"Maura?" panggil Rey memastikan wanita yang tengah ribut dengan Karin dan Novi adalah seseorang yang ia kenal.
Seketika bahu Maura merosot. Hilang sudah mukanya. Maura malu.
Pengen ngilang aja bisa ga si
Maura menjerit dalam hati.
Dengan gerakan perlahan, Maura memutar kepalanya. Matanya bertemu Rey dengan tampilan yang memukau. Setelan jas hitam, rambut yang rapi, aromanya yang wangi, sedangkan dirinya sendiri tampak seperti gembel pinggir jalan.
"H-hai," ucap Maura gugup dengan senyuman canggung.
"Kenapa ini, Rin, Nov?" tanya Andre sekali lagi. "Maura, kenapa baju kamu?"
"Kenapa tadi Maura mau di tampar? Dia salah apa?" tanya Rey dengan tatapan menginterogasi Karin dan Novi.
"Ini loh, pelayan ini udah dua kali nabrak Karin," jelas Novi yang diiringi anggukan keras dari Karin.
"Pelayan? Dia bukan pelayan di sini," ralat Andre.
"Bukan pelayan? Hahaha ... terus?"
Maura menundukkan wajahnya dalam-dalam, bukan karena takut, tetapi karena ia malu.
"Bro! Congrats ya, aduh bentar lagi jadi suami nih! Eh, ada Novi and Karin, satu lagi ke mana? Leona, ceweknya Rey," ujar seseorang yang baru tiba tetapi langsung nyerocos tanpa lihat sikon.
Deg ....
Ceweknya Rey?
Arkan menyadari situasi yang tampak tegang tersebut.
"Eh bentar ini ada apa sih? Eh, dia siapa?" tanyanya seraya menunjuk Maura.
Dengan kepala yang masih menunduk, Maura bergegas pergi.
"Permisi," ucapnya lalu langsung pergi. Meninggalkan Rey bersama teman-teman SMA-nya yang tampak sedang reuni, ditambah lagi membahas orang yang tidak ada di sana, Leona. Benarkah apa yang diucapkan Arkan?
Leona, ceweknya Rey? Maksudnya, Rey udah punya pacar?
Maura teringat kalimat yang pernah Rey katakan.
Dewasa, sayang, bukan tua.
"Sayang-sayang pala lu peang! Dasar cowok PHP!" gerutu Maura. Mengingat kalimat Rey dan kalimat temannya tadi membuat Maura mendadak kesal.
Maura keluar dari ballroom hotel dan mencari toilet. Berniat membersihkan dirinya.
"Kayaknya gue emang nggak bisa berdamai sama ini hotel, ada aja masalahnya tiap ke sini."
Saat berjalan tiba-tiba tangannya ditahan oleh seseorang. Maura menoleh.
"Rey?"
"Ikut saya," ucap Rey lalu menggenggam pergelangan tangan Maura dan membawanya pergi. Tanpa sepatah kata, Maura lagi-lagi hanya bisa menurut, seolah terhipnotis.
•••
"Hah? Kenapa aku harus pakai dress ini?"
"Iringi pengantin wanita jadi bridesmaid, sebentar kok. Kebetulan salah satu bridesmaid-nya nggak bisa hadir jadi kamu bisa gantiin dia."
"Hah? Tapi ...."
"Udah cepetan ganti aja. Cuma sebentar aja, kok. Nanti kamu iringi pengantin wanita sambil angkat gaun pengantinnya dari belakang."
"Hah?"
Maura bukan tak paham, tapi ia tak menyangka.
"Udah jangan kebanyakan hah heh hah heh, langsung ganti aja. Nanti kamu dibantu mbaknya make up sedikit. Oke, Mbak?" tanay Rey pada salah satu penata rias yang memang ditugaskan untuk merias para bridesmaid.
•••
Dress putih selutut membalut tubuh Maura dengan sempurna. Ditambah sepatu heels dengan warna yang sama dengan tinggi 7 cm membuat kaki Maura tampak jenjang. Wajahnya yang polos dipoles sedikit riasan tipis menambah kecantikan Maura.
Rey menatap Maura terpana. Matanya bahkan tak bisa lepas sedetikpun dari Maura. Membuat Maura menjadi malu dan salah tingkah.
"Kenapa, aku ... aneh ya?"
Rey menggeleng. "Kamu cantik," tuturnya tanpa mengalihkan pandangannya. Maura tersipu mendengar dua kata dari bibir Rey.
•••
Maura berjalan di sisi Rey, dengan tangan yang dikaitkan ke lengan Rey. Maura dan Rey seketika jadi pusat perhatian para tamu undangan di gedung pernikahan tersebut. Beberapa orang yang dilihatnya menyapa Rey dan Rey juga turut menyapanya.
Selesai acara inti dan pengucapan janji suci, Maura ikut berfoto bersama pengantin, tentunya bersama Rey juga yang sebelumnya mengiringi pengantin dengan memainkan piano.
Arkan memeluk Andre setelah berswafoto.
"Andre teman seperjuangan kita akhirnya lo kawin juga, congrats, bro!" ucapnya sambil memeluk lelaki yang ternyata bernama Andre tersebut. "Rey, ternyata lo bawa gandengan, ya. Gue kira lo asik menjomblo seumur hidup," sambungnya sambil tertawa menyindir halus Rey. Lalu ia beralih ke sisi Maura. "Hey, nama lo siapa? Kok lo mau sih sama Rey, dia kan duda anak satu," ucapnya yang mendapat tatapan tajam dari Rey. Andre menyikut pelan perutnya.
"Ck, Arkan ... Arkan. Mending lo bawa bini lo ke tempat makan, gih. Kasian laper. Iya kan, Nay?"
Perempuan di sisi Arkan yang dipanggil Nay tersebut tersenyum dan mengiyakan perkataan Andre.
Kini Arkan dibawa istrinya pergi menikmati makanan.
Diikuti Rey dan Maura yang sekarang rautnya kaku. Ia bingung, canggung, dan malu. Anak SMA yang berada di tengah-tengah suasana orang dewasa. Apalagi perkataan terakhir temannya Rey tadi membuat Maura merasa tidak enak. Pasalnya, dirinya bukan siapa-siapa Rey.
"Nggak usah dengerin perkataan Arkan tadi, ya," ujar Rey.
"Aku boleh tanya sesuatu nggak?"
"Tanya soal aku duda dan punya anak? Itu ... memang benar."
Maura menggeleng.
Kalau soal itu ia sudah tahu, dan sudah memastikan sendiri juga dengan bertanya pada David yang ia sebut Mas Dave. Dasar Maura.
"Bukan." Maura tadinya ingin menanyakan soal Leona, tapi ia urungkan.
"Aku ... mau ke toilet dulu."
Maura berpamit menuju toilet.
Rey menghampiri dua teman SMA-nya yang tampak tengah berbincang dengan gelas minuman di tangan mereka.
Andre dan Arkan. Keduanya adalah sahabat baik Rey sejak SMA. Seharusnya ada satu lagi, tetapi kini hubungannya dengan Rey tidak terlalu baik.
"Bro, sorry ya tadi pas ada Karin sama Novi gue malah bahas Leona. Abisnya biasanya kan dia nempel sama lo terus," kata Arkan dengan wajah sedikit merasa bersalah.
Arkan menyodorkan minuman di tangannya kepada Rey.
"Gue kira lo bakal jadi sama Leona, tapi kayaknya hubungan kalian gitu-gitu aja, ya?" Kali ini Andre yang bicara.
"Gue udah bilang gue nggak ada hubungan sama Leona," jelas Rey lalu meneguk minumannya.
"Sorry, Bro. Tapi sebenernya kita ikut seneng sih. Yang tadi itu seriusan cewek lo? Lo nggak bilang gitu karena ada Karin sama Novi, 'kan?" tanya Arkan lagi.
"Dia bukan ..."
Tampak satu orang yang baru tiba ikut berbaur bersama mereka bertiga. Raut Rey langsung berubah.
"Iya, dia cewek gue," lanjut Rey. Lalu ia menyimpan minumannya. "Gue ke sana dulu," pungkas Rey lalu pergi.
"Apa nih, kayaknya gue ketinggalan."
Tama, salah satu dari sahabat Rey saat SMA dulu. Tatapannya sama dinginnya dengan tatapan Rey. Seolah kedua insan tersebut saling memendam benci. Namun seperti yang Arkan dan Andre tahu, Tama membenci Rey karena ia menyukai Tasya dan yang Tama tahu, Rey yang tidak pernah melirik Tasya sejak SMA itu telah membuat perempuan yang disukai Tama meninggal. Sedangkan Rey, menjauhi Tama sebab Tama selalu menyalahkan dirinya atas kematian Tasya. Selain itu, yang Rey tahu justru Tama adalah akar dari permasalahan dalam hidupnya. Setahu Rey Tama lah yang dulu menjebaknya dengan minuman yang mengandung obat perangsang.
"Rey udah move on kalii, dia bawa ceweknya," ucap Andre.
"Siapa? Leona kan masih di Jepang. Cih, bisa-bisanya itu anak bahagia dan bersenang-senang setelah apa yang udah dia lakuin dulu."
"Tam, kayaknya lo udahin aja deh perang dingin lo itu sama Rey. Kita lebih asik waktu SMA dulu. Iya nggak sih."
"Lo nggak tau masalahnya kayak gimana, Arkan."
"Gue tau, tapi lo yang terlalu dibutakan atas cinta sepihak lo. Lagipula cewek itu udah ..."
"Stop, Kan." Andre menghentikan Arkan untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Arkan, lelaki itu emang suka ceplas ceplos dan tidak bisa mengerem mulutnya.
Tama menatap Rey dari kejauhan. Tangannya mencengkeram kuat gelas di tangannya.
Rey kembali menghampiri Maura yang ternyata sudah kembali dari toilet sejak tadi. Maura tengah berdiri di meja yang terdiri dari banyak makanan dan minuman. Maura juga melihat Rey yang asyik berbincang dengan teman-temannya dan segera kembali ketika satu temannya tiba.
"Mereka semua itu teman-teman kamu?" tanya Maura sambil melahap satu suapan terakhir pudingnya.
"Iya, Andre pengacara yang bantu kamu itu juga salah satu temen SMA saya. Yang satunya yang sapa kamu tadi, namanya Arkan. Yang perempuan dua tadi Karin dan Novi, saya juga ngga terlalu suka sama mereka berdua."
Maura membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil memanggut. Lalu ia meraih cake strawberry di dekatnya dan melahapnya. Setelah habis, Maura juga mengambil cupcake coklat dan memakannya dengan lahap. Rey tertawa melihat Maura yang makan dengan lahap tanpa jaim. Bahkan bibirnya kini belepotan karena krim dari cupcake.
"Uhuk!" Maura tersedak. Sedangkan mulutnya penuh sehingga pipinya menggembung.
"Makanya pelan-pelan, Maura. Nggak bakal ada yang minta, kok. Masih banyak tuh," ucap Rey sambil tertawa ringan. Tangannya refleks terulur dan menyeka bibir Maura yang berantakan.
Maura terpaku dan matanya melebar.
Baru kali ini ia merasakan adegan yang ada di drama secara langsung.
Akhirnya Maura tersenyum malu. Ia meraih asal minuman yang ada di dekatnya.
"Eh, jangan!" Rey merebut minuman yang hampir Maura teguk. "Ini wine, nggak boleh," ungkapnya membuat Maura terkejut. Lalu ada pelayan yang membawa beberapa minuman bewarna orange di tangannya. Rey mengambilnya dan memberi minuman itu pada Maura.
"Ini aja, ini jus jeruk. Aman buat kamu."
Maura tersenyum malu lagi, tetapi senyuman Rey membuat Maura semakin salah tingkah.
Pasalnya, Rey menahan tawa dan rasa geregetannya pada Maura yang menurutnya sangat menggemaskan dengan mulutnya yang penuh makanan sehingga pipi merahnya menggembung.
Maura menghabiskan makanan di mulutnya dan meminum minuman dari Rey dengan perlahan.
Dua wanita yang tadi berdebat dengan Maura mendekat ke arahnya.
"Sorry ya perihal tadi, kita sama sekali nggak tahu kalau lo bukan pelayan."
"Iya, nggak apa-apa," ucap Maura dengan setengah tersenyum.
"Sorry ya, Rey. Kita sama sekali nggak tahu sebelumnya kalau ternyata dia cewek lo."
Maura terbatuk-batuk.
"Lo serius kan dia cewek lo?"
Rey melirik Maura sebentar dan tiba-tiba meraih tangannya. "Iya, dia cewek gue," ucapnya.
----
Ekspresi Maura dalam hati.
"Antara kaget, gak percaya, salting, pengen teriak jerit-jerit guling-guling."
-Maura, si cewek heboh, pecinta drakor, dan suka berkata kasar.