Kamu Berkilau [Sudah Terbit]

By ekaandini12

854 238 1K

[Teenfiction] [Juara Pertama 35 Days Writing Novelette with Polaroid Publisher] Cedera yang dialami Nadira sa... More

Bagian Kedua
Bagian Ketiga
Bagian Keempat
Bagian Kelima
Bagian Keenam
Bagian Ketujuh
Bagian Kedelapan
Bagian Kesembilan
Bagian Kesepuluh
Bagian Kesebelas
Bagian Kedua Belas
Bagian Ketiga Belas
Bagian Keempat Belas
Bagian Terakhir [End]
Terbit!
Open PO
HARGA BARU!!!

Bagian Pertama

181 32 80
By ekaandini12

Selamat Membaca

Alunan musik klasik terdengar dari dalam ruang C-3 di Gedung Cakramaya. Di sisi kiri pintu, seorang gadis dengan setelan leotard halter neck lengan panjang duduk di atas kursi bewarna putih tulang. Telinganya mendengar suara musik tersebut, meski pandangannya kosong menatap tembok di sisi seberang. Tangannya mulai menurun, tubuhnya pun sedikit membungkuk untuk menyentuh perban elastis pembungkus kakinya yang beberapa menit lalu mengalami cedera.

"Keadaan kamu gimana, Nad?" Biya bertanya. Perempuan berusia dua puluh dua tahun yang berstatus sebagai salah satu pelatih penari balet.

Nadira tersenyum tipis. "Sudah mendingan, Kak." Pandangannya menurun. "Tapi aku enggak yakin, aku bisa atau enggak buat ikut kompetisi minggu depan."

Biya menghela napas, memandang wajah Nadira yang terlihat pasrah akan keadaan. Kejadian beberapa jam lalu telah membuat semangat Nadira menurun. Ada kecelakaan kecil, di mana Nadira tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan kaki yang belum siap memapah. Kali ini, Biya sungguh tidak dapat membalas ucapan Nadira.

"Mama habis ini sampai." Nadira berkata, setelah melihat waktu dari jam yang tergantung di dinding.

"Kakak ambilkan dulu barang-barang kamu di dalam. Tunggu di sini," tutur Biya. Perempuan itu lantas berlalu memasuki ruang C-3.

Bersamaan dengan itu, dering panggilan terdengar dari telepon yang berada di samping Nadira. Gadis itu meraih benda pipih bewarna merah muda tersebut, lalu menggeser ikon telepon bewarna hijau dan sedikit menempelkannya ke telinga.

"Halo?" sapanya.

Nadira beberapa kali mengiyakan kalimat yang didengarnya dari seberang. Itu adalah kalimat tanya, tentang keadaan Nadira dari ibunya yang sekarang hampir sampai ke gedung tempat Nadira mengikuti pelatihan balet.

"Mama bisa pakai lift kalau mau naik ke sini. Jangan pakai tangga, lantai tiga bisa bikin Mama encok, lho." Nadira memperingatkan. Ia khawatir dengan kesehatan mamanya. "Iya. Nadira tutup dulu teleponnya."

Biya tersenyum sembari menyerahkan tas Nadira pada siempunya. Dia telah menunggu Nadira bertelepon beberapa detik yang lalu di ambang pintu. Tentu saja ia tak akan mau memotong percakapan orang lain, lebih baik menunggu sebentar.

"Nanti biar Kakak jelaskan ke mama kamu," ujar Biya.

Nadira tersenyum, lantas mengangguk sebagai persetujuan atas pernyataan Biya barusan. Tak lama setelah itu, langkah tergesa mendekati tempat Nadira dan Biya. Mereka adalah Tia dan Mayra, ibu serta tante dari Nadira.

"Mama!" seru Nadira saat matanya menangkap figur ibunya.

Tia segera duduk di sebelah kiri Nadira yang kosong. Biya di sisi kanan Nadira pun berdiri, memberi tempat untuk Mayra. Kedua wanita paruh baya itu menatap Nadira dengan khawatir.

"Kamu enggak apa, Nak?" tanya Tia sembari melihat kaki terbalut perban Nadira.

Nadira mengangguk dan tersenyum. Ketiganya lalu beralih pandang kepada Biya, saat Biya menginterupsi mereka. Kali ini mereka harus mendengarkan penjelasan dari Biya.

***

Pintu kamar Nadira tertutup. Gadis itu berjalan mendekati ranjang dan merebahkan tubuhnya di atas sana. Masih dengan setelan baju balet yang berada di badannya, ia memejamkan mata. Bayangan beberapa jam lalu melintas seketika, membuatnya kembali membuka mata.

Air mata yang ia tahan sejak tadi, akhirnya luruh. Diliriknya kalender yang tergantung di tembok, tanggal kompetisi yang ia nantikan, malah menjadi hal yang ingin sekali ia undur lebih lama. Lagi-lagi ia duduk, menyentuh kakinya dengan perasaan yang bersalah dan marah.

"Maafin aku. Karena aku, kamu terluka seperti ini," lirihnya.

Kamar yang sunyi ini mungkin dapat menjelaskan, betapa cintanya seorang Nadira Benecia Diva pada balet. Replika penari balet di meja belajar, poster film barbie berjudul 'Barbie in The Pink Shoes' yang tertempel di depan ranjang, serta kotak musik dengan boneka balerina kecil di dalamnya. Tidak akan dapat dilupakan, lemari berbahan kaca yang menyimpan aneka leotard dan pointe shoes beragam warna yang tertata dengan rapi di salah satu sudut kamar. Ini dia, kamar seorang balerina bernama Nadira.

***

Hidup Nadira sebagai seorang siswa kelas sebelas sangat tersorot layaknya tokoh utama dalam sebuah drama. Setiap kali ia keluar dari mobil, pasang mata setiap orang di area gerbang langsung menyambutnya dengan tatapan kagum. Belum lagi saat kedua kakinya yang jenjang itu memasuki gerbang dan berjalan di antara taman bunga yang tersusun indah, lagi-lagi dirinya menjadi pusat perhatian.

Nama Nadira memang cukup dikenal. Tak heran, ia sering mengikuti kompetisi kecil mewakili sekolahnya dalam bidang menari, tentu saja tari balet. Beberapa kali kalah di awal, membuatnya terus berlatih dan berusaha menjadi versi terbaik. Hingga akhirnya ia sering pulang membawa medali.

Nadira sering mendapat sebuah surat yang terselip di loker miliknya. Sayangnya, gadis berusia enam belas tahun itu belum mau memasuki dunia percintaan remaja. Ia masih ingin fokus dalam meraih cita-citanya. Balerina yang profesional.

Kali ini, ia kembali mendapati sepucuk surat di dalam lokernya. Ia tersenyum tipis, dirinya yakin bahwa semua surat yang sekarang terkumpul di salah satu laci kamarnya, adalah surat yang berasal dari orang yang sama.

"Serius kamu enggak mau tanya langsung ke orangnya tentang surat-surat ini? Dia udah nunggu lama banget balasan dari kamu, lho, Nad. Ini adalah surat ke sekian kalinya. Kasihan dia kalau udah berusaha jadi pengagun rahasia, tapi ternyata yang dikagumi sudah tahu siapa dirinya." Celotehan panjang itu berasal dari Yunita, sahabat Nadira.

Nadira menggeleng. "Kami sudah sering ngobrol. Kalau mau bahas soal surat, seharusnya dia dulu yang membuka obrolan. Lagian, aku enggak pernah buang surat dia, pasti aku baca dan simpan."

"Jangan-jangan, kamu juga suka sama dia, ya? Cuma gengsi kamu kegedean," balas Yunita.

Cukup lama Nadira tutup suara, memandang amplop yang kali ini bewarna merah itu cukup lama. "Meski aku suka, aku enggak akan berbuat apa-apa. Aku hanya perlu satu untuk saat ini, fokus ke impianku."

"Selalu saja!" Yunita memayunkan bibirnya. "Anyway, gimana kakinya? Aku dengar dari Tante Tia, kaki kamu cedera."

"Oh!" Nadira refleks menyentuh kakinya. "Ini ... ini enggak parah, kok. Cuma ...."

"Cuma apa?"

Nadira menggeleng. "Enggak apa."

Dia harus tetap baik-baik. Pikiran yang positif akan membuat diri menjadi lebih semangat. Kali ini Nadira hanya perlu memperhatikan kesembuhan kakinya, supaya ia bisa tampil untuk kompetisi enam hari lagi. Tentu saja, berusaha dan berdoa.

Nadira menatap Yunita. "Enggak apa, aku pasti bisa."

***

Nadira menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya mengikuti Dokter Winda untuk duduk di hadapannya. Kali ini dirinya dan Yunita tengah berada di salah satu rumah sakit.

"Masih sakit untuk dipakai berjalan?" tanya Dokter Winda.

Nadira mengangguk membenarkan.

"Saran dari saya, lebih baik jangan terlalu banyak gerak dalam waktu dekat. Istirahat yang cukup di rumah untuk mempercepat proses pemulihan," lanjut Dokter Winda.

"Masalahnya, beberapa hari lagi saya harus ikut kompetisi tari balet. Saya benar-benar enggak yakin, apakah saya bisa ikut atau tidak," balas Nadira.

Dokter Winda tersenyum mendengar penjelasan Nadira. "Saya paham, tetapi bukankah akan lebih bahaya kalau kamu terus berlatih di waktu dekat ini? Kaki kamu bukannya akan sembuh, tetapi malah lebih parah. Kompetisi tari balet yang kamu idamkan itu bisa hangus begitu saja. Bisa saja sakitnya akan lebih parah bila dibiarkan."

Nadira memejamkan matanya. Ia harus banyak berpikir untuk saat ini. Apa yang dikatakan Dokter Winda memang benar, tetapi apa yang harus Nadira lakukan selama itu? Apakah dengan beristirahat di rumah, dapat mengejar ketertinggalannya dalam latihan?

***

Halo! Ini cerita remaja ke sekian yang aku publish, tapi cerita remaja murni sebelumnya aku unpublish. Wkakak.

Oke, terima kasih sudah membaca. Semoga suka. ^^

-Dn 💙

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 62.5K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
2.9K 342 16
πŸ„²πŸ„ΎπŸ„ΌπŸ„ΏπŸ„»πŸ„΄πŸ…ƒπŸ„΄πŸ„³ Perpisahan bukan berarti kalian tidak akan berjumpa kembali, perpisahan hanyalah nasihat supaya kalian tetap akrab ketika bertemu...
2.6K 483 20
Sejak kecil, Dimas tak pernah mendengar suaranya sendiri. Ia berteman sepi, melihat dunia dari karangan fiksi, dan 'berbicara' melalui puisi di balik...
2.2K 1K 20
( Juara satu kategori fiksi remaja dalam event '100 Day With Farasa'. Segera terbit ) Semua orang pasti pernah insecure, bahkan hal itu bisa di angg...