Sepupu Cinta

By bundackid

4K 79 5

More

Sepupu cinta 2

Sepupu Cinta

2.9K 41 2
By bundackid

Liburan kali ini aku ikut pulang ke Temanggung. Rumah Kak Aya, Shanda Arihaya Mumtaz. Sejak 7 tahun lalu mereka tinggal di sana, dekat dengan rumah keluarga mas Hanin suaminya. Rumah besar yang mereka tinggali saat ini adalah hadiah dari mas Hanin saat Kak Aya  melahirkan Haikal saat itu. Kak Aya memang menikah dengan salah satu putra keluarga Dewantara yang terkenal dermawan dalam kekayaannya.

            Sebagai salah satu adik Kak Aya, aku sering  mendapat limpahan kedermawanan itu. Beberapa kali mamanya mas Hanin atau adik perempuannya mengirimkan hadiah untukku. Begitu baiknya mereka sehingga aku kadang-kadang merasa harus membalasnya  dengan menyempatkan berkunjung di beberapa liburanku.       

Saat aku berpamitan di telepon pada ibu untuk tidak pulang liburan semester kali ini dengan alasan mau ikut Kak Aya ke Temanggung, ibu merasa perlu mewanti-wanti agar aku juga mampir ke rumah Oom Farhan. Beliau kakak sulung ayah yang juga tinggal di kabupaten yang sama dengan Kak Aya meskipun tidak satu kota kecamatan. Tempat itu berjarak 3 jam perjalanan dari Semarang tempat aku tinggal sejak kuliah di UNDIP, 4 semester lalu.  Jarak rumah kak Aya dengan rumah Oom Farhan sekitar 30 menit perjalanan.

            Oom Farhan tinggal di sebuah desa kecil yang memiliki sungai yang sangat jernih. Beliau memutuskan membangun rumah di sana setelah beberapa tahun lalu pernah menjabat sebagai camat di daerah itu. Maka di sinilah aku sekarang,  sedang menemani tante Kania menebar makanan ikan di kolam belakang rumah mereka. Rumah yang lebih cocok disebut villa karena letaknya yang agak tinggi sangat dekat sekali dengan bukit Pendem. Hanya saja villa ini juga dilengkapi dengan kebun, kandang ayam dan kolam ikan.

            “Jadi, tante lebih sering sendiri dong kalo hari biasa gini..oom masih aktif ngantor kan Tan?”tanyaku. Beliau mengangguk sambil tersenyum. “Iya…sejak Karel kost di  Yogya, ya tante lebih banyak sendirian di sini. Cuman, karena dulu tante juga mengenal banyak ibu-ibu PKK atau dharwa wanita, beberapa kali dalam sebulan tante juga masih berkegiatan bareng mereka. “

            Aku mengangguk sambil kembali menaburkan makanan ikan. Suara gemericik air benar-benar membuat suasana jadi demikian sejuk  menenangkan sebelum  tiba-tiba terpecah ketika terdengar  deru sebuah sepeda motor yang cukup keras masuk ke garasi di samping. Aku  mengerenyit ke arah tante.

            “Itu Karel…”kata tante yakin. Kemudian beliau menarik tanganku untuk beranjak ke garasi. Aku sedikit  merasa kurang nyaman. Kami memang sepupu tapi seingatku interaksi kami minim sekali mengingat aku di besarkan di Palembang sementara dia di Jawa. Oom Farhan sudah tinggal di Jawa sejak masih kuliah di STPDN, menjadi mantri camat, menikah dengan salah satu penduduk asli Jawa (tante Kania), beberapa kali menjabat sebagai camat  dan tinggal seterusnya  di Jawa.

            “Dari sana jam berapa Rel?” tanya tante ketika kulihat sosok itu masih sibuk dengan kegiatannya. Turun dari motor Tiger nya, melepas jaket, helm, sarung tangan dan tas punggungnya. Tangannya kemudian terulur mencium ta’zim punggung  tangan bundanya. Sesaat kemudian matanya memicing ke arahku.

            “Shabrina…kamu ingat? Anaknya Oom Ditto..adiknya Aya dan Alya…”ucap tante menjelaskan. Dia tampak mengangguk mengerti. “Hai..apa kabar?”sapanya. Aku mengangguk tersenyum.

            “Alhamdulillah…sehat. Baru datang?”tanyaku basa-basi. Dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tubuhnya besar dan kokoh. T-Shirt putih yang dikenakannya memperlihatkan otot di sekitar lengannya. Wajahnya tidak seputih tante Kania tapi terlihat bersih. Lesung pipit di pipi kirinya membuatnya nampak berbeda. Hei..apa-apaan sih Shabrina...kamu sedang menilai orang ya..olok sebuah sisi hatiku. Terakhir ketemu sepertinya  waktu pernikahan Kak Aya. Itu 7 tahun lalu. Dia dan aku masih sama-sama SD sepertinya. Mungkin aku kelas IV dan dia  kelas VI.

                Sejak hari itu kami menghabiskan banyak waktu bersama-sama dengan tante di rumah. Mengurus ikan, merawat ayam, membakar sampah di halaman belakang dan menemai tante memasak. Oom hanya ada bersama kami sore hingga keesokan harinya. Selama itu pula aku tahu telepon sering berdering mencari Karel. Penggemar-penggemarnya kata tante. Tidak aneh mengingat Karel hampir memiliki kesempurnaan  fisik yang banyak diinginkan perempuan ditunjang lagi sikapnya yang selalu hangat.

            Sebagai satu-satunya anak, Karel ternyata sangat dekat dengan ibunya. Dia bahkan tidak segan membantu tante mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, satu hal yang jarang aku lakukan meskipun aku perempuan. Dia bahkan lebih lihai memanggang bolu dibanding aku. Ini agak kontradiktif mengingat ternyata sanzak  yang tergantung di halaman belakang itu adalah temannya  berlatih pukulan dan tendangan. Olah raga. Dia bahkan menjadi salah satu Sabam, pelatih Tae Kwon Do  di salah satu Dojang milik pamannya. Sikapnya supel dan tutur bahasanya   selalu lugas dan apa adanya.

            “Kamu, semester 5 ya  Brin?”tanyanya sore itu ketika aku membantunya memberi makan ayam. Aku mengangguk saja mengiyakan pertanyaannya. Sudah mulai biasa dengan berbagai pertanyaannya yang tanpa basa-basi.

            “Sudah punya rencana mau nikah?  Kamu nggak pacaran kan?” tanyanya sambil menyendokkan bubur dedak ke dalam beberapa piring kaleng  yang berserakan di kebun. Beberapa ayam mengerubut di dekat kakinya. Tante berdiri beberapa meter di depan kami sambil memilah beberapa biji jagung yang tercampur di wadah kedelai. Aku rasa beliau tidak mendengar pertanyaan Karel  yang membuat pipiku merah barusan.

            “Aku belum ada rencana mau nikah kapan dan ya...aku juga nggak pacaran.”jawabku  merasa tidak perlu menutupi kenyataan itu. Sejak aku paham bahwa tidak ada pacaran dalam Islam, aku memang memutuskan untuk tidak menerima beberapa ajakan beberapa temanku untuk “jadian”. Aku memang belum bisa melaksanakan semua ajaran Islam tapi aku bertekad menjalaninya termasuk yang satu ini.

            “Maukah menikah sama aku?” tanyanya lagi. Aku menoleh tepat ke arah matanya. Kaget.

            “Maksudmu?”

            “Nikah…married...masak nggak paham sih.  Menyatukan dua orang  dalam satu ikatan agung, menyempurnakan sebagian agama...”terangnya sambil tersenyum lebar. Aku tahu dia bercanda.  

            “Bukan itu..maksudku…nggak ada angin gak ada hujan tapi kayaknya aku mendengar suara lamaran deh…”sahutku masih merasa aneh namun aku berusaha mengimbangi gaya bercandanya.

            “Nggak salah. Aku lagi berusaha melamar kamu secara tidak resmi sebelum nantinya aku bakalan resmi meminta kamu jadi istri aku dari ayahmu.”jawabnya lagi. Kali ini tangannya sibuk mencuci tangan di kran yang ada di pinggir kebun. Tante  masih menekuri wadah biji-bijiannya tapi sepertinya tetap tidak mendengar obrolan kami.

            “Mau..ya…aku udah ada penghasilan kok. Kebun sengonku udah mulai bisa dipanen. Itu tabunganku sendiri. Hasilnya lumayan. Aku punya beberapa tempat jadi insyaallah bakalan cukup untuk menghidupi keluarga kecil kita nanti…”sahutnya lagi sambil nyengir. Aku mulai jengah dengan  gaya bercandanya yang makin aneh. Dia bahkan belum mengenalku dengan baik. Ya sih.. aku pernah dengar dari tante kalau kuliahnya sebentar lagi selesai. Dia sedang menyelesaikan skripsi  dan sepertinya om dan tante juga sehat-sehat saja jadi rasanya tidak ada alasan untuk menikah  buru-buru.

            “Kamu tuh ya…kalau becanda nggak kelewatan napa..Lagian kita kan masih sepupu. Kayaknya otak kamu lagi nggak berfungsi normal ya?”sungutku sambil  berjalan menjauhinya menuju tante. Hei, dia menghalangi jalanku dengan mengangkat sebelah kakinya ke arah samping , ke depan lututku tanpa menyentuh kulitku.

            “Justru aku lagi serius ini. Lagian kenapa kalo sepupu. Kita kan bukan mahrom, jadi aku boleh menikahi kamu dong. Serius Brin. Bukannya kakak kakakmu juga boleh menikah sebelum selesai kuliah kan? Ayo dong..terima lamaranku..ya..ya..please..”ujarnya lagi sambil menangkupkan kedua tangannya ke dada.

            “Hei..dodol. Kamu ngajak orang nikah kayak ngajak orang mau main bekel aja. Nggak…aku nggak bakalan nerima lamaran aneh kamu. Lagian..kamu kenapa sih? Sakit? Mau mati? Lagi taruhan? atau kenapa? Tante dan Oom juga nggak maksa-maksa kamu nikah segera kan?”

            Aku segera beranjak ke dalam  dapur luas yang ada di samping kebun sambil menenteng bakul berisi dedak kering yang dipakai Karel tadi. Lama-lama dekat dia bisa-bisa aku mulai mati rasa. Aku serius, ketika pertama kali ketemu kemarin aku sudah sempat merasa hampir naksir sepupuku sendiri tapi setelah beberapa hari bergaul dekat dengannya aku malah jadi mulai terbiasa. Terbiasa tanpa merasa berdebar-debar atau canggung kalau ketemu dia maksudnya. Terbiasa menganggapnya hanya saudara. Lebih tepatnya aku membiasakan diri.

            “Yah…gimana kalau menurut ayah kalau aku bermaksud melamar Shabrina ke ayahnya?”pertanyaan Karel di meja makan malam itu kontan membuatku melotot kaget. Takut-takut aku melihat reaksi Oom Farhan dan tante Kania. Tidak seperti dugaanku, ternyata beliau berdua hanya tersenyum sambil melihat ke arahku.

            “Kalau ayah sih…setuju-setuju saja asal Shabrina nya juga setuju…”jawab Om Farhan. Tante hanya tersenyum tapi mengangguk menyetujui ucapan Om farhan. Detik itu juga aku lebih memilih sedang tidak berada di rumah ini. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi semua ini.

Malu, jengah, jengkel bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana mungkin Karel alias Chairil Farhan  Mumtaz bermaksud melamarku? Bahkan nama belakang kami pun sama karena itu nama kakek. Shabrina Azalea Mumtaz. Apa kata dunia? Memangnya tidak ada orang lain sehingga harus menikah dengan sepupu sendiri..

            Aku baru berhenti melotot ke arah Karel ketika tante Kania menepuk lembut lengan kananku. Aku memutuskan harus segera menghabiskan makanku dan beranjak ke kamar. Beralasan kurang enak badan sehingga tidak harus ngobrol terlalu lama lalu tidur. Ini semua benar-benar tidak lucu.

            Aku sudah berencana segera angkat kaki dari rumah ini  besok pagi  ketika kudengar ketukan pelan di pintu. Tante Kania berdiri di depan pintu kamarku sambil tersenyum lembut. Aku  mempersilahkannya masuk ketika tante memohon untuk bicara denganku.

            “Shabrina  sepertinya merasa kurang nyaman dengan pernyataan Karel tadi ya?” tanya tante setelah beberapa saat kami berbasa-basi. Tante bahkan memberikan beberapa alternatif obat gosok karena alasanku yang kurang enak badan tadi.

            “Tante minta maaf kalau Brina jadi merasa kurang nyaman. Sebenarnya tante sudah menyarankan pada Karel agar menunda menyatakan perasaannya sama Brina. Tante juga merasa akan terasa tidak nyaman kalau ternyata Brina akhirnya menolak Karel sementara Brina masih di sini. Bukan...bukan berarti tante minta Brina buru-buru balik ke Semarang atau ke rumah kak Alya..”ujar tante Kania. “Awalnya tante ragu ketika Karel meminta pertimbangan untuk bermaksud menikah sama Brina tapi tante pikir-pikir apa salahnya. Selama ini..maaf..bukannya sok, tapi ini kenyataan, Karel itu harus selalu menghindar dari gadis-gadis yang berusaha mengejar-ngejar untuk mengajaknya pacaran, atau sekedar jalan bersama. Tante kadang sampai merasa risih dengan semua perhatian mereka. Tante memang pernah memintanya untuk segera menikah. Tante kuatir dengan berbagai godaan yang datang padanya. Maka, ketika akhirnya dia bilang bermaksud menikah saat ini tante senang sekali. Apalagi, yang dipilihnya adalah Brina, yang tante yakin betul adalah pilihan yang tepat. Maafin tante ya..dan Karel juga, karena kami mungkin sangat meyakini  kalau Brina juga tidak akan menolak. Jadi..tante mewakili tante, oom dan Karel, mohon maaf jika Brina kurang berkenan. Anggap saja ucapan Karel tidak benar…dan tetaplah nyaman berlibur di sini..”

            Oh..aku jadi bingung harus menjawab apa. Aku bukannya tidak berkenan dengan pernyataan itu hanya saja aku masih tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku hanya diam mendengar  kalimat-kalimat tante dan aku tetap memutuskan bahwa keesokan paginya aku harus pergi dari rumah ini. Liburan selesai. Aku bahkan merasa tidak perlu menginap lagi di rumah kak Alya. Aku jadi rindu rumah, rindu pelukan ibu dan semua nasihatnya. Maka segera kuputuskan mencari tiket Palembang secepatnya. Masih ada 2 minggu sebelum kuliah dimulai.

            Tante Kania kelihatan kuatir ketika pagi itu aku berpamitan,. Beliau bahkan hampir memaksa agar aku bisa ditemani Karel pulang ke Palembang. Tentu saja aku menolak mentah-mentah. Kalau ada  orang yang aku merasa harus kuhindari jauh-jauh, justru itulah Karel.

              Aku tiba  di Palembang hampir jam 6 sore. Ayah dan ibu sendiri yang menjemput di Bandara. Aku hanya beralasan capek ketika ibu mempertanyakan keputusanku untuk segera pulang dan tidur. Aku berencana menceritakan semuanya pada ibu setelah aku cukup istirahat keesokan harinya.

            “Jadi..Brina sebenarnya juga mau jadi istri Karel tapi mereka telanjur mengira Brina menolak?”tanya ibu memastikan. Kami baru saja selesai berjamaah shubuh di kamarku. Ayah jama’ah ke masjid.  Aku mengangguk malu. Hanya pada Ibu aku bisa jujur. Aku bahkan malu pada diriku sendiri. Masak sih, sepupu gitu loh? Ibu terlihat menghela nafas lega. Sama leganya dengan dadaku setelah menceritakan semuanya pada ibu. Aku kembali tertidur di pelukan ibu pagi itu setelah semua beban di benakku  seolah terangkat semua.

            Aku terbangun sekitar jam 9 ketika kudengar beberapa suara yang terdengar mirip  gumaman yang tidak begitu jelas di luar kamar. Ibu sudah tidak lagi ada di kamar. Aku bermaksud mengambil air putih ke dapur ketika kulihat ternyata di ruang tengah, di antara beberapa orang yang ada di sana, ada orang yang sama sekali tidak aku duga akan berada di sana. Ini baru jam 9 pagi  dan biasanya di sini tidak ada flat pagi sehingga aku hampir yakin dia  telah ada di Palembang sejak semalam. Itu berarti dia  dalam penerbangan yang sama denganku semalam tanpa aku sadari. Dasar  penguntit..rutukku dalam hati sambil beranjak ke dapur tanpa mengacuhkannya.

            “Hai…”ucapnya sambil menjajari langkahku.”Mestinya kamu cium tanganku atau apalah yang lebih sopan untuk menyambut suamimu ini..bukannya dicuekin gini.”keluhnya setelah aku tetap tidak mengacuhkannya. Dia bahkan berani menarik tanganku, satu hal yang tidak pernah dilakukannya bahkan ketika kami berhari-hari berdekatan di rumahnya beberapa hari lalu.

“Apaan sih.!”ujarku mulai sewot sambil berusaha melepaskan genggamannya tapi dia tetap menahan kuat-kuat.

“Aku udah mengucapkan akad nikah, beberapa jam lalu di depan ayah dan saudara-saudaramu, jadi aku sudah  boleh memegang tanganmu, memelukmu, bahkan menciummu..”ujarnya lagi sambil tersenyum lebar. Seperti girang sekali.

“Penghayal!! Trus kamu juga mau bilang kalau mereka yang ada di ruang tengah tadi saksi pernikahan kita gitu? Ajaib banget…”sungutku masih sebal dengan cengirannya.

“Emang iya…Toh.. asal penganten peremuannya sudah ridho, dia nggak harus hadir di acara akad. Tinggal nanti pencatatannya di depan petugas yang harus tanda tangan segala macam. ”jawabnya lagi masih seenteng sebelumnya. Aku buru-buru menarik tanganku dari genggamannya. Ini semakin tidak lucu.   

            “Ibu…!”aku mulai histeris mencari ibuku. Bagaimana mungkin ibu membiarkan penguntit tidak sopan ini berkeliaran di rumah kami. Ternyata ibu menyambutku di dapur samping. Aku buru-buru meminta perlindungan ibu dari Karel.  Alih-alih merasa terlindungi, semua penjelasan yang ibu sampaikan justru membuatku tambah shock. Ternyata Karel semalam datang beberapa saat setelah aku tidur. Dia menjelaskan semua pada ayah dan ibu termasuk yang mereka (oom, tante dan Karel) duga sebagai penyebab kemarahanku.  

            “Jadi..karena tadi Brina udah ridho…bisa menerima Karel sebagai suami..ayah memutuskan untuk mensegarakan saja akad nikahnya. Jadi kalau Brina kembali ke Jawa nanti kalian sudah resmi jadi suami istri. Ibu dan ayah bisa lebih tenang jadinya..”

            Aku sudah tidak bisa komentar lagi ketika Karel kembali mengambil tanganku untuk digenggamnya.

            “Maaf ya..sepupu…aku harus bilang I love u..cintaku…Selamat bergabung dalam rumah kecil cinta di hatiku..”ujarnya. Kali ini tidak dengan cengiran khasnya. Kali ini senyumnya terasa lebih manis tapi aku tetap merasa mual setengah mati. Istri Karel? Mulai pagi ini? Oh..Big No..No…

Continue Reading

You'll Also Like

543K 22.1K 68
Lilly found an egg on a hiking trip. Nothing abnormal on that, right? Except the egg was four times bigger than supposedly the biggest egg in the wor...
483K 31.4K 49
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
871K 20.9K 43
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...
1.4M 78.2K 80
Daksh singh chauhan - the crowned prince and future king of Jodhpur is a multi billionaire and the CEO of Ratore group. He is highly honored and resp...