GIOFI (Terbit)

Galing kay Rifannah_

14.4K 3K 1.5K

Syafika dituntut untuk menjadi seperti kakaknya yang sukses di dunia kerja. Dia harus meraih nilai sempurna... Higit pa

● PROLOG ●
01 - Sistem Unik
02 - Apa yang Salah?
03 - Risi Sebangku
04 - Hindari Sebangku
05 - Tolong Kembali
06 - Jadi Itu, Gio?
07 - Aksi Terbaik
08 - Fakta dan Opini
09 - Sudut Kelompok
10 - Jefri Curiga
11 - Di Bawah KKM
12 - Seleksi Teman
13 - Tak Lama Lagi
14 - Harus Bersama
15 - Nilai Ulangan
16 - Pengakuan di Pengumuman
17 - Sidang Kejujuran
18 - Sesal pada Pencapaian
19 - Dua Insan Pusat Perhatian
20 - Beauty Privilege
21 - Kalimat yang Sama
22 - Lukisan Gio
23 - Orang yang Dilukis
24 - Goresan dari Ucapan
25 - Cari Penyakit
26 - Merindu Momen
27 - Ya, Fi dan Ya, Gi
28 - Hasil Bujuk
29 - Nekat Tanya
30 - Teori Kesepakatan
31 - Sebotol Air Mineral
32 - Protagonis dan Antagonis
33 - Ramai Diserang?
35 - Biang Keladi
36 - Masa Kelam
37 - Katakan Damai
38 - Karena Jeritan
39 - Sumpah dan Sampah
40 - Minta Maaf
41 - Meluruskan Cerita
42 - Tarik Balik!
43 - Pemicu Prinsip
44 - Malam Emosional
45 - Bagian Rencana
46 - The Monster
47 - Jefri
48 - Janji Baru
49 - Giat Belajar
50 - Remaja Penuh Drama
● EPILOG ●
● GIOFI'S Arts ●

34 - Tak Sesuai Harapan

168 47 28
Galing kay Rifannah_

"Hubungan dekat kita terluka, saat kau memutuskan untuk menjadi pacarnya."

-Syafika Evalianaz-

= GIOFI =

Muak dengan segala bisik-bisik siswa di kantin tentang dirinya, Afi nekat meninggalkan para teman ke perpustakaan sendirian. Semakin pusing sudah Pia, Cici, Binar, dan Tami mencarinya, takut terjadi apa-apa. Namun, dengan egois Afi tidak memikirkan kepanikan mereka, bahkan tidak meninggalkan izin apa pun, main pergi saja.

Sampai di perpustakaan, rupanya ramai orang di sana. Afi menghela napas sebal. Untuk berdiam diri di perpustakaan sepertinya bukan hal tepat. Namun, kalau ada Gio, baru tepat. Cowok itu berdiri di tengah kumpulan siswa, membicarakan suatu hal.

Ya, Gio adalah ketua MPK sekarang.

Afi berjalan masuk saja ke perpustakaan, lantas membuat cowok itu teralihkan perhatiannya, sekilas. Ketika Afi melirik Gio, cepat-cepat cowok itu mengalihkan pandangan lagi.

Ada permainan yang asik sepertinya. Afi pergi ke ujung ruang perpustakaan, sok-sok membaca buku di sana, sambil menunggu para anggota MPK itu selesai berdiskusi.

Andai saja dulu Afi masuk kelas XI IPS 1, mungkin sekarang dia adalah bagian dari MPK, tetapi kenyataan yang terjadi berbeda saat dia masuk XI IPS 3. Sebab tak ingin abadi di kelas urutan ketiga dan mendapat cercaan orang tua, maka Afi putuskan untuk tidak ikut organisasi apa pun.

Perbincangan antar anggota MPK selesai, mereka bubar, kembali ke kantin atau ke kelas. Termasuk Gio yang terlihat berjalan ke ambang pintu. Afi memutar bola mata, untung saja dia tidak berharap bahwa cowok itu akan menghampirinya.

Tangannya meletakkan kembali buku ke rak paling atas dan meraih buku lagi di sebelahnya dengan berjinjit setengah mati. Namun, tarikan kuat tangan Afi tak sengaja membuat beberapa buku di atas jatuh menimpa kepalanya dan berserakan di lantai.

"Ah, elah." Dengan malas Afi menunduk dan meraih buku berserakan di lantai untuk dikembalikan ke rak.

Tiba-tiba sebuah tangan membantu meraih buku-buku itu. "Mau baca buku apa, Fi?"

Afi mendongak, terdiam sebentar. "Buku ... filosofi."

Gio manggut-manggut, mengambil alih semua buku dalam genggaman Afi, menyusunnya sekilas, dan menaikkan kembali ke atas rak dengan mudah. "Judul bukunya apa?"

"Filosofi Teras."

Gio memberikan buku itu kepada Afi. "Nih."

"Makasih, Gi."

"Sama-sama," kata Gio, "gue balik ke kelas dulu."

"Ya ... oke."

Percakapan singkat, tetapi dalam. Jujur saja, rasa dan harapan Afi itu sebenarnya masih ada. Namun, tertutup oleh rasa benci terhadap hubungan cowok itu terhadap Rofira.

"Andai lo nggak jadian sama Rofira Gi," gumam Afi menatap punggung cowok bertubuh proporsional itu. "Minimal, kita tetep bisa jadi temen."

"Sekarang kayak ada yang hilang ya, Gi."

* * *

Rofira menghentakkan kaki kuat setelah berjalan keluar dari perpustakaan. Niatnya menghampiri Gio untuk memberikan semangat saat diskusi MPK, malah tidak sengaja melihat momen memuakkan. Afi lagi, Afi lagi, selalu Afi yang membuat hati cewek itu tidak tenang terhadap hubungannya.

"Ofi?" Gio baru keluar dari perpustakaan. "Sejak kapan kamu samperin aku?"

"Sejak tadi," jawab Rofira jujur. "Ngapain tadi?"

"Diskusi bentar doang."

"Sama gatel ke Syafika?"

"Astaghfirullah, aku bantuin dia rapikan buku karena raknya tinggi." Gio merapikan tatanan rambutnya yang turun sejak menunduk untuk meraih buku tadi.

"Oh." Hanya itu jawaban Rofira sebelum berjalan menjauh dari perpustakaan dengan kecepatan kilat. Mengambek.

Namun, harapan cewek itu untuk dikejar seperti di drama romantis ternyata pupus, ketika sadar bahwa Gio tidak bergerak ataupun mengejarnya yang berjalan cepat. Cowok itu hanya meratap dengan wajah datar dan tatapan kosong. Rofira semakin sebal, mempercepat jalan menuju kantin.

Afi muncul di depan pintu perpustakaan dengan sebuah buku yang resmi dia pinjam. Lucunya, Afi menatap punggung Gio, dan Gio menatap punggung Rofira.

Gio, Gio, batin Afi, kenapa lo buang-buang waktu demi cewek drama kayak begitu?

* * *

Gio turun dari mobil yang baru saja dibelikan ayahnya, menyusul Rofira yang masih mengambek dan tak ingin diajak bicara, padahal sudah dia bujuk sejak dalam perjalanan.

"Ofi, masa kamu mau terus begitu?" Gio bersuara, terdengar sepanjang halaman rumah Rofira.

Rofira berhenti, berbalik, dan menghela napas kasar. "Aku nggak mau ngomongin ini."

"Kenapa?" tanya Gio polos, pura-pura tak peka.

"AAARRGH!" Tiba-tiba Rofira membanting tasnya ke tanah. Mahal pun dia tak peduli. "Kenapa kamu nggak pernah nge-treat aku dengan bener? Sekaliii aja!"

"Nggak pernah nge-treat kamu?" Gio menganga tidak percaya. "Selama ini ...."

"Kamu selalu sibuk!"

"Aku sibuk karena emang aku punya kehidupan sendiri," balas Gio, "tapi aku tetep mikirin kamu, lah. Jangan tiba-tiba begitu. Ngambek nggak jelas."

Oh tidak, Gio salah bicara. Tepat saat kalimat itu keluar dari mulutnya, Rofira melotot tidak percaya.

"Nggak jelas?" Air mata Rofira keluar. "Hancur. Hancur banget. Gila. Rusak!"

"Fi, Rofi."

"Hancur. Apa yang aku rencanain selama ini udah rusak, nggak sesuai harapan, nggak sempurna!" Rofira terus mendumel sambil menatap kosong dan berbalik membelakangi Gio.

"Maksudnya, nggak jelas itu ngambeknya Fi, bukan kamunya."

"Aku udah nggak jelas, berarti aku udah nggak sempurna. Aku udah salah banget. Aku jelek. Aku buruk. Aku—"

Dahi Gio berkerut melihat tingkah aneh Rofira. "Kenapa? Berhenti mendoktrin diri kamu yang enggak-enggak, Fi. Manusia emang nggak ada yang sempurna. Udah, udah, jangan dibawa ke hati. Aku minta maaf."

Tangan cowok itu meraih bahu Rofira dan mengguncangnya. "Kalau kamu bilang aku nggak nge-treat kamu dengan baik, kamu salah besar. Selama ini, antar jemput kayak supir, temenin kamu kayak aku nggak punya urusan lain, ajak kamu ke mana-mana kalau aku lagi ada kegiatan, kabarin kamu 24 per tujuh, nggak pernah absen pas kamu ajak jalan berdua, itu apa? Mainan? Enggak! Emang nge-treat sebaik mungkin menurut kamu itu gimana? Coba jelasin."

Rofira yang bercucuran air mata itu tersenyum. Dia bangga terhadap aktingnya. Lihat Gio sekarang, terbawa emosi juga.

Sempat dia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya nekat berkata, "Kita putus."

Seperti ada yang lepas dalam dirinya, cowok itu tercengang. "Pu-putus?"

"Ya, putus."

"Jangan jadiin putus itu alasan supaya aku makin ngejar kamu lagi, ini kali kedua kamu ngajak aku putus," balas Gio.

"Aku memang mau putus!" Rofira mendorong Gio. "Capek sama kamu! Harusnya aku nggak mau pas ayah kita saling mendukung hubungan ini! Karena pada dasarnya emang kamu nggak pernah suka sama aku!" tandasnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ya sudah!" Gio berteriak ketika cewek itu membanting pintu rumahnya.

"Bagus, kalau kita putus." Gio masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, menyetir keluar pekarangan rumah sepi cewek itu, dan pergi ke ATM atau automatic teller machine terdekat.

Mendengar kalimat sadis, Rofira kontan terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Hei, efek aktingnya ternyata membawakan emosi asli. Gio marah dan pulang begitu saja. Air mata palsu tadi mendadak menjadi air mata nyata karena sakit hati. Putus, mereka benar-benar putus.

Rofira menangis menangis tersedu-sedu, berlari ke dalam kamar.

"Kenapa putus benaran?!" teriaknya sambil melempar boneka-boneka beruang. "Kalau aku bilang putus, seharusnya kamu bujuk aku lagi kek! Baru juga dua kali bilang begitu!"

Brak!

Lemparan boneka Rofira tepat mengenai meja riasnya. Ponsel yang dia letakkan di sana jatuh ke lantai. Cepat-cepat cewek itu merangkak ke sana untuk meraih ponselnya dan menelepon nomor Gio, tetapi tidak dijawab.

Semakin kesal, dia melempar ponselnya membentur kaca rias hingga pecah, dua-duanya. Kemudian, dia lanjut berteriak keras sambil menangis dan menghambur seluruh isi kamar.

Dia ingin semuanya sempurna, tetapi jika ada satu yang tidak sesuai rencana, maka semuanya akan dihambur juga, sekalian rusak, pikirnya.

Rofira paling susah mengendalikan emosi. Semua barang bisa rusak karena dia banting terlalu keras, bahkan satu kamar bisa saja hancur luluh karena amarahnya yang tidak terkendali.

"Kenapa kamu nggak bujuk aku dulu?" gumamnya, masih terisak.

"Kenapa kamu nggak keluarin kata-kata kalau kamu bakal usahain treat aku lebih baik lagi, kalau kamu bakal tetep sayang sama aku, kalau kamu aslinya emang suka sama aku, bukan malah terima terus kabur juga!" Rofira berbicara sendiri, seolah Gio ada di sekitarnya.

Kamarnya sekarang sudah seperti kapal pecah. Rofira malas merapikannya, nanti biar pembantu saja.

Masih merasa sesak, tergopoh-gopoh Rofira meraih ponselnya yang retak parah, tetapi masih bisa dipakai untuk menghubungi seseorang.

Panggilannya diterima dengan cepat, suara di seberang menyahut.

"Ya, halo, gue putus sama Gio, gara-gara Syafika. Jadi, dilebihin aja tindakan kalian ke dia. Nanti gue tambah bayarannya," titah Rofira pada orang di seberang sana.

Begitu panggilan mati, dia kembali menangis bak anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Kebiasaan selalu mendapatkan apa yang diinginkan dari kecil dalam sekali meminta, membuat Rofira tidak bisa ikhlas ketika suatu kemauannya tidak terpenuhi. Jiwanya menolak sabar dan menerima. Bedanya, yang dia inginkan kali ini adalah pacar, bukan barang. Tak semudah itu ditaklukkan hanya dengan sebuah drama.

Dulunya, meminta mainan yang tak mau orang tuanya belikan itu mudah bagi Rofira, cukup berakting menangis saja, semua orang akan luluh dan kasihan kepadanya. Sekarang, akting itu tak berlaku, Gio malah pergi.

Dia berpikir bahwa Gio seharusnya menjadi pasangan paling tepat untuknya, dikit lagi mendekati sempurna, tetapi hanya dalam satu waktu semua itu hancur dan tidak menghasilkan apa-apa selain luka.

"Ini semua gara-gara Syafika," tuduh Rofira.

* * *

Setelah selesai berurusan dengan ATM, Gio masuk ke dalam mobil untuk menelepon ibunya. Tak perlu menunggu lama, panggilan itu diterima.

"Halo Assalamu'alaikum Bu, Gio sudah transfer semua uang tabungan ke rekening Ibu. Nanti tolong dicek ya."

"Wa'alaikumussalam. Loh, kenapa tiba-tiba Gi? Ada apa?"

"Nggak papa, Bu." Gio meneguk saliva. "Rumah kita kira-kira kapan selesai direnovasi ya Bu?"

"Besok, seneng banget Ibu, Alhamdulillah. Minggu depan kita sudah bisa tinggal di sana. Pondasi rumah itu juga sudah tinggi dari jalanan. Jadi kalau banjir nanti, air nggak bakal mudah masuk rumah lagi," jelas Sumia di seberang sana.

Gio tersenyum lebar. "Alhamdulillah. Gio seneng kalau Ibu seneng."

Ketika panggilan berakhir, cowok itu memandang lama ke setir mobil yang baru saja dibelikan oleh sang ayah sejak umurnya sudah menginjak tujuh belas tahun. 

"See you later, bro."

= GIOFI =

Rofira harus direkrut untuk jadi anggota teater kayaknya, biar bakat aktingnya enggak mubazir wkwk.

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

172K 8.5K 46
[ COMPLETED✔ ] ❝ Tidak hanya rintik air. Hujan juga membawa rindu bersamanya. ❞ [ highest rank : #456 in TeenFiction 12 feb 2018 ]
2.8M 123K 50
Completed ✅ Highest Rank : #33 in Romance - 2017/05/29 [CERITA INI MURNI DARI IMAJINASI SAYA, KALAU ADA KESAMAAN CERITA BERARTI TIDAK DI SENGAJA, JA...
1.7K 227 20
Perjodohan, dari benci jadi cinta? sudah biasa. Perjodohan, di terima dengan pasrah dan lapang dada. Itu baru beda. Kisah perjodohan dari tahun 1998...
63.9K 10.2K 17
Huang Renjun dan Lee Jeno adalah dua orang yang memiliki ketenaran di bidangnya masing-masing. Dibalik nama keduanya yang terkenal, mereka mempunyai...