

Nara berjengit saat bel pintu berbunyi. Sebelum dia berdiri, Emy sudah lebih dulu datang dan membuka pintu. Nara mengernyit karena merasa Emy cukup lama berada di ambang pintu. Karena penasaran, ia pun bangkit dan menghampiri.

"Siapa, Emy?"

Emy seketika menoleh kaget pada Nara. "Eh, Nona. Sa-"

"Keynara ...."

Bola mata Nara membelak mendengar suara parau itu. Pintu apartemen yang tadi hanya terbuka sedikit kini terbuka lebih lebar hingga menampakkan sosok lelaki dengan tubuh kacau. Dari wajah lelah lelaki itu ada sorot kerinduan yang ditujukan pada Nara.

"Emy, tutup pintunya," pinta Nara lalu berbalik.

Belum sempat pintu itu ditutup, Genan sudah lebih dulu menahannya. Lalu tanpa aba-aba memeluk wanita yang pernah ia sakiti itu. Cowok itu menangis pilu saat memeluk tubuh wanita yang masih menjadi istrinya, apalagi saat memeluknya ia merasakan pergerakan dari perut Nara. Dia benar-benar tak menyangka bahwa anaknya masih hidup.

"Lepas!" berontak Nara. Dengan terpaksa Genan melepas pelukannya.

"Nara ... maaf. Maafin gue. Gue nyesel, gu-"

"Udah nggak guna permintaan maaf lo, Nan. Gue nggak butuh!" sela Nara dengan bibir bergetar.

Melihat keadaan hancur Genan membuat hatinya sakit, tapi melihat kedatangan Genan jauh membuatnya sakit hingga luka pada hatinya seolah kembali terbuka.

"Pergi dari hadapan gue!"

"Nggak!" Genan bersimpuh di kaki Nara dan menangis sesenggukan. "M-maaf ... maafin gue. Gue nyesel, Key. Gue nyesel .... Hiks gue nggak sanggup harus hidup dengan rasa penyesalan ini lebih lama lagi. Gue nggak sanggup. Hiks maafin gue .... "

Nara membeku saat Genan bersimpuh di bawah kakinya dan menangis. Tangisan itu terdengar begitu menyayat hati. Deretan kalimat permohonan yang diucapkan Genan dengan bibir bergetar seolah menunjukkan seberapa tersiksanya dia dengan rasa penyesalan itu.

"Setelah lo dengan mudahnya nyakitin gue, lo pikir gue juga bisa dengan mudah maafin lo? Enggak, Nan! Hati gue selalu sakit tiap kali inget perbuatan lo sama gue!"

"LO PERNAH MIKIR NGGAK SEDALAM APA LUKA YANG LO BUAT DI HATI GUE!?"

Genan mendongak, membuat air mata itu semakin meluruh deras membasahi pipi tirusnya. "Ta-tampar gue, Key. Pukul gue sepuas lo. Hukum gue," lirihnya.

Plak!

Plak!

Genan semakin menahan sakit di hatinya. Bukan karena tamparan Nara, bahkan tamparan itu tak ada rasanya. Hatinya sakit karena Nara masih tak mampu menamparnya dengan keras setelah apa yang sudah ia perbuat dulu.

Namun tamparan yang tidak terasa itu justru berhasil meremukkan dada Genan. Membuatnya sadar bahwa hati Nara terlalu lembut untuk ia sakiti.

"Tampar gue yang keras, Key. Gue bakal ngelakuin apa pun supaya lo bisa maafin gue," lirihnya sendu.

"Gue mau maafin lo, asalkan lo pergi dari hidup gue setelah ini."

Genan membeku mendengar permintaan Nara. Lelaki itu menggeleng kuat dan meraih tangan Nara meskipun langsung ditepis dengan kasar. "Nggak! Kasih gue kesempatan, Key. A-anak itu butuh seorang ayah, gue juga butuh kalian ...."

Nara terdiam seraya menyeka air mata yang mendadak turun. Beberapa waktu lalu ia berharap pada Tuhan supaya Genan mengingat anaknya, dalam lubuk hatinya Nara tak ingin anaknya hidup tanpa seorang ayah. Tapi di sisi lain ia merasa tak sanggup jika harus kembali pada Genan.

"Lo lupa apa yang pernah lo lakuin sama anak ini, Nan?" tanya Nara dengan bibir bergetar. "Lo nggak pernah mengakuinya, bahkan lo hampir bunuh dia!"

Genan menunduk dalam, membuat air mata penyesalan itu semakin meluruh deras. Dadanya sesak saat kepingan memori perbuatannya pada Nara dulu lagi - lagi memenuhi kepalanya.

Kalau saja waktu bisa diputar kembali, takkan pernah sekalipun ia memberi satu luka pada Nara. Tapi kini hal itu hanya akan menjadi angan semata. Nara sudah terlalu hancur karena dirinya.

"Maaf ... hiks maaf. Kasih gue kesempatan untuk perbaiki semuanya, Key," mohonnya.

"Gue udah pernah kasih kesempatan itu, Nan. Tapi lo malah mempermainkannya. Kesempatan itu sekarang udah habis."

Mendengar itu Genan kembali menatap Nara dengan tatapan sayunya. Berharap wanita itu luluh mau memberi maaf dan kesempatan untuknya. Hatinya sakit saat Nara justru memalingkan wajahnya. Bahkan untuk menatap wajahnya saja Nara merasa muak.

Genan berdiri, lalu memegang kedua bahu Nara dan menatapnya memohon. "Nara ... gue mohon. Hiks gue tersiksa dengan rasa bersalah ini. Kasih gue kesem-"

"PERGI! PERGI DARI HADAPAN GUE, NAN! GUE BENCI LIHAT LO! GUE BENCI!" bentak Nara seraya memukul dada Genan.

Genan menerima setiap pukulan lemah itu. Bukan fisiknya yang sakit, melainkan hatinya. Nara membencinya. Kalimat itu adalah kalimat yang paling ia takutkan.

"Pergi! Hiks pergi! Gue nggak butuh lo, Nan. Gue bisa rawat anak ini tanpa kehadiran lo. Pergi!" raung Nara sembari memukul dan mendorong dada Genan.

Genan menahan tangan Nara yang masih memukulnya. Dengan tangan bergetar dia menghapus air mata yang turun dari sepasang netra Nara. Dulu ia bahagia melihat Nara menderita dan berakhir menitikkan air mata. Tapi kini, satu tetes air yang turun dari mata perempuan itu justru membuat dadanya remuk. Apalagi air mata itu karena dirinya.

Nara menepis kasar jari Genan yang menghapus air matanya, "gue bilang pergi! Gue muak lihat lo!"

"Gu-gue nggak akan pergi sebelum lo maafin gue, Ra," lirihnya.

"NARA!"

Mereka kompak menoleh mendengar teriakan itu. Seorang pria dengan setelah jas rapi berjalan menghampiri dengan langkah tegap dan tatapan penuh emosi. Bahkan dalam jarak yang masih cukup jauh, mereka bisa merasakan aura kemarahan dari lelaki itu.

"Ka-kakak," lirihnya menatap Deynal, lalu berhambur ke pelukannya.

Deynal mengusap lembut punggung adiknya yang bergetar. Sedangkan tatapan tajamnya tertuju pada Genan. Deynal datang ke sini dengan panik saat Emy menelponnya tadi.

Pelukan mereka pun lepas. Nara langsung berhambur ke pelukan Emy. Sedangkan Deynal menghampiri Genan dan tanpa aba-aba memberikan banyak pukulan padanya. Tak peduli jika wajah Genan sebenarnya sudah kacau dipenuhi banyak luka memar.

Bugh! Bugh! Bugh!

"Bangsat! Mau apa lo ke sini!?" bentak Deynal dengan napas memburu.

Genan yang sudah jatuh dengan sisa tenaga yang tersisa ia menyeret tubuhnya dan bersimpuh di bawah kaki Deynal. Cowok itu mendongak, membuat darah akibat pukulan yang diberi Deynal kini mengalir dari hidungnya. Mata sendunya menatap mohon pada Deynal walau hanya dibalas tatapan tajam.

"K-kak, Dey ... maaf. Gue mohon sa-"

Bugh!

Lagi - lagi Genan tersungkur saat mendapat pukulan keras pada rahangya yang tirus. Dia menyeka darahnya lalu mendekat lagi pada Deynal dan memohon. Tapi justru ia mendapat tendangan keras dari kakak Nara itu.

Dak!

"Hal brengsek yang pernah lo lakuin ke Nara nggak bisa dengan mudah dimaafin! Nara sendiri udah muak dengan lo, untuk apa lo masih di sini hah!?" sentaknya.

"Gu-gue nggak akan pergi sebelum Nara maafin gue," balasnya tersendat.

"Okey! Kalau gitu gue sendiri yang bakal buat lo pergi dari sini," seringainya.

Bugh! Bugh! Dak!

Deynal tak henti-hentinya memukul dan menendang Genan. Bahkan Nara sampai dibuat memekik kaget. Sementara Genan tak melawan. Cowok itu meringkuk menerima setiap pukulan yang membuat tubuhnya semakin remuk. Sesekali ia meringis menahan sakit, tapi tetap tak ada niatan untuk melawan. Karena ia sendiri tahu hal ini akan terjadi. Dan ia merasa pantas mendapatkannya.

"Pergi sekarang sebelum gue bikin lo cacat seumur hidup!" bentak Deynal setelah mendaratkan satu tendangan keras.

Dengan kepala yang semakin pening dan tubuh yang remuk, Genan masih menggeleng lemah. Sudah ia katakan ia takkan pergi sebelum mendapat maaf.

Karena kesal, Deynal memanggil penjaga. Dua penjaga itu pun menarik Genan dan menyeretnya dengan kasar. Genan berontak, tapi tenaganya tak cukup dan pada akhirnya dia benar-benar menghilang diseret oleh dua penjaga itu.

Deynal menyugar rambutnya yang berkeringat. Pria itu terlihat mengatur napasnya yang memburu sebelum menoleh ke Nara. Dengan sigap ia memeluk adiknya itu. Ia yakin pasti Nara shock dengan kejadian ini.

Mereka pun masuk kembali. Emy pergi ke dapur untuk membuatkan teh agar majikannya itu sedikit tenang. Sedangkan Deynal masih menenangkan Nara yang masih menangis.

"Jangan nangis lagi. Cowok brengsek itu nggak pantes lo tangisin, Ra," ujaranya seraya menyeka air mata Nara.

Nara terdiam, perempuan itu menghela napas dan menyeka air matanya. Setelah merasa sedikit tenang ia berdiri dan berjalan ke arah balkon. Saat melihat ke bawah, kebetulan ia melihat Genan yang berjalan membelakanginya. Langkahnya terlihat lesu dan tertatih.

Nara menatap nanar pada punggung Genan yang terlihat ringkih. Ia menghela napas lalu memilih berbalik dan kembali. Belum sempat ia melangkah lebih jauh, suara gebrakan hebat berhasil menghentikan langkahnya.

BRAK!

Hati Nara mencelos mendengar suara tabrakan itu. Bersamaan dengan itu perutnya mendadak terasa ngilu. Wajahnya kini menujukkan raut takut dan cemas.

Dengan gerakan kaku, ia menoleh ke belakang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat jalanan yang sudah dikerumuni banyak orang, ditambah lagi suara sirine ambulan yang datang menggema.

Nara menyimpulkan bahwa suara tadi adalah suara tabrakan. Dan kini satu nama terlintas di pikirannya.

"Ge-genan ...."

Dengan panik Nara berbalik. Dia ingin turun untuk melihat siapa korban kecelakaan itu. Tapi Deynal lebih dulu menahannya.

"Mau ke mana?" tanya Deynal dingin.

"I-itu tadi ada kecelakaan. Nara takut itu Gen-"

"Setelah perbuatan brengsek yang pernah dia lakuin, lo masih masang wajah khawatir ke dia?" tanyanya semakin dingin.

Nara menunduk lesu. Dia sendiri tak tahu ada apa dengan dirinya. Perempuan itu menunduk seraya mengusap perutnya dengan lelehan air mata yang lagi - lagi turun. Hanya karena Genan, Nara bisa dengan mudah menangis.

"Ta-tapi-"

"Duduk!" titahnya.

"Kak-"

"Gue bilang duduk! Kalau pun itu Genan, seharusnya lo seneng dia mati!"

Nara memejamkan matanya, lalu menarik napas. Dia memilih menuruti perintah kakaknya. Ia kembali duduk di sofa, sesekali melirik ke arah balkon. Suara sirine ambulan semakin keras terdengar membuat ketakutannya memuncak.

Perempuan itu menutup telinganya seraya terisak. Kini wajah frustasi Genan memenuhi kepalanya. Seharusnya ia senang jikalau korban kecelakaan itu adalah Genan, mungkin itu hukuman dari Tuhan. Tapi justru kini ia merasa sesak dan takut. Dia takut Genan benar-benar akan pergi jauh.

"Gu-gue nyuruh lo pergi, tapi jangan terlalu jauh, Nan ...," gumamnya.

•••

Ruangan serba putih itu terlihat hampa, hanya ada suara mesin monitor yang memenuhi ruangan itu. Seorang lelaki terbaring lemah di brankar dengan alat medis terpasang di tubuhnya. Mata lelahnya terpejam damai, namun napasnya terdengar gelisah.

Sedangkan di luar ruangan terdapat beberapa orang dengan raut khawatir dan gelisah tersirat. Termasuk Opa Deo yang beberapa kali menghela napas dan mengusap wajah lelahnya.

Ini sudah tiga hari sejak Genan kecelakaan. Kondisinya kritis karena kecelakaan itu, belum lagi Genan juga mengalami patah tulang pada lengan kirinya. Tapi untungnya tidak terlalu parah.

"Kenapa Genan bisa seperti ini? Ini pasti gara-gara Nara," ungkap Clara-mamah Genan.

Karena kondisi buruk Genan, mau tidak mau Opa Deo juga harus mengabari keluarganya. Alhasil Damara, Clara, dan juga Deya langsung terbang ke Inggris.

"Cukup! Jangan memperkeruh keadaan. Kamu tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi, jadi lebih baik tutup mulutmu!" tegas Opa Deo.

"I-iya maaf, Pah."

"Mungkin ini hukuman dari Tuhan karena perbuatan Genan ke Nara dulu. Jangan menyalahkan Nara, dia tidak salah apa-apa di sini. Seharusnya kalian yang meminta maaf ke Nara karena dulu pernah bersikap tidak baik padanya."

Ketiganya menghela napas lalu mengangguk.

"Damara, apa kamu tahu kenapa sikap Genan bisa sekeras dan sekejam itu? Itu semua berawal dari kamu. Kamu terlalu keras mendidiknya. Papah kecewa sama kamu, Dama," lanjutnya, menatap sang putra dengan tatapan kecewa.

"Maaf, Pah ...," lirih Damara. Pria itu beralih menatap sendu pada Genan. Dadanya sesak saat sang Papah menceritakan segala perbuatan Genan pada Nara selama ini. Dia mengakui, Genan mempunyai sikap kasar dan keras seperti itu juga karena didikannya dulu. Kini ia merasa gagal menjadi seorang ayah.

"Maafin Papah, Nan. Maaf telah mendidik kamu terlalu keras dulu," lirihnya seraya mengusap air mata yang meleleh.

Sedangkan di dalam ruangan, jemari lemah itu bergerak perlahan. Genan membuka matanya yang terasa berat, bibir pucatnya terbuka kecil hendak menggumamkan sesuatu. Matanya melirik ke arah kursi samping brankar yang kosong, padahal ia berharap Nara tengah duduk di sana.

"Na-nara ... m-maaf. Hiks gue bu-butuh lo ...."

Genan menitikkan air matanya dengan terisak pelan. Sebelum akhirnya seorang dokter dan dua suster datang memeriksanya.

Beberapa jam sudah berlalu sejak Genan bangun dari masa kritisnya. Kini cowok itu bersandar di bangsal dengan tatapan lelah. Sesekali ia melirik tangannya yang dipasangi arm sling. Genan tersenyum miris, dulu ia sangat ingin mematahkan tangan yang sudah melukai banyak orang itu. Dan kini keinginannya terkabul.

"Genan, makan ya?" Entah ini sudah yang ke berapa kali Clara membujuk anaknya untuk makan dan minum obat. Tak ada respon dari Genan, cowok itu tetap diam melamun.

Opa Deo juga ikut membujuk, tapi Genan tetap keras kepala. Bahkan semenjak bangun, cucunya itu belum memasukkan makanan apa pun ke mulutnya. Bahkan minum obat pun tidak mau.

Genan menatap kakeknya dengan tatapan memohon. Opa Deo sendiri tahu arti tatapan itu. Dia menghela napas panjang. Mau sekeras apa pun mereka memaksa Genan untuk makan dan minum obat tetap saja ia akan menolak.

Karena yang Genan butuhkan saat ini adalah sosok Nara.

Genan menghela napas, lalu tiba-tiba mencabut infusnya. Hal itu sontak membuat mereka terkejut.

"Genan, apa yang kamu lakukan!?" cegah Damara.

"Lepas, Pah! Genan harus ketemu Nara. Dia belum menerima permintaan maaf Genan," sendunya.

"Kamu harus istirahat. Tubuhmu masih lemah," cegah Opa Deo.

"Genan nggak peduli! Genan butuh Nara. Cuma Nara, Opa! Cuma dia ...."

Baru saja Genan hendak melangkah, tubuhnya sudah ambruk terlebih dahulu. Tubuhnya masih benar-benar lemah, bahkan untuk menopang dirinya saja ia tak sanggup. Alhasil Opa Deo dan Damara membantu Genan untuk tidur ke bangsal lagi.

Genan memberontak hebat. Bahkan dia sampai meraung dan menjambak rambutnya sendiri. Belum lagi ia juga terus memukul kepalanya dan menyebut nama Nara terus menerus.

"ARGHH!"

Alhasil mereka pun memanggil dokter dan menyuntikkan obat bius pada Genan agar cowok itu tenang. Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang karena obat bius itu, bibir bergetarnya masih menggumamkan nama Nara dengan lemah.


•••


Perempuan berbadan dua itu menatap lirih pada sosok yang terbaring lemah di brankar dengan alat medis terpasang di tubuhnya. Dugaanya hari itu benar. Ternyata korban dari kecelakaan itu memang Genan.

Seharusnya Nara tidak menemui Genan karena Deynal melarangnya. Tapi Opa Deo berhasil membujuknya. Alhasil malam ini ia harus menurunkan egonya demi Genan. Hanya menemuinya untuk membicarakan hubungan mereka kedepannya. Karena Nara sudah memantapkan keputusannya.

Beberapa kali Nara meringis ngilu karena anaknya terus menendang dengan aktif. Mungkinkah anaknya senang karena berada dekat dengan ayahnya?

"Na-nara ...."

Nara terhenyak saat suara parau itu masuk ke gendang telinganya. Ia menatap Genan yang tadi matanya tertutup, kini terbuka. Napas Nara tercekat saat melihat lelehan air mata turun dari mata sendu Genan dan meluruh membasahi pipi tirusnya. Belum lagi namanya terus disebut oleh Genan dan disandingkan dengan ucapan maaf.

"Genan ...."

Mendengar suara lirih itu sontak membuat Genan membeku. Napasnya tercekat namun hatinya terasa menghangat saat namanya disebut oleh wanita yang ia rindukan itu. Dengan gerakan kaku, ia menolehkan kepalanya. Detik itu pula Genan tersenyum dan menangis haru.

"Na-nara ... I-ini beneran lo, kan?" tanyanya lirih. Dia meraih tangan Nara dan menggenggamnya hangat dengan tatapan memohon. "Maaf, maafin gue, Key. Gu-gue hancur hiks gue nggak bisa terus-terusan hidup dengan penyesalan ini. Maafin gue ...."

Nara terdiam tak menjawab. Entah kenapa rasanya sangat sulit untuk menerima permintaan maaf dari Genan.

"Maafin Ayah ...."

Nara membeku saat tangan Genan kini beralih mengelus perutnya dan berujar lirih. Memori dulu saat mereka tinggal bersama kini datang memenuhi kepalanya. Saat Genan mau menuruti ngidamnya, saat Genan mengelus perutnya di malam hari hingga membuatnya nyaman dan tertidur pulas. Semua perlakuan kecil Genan kini kembali teringat. Walau sekarang Nara tahu bahwa perlakuan Genan dulu sebenarnya tidak tulus.

Nara menjauhkan tangan Genan dari perutnya. Dia tak mau hanya karena elusan hangat itu membuatnya pertahanannya runtuh.

"Nara ... maafin gue. Kasih gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya," mohonnya.

Nara menghela napas. Ia terpejam sesaat memantapkan keputusannya. Kemudian ia balik menatap Genan yang menatapnya memohon. "Gue maafin lo, Nan."

Genan yang mendengarnya sontak tersenyum haru. Lelaki itu hendak bangkit dan memeluk Nara, tapi belum sempat ia melakukan itu perkataan yang selanjutnya Nara ucapkan justru membuat hatinya kembali remuk dan hancur berkeping.

"Tapi untuk kesempatan, gue nggak bakal kasih. Setelah lo sembuh, kita urus perceraian," putusnya.

Nara memundurkan kursinya dan bangkit, dia berdiri membelakangi Genan seraya menyeka air matanya. Kemudian ia melanjutkan langkahnya seraya menahan isakan yang akan keluar dari mulutnya.

"NGGAK! Nara gue mohon kasih kesempatan buat gue. Gue janji nggak akan nyakitin lo lagi, gue janji akan jadi suami yang baik buat lo sekaligus ayah yang baik buat anak kita. NARA! JANGAN PERGI! ARGHH GUE MOHON, RA!"

Genan berdiri dan berjalan tertatih keluar ruangan. Laki-laki itu meraung hebat dan menangis pilu. Kebetulan di luar ada anggota keluarganya sehingga ia langsung ditahan saat hendak mengejar Nara yang sudah pergi bersama Deynal.

"Genan cukup! Hargai keputusan Nara!" sentak Opa Deo.

Genan tak peduli. Ia memberontak dan berhasil lepas, ia pun berlari dengan sisa tenaganya menyusuri koridor. Sesekali ia menahan sakit pada tubuhnya yang terasa remuk. Bahkan beberapa kali ia terjatuh, lalu bangkit lagi. Tubuhnya sakit, tapi hatinya lebih sakit dan remuk saat teringat permintaan Nara tadi.

"ARGHH! NARA! Jangan pergi, jangan tinggalin gue hiks!"

"GENAN!"

Genan tak mempedulikan teriakan anggota keluarganya yang beberapa kali memanggil. Ia terus berlari menyusuri koridor dengan kondisi kacau. Sesekali juga berteriak memanggil Nara.

"Hiks, jangan pergi. Kasih kesempatan buat gue, Key," lirihnya. "Gue gila. Gue bisa gila tanpa lo."

Di koridor rumah sakit itu, Genan persis seperti orang tidak waras. Dia berjalan tertatih menyusuri lorong sembari berteriak menyebut nama Nara. Sesekali ia menjambak rambutnya dan mengerang frustasi.

Sampai akhirnya dokter lagi-lagi turun tangan dengan menyuntikkan obat bius padanya.

Sedangkan di sisi lain, saat ini Nara dan Deynal sedang dalam perjalanan menuju bandara. Deynal juga meminta Emy untuk ikut. Mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Selain karena kedatangan Genan yang membuat Nara shock, ia kembali ke Indonesia juga untuk mengurus surat gugatan perceraian.

Meski awalnya ragu dengan keputusannya, tapi kini Nara sudah memantapkan keputusannya. Menerima Genan sama saja membuat luka itu kembali terbuka. Walau Genan terlihat sudah menyesal, tapi hati Nara masih sakit, rasanya berat untuk memberi kesempatan lagi pada cowok itu.

Nara sebenarnya merasa bersalah pada anaknya karena memilih egois. Tapi jika memberi kesempatan Genan untuk kembali padanya juga bisa menyakiti hatinya.

"Maafin Bunda ...," ujar Nara seraya mengelus perutnya.

"Hubungan kita sudah hancur sejak awal, Nan. Makasih atas semua lukanya. Setelah ini mari saling melupakan."


.
.

- BERSAMBUNG-

Pisah atau bertahan?

Alasan kenapa kalian suka sama cerita ini dan tetap bertahan sampai sini👉

SPAM 'NEXT' JIKA KAMU PENASARAN SAMA KELANJUTANNYA 👉

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW, DAN SHARE JIKA KAMU SUKA CERITA INI😊

See u next lov <3

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

Matahari Langit Kiki Naa द्वारा

किशोर उपन्यास

52.2K 3.4K 84
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] #Teenfiction Blurb : "Nggak ada yang bisa jatuh cinta di antara kita, karena kita itu sahabat." Ujar Langit yang fokus pada...
14.5M 1.4M 69
"Papaaaaa!!" Sontak mata Damares membulat sempurna saat gadis kecil itu meneriaki nama 'Papa' menatap mata mungil itu. Ranayya menjadi mengingat apa...
40.6K 2K 55
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR BISA ENJOY READ DALAM VERSI LENGKAP] Terjebak cinta masa lalu, terjebak dengan orang yang telah pergi. Tidak bisa hidup...
Stop It, Darka! [END] F A N द्वारा

किशोर उपन्यास

1.9M 153K 67
"Seharusnya lo mati, Arisha. Kenapa lo harus hidup setelah buat orang lain koma?" Sadis, kejam, dan penuh amarah, kalimat yang tepat untuk menggamba...