Story Written by You & The Su...

By Yozora_MK

8.6K 967 1.6K

Berkisah tentang Johnny--dan Yuta yang senantiasa berdiri dalam pandangannya tapi tak mau memandang padanya m... More

OPENING
01. View Stealer
02. Heart Stealer
03. To Get You
04. About You, About Me
05. That "Someone"
06. You Makes Me Feel
07. The Sense
08. Untouchable You
09. Rift
11. Fear
12. Never Been There
13. Will You Stay?
14. A Moment In Time
15. Till Sunrise
16. Reclaim
17. Make It Work
18. Happy Story?
19. Say The Word 🔞
20. Start Line (Last)

10. Bird in Cage

212 29 59
By Yozora_MK

🌻 Johnny × Yuta 🌻

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Sewaktu kecil, Yuta selalu menganggap dirinya istimewa. Dia cucu lelaki satu-satunya sehingga selalu dieluh-eluhkan dalam keluarga besar Nakamoto.

Di lingkungan tempat tinggalnya pun dia disenangi banyak orang karena kepribadiannya yang ceria dan percaya diri.

Bukan hanya itu. Karena merupakan keturunan murni Jepang, maka sejak di taman kanak-kanak Yuta sudah sering menjadi pusat perhatian. Anak-anak yang lain mulanya berkenalan dengannya hanya karena penasaran. Namun seperti biasa, Yuta ceria dan supel, maka berteman dengan semua anak bukanlah hal mustahil baginya.

Yuta begitu dianakemaskan, tapi juga dikekang oleh kedua orang tuanya. Apa pun yang diinginkannya pasti dikabulkan.

Apa saja, kecuali kebebasan.

Ayah dan ibunya hampir-hampir tak pernah mengizinkan Yuta berada di luar rumah terlalu lama. Kemungkinan karena memiliki pola pikir agak kolot, pasangan suami-istri tersebut beranggapan bahwa orang Korea mungkin akan memandang sebelah mata pada mereka yang asli Jepang. Keduanya takut kalau-kalau sosial akan memperlakukan Yuta dengan berbeda.

Hal tersebut tentunya juga diterapkan pada kakak perempuan Yuta, Momoka. Akan tetapi gadis tersebut tak mempermasalahkannya karena memang lebih suka menghabiskan waktu di dalam rumah ketimbang bepergian keluar.

Sebaliknya, Yuta yang sejatinya berjiwa petualang tentu tertekan.

Sewaktu SD, Yuta tak pernah punya kesempatan untuk bermain di luar rumah sepulang sekolah. Kalaupun ingin bermain bersama teman-temannya, dia bisa mengundang siapa saja ke rumah. Sehabis dari sekolah dia diharuskan langsung pulang.

Karenanya, Yuta kerap merasa iri tiap kali teman-temannya pergi menginap bersama. Sebab, di hari berikutnya mereka akan membicarakan keseruan sewaktu menginap, sementara Yuta sendiri hanya akan mendengarkan tanpa bisa ikut bergabung. Dia tidak suka momen seperti itu.

Entah hal baik atau buruk, pada akhirnya masa-masa tersebut berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa SD.

Begitu menginjak masa SMP, kakek dan nenek Yuta menawarkan pada anak lelaki tersebut untuk bersekolah di Jepang dan tinggal bersama mereka.

Tadinya tawaran tersebut bukan diberikan kepada Yuta seorang. Dahulu, sebelum Yuta, Momoka juga pernah diberikan kesempatan yang sama. Akan tetapi, sekali lagi, Momoka dan Yuta berbeda. Dulu si putri sulung menolak karena sudah telanjur nyaman dengan lingkungan di Korea dan tak ingin beradaptasi dengan lingkungan baru.

Kini ketika Yuta akhirnya mendapatkan gilirannya, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Tanpa banyak berpikir dia menyambar tawaran dari kakek-neneknya. Si anak lelaki berdarah Jepang pun akhirnya kembali ke negara asalnya.

Tak ada yang pernah menyangka bahwa keputusan tersebut akan membawa Yuta pada keputusan-keputusan yang kelak pasti disesalinya.

. . .

Pada hari pertamanya di SMP, Yuta sudah membuat pertemanan dengan beberapa anak selama upacara penyambutan murid baru. Ketika memasuki jam istirahat, Yuta kemudian mengajak beberapa teman barunya tersebut untuk berkenalan dengan beberapa lagi temannya yang juga baru diajaknya berkenalan di kelas. Selang beberapa hari, dia sudah memiliki teman gengnya sendiri.

Yuta berteman dengan banyak anak bukan hal baru. Namun yang membedakan kali ini, tidak akan ada lagi pagar yang mengelilinginya.

Sebelumnya, lingkup pertemanan Yuta amatlah terbatas. Selama ini dia tidak pernah benar-benar belajar bagaimana cara membatasi diri sendiri, atau menjaga diri agar tak terbawa arus. Pengalamannya masih terbilang minim.

Suatu hari salah seorang teman Yuta memperkenalkan seniornya dari SMA yang bernama Yoshino Ken.

Sejak awal Yuta tahu Ken adalah anak nakal. Dari penampilannya yang tak pernah mengenakan seragam dengan benar, luka-luka perkelahian yang selalu ada di wajahnya, tak pernah berada di sekolahnya pada jam-jam pelajaran, gaya bicaranya yang kerap mengumpat—siapa pun pasti akan langsung menilai negatif.

Akan tetapi Yuta tak ingin menghakimi lebih dulu. Dia berpikiran pastinya tak hanya hal-hal buruk saja yang ada pada Ken. Dari dulu dia memang tidak pernah memilih-milih dalam berteman.

Ken bukan orang jahat, tapi dia memang bukan orang baik. Dia tidak pernah mencelakai teman-temannya secara langsung, tapi dia sendiri juga tidak pernah menjaga mereka.

Di suatu hari di akhir pekan, Yuta dan teman-temannya berkumpul bersama di rumah Ken. Anak-anak dari berbagai usia berkumpul di sana dengan rencana menonton pertandingan sepak bola bersama pada malam harinya. Itu adalah kali pertama Yuta meminta izin untuk menginap.

Kakek dan nenek Yuta pun memberikan izin dengan pesan, “Jangan melakukan hal-hal aneh dan jangan membuat masalah.”

Meski disampaikan dengan setengah bergurau, tentu saja pesan itu sungguh-sungguh.

Dan sayangnya, Yuta tak menjalankan pesan tersebut dengan sungguh-sungguh. Pada malam itu para anak SMA mengenalkan anak-anak SMP itu—tak terkecuali Yuta—pada hal-hal yang tidak semestinya. Rokok, alkohol, dan bahkan obat-obatan terlarang.

Yuta pernah minum sake bersama ayahnya, tapi tak pernah sampai benar-benar mabuk, sedangkan pada malam itu dia membiarkan dirinya terbuai dan tenggelam.

“Ayolah, kalian harus mencoba ini. Jangan jadi pecundang.”

Karena kata-kata tersebut, Yuta bersikap masa bodoh. Dia punya kebiasaan mengikuti dan menuruti orang lain.

Sekalipun tahu itu bukan hal baik, Yuta tak peduli. Karena dia suka tantangan dan hal-hal baru, dia suka melampaui batasan-batasan, karena dia pikir ini bukan perkara besar—tidak akan jadi masalah karena ini rahasia antar mereka. Ditambah lagi, dia tidak suka kekalahan, seperti saat semua teman-temannya ikut mencoba sehingga menyisakan dirinya yang belum.

Maka Yuta menjajal apa-apa sana yang diberikan padanya.

Mulanya bir, hingga ujung-ujungnya sabu dan mariyuana.

Saat pertama kali mencoba benda berbentuk serbuk tersebut, Yuta sempat tersedak dan membuat dirinya ditertawakan oleh Ken. Akan tetapi pada momen-momen berikutnya, tangannya mulai gemetaran dan dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk kembali meraih benda tersebut.

Yuta tidak tahu bagaimana mendeskripsikan sensasi pada saat itu. Dia teler dan tak bisa mengendalikan seluruh tubuhnya, kenyataan dan ilusi bagai membaur jadi satu. Namun satu yang paling disukainya, dia merasa bebas.

Rasanya seperti dia sedang terbang mengarungi langit nan luas.

Alhasil, saat Ken merangkulnya dan menanyakan, “Kau suka, kan?”

Yuta tertawa. Sebab, dia merasa bahagia tanpa alasan yang pasti.

Semenjak hari itu, Yuta tak lagi memberikan batasan pada dirinya. Baginya, hidupnya yang hanya sekali ini mesti dihabiskan dengan bersenang-senang. Bagai burung yang dilepaskan dari sangkarnya, Yuta terbang kelewat jauh hingga hilang.

Setiap hari, sebelum Yuta berangkat sekolah, kakek dan neneknya akan berpesan, “Belajar yang rajin dan jadi anak baik, ya.”

Yuta selalu menjawabnya dengan senyum serta kalimat, “Itu pasti.”

Itu adalah kebohongan.

Anak baik keluarga Nakamoto adalah anak nakal di luar rumah. Seolah-olah memiliki kepribadian yang lain, Yuta perlahan berubah menjadi remaja yang brutal, terutama saat dia bersama dengan teman-temannya dari kalangan SMA.

“Oh, jadi kau yang kemarin bilang mau menantang Ken-san?

Senyum Yuta yang selalu dipuji manis oleh neneknya, tampak mengerikan ketika berubah menjadi seringai. Tatapannya pun tak pernah terlihat berbinar-binar selayaknya saat dia menatap adik kecilnya. Itulah yang terjadi saat seorang anak lelaki berkata akan menghabisi Ken.

Bukan Ken yang terpancing, malah Yuta si anak SMP. Tentu saja hal tersebut membuat si lawan merasa diremehkan. “Anak kecil sepertimu lebih baik minggir saja. Pulang dan tidur siang sana.”

Tak berbeda jauh, Yuta pun ikut-ikutan tersinggung. Kata-kata yang dilontarkan padanya terdengar amat menyebalkan, sebab memang seperti itulah rutinitasnya sepulang sekolah sebelum kembali ke Jepang.

Namun Yuta tak menunjukkan ekspresi marahnya. Sebaliknya, dia kembali menarik kedua sudut bibirnya. Sejenak dia menoleh pada Ken yang berdiri tak jauh di belakangnya. “Ken-san, bolehkah aku ambil dia?” ucapnya serta-merta.

Pertanyaan tersebut hanya ditanggapi dengan kekehan kecil serta satu anggukan.

Dan dengan itu Yuta lantas melayangkan tinju sekuat tenaga ke wajah si lawan, tiba-tiba sekali dan tanpa peringatan terlebih dahulu. Tak membuang waktu, dia lantas maju dan kembali memberikan bogemnya mentah-mentah, kali ini menyasar dagu. Sesudah itu menghadiahkan tendangan sebagai serangan susulan.

Sewaktu lawannya jengah terdesak dan mulai membalas, Yuta berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri ke tanah sembari menjegal kaki si pemuda. Tubuh itu jatuh terjerembab sehingga memudahkannya menyerang kembali.

Namun pergerakan Yuta didahului tubuhnya ditendang.

Alih-alih kesakitan, Yuta justru semakin bersemangat. Bahkan saat disadarinya bahwa pukulan-pukulan yang terus dilayangkannya tak banyak berdampak pada lawan, dia justru antusias. Anehnya, semakin banyak luka yang diterimanya, semakin pula adrenalin Yuta terpacu.

Barangkali ini karena mariyuana. Selalu seperti itu. Sensasi seperti inilah yang dicari oleh Yuta. Berhadapan dengan seseorang yang lebih kuat dan tangguh darinya entah mengapa serasa membuat sesuatu dalam dirinya  terbakar. Rasa ngilu saat jemarinya menghantam wajah lawan, hingga tetesan darah yang bersentuhan dengan kulitnya, rangkaian kepuasan ini tak bisa didapatkan Yuta di manapun.

Yang paling mengerikan adalah saat Yuta berhasil mengalahkan si lawan. Sebab, dia memukul bukan untuk menaklukkan lawannya. Dia memukul untuk melampiaskan apa yang selama ini dipendamnya. Karenanya, tak peduli meski si korban telah terkapar tak berdaya, Yuta akan terus menghajarnya hingga benar-benar sekarat.

Setelah itu, Yuta akan tertawa.

Ken membuat Yuta menjadi seorang petarung, tapi dibalik itu Yuta sendiri menjadikan dirinya iblis. Dia menumbuhkan monster dalam dirinya.

Anak-anak SMP yang lain pun memberikan julukan Shinigami kepada Yuta, yang artinya malaikat kematian.

. . .

Tahun pertama di SMP, Yuta yang terkenal suka bergaul dengan anak-anak dari SMA sebelah mulai menjadi populer—meski dalam konteks negatif. Bahkan pada suatu hari, seorang anak perempuan dari kelas sembilan tahu-tahu datang menemui Yuta dan mengajaknya berpacaran, namanya Hanamori Karin.

“Aku suka Nakamoto-kun. Apa kau mau berpacaran denganku?”

Yuta yang polos dan tak pernah mengenal dunia asmara menerima begitu saja. “Oke, ayo pacaran.”

Pada waktu itu Yuta belum tahu apakah dirinya juga menyukai gadis tersebut atau tidak, tapi Karin memang anak yang cantik. Senyum si gadis saat ajakannya diterima benar-benar manis, sampai-sampai Yuta tak bisa berhenti melihatnya.

Keduanya memiliki kecocokan karena kebetulan Karin juga merupakan anak nakal, hampir-hampir sama seperti Yuta. Kabar yang beredar mengatakan Karin pernah tidur dengan wali kelasnya sendiri sewaktu masih kelas delapan, tapi seperti biasa Yuta masa bodoh saja.

Hubungan mereka berjalan baik selayaknya anak-anak di usia mereka berpacaran. Yuta menikmati itu.

Setiap hari, sehabis bel terakhir berbunyi, Karin akan menunggu Yuta di depan pintu loker untuk diajak pulang bersama. Lalu, selagi teman-temannya menggoda dan bersiul sembari menyikutnya, Yuta hanya akan tertawa malu selagi melihat ke arah Karin yang juga tersenyum sambil menyisikan rambut ke telinga.

Pada masa-masa itu Yuta merasa berada di puncak. Dia pikir dirinya sedang menjalani hidup terbaiknya.

Tentu saja itu tak berlangsung lama.

Pada musim gugur di tahun yang sama, Yuta masih saja bergantung pada obat-obatan terlarang. Dia mungkin menghabiskan uang sakunya lebih dari yang semestinya hanya demi membela barang iblis tersebut. Karena sebelum dia menyadari, dirinya telah kecanduan.

Karin belum mengetahui hal tersebut, tapi suatu hari pasti. Cepat atau lambat.

Awal mulanya Karin memperhatikan pergaulan Yuta. Meskipun dia gadis nakal, tapi setidaknya dia tahu kenakalan yang dilakukannya berbeda dengan apa yang dilakukan para remaja tingkat SMA tersebut. Bukan hanya tahu mereka membawa masalah serius pada Yuta, anak-anak tersebut juga menyita banyak waktu Yuta—waktu luang yang seharusnya dihabiskan bersama dirinya.

Karenanya, Karin kemudian memutuskan bahwa dia harus menjauhkan pacarnya dari orang-orang tersebut.

“Hei, Yuta-chan.”

Yuta memiringkan kepala saat merasakan Karin memainkan jemari di telinganya. Dipandangnya si anak perempuan yang berbaring bersamanya. “Ada apa?” dia bertanya.

Dua remaja itu berbaring di satu kasur dan sama-sama hanya tertutupi selimut. Karena hari ini kedua orang tua Karin akan pulang malam, maka sepulang sekolah keduanya menghabiskan waktu bersama hingga sore hari, melakukan kegiatan yang dilakukan sepasang kekasih.

“Kau masih sering bertemu dengan teman-temanmu dari SMA itu?”

Yuta mengangguk. “Iya,” jawabnya sembari menekuk satu lengan di bawah kepala. “Kenapa?” dia balik bertanya.

Tanpa banyak basa-basi Karin berkata, “Bisakah kau berhenti berteman dengan mereka?”

Pertanyaan sekaligus permintaan tersebut jelas membuat Yuta mengerutkan kening. “Kenapa?” dia bertanya lagi.

“Kau tahu, mereka bukan anak baik.”

Untuk sesaat Yuta merasa maklum. Dia tahu karena memang itulah yang selalu dikatakan orang-orang. Memang seperti itulah yang terlihat. Namun dia masih berkata, “Mereka tidak seburuk itu kok.”

“Kau merokok gara-gara mereka, kan?”

Yuta tak membantah. Sebaliknya, dia hanya berharap semoga Karin tidak akan pernah tahu bahwa pacarnya ini bukan cuma merokok, tapi juga menghisap mariyuana dan menenggak sabu.

“Kau juga lebih sering bertemu dengan mereka daripada denganku. Itu membuatku kesepian,” Karin kembali menambahkan. Intonasi agak terdengar merengek.

Sebetulnya itu agak kurang tepat. Yuta selalu membagi waktunya. Jika dikatakan bahwa dirinya lebih sering berkumpul dengan teman-temannya ketimbang pacarnya sendiri, itu tidak benar. Akan tetapi Yuta mungkin tidak akan berpikir demikian, sedang Karin sengaja melebih-lebihkannya agar Yuta tak punya pilihan lain.

Yuta pun berpendapat kalau mungkin dirinya memang kurang memahami perasaan sang kekasih. Alhasil, dia pun memutuskan, “Aku akan kurang-kurangi berkumpul bersama mereka, tapi aku tidak janji akan berhenti berteman dengan mereka. Aku tidak bisa melakukan itu.”

“Kau tahu?” Karin berkata, lalu sedikit menggeser diri pada Yuta. Sambil memeluk lengan anak lelaki tersebut dia mendongak dan mengatakan, “Aku mengatakan ini karena aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu. Kalau sesuatu terjadi, aku pasti akan sangat sedih.”

Berada bersama Karin membuat Yuta merasa tenteram. Terlepas dari citra cewek nakal yang selalu dicapkan pada anak perempuan tersebut, baginya Karin adalah seseorang yang hangat.

Karenanya Yuta hanya tersenyum dan mengatakan, “Terima kasih, ya.”

Yuta bersungguh-sungguh saat mengatakan hal tersebut. Dia serius sebab memang merasa berhutang beribu terimakasih.

“Yuta-chan, aku benar-benar menyukaimu.”

Ketika Karin kembali beringsut dan memberikan ciuman pada Yuta, pada saat itu juga Yuta membuat keputusan bahwa dirinya akan berhenti jadi anak nakal mulai sekarang.

Karena Karin, Yuta mulai mencoba kembali. Dia mengurangi intensitas pertemuannya dengan Ken dan gengnya. Alasan yang diberikannya beragam, entah mereka percaya atau tidak, yang terpenting dia mencoba.

Mulanya semua terlihat baik.

Namun Yuta tak bisa berhenti begitu saja. Mencoba dan benar-benar berusaha merupakan dua hal yang berbeda. Tubuh Yuta telanjur mengenal drug, dan melepaskan diri tentu bukan perkara mudah—bahkan dengan usaha keras sekalipun. Jadi sesekali saat dirinya merasa butuh, Yuta akan diam-diam bertemu dengan salah satu anak SMA itu dan melakukan transaksi.

Lalu, hari itu pun terjadi.

. . .

Yuta baru tiba di tempat biasa untuk mendapatkan barangnya. Akan tetapi ada yang tak biasa pada hari itu.

Sembari berjalan di tempat parkir nan sepi itu, Yuta menoleh ke sana kemari dengan was-was. Satu tangannya masih memegang ponsel yang tadi tak juga dia matikan. Harusnya dia bertemu dengan seseorang di tempat tersebut, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Nomor yang sedari tadi dia hubungi pun sama sekali tak merespons.

Hingga tak berapa lama kemudian terdengar suara gaduh dari sebuah gedung tepat di belakang Yuta. Secara refleks anak lelaki tersebut menyembunyikan diri di balik salah satu mobil yang terparkir di sana, sembari mengintip, memperhatikan situasi.

Sesaat berselang terdengar lagi bunyi seperti benda-benda berjatuhan, disusul kemudian munculnya sosok seorang laki-laki yang berlari keluar dari gedung tersebut. Yuta sekejap menajamkan penglihatan, lalu mendadak terkesiap. Dilihatnya wajah yang amat familier.

Sosok itu berlari sambil terseok, dan Yuta akhirnya keluar dari persembunyiannya. “Ken-san!” dia memanggil.

Pemuda itu spontan berhenti, lalu memasang raut terperanjat begitu melihat siapa yang baru saja memanggilnya. “Yuta?”

Yuta menghampiri Ken memandangi dengan kritis, baru tersadar bahwa pemuda di hadapannya tersebut bersimbah darah. “Apa yang terjadi?” dia bertanya.

Bukannya menjawab, Ken menoleh kembali ke belakang, lalu memperhatikan sekeliling dengan cepat. Setelah itu dia menatap Yuta lagi. “Dengar,” katanya, entah mengapa agak panik, “lupakan kalau kau bertemu denganku hari ini. Bahkan, mulai sekarang anggap kita tidak saling mengenal.”

“Tu-tunggu, apa yang—”

“Kau harus pergi dari sini!” Ken kembali berkata cepat. “Jangan sampai ada yang melihatmu.”

Sesudah berkata demikian, Ken mendorong Yuta seolah menyuruhnya untuk buru-buru pergi. “Ken-san, ada apa?” Yuta mencoba bertanya sekali lagi sebelum mulai mengayunkan kaki.

Namun Ken hanya menyergah, “Pergi!”

Maka mau tak mau Yuta menurut dan mulai melangkahkan kaki secepat mungkin. Sementara Ken sendiri segera berlari menuju arah yang berbeda.

Sepanjang perjalanan pulang, Yuta tak berhenti dibuat resah. Dia memikirkan Ken, sebab dia tahu apa pun yang telah terjadi pastilah bukan hal baik.

Pada hari berikutnya Yuta mendengar kabar bahwa telah terjadi insiden pembunuhan di daerah tempatnya tinggal. TKP yang merupakan gedung tak terpakai kini dijaga polisi. Seorang remaja SMA ditetapkan sebagai tersangka dan kini sedang dalam pencarian.

Yuta yang mendengar kabar tersebut syok. Sebab, gedung tempat insiden tersebut terjadi adalah tempat di mana dia bertemu dengan Ken semalam, sedangkan remaja yang kini dalam pengejaran adalah Ken itu sendiri.

Kini Yuta akhirnya mengerti apa maksud dari ucapan-ucapan nan janggal Ken kemarin.

Ketika Ken akhirnya tertangkap dan penyelidikan dilakukan, maka segalanya pun terungkap. Di depan penyidik Ken mengatakan bahwa dirinya tidak benar-benar bermaksud membunuh, dia melakukannya untuk membela diri. Namun, tak ada saksi mata dan tak ada bukti. Ditambah lagi ini bukan pertama kalinya pemuda tersebut terlibat masalah dengan polisi.

Yuta sempat ditanyai perihal kasus Ken, tapi tak banyak karena sejak awal dirinya memang mengaku tak mengenal pemuda tersebut. Dia juga tak mencoba membela temannya tersebut, entah meski sekadar mengatakan Ken tidak mungkin membunuh, itu pasti benar-benar kecelakaan, atau bahwa kepribadian Ken terlalu cuek untuk terpancing melakukan pembunuhan.

Tak ada keterangan yang didapat kepolisian. Seolah Yuta dan Ken hanya kebetulan sama-sama mengenal si korban. Seperti yang dikatakan Ken, Yuta betul-betul tak memberikan kesaksian apa-apa tentang malam itu.

Ken pun ditetapkan sebagai tersangka dan dikirim ke tahanan dengan masa tahanan sesuai hukum yang berlaku untuk remaja seusianya.

Efek lainnya dari kasus tersebut adalah, saat terungkap bahwa Ken seorang pemakai, maka berbagai pihak turut pula terkena dampak. Mereka yang menyediakan barang untuk Ken akhirnya turut diringkus, beserta remaja-remaja lain yang juga terlibat—termasuk Yuta.

Berbeda dengan Ken dan kumpulannya yang memang berasal dari sekolah dengan citra buruk, sekolah Yuta termasuk sekolah dengan predikat baik. Sekarang karena salah satu muridnya berurusan dengan narkoba, kehebohan yang ditimbulkan pun lebih menggemparkan dari yang semestinya.

Salah satu surat kabar setempat bahkan sampai memuat kasus tersebut dengan headline Siswa Sekolah Elite Terlibat Kasus Obat-obatan Terlarang. Sekalipun tidak mengekspose wajah ataupun nama si murid, semua tahu siapa itu.

Karena hal tersebut, Yuta seketika menjadi bahan celaan. Lalu dengan diringkusnya semua teman-teman pecandunya, maka tak ada lagi yang mau menjadi temannya.

Bahkan, Karin sekalipun memalingkan muka dari Yuta.

“Siapa kau? Kau bukan Nakamoto Yuta yang aku kenal.”

Itu adalah kata-kata terakhir yang diberikan Karin sebelum hubungan mereka benar-benar berakhir. Ekspresinya yang dingin menyiratkan kekecewaan, dan pemandangan itu betul-betul mencabik batin Yuta.

Yuta bahkan tak sempat mengucapkan maaf.

Pada saat itu Yuta baru paham bahwa perasaan bahagia yang dirasakannya saat bersama Karin sebelum ini jelas berbeda dengan kebahagiaan yang didapatkannya dari drug.

Bukan karena Karin memiliki paras yang cantik, atau karena mereka memiliki kepribadian yang cocok, bukan juga karena Karin adalah pengalaman seks pertama Yuta. Melainkan karena Yuta betul-betul menyukai Karin. Karena Karin memberinya perhatian dan kasih sayang yang belum pernah didapatkannya dari siapa-siapa, dan karena Karin adalah orang pertama yang ingin dia jaga.

Karena Karin adalah cinta pertama Yuta.

. . .

Patah hati pertama Yuta adalah saat orang-orang di sekelilingnya mulai memandang padanya dengan tatapan menghakimi. Disusul kemudian saat satu persatu temannya pergi meninggalkan dirinya, dan saat Karin memilih untuk melepaskannya.

Tak berkesudahan, hati Yuta terus dipatahkan lagi dan lagi hingga benar-benar remuk.

Sejak tersebarnya berita tentang dirinya yang merupakan seorang pecandu, Yuta tak berani lagi datang ke sekolah. Dia mengurung diri di kamar dan tak pernah keluar. Dia bahkan tak berani bertemu dengan kakek dan neneknya sebab merasa tak punya muka, terutama semenjak kedatangan orang-orang dari kepolisian.

Dari sana Yuta mulai menyadari alangkah bodoh dan salah dirinya selama ini, dan sekarang sudah terlalu terlambat. Dia kian membenci dirinya sendiri karena, sekalipun merasa bersalah, dia masih tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Sampai saat itu pun Yuta masih tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan lari.

Ketika kedua orang tua Yuta akhirnya datang—untuk mengurus segala permasalahan serta menjemput Yuta pulang kembali ke Korea—pertemuan yang terjadi rupanya di luar pengharapan. Mereka datang di saat yang terlalu tepat.

Yuta tengah sakau saat itu sehingga alih-alih mengadakan pertemuan keluarga, mereka justru perlu berurusan dengan ambulans dan para tim medis.

Si anak lelaki telanjur kecanduan. Alhasil, ketika dia berhenti menyentuh obat-obatan terlarang itu, tubuhnya bagai sekarat. Dia didera sakit yang luar biasa, setiap inci tubuhnya terasa tersiksa, bernapas terasa amat sulit, kepalanya berputar dan pening, seakan seluruh indranya tak lagi berfungsi dan kesadarannya kacau balau.

Yang dirasakan Yuta hanya penderitaan. Dia tenggelam dalam ilusi yang diciptakannya sendiri.

Belum sampai di sana, selagi di rumah sakit Yuta tanpa sengaja mendengar kabar yang mengejutkan dari obrolan para perawat.

Di depan kamar Yuta, dua orang perawat membicarakan tentang jenazah yang baru tiba di sana. Seorang tahanan remaja melakukan tindakan bunuh diri di dalam selnya sendiri.

“Bukankah dia anak yang beberapa waktu lalu melakukan pembunuhan di gedung tua itu? Aku lihat beritanya di TV. Pagi ini dia menusuk dirinya sendiri dengan pecahan keramik.”

Sewaktu mendengar itu, Yuta sempat tak percaya, tapi ketika mendengarkan lebih jauh, dia akhirnya tahu bahwa si anak laki-laki yang tengah dibicarakan bernama Yoshino Ken. Kabar tersebut membuatnya amat terpukul.

Tak berapa lama pihak kepolisian mendatangi Yuta untuk meminta keterangan mengenai Ken. Namun karena Yuta telanjur berbohong sejak semua bermula, maka kini dia berbohong seterusnya di hadapan polisi.

Sama seperti yang dikatakannya saat diinterogasi sebelumnya, dia masih mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak mengenal Ken dan tidak berada di tempat kejadian pada malam saat pembunuhan terjadi—alibi ini juga diperkuat saat kakek nenek Yuta mengatakan Yuta pergi ke game center pada malam itu, sebab memang demikianlah Yuta berpamitan.

Meskipun kata-katanya berkesan ambigu, kepolisian hanya menganggap itu hal yang wajar—bagaimanapun Yuta juga masih dalam proses untuk diadili atas tindakannya memakai obat-obatan terlarang, dia mungkin masih terguncang.

Hal yang menyesakkan bagi Yuta sebab fia tak punya siapa-siapa untuk berbagi pada saat itu. Dia tidak bisa mengatakan pada siapa pun bahwa dirinya menyesal tidak bisa memberikan pembelaan untuk Ken atau betapa dirinya menyesali setengah mati momen saat dirinya meninggalkan Ken sendirian malam itu.

Dan juga, yang paling membuat Yuta pedih adalah, dia amat merasa bersalah kepada keluarganya—pada ayah dan ibunya yang selalu dia susahkan, kakek-neneknya yang dia kecewakan, serta dua saudaranya yang mungkin begitu mencemaskan dirinya di Korea saat ini.

Yuta sangat membenci dirinya karena menyakiti orang-orang tersebut.

Di satu malam Yuta menangis seorang diri sambil bersembunyi di atap rumah sakit. Dia merasa malu meski hanya untuk menangis di depan keluarganya. Semua yang dilakukannya hanyalah kebodohan yang membawa derita pada semua orang.

Pada titik itu Yuta sungguh-sungguh ingin kembali, tapi tak bisa. Dia tidak melihat jalan untuknya. Semuanya hancur lebur. Satu-satunya yang tersisa hanya keputusasaan.

Jadi Yuta kemudian mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Dia bertanya-tanya apakah Ken juga merasa bersalah seperti dirinya kini saat memutuskan untuk pergi dari dunia ini? Sebab, dia merasa hukuman di dunia saja tak cukup untuk menebus kesalahannya.

Malam itu Yuta berdiri di pembatas atap dan memantapkan diri bahwa dia harus mendapatkan hukuman atas semua perbuatannya.

Kau harus melakukan ini agar tidak melukai orang lain lagi, demikian yang coba Yuta katakan pada diri sendiri.

Akan tetapi, keberanian Yuta rupanya tidak sebesar itu. Dia masih jadi pengecut. Dia cuma bocah tiga belas tahun yang baru mengenal apa itu rasa sakit.

Selagi menatap ke bawah dan melihat betapa tinggi tempatnya berada, ketakutan merasuki Yuta sehingga membuatnya melangkah mundur kembali secara refleks. Begitu menjatuhkan diri ke lantai atap yang kasar, Yuta pun menangis lebih keras lagi.

Kebencian terhadap diri sendiri semakin membesar dalam diri Yuta. Dia menyadari, bahkan dengan semua yang sudah dilakukannya—dengan penyesalan serta rasa bersalah yang menggerogotinya—dia masih tidak berani untuk mengakhiri nyawanya.

Pada saat itu Yuta hanya bisa menghujat dirinya sendiri.

Kau harusnya mati.

Kau tidak pantas ada di dunia ini.

Kau adalah bajingan. Sampah.

Kau yang terburuk dari yang paling buruk.

Semua akan jadi lebih baik kalau kau menghilang dari dunia ini.

Dasar pecundang!

Tengah malam ketika Yuta kembali ke kamar rawatnya, dia melihat kedua orang tuanya duduk di kursi koridor sambil berbicara. Keadaan sunyi membuat percakapan tersebut terdengar jelas.

“Ini salahku. Aku terlalu menekannya sejak kecil, aku terlalu berharap padanya sampai tidak sadar telah memberinya banyak beban. Aku bukan ayah yang baik.”

“Ini bukan salah Papa. Kalau Papa berkata seperti itu, lalu akan jadi apa Mama? Mama adalah ibu yang gagal ”

“Yuta akan baik-baik saja, Papa janji kali ini. Kita akan kembali seperti dulu lagi.”

“Setelah ini, Yuta akan bahagia.”

Tidak, aku tidak pantas menerimanya.

Entah bagian mana yang terasa menggerus hati Yuta. Mungkin suara kedua orang tuanya yang terdengar serak, menandakan mereka sedang menangis, atau mungkin karena Yuta tahu dirinyalah penyebab semua kesedihan ini—dan meski demikian orang tuanya masih mengharapkan kebahagiannya. Alangkah jahat yang sudah dilakukan Yuta.

Yuta sudah tahu dirinya tidak berhak menangis kala itu. Dia juga mati-matian menahan air matanya, tapi tak bisa. Dia gagal karena tahu-tahu saja wajahnya sudah basah.

Pada detik-detik berikutnya Yuta pun kembali melangkah. Begitu kakinya semakin dekat, dilihatnya kedua orang tuanya menoleh dan seketika berdiri.

“Yuu-chan... Sayang...” sang ibu memanggil sambil berjalan menghampiri putranya.

Namun belum sang ibu mencapai dirinya, Yuta sudah kembali berhenti. Dia menunduk dalam-dalam, sambil terisak berkata dengan suara pelan, “Maaf...”

Langkah kaki sang ibu perlahan melambat.

Sementara Yuta kini menjatuhkan lutut ke lantai dan menurunkan kepala. “Maafkan aku...” dia menangis sambil menunduk teramat dalam.

Yuta berharap dirinya tenggelam ke dasar bumi saat itu juga. Air mata membanjiri wajahnya dan jatuh ke atas tangannya. Dia masih mengatakan kata yang sama. “Maaf....”

Sang ibu terlihat menggeleng. “Tidak, Sayang. Kau tidak salah.”

Namun Yuta tahu itu hanya ucapan yang diberikan sang ibu untuk menghibur dirinya. Dia tahu melebihi siapapun bahwa dirinya yang paling bersalah. Karena itulah dia tidak mampu menghentikan air matanya.

Yuta masih masih menangis dengan keras. “Aku sangat menyesal... Maaf....”

Wanita itu lantas memeluk Yuta dan mendekapnya erat, sementara sang ayah mendekat sambil berkata, “Tidak apa-apa. Papa dan Mama sama sekali tidak marah.”

“Maaf... Aku benar-benar minta maaf... Maafkan aku...”

Tiada yang bisa menghentikan tangisan Yuta pada malam itu.

Karena, bukan hanya menghancurkan dirinya sendiri baik jiwa maupun raga, Yuta juga menghancurkan hati orang-orang yang disayanginya. Mereka semua, orang-orang tak bersalah yang ada di sekelilingnya, tak satu pun dari mereka yang luput.

Padahal, mereka adalah orang-orang yang berharga.

. . .

Waktu berlalu dan putusan untuk perbuatan Yuta akhirnya ditetapkan.

Yuta beruntung karena dirinya masih di bawah umur. Kepolisian dan hakim membebaskannya dengan jaminan dari badan perlindungan anak-anak. Dia hanya diharuskan menjalani rehabilitasi ketat sampai benar-benar sembuh. Seorang psikiater juga turut membantu memulihkan kondisi mental Yuta yang sempat mengalami depresi.

Dua tahun lebih Yuta menjalani pengobatan, dan baginya itu adalah masa-masa terberat dalam hidupnya. Dia berjuang mati-matian menyembuhkan fisik dan psikis, sembari memaafkan diri sendiri.

. . .

Kenangan kelam di masa SMP adalah cerita yang tidak ingin Yuta buka untuk yang kedua kali. Mungkin dia tidak merasakan pedih atau sakitnya lagi kala mencoba mengingat kembali di waktu sekarang, tapi tetap saja, pasti selalu ada bagian dari dirinya yang menolak untuk melihatnya lagi.

Itu semua seperti bekas luka, dimana sekalipun sudah sembuh, akan ada saat-saat di mana dia masih mengingat bagaimana rasa sakitnya setiap kali menengok.

Seperti itulah yang Yuta rasakan sewaktu teman-temannya akhirnya mengetahui cerita masa lalunya.

Yuta memang tak berniat memendam selamanya. Dia juga berencana mengatakan rahasianya itu kepada ketiga temannya jika sudah waktunya. Dia bahkan sudah pernah memberitahu Taehyung, meski tidak semuanya.

Hanya saja, saat ini Yuta belum mempersiapkan diri.

Suatu hari itu bukan hari ini.

Oleh sebab itu, ketika melihat obrolan di grup chat yang membicarakan tentang dirinya pagi ini, seluruh isi pikiran Yuta mendadak buyar. Terkejut dan panik, Yuta tidak tahu harus berbuat apa. Secara defensif otaknya pun menggerakkan kaki menjauh, saraf-saraf motorik membawanya ke tempat dimana lukanya tak seorang pun bisa melihat lukanya.

Hingga saat ini Yuta belum lagi kembali ke kelas, sementara bel istirahat pertama baru saja terdengar.

Pemuda itu masih berada di gimnasium, seorang diri, memantulkan bola basket ke besi ring dan menangkapnya kembali—terus seperti itu sambil merenung.

Yuta terus memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang. Bagaimana dia membereskan hal ini dan bagaimana mesti menjelaskan pada teman-temannya?

Terlebih-lebih lagi, Yuta risau memikirkan bagaimana teman-teman akan memandangnya setelah ini. Dia tahu teman-temannya tidak akan memandang sebelah mata hanya karena hal semacam ini, dia juga percaya itu, tapi dia tetap saja cemas.

Yuta tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan teman-temannya saat ini.

Lima belas menit berlalu sejak istirahat dimulai, akhirnya Yuta mendengar suara langkah kaki dari arah pintu. Begitu menoleh, terdengar kata-kata menyapa telinganya, “Ternyata benar di sini.”

Terlihat tiga teman Yuta telah berjalan memasuki gimnasium. Yuta serta-merta membuang bola basket di tangannya dan membalikkan badan. “Apa yang kalian lakukan?”

Itu pertanyaan bodoh.

Sudah pasti tidak perlu dipertanyakan lagi apa tujuan ketiganya datang. Tak perlu pula dipertanyakan bagaimana mereka bisa tahu bahwa Yuta ada di tempat tersebut. Bagaimanapun mereka telah mengenal Yuta dengan baik. Mereka tahu Yuta tak akan pergi ke mana-mana selain lapangan dan gimnasium, tempat-tempat yang berhubungan dengan olahraga.

Karenanya Seungcheol lantas menjawab, “Apa-apaan pertanyaan bodohmu itu?”

Di belakang Seungcheol terlihat Taehyung yang berjalan cepat-cepat, mendahului pemuda tersebut untuk segera menghampiri Yuta. “Harusnya kami yang bertanya seperti itu, kan?” gugat Taehyung selagi berderap ke arah Yuta.

“Tae!” Jimin mencoba menahan Taehyung, tapi anak lelaki tersebut telah berdiri di hadapan Yuta.

“Kenapa kau pergi begitu saja, sialan?!” Taehyung tiba-tiba meraih kerah seragam Yuta, jadi Jimin dan Seungcheol lantas mencoba memeganginya.

“Tenangkan dirimu,” Seungcheol berkata sembari menarik Taehyung agar tak betul-betul menonjok Yuta.

“Kami mencarimu ke mana-mana!” sergah Taehyung selagi Seungcheol masih menahannya.

Sementara Jimin berdiri di antara dua pemuda tersebut, tampak Yuta hanya membalas ucapan Taehyung dengan satu kata.

“Maaf.”

Jimin menoleh pada Yuta dengan ekspresi kesal sekaligus sedih. “Kau,” katanya, “walaupun sesuatu yang tidak terduga seperti ini terjadi, kau seharusnya tidak menghilang begitu saja.”

Tak tahan bertatapan dengan teman-temannya, Yuta berusaha memandang ke arah lain. Sambil menyisir rambutnya menggunakan jemari dia berkata, “Aku hanya ingin sendiri dulu.”

“Aku mengerti, tapi—”

Kata-kata Seungcheol terpotong saat Taehyung menyela dengan gugatannya. “Apa kau tahu betapa khawatirnya kami?!”

Seungcheol berdecak karena tak bisa melakukan apa-apa terhadap temperamen Taehyung—temannya yang satu itu memang kasar dan sedikit tak sabaran. Jimin sendiri mencoba mengomeli sambil menatap jengkel. “Bisakah kau tenang sedikit?!”

Namun tentu saja, Taehyung tak pernah mendengarkan siapa pun, terutama saat sedang penuh emosi. “Oi, Yuta,” pemuda itu berkata dengan nada galak, “bicarakan ini dengan kami.”

Yuta tahu, itu juga yang ingin dia lakukan saat ini. Dalam situasi normal, lazimnya dia pasti sudah bercerita panjang lebar secara blak-blakan jika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, bahkan meski itu hal yang sepele.

Masalahnya, permasalahan kali ini bukanlah sesuatu yang bisa Yuta bahas bersama siapa-siapa dengan mudah.

Jadi Yuta hanya mengatakan, “Bagaimana aku bisa?”

“Kenapa kau tidak bisa?” Taehyung menuntut.

Mewanti kalau-kalau percakapan Taehyung dan Yuta akan berlanjut menjadi perdebatan, Seungcheol mencoba menyampaikan maksud Taehyung dengan bahasa yang lebih bisa diterima. “Dengar, kami tidak memintamu mengatakan apa yang tidak ingin kau katakan.”

Jimin turut pula mengimbuhkan, “Yang aku, Taehyung dan Seungcheol permasalahkan itu kau. Kalau kau diam seperti ini, mana mungkin kami tidak kepikiran.”

“Aku bukannya tidak ingin membicarakan ini dengan kalian,” Yuta berkata. Dia masih belum mau menatap muka temannya satu-persatu. “Aku ingin, tapi aku tidak tahu bagaimana membicarakan ini.”

Yuta hanya ingin mengatakan bahwa dirinya belum ingin berhadapan dengan teman-temannya ini. Sebab, dia merasa terlalu malu. Dia ingin menyampaikan bahwa dia tidak ingin teman-temannya ikut terkena dampak buruk karena terlibat dengannya dalam hal ini.

“Kau tahu kan kalau kau bisa mengandalkan kami,” Jimin berkata.

“Justru karena itu, aku tidak ingin melibatkan kalian,” Yuta berkata.

Dan Taehyung yang keberatan dengan pernyataan tersebut seketika membalas, “Apa-apaan itu?” Dia merasa itu adalah pemikiran Yuta yang paling bodoh.

Yuta cuma ingin teman-temannya paham bahwa dia sungguh tidak ingin membawa masalah ini ke dalam pertemanan mereka. Dia ingin berbagi cerita, tapi dia juga tak ingin membagi bebannya ini—tanpa membagi kesulitannya—tidak dengan siapa pun, termasuk teman-temannya.

Namun Yuta tak tahu bagaimana menyampaikan hal tersebut.

“Tolong jangan ikut campur dalam urusan ini,” Yuta berkata, dia ingin membuat teman-temannya berhenti merisaukan hal ini.

Yuta mencoba menjauh, menghindari dari teman-temannya, tapi Taehyung justru mengambil langkah lagi padanya. “Katakan itu sekali lagi,” tantangnya.

“Taehyung,” Jimin menahan Taehyung lagi.

Sementara Seungcheol berkata pada Yuta dan Taehyung sekaligus, “Hei, hentikan kalian berdua.”

Pada detik itu Seungcheol akhirnya tahu bahwa dua temannya tersebut mesti dipisahkan saat ini. Dia pun mulai berpikiran untuk mengajak Jimin dan Taehyung pergi, karena mungkin Yuta sendiri juga memang belum bisa memikirkan semua ini dengan baik.

Akan tetapi Taehyung, seperti biasa, selalu emosional dan tak terkendali. Dia berkata ke hadapan Yuta, “Bagaimana kalau aku tetap ikut campur? Apa yang akan kau lakukan? Menghajarku?”

Dua pemuda itu terlalu mirip. Taehyung dan Yuta, mereka sama-sama tidak pandai dalam berkata-kata.

Taehyung ingin menyampaikan bahwa permasalahan Yuta adalah permasalahannya juga, mereka berempat, karena mereka berteman. Yang dia maksud adalah dirinya akan tetap membantu dan membela Yuta sekalipun pemuda tersebut tidak ingin.

Dalam hati Taehyung sungguh-sungguh peduli, dan sayangnya kepedulian itu dia sampaikan dengan cara yang salah.

Begitu pun dengan Yuta.

“Kim Taehyung,” Yuta akhirnya berkata, “ini bukan urusanmu.”

Seketika Yuta tersentak dengan ucapannya sendiri. Dia menyadari secara instan bahwa dirinya salah memilih kata-kata.

“Ma-maaf ... bukan itu maksudku,” Yuta berkata penuh sesal. Sementara dilihatnya ketiga temannya menatap padanya dengan raut yang sekejap terkesiap.

Barangkali pemuda-pemuda itu tak menyangka Yuta akan mengatakan kalimat seperti itu pada ketiga temannya—sebab jika melihat kepribadian Yuta, kata-kata tersebut agak terlalu kejam jika dilontarkan tanpa kesan bergurau.

Sesudah sedetik tertohok, Taehyung kemudian menatap Yuta dengan raut marah. “Bukan urusanku kau bilang?”

Kata-kata Yuta rupanya telanjur menyinggung perasaan teh.

Yuta mencoba menggapai ke arah Taehyung. “Tidak, Taehyung,” bujuknya. Entah mengapa tangannya terasa berat. Dia ragu dan takut, sebab ini pertama kalinya Taehyung menatap padanya dengan sorot mata sakit hati dan memusuhi. “Aku sungguh minta maaf. Bukan itu yang ingin aku katakan.”

“Aku mengerti sekarang,” Taehyung membalas. “Aku tidak akan lagi-lagi peduli padamu. Terserah kau mau apa. Persetan denganmu!”

Setelah mengatakan demikian, Taehyung lantas membalikkan badan dan melenggang. Di belakangnya, Jimin dan Seungcheol menatap saja sambil mendesah serta mengeram, sementara Yuta meneriaki dengan gusar.

“Kim Taehyung!” Yuta ingin mencegah Taehyung pergi, tapi gagal.

Langkah Yuta terhenti saat Seungcheol menghalanginya. “Biarkan dia,” kata Seungcheol. “Kau tahu Taehyung tidak benar-benar marah padamu. Dia memang seperti itu.”

Yuta tahu Taehyung memang selalu mengungkapkan kekhawatirannya dengan amarah, tapi saat ini dia tidak bisa memaklumi hal tersebut. “Tapi—” dia masih memandang ke arah perginya Taehyung dengan raut tak rela.

Kali ini Jimin turut menenangkan. “Tidak usah cemaskan anak itu. Untuk saat ini—” sejenak dia menyentuh pundak Yuta, “—cemaskan dirimu sendiri, dan bicarakan ini dengan kami saat kau sudah merasa lebih baik.”

Lalu, Jimin mulai mengambil langkah mengejar Taehyung.

Seungcheol juga turut menepuk bahu Yuta. “Kau bisa temui kami di tempat Jimin. Kami akan menunggumu,” ucapnya sebelum kemudian ikut pergi.

Setelah punggung Seungcheol menghilang dari pandangan, Yuta kemudian menunduk dan meremas surainya. “Sialan,” umpatnya dalam kesendirian.

Sesaat berselang Yuta kemudian meraih tasnya yang tergeletak di bawah tiang ring dan segera keluar dari gedung olahraga. Hari ini dia putuskan untuk absen sekolah.

Ketika melewati halaman gedung kelas, Yuta tak sengaja melihat Dong Sicheng yang sedang berjalan menuruni tangga lobi. Langkah kakinya pun spontan terhenti.

Yuta tidak tahu apakah Sicheng sudah mendengar kabar tentang dirinya pagi ini atau belum—dia berharap semoga Sicheng tidak akan pernah mendengarnya, meskipun itu mustahil. Saat ini Yuta tidak sedang ingin bertemu anak lelaki tersebut. Oleh sebab itu dia lantas memutar arah dan mengambil jalan menuju gerbang belakang.

Di waktu yang sama, Johnny sedang berkeliling sekolah demi menemukan keberadaan Yuta.

Tidak seperti teman-teman Yuta, Johnny tidak tahu di mana Yuta akan menyembunyikan diri di saat-saat seperti ini. Dia tidak pandai memprediksi—terlebih-lebih Yuta, dia tidak pernah bisa menebaknya. Karenanya selama beberapa puluh menit dalam jam istirahat pertama ini Johnny hanya mendatangi tempat-tempat di sekolah secara acak. Mengandalkan naluri dan keberuntungan, pemuda yang satu ini berharap bakal menemukan Yuta di salah satu sudut sekolah.

Hingga akhirnya pencarian Johnny berakhir saat dirinya berlari di koridor gedung lab kimia. Tak sengaja dilihatnya sosok yang tengah dia cari-cari di halaman belakang.

Maka Johnny pun mendekat ke jendela koridor dan memanggil sekencang-kencangnya, “Yuta!”

Teriakan Johnny membuat Yuta berhenti berjalan dan seketika menoleh. Tidak seperti pada waktu-waktu biasanya saat Johnny menyapa Yuta, kali ini respons yang diterima amat tak mengenakkan.

Yuta tampak terkejut—lalu sekejap kemudian berekspresi tak biasa. Johnny sempat melihat Yuta menatap padanya dengan raut bersalah, tapi dia tak begitu yakin. Alih-alih balas menyapa, Yuta justru memunggungi Johnny dan buru-buru memanjatkan tembok gerbang.

Johnny pun sontak menggeser jendela untuk terbuka lebih lebar. “Yuta, tunggu!” dia kembali meneriaki sembari memijakkan kaki ke jendela, loncat turun dan mulai berderap melintasi halaman secepat yang dia bisa.

Sayangnya, saat itu Yuta telah berhasil melompati tembok. Sosoknya pun menghilang, disusul dengan suara derap sepatu yang kedengarannya berlari menjauh di balik tembok.

Johnny pun gagal menemui Yuta pada hari itu.

.

.

.

_TBC_

Setelah sekian lama, akhirnya apdet. Terhura akutuh :")

Adakah yg masih menunggu buku ini? Atau, pembaca yg dulu cuma segelintir sekarang udah bener2 gak ada??

Kalo ada yg baca buku ini, meski cuma satu dua, makasih banyak loh! Pokoknya makasih banget udah mampir & menemani author mendayung sekoci ini. Ayo kita berlayar sampe dua bujang ini ke pelaminan! 🚣🚣🚣🚣

Semoga chapter selanjutnya gk akan lebih lama dari ini ya. Semoga masih di bulan yg sama :")

With big love, see you next time~
💕

Continue Reading

You'll Also Like

904K 43.7K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
18.9K 1.4K 25
ini hampir sama kayak book lainnya. kumpulan cerita yang pastinya UKE/BOTTOM/SUB HENDERY jangan salah lapak ya
4.7K 297 5
kesalahan yang berakibat fatal tapi berakhir bahagia itu lah yang Jake alami Switch age, heeseung umur nya lebih muda ya dari pada Jake
1.4K 119 8
Cerita oneshot couple the boyz, mainly Juric and Sunric.