BULAN PRASBIRU

By hellodisa

10.2K 2K 1.6K

Aku menulis karena aku takut lupa. Pula aku menulis karena aku mencintainya, tetapi, tidak tahu bagaimana car... More

BAB 1
BAB 2
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16 • Kita resmi ya?
BAB 17
BAB 18
BAB 19 • Senayan, Jakarta Selatan
BAB 20 • Kalibata Malam dan Kenangannya

BAB 3

600 130 142
By hellodisa

Selamat membaca Bulan Prasbiru!

__

Tepatnya Rabu, genap dua minggu aku jadi murid baru di sekolah. Pukul 12.30, aku tengah duduk di bangku panjang dekat telepon umum yang sudah tidah berfungsi, dekat salah satu SMP di daerah Rancanumpang, pula tidak jauh dari SMA-ku, sambil makan bandros dari abang-abang lewat sebagai teman menunggu Ayah menjemput.

Beberapa teman-teman yang sudah mengenalku melambaikan tangannya ketika melewati diriku. Hari itu, cukup senang. Aku mulai sering diajak nimbrung dengan teman-teman kelas lainnya, selain Arum dan Dira, dua teman pertamaku di Bandung.

Ayah bilang lewat telepon saat istirahat tadi bahwa ia akan pulang lebih cepat sehingga bisa menjemputku, namun, menginjak pukul 13.25 batang hidung Ayah tidak kunjung kutemui. Ayah tidak bisa dihubungi baik melalui handphonenya ataupun ke telepon kantor.

Waktu terus berjalan, aku mulai jenuh. Pukul dua siang, Adit, anak OSIS baru pulang dan melihatku masih duduk manis sendirian. Adit mendekat dengan motornya kemudian bertanya, "Kamu sudah pasti dijemput atau belum, Ja? Kalau belum sama saya aja," ucapnya sambil membenarkan letak kaca matanya.

"Duluan aja, Dit. Aku pasti dijemput ayah kok."

"Yasudah kalau begitu, saya pamit duluan. Hati-hati Ja, Bandung tidak setenang yang kamu kira."

Aku mengangguk. "Iya, dikit lagi juga dijemput paling."

Keadaan jalan semakin sepi, paling hanya beberapa motor saja yang lewat. Sampai pada kisaran pukul 14.20, segerombolan laki-laki berseragam putih biru mendekat ke arahku. Ada lah hampir dua puluh orangan.

Salah satu di antara mereka bertanya padaku dengan cara tidak sopan. "Eh, tuh SMP geus balik belum sih?"

Aku menaikkan kedua bahu. "Kurang tahu ya."

Kemudian kudengar ada yang nyeletuk, "Ka belakang SMA coba, Do, biasanya ada digubuk sebelah warung."

"Langsung datengin aja nih? Ayo dah berapa orang?" jawab seorang yang lain.

"Bertiga aja. Dimas, Budi sama kamu."

Belum ada satu menit aku menelepon Ibu, tiga orang tersebut langsung jalan ke arah belakang sekolahku dan selebihnya malah duduk di sekitaranku. Jujur, aku memang sudah ada curiga bahwa mau terjadi apa-apa. Segera aku hubungi Ayahku sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Akhirnya aku telepon Ibu, minta tolong untuk kabarin ayah biar aku pulang sendiri saja.

Tidak lama dari itu, terdengar suara raungan ricuh dari ujung sekolah menampilkan tiga orang tersebut tengah lari dikejar puluhan siswa SMP dekat sekolahku.

Mereka, tawuran.

Aku langsung berdiri kala segerombol di dekatku semua mengeluarkan benda-benda tajam dan berlarian tidak jelas melawan musuh-musuhnya di seberang. Tanganku gemetar habis dan berusaha melindungi diri dari balik pohon. Kalimat kasar, suara gesekan benda ke aspal, suara tonjokan dan semua yang mengerikan bisa aku dengar dan lihat. Mereka semua sangat menyeramkan.

"Ah!"

Aku mendongak dengan wajah panik ke arah laki-laki dengan rambut dikuncir kecil yang mencengkram lenganku. Aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak tahu. Wajahnya jelas bukan anak lagi anak SMA. Waktu itu, dia pakai kemeja kotak-kotak biru, jeans hitam, tas selempang coklat muda dan sepatu putih yang cukup bersih. Hal pertama yang ada dalam benakku kala itu adalah, aku mensuudzoni dirinya seorang preman pasar yang mau menculik atau mencopet dompetku.

"Apa sih?!" ketusku.

"Ikut saya, ini sedang tawuran! Bahaya!"

Aku mendecak agak kasar. Bagaimanapun, aku tetap harus berjaga-jaga dari iming-iming diajak ikut dalam kondisi sempit. Secara, aku bukan orang Bandung yang sudah tahu letak-letak tempat. Ayah juga bilang, bahwa harus jaga-jaga dengan laki-laki, siapapun itu. Karena laki-laki, besar kemungkinan sulit dipercayai.

Tubuhku terkejut kala sebuah parang terlempar asal dan jatuh tidak jauh dari pohon tempat aku berlindung. Aku melotot melihat diujungnya ada bercak darah. Begitu saat aku menoleh ke orang tersebut, dia sudah nangkring di motornya bersiap jalan.

"Hey, cepat ikut saya!"

Dalam situasi semengecam itu, akhirnya mau tidak mau aku ikut orang tersebut.

Dan ya, dari situlah ceritaku bersamanya di mulai.

Motornya berhenti di depan gang dan kami berdua turun untuk duduk di sebuah warung kecil, persisnya dekat tukang pulsa dan tower listrik besar di kawasan Sanmil (Insan Kamil). Dia berjalan ke warung kemudian membeli dua botoh air mineral dan satunya diberikan padaku.

"Makasih."

"Saya sarankan, kalau pulang lebih baik segera. Letak sekolah kamu kan strategis, anak SMP memang sering tawuran di sana. Makanya, portal sekarang ditutup cuma sampai jam enam sore."

"Oh, gitu."

Dia mengangguk. "Kenapa memutuskan pindah ke Bandung?

Aku menoleh dengan tatapan menyelidik. Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku anak pindahan dari Jakarta?

"Tahu dari mana aku orang baru di sini?"

Dia tertawa kecil. "Menebak."

"Oh."

"Jangan salah paham. Saya bisa menebak karena hampir seluruh siswa yang sekolah di daerah sini, mereka semua sudah tahu bahwa tidak bisa pulang lebih dari jam dua siang. Tapi kamu malah masih duduk manis di sana."

Aku melirik sedikit ke arah wajahnya dari samping. Unik, gaya bahasanya masih agak baku tapi tetap bisa santai. Aku pikir, sudah tidak ada lagi orang yang bisa memilih kata mana yang mestinya diucap dan tidak.

Dia berdiri lalu menghampiri tukang es bubur sumsum abang lewat dan membeli dua mangkuk. Aku mulai penasaran padanya dan ikut berdiri menghampiri dirinya.

"Kamu harus coba bubur sumsum terenak di Bandung. Kenalin es bubur sumsum Mang Dodi!"

Mang Dodi ketawa sambil geleng-geleng kepala. "Kasian hidup di bumi tapi baru mencoba bubur sumsum saya!"

Laki-laki itu ikut tertawa. "Da, makanya saya kenalin! Biar dia tidak menyesal, Mang!"

Kami berdua kembali duduk, aku dihadapannya dan disodorkan satu mangkuk. Meskipun sebenarnya aku masih ragu dengan laki-laki tersebut, tetapi entah mengapa begitu saat dia menawarkan es bubur sumsumnya malah aku terima.

"Memangnya wajah saya cocok buat jadi penjahat ya?"

Suapan pertamaku batal. Aku mendongak dan baru jelas menatap bentuk paras wajahnya. Cukup tampan, tapi kalau dibanding dengan Kak Biaska, tentu lebih tampan Kak Biaska.

Ucapan laki-laki tersebut sedikit menyenggol perasaanku. Aku jadi tidak enak sudah membentaknya dan bersikap judes padanya. Padahal sejauh aku bersamanya dan dilihat dari cara dia bicara dengan ibu warung serta Mang Dodi, dia cukup seru. Tidak membosankan.

Aku senyum setelah menyuap es bubur sumsumnya. Ah, memang lezat ternyata. Bukan omong kosong. "Makasih bubur sumsumnya, enak."

Dia tertawa kemudian menoleh ke belakang. "Mang! Enak katanya!" Lalu kembali menatapku. "Mau nambah?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak, orang ini aja belum habis."

Kami tidak berbincang, sibuk melahap makanan di hadapan kami. Meskipun sesekali aku mulai curi-curi pandang memperhatikan wajahnya, tetapi aku pula tidak membuka suara. Aku penasaran sekali dengan dirinya. Kok bisa, mau langsung melidungiku dari tawuran anak SMP dan mentraktirku minum serta bubur sumsum terkenal di Bandung. Padahal kan, aku baru kenal, bahkan belum tahu namanya.

"Belum dijemput juga?"

Aku menggeleng mulai jenuh. "Nggak tahu. Tapi aku yakin Ayah pasti datang karena dia udah janji. Kamu mau pulang ya?"

"Mau ke rumah kawan dekat sini."

"Oh, gitu. Kamu udah kuliah?"

Dia mengangguk. "Iya, di ISBI."

"Seni Budaya?"

"Iya, jurusan antropologi budaya."

"Berarti pelajarannya apa?"

"Ya, banyak. Ada tentang etnomusikologi, etnis religi, filsafat, mitologi trus juga mengulik lokal masyarakat adat sampai tentang atropologi itu sendiri."

Aku mulai tertarik dengan apa yang dia bicarakan.

"Oh, berarti kamu suka tentang budaya-budaya gitu ya?"

"Saya suka mempelajari perkembangan budaya pada manusia berserta sejarah isu kemanusiaannya."

"Dulu jurusan IPS ya?"

"Iya. Kamu IPA?"

Aku mengangguk. "Iya, IPA."

"Kamu suka tentang IPA?"

Aku terdiam. "Nggak begitu. Aku suka bahasa, banyak penasaran ke arah sana. Cuma, orang tua dulunya IPA semua jadi pengen ikutan juga."

"Oh, kamu masuk IPA cuma karena mau ikut-ikutan? Nggak sesuai minat?"

Pertanyaan dari dia membuatku kembali terdiam. Entah kenapa aku jadi sadar bahwa apa yang aku lakukan kebanyakan bukan dari hati. Banyak hal yang sebenarnya ada alasan lain untuk menolak, tetapi aku lebih memilih untuk mengiyakannya saja.

Aku senyum kecil. "Mau jadi dokter."

Dia membalas senyumku. "Besok jam satu kawan saya ngadain pameran lukis di alun-alun. Saya diundang."

"Kamu suka lukisan?"

"Saya suka, tapi saya nggak bisa ngelukis," jawabnya sambil tertawa.

Kalimat itu membuatku tersentak senang. "Sama dong! Dari dulu suka banget sama lukisan, tapi ngegambar rumah aja nggak cantik hasilnya." Aku terkekeh.

"Kamu mau datang juga?"

Aku membeku meresapi pertanyaanya. "Kamu ajak aku?" tanyaku agak gugup.

"Ya, kalau kamu mau saya akan ajak kamu datang ke pameran. Itu kalau kamu mau."

"Kenapa kamu ajak aku? Kita aja belum saling kenal."

"Ya sebentar lagi juga kenal. Kamu juga akan nyebut nama kamu itu siapa ke saya sekarang."

"Senja."

Dia senyum, lurus menatap inti mataku.

"Eh?" Aku baru tersadar.

Dia tertawa kemudian menjulurkan tangan kanannya ke arahku untuk saling jabat.

"Duta Prasbiru."

Entah apa yang membuat hatiku meluap sulit dikondisikan. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan tiap dekat laki-laki juga, perasaaanku biasa saja. Tidak ada gugup, tertarik atau penasaran. Tapi dengan yang ini, ada arah yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Aku suka gayanya dia bicara. Aku suka gayanya dia saat menjelaskan seperti laki-laki yang berwawasan.

Rabu, kawasan Rancanumpang, Bandung. Duta Prasbiru.

"Jadi bagaimana? Mau ikut? Kalau mau, jam satu tunggu di depan sekolahmu biar saya jemput."

Aku berpikir sejenak. Pasalnya, bagaimana cara dapat izin dari Ayah bahwa aku ingin pergi bersama laki-laki sedangkan setiap pulang sekolah saja, aku selalu dijemputnya? Belum juga kalau misal Pupa tahu, pasti aku akan diinterogasi lebih dulu. Ya aku paham, Ayah dan Pupa hanya takut kejadian lalu terulang pada hidupku.

"Tergantung izin dari Ayah. Kalau diizinin, jam satu aku ada di sana."

"Kalau semisal nggak diizinin Ayahmu, semoganya diizinin Tuhanmu."

Keningku mengerut. "Tuhanku? Emangnya Tuhan kita beda ya?"

"Memangnya Tuhanmu siapa?"

"Allah."

"Alhamdulillah."

"Kenapa?"

"Tuhan kita sama, berarti kalau hari Minggu bisa 'kan saya ajak jalan?"

Harusnya aku risih, namun sial, pipiku malah bersemu. Aku tersenyum simpul kemudian mengalihkan pandang ke media lain. Rasanya, jenuhku menunggu Ayah datang maunya disingkirin aja. Malah kalau bisa, Ayah datangnya lebih lama lagi biar aku bisa lebih banyak waktu bicara sama dia. He he he.

Tapi sayang, sehabis itu dia malah bersiap untuk pamit dariku. Setelah helm di kepalanya terpasang rapi, dia berkata, "Sekalipun kamu nggak diizinin baik dari Ayahmu ataupun Tuhan kita, kita akan tetap ketemu lagi tapi nggak di sini."

Dinyalakan mesin motornya lalu menatap sempurna ke arahku. "Saya pamit duluan. Sebentar lagi Ayahmu juga sampai. Jangan ke mana-kemana, Bandung tetap seperti kota-kota lainnya yang penuh sama orang jahat."

"Kalau kamu termasuk orang jahatnya nggak?"

Dia tertawa bahak. "Kamu nggak pantas dijahatin, Senja. Pantasnya terus dibikin senang." Dia mengangkat telapak tangan kirinya isyarat sampai jumpa.

Aku tersenyum tanpa jawab melihati motornya semakin jauh dari pandangan. Dia berhasil membuatku terdiam dengan wajah datar dengan batin berharap motornya putar balik dan memaksaku untuk diantar pulang. Namun sayang, kalimatnya benar mengenai Ayahku sebentar lagi datang. Aku menyalami tangannya dengan pikiran masih tertuju pada laki-laki bernama Duta Prasbiru.


BERSAMBUNG

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah baca, vote, komen, share dan kasih semangat ya! Semoga kamu suka dan selalu suka Bulan Prasbiru!

Salam kenal dengan Duta Prasbiru ya!

Komen 🌙 yang banyak di sini dong hihi
250 komen, lanjut!!!

Sampai ketemu semuanya!

Ig: tavia.radiskaaa

Tertanda,
Tavia Radiska

24 Juni 2022
19.00

Continue Reading

You'll Also Like

180K 13.2K 27
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
691K 135K 45
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
833K 11K 32
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.2M 48.5K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...