Ayla dibuat pusing dengan suami dan kedua anaknya yang sakit secara bersamaan. Tak mau, keluar masuk ke kamar mereka. Akhirnya Ayla membaringkan ketiganya di ranjang kingsize miliknya dan Calvin. Carel yang berada ditengah tengah ayah dan adiknya.
Kenapa Ayla melakukan hal itu?
Karena, baru saja ia mengurus Kayra yang katanya kedinginan, teriakan putranya mau tak mau membuat Ayla harus meninggalkan Kayra. Menuju kamar Carel baru saja ia mengurus putranya, teriakan suaminya membuat Ayla harus menghampiri Calvin. Huft, Ayla yang lelah akhirnya memilih menggabungkan ketiganya.
"Aaa, Uma dingin," ucap Kayra yang terus bergumam.
Padahal gadis itu sudah tertutupi dua selimut tebal. Ayla hendak keluar, membuatkan air jahe untuk putrinya. Namun, teriakan putranya membuat Ayla mengurungkan niatnya.
"Uma, hidung Carel Uma. Hidung Carel mampet ga bisa nafas."
Ayla menghampiri putranya yang dari tadi mengucek hidung dengan mata yang terpejam.
"Carel dengerin Uma, sekarang duduk."
"Aaa.. gabisa Uma, gabisa nafas."
"Duduk dulu makanya, nanti bisa nafas."
Carel menurut, mengubah posisinya menjadi duduk. Menyandarkan kepalanya pada sandaran ranjang.
"Pusing Uma," ujar Carel yang kini beralih memijat kepalanya.
Carel mendongak, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Pakai ini," ucap Ayla menyodorkan inhaler pada putranya.
Carel menerima benda tadi, dan langsung menempelkan pada hidungnya.
Ayla menghembuskan nafas, hendak ke dapur membuatkan air jahe untuk putrinya. Namun, suara suaminya kini kembali membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
"Ay, Ay kaki aku. Kaki aku kenapa ga bisa digerakin?"
Ayla mengerutkan kening, berjalan pelan menghampiri suaminya.
"Jangan bercanda."
"Beneran Ay, ini kenapa jadi sakit banget."
Ayla menatap kaki suaminya yang masih terbalut perban. Menyentuhnya pelan, membuat Calvin berteriak.
"Sakit, Ay.."
"Ya aku gatau, udah kerumah sakit aja," ucap Ayla yang mulai frustasi.
Calvin menggeleng membuat Ayla menghembuskan nafas. Rasanya kepala Ayla ingin pecah mendengar setiap rintihan keluarganya.
Kayra yang terus mengadu kedinginan, padahal sudah menghabiskan dua cangkir teh hangat dan dua selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Carel yang terus megatakan hidungnya mampet dan tidak bisa bernafas. Dan suaminya, yang katanya kakinya tak bisa digerakkan.
"Uma dingin.."
"Uma, hidung Carel ga bisa nafas.."
"Ayy, kaki aku ga bisa digerakin.."
Fiks, Ayla tak akan tidur malam ini karena harus mengurusi suami dan dua anaknya yang sakit berjamaah.
***
Calvin berdecak ketika mendengar dering ponsel yang terus berbunyi.
"Handphone siapa?" tanya Calvin pada dua anaknya yang masih berbaring.
Dengan polosnya Carel mengangkat tangan, menjawab pertanyaan ayahnya barusan.
"Berisik, cepet diangkat."
Carel menggeleng, pria itu justru mengubah posisinya menjadi tengkurap membenamkan wajah pada bantal.
"Angkat dulu, siapa tau penting."
"Gamau Ayah, kepala Carel pusing," ucap Carel terbenam di bantal.
"Kak Carel angkat dulu," sahut Kayra yang kini mengubah posisinya menjadi miring. Memunggungi kakak dan ayahnya.
Carel berdecak, meraih ponselnya lalu mengangkat panggilan tadi, menempelkannya di telinga.
"Assalamu'alaikum, maaf salah sambung," ucap Carel tanpa dosa.
Tak mau menunggu jawaban diseberang sana. Carel langsung mematikan ponselnya. Membuat Calvin menggeleng pelan.
Baru saja Carel meletakkan ponselnya, namun benda pipih itu kembali berbunyi.
"Arghh."
Brakk
Calvin membulatkan mata ketika putranya dengan tanpa dosa, melempar ponsel tadi ke lantai.
"Carel," peringat Calvin.
"Maaf Ayah, tapi berisik banget. Kepala Carel pusing."
Calvin berdecak pelan, memperhatikan ponsel putranya yang kini tergeletak di lantai.
"Kenapa lagi?" tanya Ayla yang baru kembali dengan membawa nampan berisi air jahe.
Wanita itu membantu Kayra dan Carel untuk duduk, memberikan air jahe pada keduanya tak lupa untuk suaminya.
Ayla mengerutkan kening ketika melihat ponsel putranya yang berada di samping sofa dengan benda pipih itu yang terus berbunyi. Wanita itu lalu berjalan ke arah sana, mengambil ponsel putranya.
"Carel ada telfon."
"Biarin aja Uma, ga penting," sahut Carel lalu kembali meminum air jahenya.
"Biar Uma yang angkat ya.."
Carel mengangguk singkat, membuat Ayla lalu berjalan pelan keluar dari kamar menuju balkon. Sedikit heran karena nomor yang tak dikenal menghubungi putranya.
"Ass---
"Lo dimana sih, ngangkat telfon aja lelet. Ini buku materi numpuk di meja belajar gue, kapan lo mau ambil? Jangan sok sibuk lah, ditelfon ga pernah di jawab, di WA ga pernah di baca. Gue kan yang terus kena marah pak bondan," ucap Kanaya menggebu diseberang sana.
Ya.. Orang yang sejak tadi menelfon Carel adalah Kanaya. Seminggu ini, Kanaya terus menghubungi Carel untuk sekedar berkomunikasi mengenai olimpiade yang akan diikuti mereka. Jika bukan karena pak bondan yang terus terusan menerornya dan meminta agar mereka berdua segera membuat jadwal belajar bersama, mana mau Naya menghubungi Carel. Pria sombong yang tak mau mengangkat telfonya, pria sombong yang tak pernah membalas pesannya. Mending-mending jika dibalas, bahkan pria itu tak perbnah membaca pesan yang ia kirim.
"Maaf sebelumnya, ini Ibu nya Carel. Carelnya sedang sakit, apa ada yang mau disampaikan pada Carel? Kalau ada nanti Tante sampaikan."
Damn
Diseberang sana Kanaya terdiam, bisa-bisanya ia berkata panjang lebar dengan orang yang salah. Apalagi dengan ibu Carel yang lebih tua darinya. Demi apapun Naya merasa malu sekarang, malu dan perasaan tak sopan langsung ia rasakan.
"Ah, eh maaf tante saya ga tau kalau ini tante," jawab Naya kikuk.
Ayla mengulas senyum, "Gapapa, tante paham. Oh ya, ada yang bisa tante bantu?"
"Sebenarnya saya ingin memberitau Carel untuk mengambil buku materi yang sudah disiapkan pak bondan untuk olimpiade ipa nanti, Tante. Tapi kalau Carelnya lagi sakit gapapa kok."
"Maaf ya, jadi ngrepotin kamu. Besok kalau Carel udah sembuh, tante suruh langsung datang ke rumah kamu buat ngambil bukunya. Atau kalau enggak, kamu kirim alamat rumah kamu, biar nanti saya suruh supir untuk ambil kesana."
"Nggak usah tante, biar Carel sembuh dulu. Ga enak kan kalau lagi sakit, liat buku yang menumpuk."
Ayla tertawa pelan, "Kamu ini ada-ada saja. Ada lagi yang mau disampaikan?"
"Itu aja kok Tante, semoga Carel cepat sembuh."
"Aamiin."
"Kalau gitu saya tutup telfonnya Tan, assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
Ayla menggeleng pelan, kembali masuk ke kamarnya. Melihat suami dan anaknya sudah tertidur lelap. Ayla kembali mengulas senyumnya. Semoga saja besok mereka sudah lebih baik. Sementara diseberang sana, Kanaya merutuki kebodohannya, bisa-bisanya ia berkata seperti itu pada orang yang lebih tua. Namun, disisi lain wanita itu justru senang mendapat kabar Carel sedang sakit. Mungkin itu karma bagi Carel karena menggunakan waktu yang seharusnya untuk menyiapkan olimpiade justru ia gunakan untuk liburan.
***
Pria dengan balutan perban di kakinya itu terbangun ketika merasakan ada yang kurang dari tidurnya. Mengerjabkan matanya pelan, Calvin menoleh ke samping. Dapat ia lihat kedua anaknya yang terlelap. Pantas saja seperti ada yang kurang, ternyata ia tak mendapat pelukan hangat istrinya malam ini.
Calvin mendongak, melihat ke arah jam yang kini menunjukkan pukul sebelas malam. Tersenyum sekilas ketika melihat Ayla yang kini menopang dagu di sofa dengan mata terpejam. Kasian sekali istrinya itu. Mencoba menggerakkan kakinya pelan, dan berhasil. Calvin lalu meraih tongkat yang memang diletakkan disampingnya. Berjalan pelan ke arah Ayla di sofa.
Ayla yang mendengar derap lagkah dan suara tongkat yang bergesekan dengan lantai membuka matanya. Biar ku beritau, wanita itu sebenarnya belum tidur. Ayla hanya memejamkan matanya, berjaga-jaga jika diantara ketiganya ada yang membutuhkan dirinya.
"Mau kemana?" tanya Ayla berdiri menghampiri suaminya.
"Duduk," jawab Calvin enteng.
Ayla mengangguk sekilas, membantu suaminya berjalan ke arah sofa.
"Hati-hati."
Wanita itu lalu membantu Calvin duduk, menyandarkan tongkat Calvin di samping suaminya.
"Kenapa?"
"Kenapa, apa?" tanya Calvin heran.
Ayla menghembuskan nafas pelan.
"Tinggal duduk disana, ngapain harus kesini?" ucap Ayla menunjuk ranjang dengan dagunya.
"Disana ga enak, ga ada kamu soalnya."
Ayla hanya mengangguk, jujur dirinya sudah sangat mengantuk.
"Sini, tidur," ujar Calvin menepuk pahanya.
Ayla menggeleng, "Gamau, kamu lagi sakit."
"Aku gapapa."
"Kaki kamu yang sakit."
"Yang sakit cuma bagian bawah."
Tak mau mendengar bantahan istrinya, Calvin langsung menarik kepala istrinya pelan. Menidurkan di pahanya.
"Kebiasaan," ucap Ayla mendengus.
Calvin tertawa renyah, "Kakinya benerin."
Ayla menurut, menjulurkan kakinya. Menatap suaminya dari bawah.
"Kenapa?"
"Ganteng," jawab Ayla jujur.
"Iyalah, suaminya siapa dulu."
"Suami akulah," ucap Ayla mencebikkan bibirnya.
Calvin terkekeh mengusap pipi istrinya lembut.
"Capek?"
"Hmm," gumam Ayla mulai memejamkan matanya.
"Cari pembantu aja ya," ucap Calvin hati-hati.
"Nggak," jawab Ayla cepat, wanita itu kembali membuka matanya.
"Kenapa? Kasian kamu kalau kecapean."
Calvin tak bohong, ia merasa sangat kasian terhadap istrinya yang harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Padahal sudah dari dulu Calvin menawarkan pembantu. Namun, Ayla keukeh tidak mau. Jadilah mereka yang harus membersihkan rumah. Biasanya, Calvin, Carel dan Kayra yang membersihkan rumah dan Ayla yang memasak. Atau kadang jika ketiganya sibuk, Ayla yang akan membantu membersihkan rumah. Sejak awal Ayla memang tidak menginginkan adanya pembantu. Mereka hanya memiliki satpam yang berjaga di pos depan rumah dan seorang supir.
"Enggak capek."
"Tadi katanya capek."
"Enggak, cuma ngantuk."
Calvin mengangguk, "Yaudah tidur."
Ayla menghembuskan nafas, "Aku bingung, kenapa kalian kalau sakit selalu bareng?"
"Ya gatau," jawab Calvin jujur.
Ia juga heran, ketika dirinya sakit. Pasti kedua anaknya juga sakit. Waktu itu pernah Calvin demam tinggi. Ayla yang khawatir dengan suaminya dibuat khawatir ketika mengetahui kedua anaknya juga sakit. Dulu Ayla sampai memanggil Vei, ibu mertuanya untuk membantunya. Karena Carel dan Kayra yang waktu itu masih kecil dan terus menangis ketika sakit. Jika sekarang, Ayla sudah tidak terlalu repot seperti dulu. Karena anak-anaknya yang sudah dewasa dan hanya akan diam jika sakit.
"Ikatan Ayah dan anak, maybe."
Ayla mengangguk singkat, "Tapi tumben Carel sama Kayra habis liburan sakit. Biasanya bakal seneng banget."
"Mereka ga biasa naik bukit, suhu disana dingin banget Ay. Maklum aja, mereka ga terbiasa."
"Apalagi kalau naik tanpa persiapan dulu."
"Persiapan?"
"Biasanya kalau mau naik bukit gitu harus jogging dulu, biar ga kaget."
"Carel langsung gass aja," lanjutnya.
"Kenapa ga ngasih tau?"
Calvin mengedikkan bahunya, "Aku kira Carel udah tau."
Ayla berdecak, memutar tubuhnya menjadi memeluk perut suaminya.
"Kalau ada apa-apa tuh anaknya dikasih tau, walaupun nanti mereka udah tau kan seenggaknya biar mereka ga lupa."
"Iya-iya maaf."
"Kamu ga ada niatan berhenti?"
"Berhenti apa?" tanya Calvin menunduk memperhatikan istrinya yang kini membenamkan wajahnya di perut pria itu.
"Berhenti balapan," ucap Ayla hati-hati.
"Nggak," jawab Calvin cepat.
Ayla menghembuskan nafas, kembali mendongak memperhatikan suaminya dari bawah.
"Kamu ini udah ga muda lagi, tubuh kamu juga udah ga se-fit dulu. Latihan sering jatuh, aku ga tega setiap kamu pulang pasti ada yang luka."
"Namanya musibah ga ada yang tau," ucap Calvin mengalihkan pandanganya.
"Marah?" tanya Ayla memegang pipi suaminya.
"Aku ga suka, kamu nyuruh aku berhenti balapan."
"Tapi--
"Tidur," potong Calvin cepat.
"Dengerin aku dulu.."
"Udah malem, sekarang tidur."
"Marah ya?" tanya Ayla hati-hati.
"Tidur Ay, udah malem," ucap Calvin dengan nada rendah.
Matanya menatap lembut mata Ayla yang berada di pangkuanya. Tak mau membuat suaminya marah, Ayla mengangguk. Mulai memejamkan mata, tidur dipangkuan suaminya.
Tbc