ARJEAN || I Am (not) Villain...

By NihaOsh

236K 30.6K 54.5K

[17+] "Lebih suka cowok seumuran atau yang lebih tua?" -Arjean. "Siapa aja, asal bukan lo." -Shannon. ⚠️WARNI... More

00 || Arjean
01 || Bau Keong
02 || Poci
03 || Boba
04 || Pembunuh?
05 || Pap
06 || Mabuk
07 || Sate
08 || Sasaran selanjutnya
09 || Pengkhianatan
10 || Pilih Kasih
11 || Terluka
12 || Bukan orang baik?
13 || Donor
14 || Cara licik
15 || Mabuk (2)
16 || G-anas?
17 || Ferry dan Shannon
18 || Arjean dan Shannon
19 || Percaya?
20 || Mati?
21 || Kesalahan
22 || Dilanjut?
23 || Membunuh?
24 || Racun
25 || Pergi
26 || Sakit
27 || Aku butuh jantungnya
29 || Masih ada harapan?
30 || Dia orang baik [SELESAI]

28 || Ketakutan yang tak berujung

4.6K 861 1.4K
By NihaOsh

Guys, aku update dua chapter! Jangan sampe kelewat ya. Chapter 28 dan 29!

Santai aja bacanya, gak perlu terburu-buru 😍

Spam komen yuk!

Jangan lupa Vote juga, makasih.

💚💚

.
.
.

Entah apa yang membuat Shan turun di sana, padahal ojek online bisa mengantarkannya hingga depan rumah.

Pikiran Shan benar-benar kacau, ia terus berjalan dengan langkah gontai, matanya terlihat sembab karena habis menangisi Jean, ia melihat kondisi Jean hanya sekilas, namun kepikirannya hingga detik ini.

Sesampainya di rumah, Shan memasuki kamar Yorka, memandang Yorka yang tengah duduk di kursi meja belajarnya.

"Kenapa gak bilang? Gue bisa jemput lo," tanya Yorka dengan tatapan cemas, ia pun beranjak dari kursinya saat Shan berjalan menghampirinya.

"Shan," lirih Yorka ketika Shan memeluknya dengan erat.

"Yorka, jangan tinggalin gue," lirih Shan yang membuat Yorka tak mengerti.

"Ya, kenapa tiba-tiba?"

"J-Jean.. hks."

"Kenapa, Shan? Lo bilang Jean bakal baik-baik aja," tanya Yorka lagi seraya melepaskan pelukan Shan, memandang Shan yang menundukan kepalanya sambil menangis.

"Kalau Jean pergi, l-lo gak boleh pergi."

"Jangan ngomong sembarangan!"

Shan menggeleng kecil, ia bersikap seperti ini karena terus dibayangi kematian Jean, otaknya terus membayangkan bagaimana jika Jean pergi? Ia tidak mau kehilangan Jean, ia sudah begitu nyaman hidup bersama Jean.

Yorka paham, ia pun kembali memeluk Shan, "separah itu ya? Tapi lo berdo'a aja, semoga Jean cepet sembuh. Mungkin hari ini Jean keliatan gak ada harapan, tapi kita enggak tau kedepannya gimana, bisa aja Jean hidup sehat lagi."

Shan terus menangis sambil memeluk Yorka dengan erat, saat ini ia hanya ingin menangis dan menangis, sebab sekeras apapun ia untuk berhenti, air matanya akan terus menetes.

**

Ferry, Eric, dan Rana tengah sarapan pagi ini tanpa Regi, sebab Regi sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali.

"Mama mau jenguk Jean, kalian ikut?" Tanya Rana.

"Tumben," ucap Eric dengan tatapan heran.

"Ya kan mama kepo, separah apa sih?" Sahut Rana seraya tertawa pelan.

"Apa mama berharap Jean mati?" Tanya Ferry.

"Gak tau sih, tapi kalau denger kabarnya parah banget sampe koma, pasti mati. Seengaknya berkurang ahli waris dari kelurga Learyant, dengan begitu pembagian dari nenek bakal lebih besar buat yang masih hidup," sahut Rana, mengingat semua cucu dari keluarga Learyant akan ikut mendapat bagian.

"Aku yang rampok Jean, terus dorong Jean sampe Jean jatoh dari jembatan," ujar Ferry dengan santai, membuat Rana dan Eric nampak terkejut.

"Lo gila?!" Tanya Eric.

"Nathan bakal kasih setengah bagian dia ke aku kalau aku berhasil bunuh Jean, dengan begitu Jean bisa donorin jantungnya buat Nathan."

"Donor?" Tanya Eric yang terlihat bingung, sebab Eric belum tahu soal ini.

"Jadi gini, selama ini tante Qian pengen Jean yang donorin jantung buat Nathan, tapi Jean yang awalnya setuju pun berubah pikiran, akhirnya Nathan nyuruh aku buat bunuh Jean, biar kalau Jean mati, jantungnya bisa buat Nathan," sahut Ferry menjelaskan, membuat Eric tak habis pikir.

"Kalau kamu ketauan gimana?" Tanya Rana dengan nada membentak.

"Tenang aja, Nathan bakal jamin aku."

Eric dan Rana terdiam masih dengan tatapan terkejutnya, tiba-tiba Rana memukul kepala Ferry dengan keras, membuat Ferry mengerang kesakitan.

"HARUSNYA KAMU GAK NURUT SAMA NATHAN!" Bentak Rana lagi dengan teriakan juga, membuat Ferry dan Eric terperanjat.

"Nathan itu licik! Kalau kamu masuk penjara gak akan ada yang bisa nolongi kamu! Kakek bakal marah besar, Ferry!" Omel Rana, kemudian ia beranjak dari kursinya dan pergi memasuki kamarnya.

"Gila kak, ini soal nyawa, sebenci apapun lo sama Jean ya gak gini juga!" Ujar Eric.

"Udah sih diem aja, liat hasilnya nanti!"

"Hasilnya lo bakal dipenjara, dan Nathan gak akan mau bantuin lo, dan lo gak akan dapet apa-apa dari keluarga Learyant!" Ujar Eric lagi, kali ini membuat Ferry bungkam.

**

Musibah yang menimpa Jean membuat Shua terus terdiam di kamarnya, ia menangis tanpa henti dan begitu takut untuk menemui Jean, sebab Qian bilang mungkin Shua tak akan mampu melihat kondisi Jean.

Setelah seharian menangis, Shua hendak keluar dari kamarnya, namun ia menghentikan langkahnya saat mendengar percakapan Ferry dan Nathan yang terdengar samar di sana.

"Kalau polisi nyelidikin semua ini, gue bisa dipenjara, lo bakal jamin gue kan, Nath?"

"Emang gue bilang gitu?"

"Nath! Jangan main-main! Gue udah nurutin semua kemauan lo!"

"Gue bilang, mungkin kakek bakal ngejamin lo, dia enggak akan ngebiarin cucunya kenapa-kenapa."

"Mungkin? Gimana kalau enggak?"

"Tenang, Fer. Lo bakal baik-baik aja, mending lo pulang."

"Gue butuh kepastian, setelah gue nyelakain Jean, lo harus jamin gue kalau sampe gue masuk penjara!"

"Iya, gue bakal bilang kakek kalau sampe itu terjadi, jadi lo tenang aja."

Shua meremat handel pintu, ia menutup mulutnya untuk menahan suara isakannya, hatinya sakit mendengar percakapan Nathan dan Ferry di luar sana.

Shua yakin Shua tidak salah dengar, Nathan meminta Ferry untuk mencelakai Jean, dan Ferry meminta Nathan untuk menjaminnya jika suatu hari nanti apa yang Ferry perbuat terungkap.

Cklek

Saking kerasnya rematan pada handel pintu, membuat Shua tak sengaja membukanya dan menimbulkan suara, Shua terkejut dalam diam dengan mata melebar.

Tiba-tiba pintu kamar Shua terbuka, memperlihatkan Ferry yang berdiri di hadapannya, sementara Nathan berdiri di dekat tangga sambil menatapnya dengan tajam.

Shua sedikit memundurkan langkahnya ketika Ferry mendekat.

Ferry menangkup pipi kanan Shua, kemudian ia tersenyum kecil hingga membuat Shua terlihat gemetar ketakutan.

"Selamat ya Shu, akhirnya kamu masuk SMA. Di mana kamu sekolah?" Tanya Ferry dengan suara pelan.

"H-Home schooling," sahut Shua dengan suara gemetar.

Ya, Shua memutuskan untuk Home schooling, sebab ia begitu takut untuk pergi ke sekolah sejak kejadian pemerkosaan itu.

"Aku tau kamu denger semuanya, jadi kamu harus diam," desis Ferry seraya mengusap pipi Shua, kemudian menekan bibir bawah Shua dengan ibu jarinya.

"Kamu harus diam, Okay Shua?" Ferry membutuhkan jawaban.

"J-jahat, kalian orang jahat yang sebenarnya," uajr Shua dengan suara gemetar, membuat Ferry mengeraskan rahangnya.

"Kalau kamu bocorin hal ini ke siapa pun, aku bakal bunuh Jean detik itu juga," ancam Ferry yang membuat Shua mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya.

"Pergi, Fer. Shua enggak akan bilang siapa-siapa, dia anak baik," ujar Nathan.

Ferry pun melepaskan cengkramannya pada rahang Shua, kemudian ia mendengus kecil dan pergi dari rumah itu, menyisakan Nathan dan Shua di sana.

"Inget ancamannya, Shu. Aku dan Ferry enggak main-main," ujar Nathan.

Shua tak menyahut, Shua menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam, kemudian ia kembali menangis, ternyata hal buruk yang menimpa Jean sudah direncanakan oleh Nathan.

**

Tiga hari sudah terlewati, namun Jean belum terbangun juga, membuat Shan begitu ketakutan.

Keluarga besar Learyant satu persatu datang untuk menjenguk Jean, mereka benar-benar terkejut dengan kondisi Jean saat ini, tak dipungkiri mereka semua merasa begitu iba.

Darius terus merenung mendengarkan isakan lirih sang istri setelah melihat kondisi Jean, Nara bilang Jean tidak pernah membuat kesalahan apapun di keluarga Learyant, Jean tidak pernah sekali pun merugikan keluarga Learyant, justru diantara semua cucunya hanya Jean yang selalu membuatnya bangga dalam segala hal.

Nara pun mengatakan pada Darius, bahwa Jean tak pernah memperkosa Shua, dan pelaku sebenarnya adalah Eric dan Ferry, membuat Darius terkejut dalam diam.

Belum ada tindakan dari Darius tentang Eric dan Ferry, bahkan Darius belum mengatakan hal itu pada Yuno dan Qian yang sepertinya belum tahu, sebab keluarga Learyant tengah berduka karena musibah yang menimpa orang sebaik Jean.

Sementara Arin yan sudah mengetahui tentang kondisi Jean hanya termenung di dalam rumahnya, sesekali menangis tanpa mau pergi untuk menemui Jean, ia terlalu malu keluar dalam kondisi hamil besar, ia juga malu untuk bertemu dengan keluarga Learyant.

Soal Shan, sudah 3 hari ini Shan menjenguk Jean setiap pulang sekolah, namun Shan tak pernah sekali pun menemui Jean, ia terlalu takut untuk menemui Jean yang masih berada di ruang ICU, sebab belum ada perkembangan sedikit pun, bahkan Jean masih dalam masa kritisnya.

Kini Shan tengah duduk di kursi tunggu ruang ICU sendirian, ia terus menundukan kepalanya dan sesekali mengusap air matanya yang menetes, 3 hari tanpa kehadiran Jean begitu menyakitkan untuknya, ia tak berhenti berdo'a dan berharap agar Jean bisa terbangun dan kembali sehat.

Seseorang duduk di samping Shan, kemudian mengusap bahu Shan dengan lembut.

"Jean pernah bilang sama gue, dia pengen hidup lebih lama buat jagain lo, dia ngerasa bersalah karena nyokapnya udah bikin kegaduhan sebesar itu sampai nyokap lo meninggal dan bokap lo dipenjara. Jean selalu nyesel setiap harinya, sampe dia harus ngebenci nyokapnya sendiri."

"Jean bilang, kalau suatu saat nanti dia ada halangan buat nemuin lo, dia minta gue buat jagain lo sementara, itu lah alasan kenapa gue selalu datang ke rumah lo disaat Jean gak bisa datang, soalnya Jean udah titipin lo ke gue."

Shan terus terdiam sambil mendengarkan ucapan Theo. Benar, selama ini Theo begitu rajin ke rumahnya dan mengobrol banyak dengan nenek Mar, bahkan Theo berulang kali membelikan makanan untuknya menggantikan Jean yang selalu melakukannya.

"Jean gak pengen hal ini terjadi, mungkin sekarang dia lagi berjuang buat bangun, dia juga pengen nemuin lo tapi nyatanya kondisinya gak begitu memungkinkan buat terbangun. Jadi lo sabar aja, selama apapun Jean koma, gue yakin suatu hari nanti Jean bakal bangun, tenangin diri lo, jangan sampe lo sakit," ujar Theo lagi.

"Waktu mama pergi, gue selalu nanya sama diri gue sendiri. Bisa gak ya gue hidup tanpa mama? Gimana kehidupan gue buat kedepannya kalau mama gak ada? Gue sadar gue gak bisa ngelakuin semuanya sendirian, g-gue butuh mama," ucap Shan dengan suara gemetar di sela isakan lirihnya.

"D-dan sampai detik ini gak ada yang bisa gantiin sosok mama di hidup gue, tapi kehadiran Jean bikin gue ngerasa nyaman dan perlahan ngelupain rasa sedih gue. T-terus, kalau Jean pergi gue gimana?" Tanya Shan yang terdengar begitu menyayat hati.

Theo menarik dagu Shan, hingga ia dapat melihat raut wajah sedih Shan yang begitu menyakitkan, ia pun mengusap jejak air mata di pipi Shan dengan ibu jarinya.

"Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, Jean bakal baik-baik aja, gak akan ada yang pergi lagi buat ninggalin lo, Jean gak sejahat itu buat ninggalin orang yang dia cintain," ucap Theo seraya tersenyum untuk menenangkan, walau hal tersebut tak begitu ampuh untuk Shan.

"Gue pengen ketemu Jean. Tapi gue takut."

"Kalau begitu jangan, tunggu Jean keluar dari ICU dan pindah ke kamar rawat."

"T-tapi gue pengennya sekarang."

Theo menghela nafasnya, "kalau begitu lo masuk aja, tapi lo harus tenang."

Tanpa menyahut, Shan beranjak dari kursinya, kemudian ia memasuki ruang ICU untuk disterilkan sejenak, setelah ia menghampiri Jean di brankar pojok.

Shan terdiam sambil meremat bajunya sendiri dengan bibir bawah yang gemetar, kemudian ia tersenyum dengan air mata yang menetes deras.

Jean masih terlihat sama seperti 4 hari yang lalu, tubuhnya masih dipenuhi dengan alat medis.

Tiba-tiba Shan jatuh berlutut di samping brankar Jean, kemudian memegang pinggiran brankar dengan erat sambil menangis tanpa suara, hingga dadanya begitu sesak saat ini.

Cukup lama Shan menangis tanpa suara, ia tidak memiliki kekuatan untuk beranjak dan pergi dari sana, hatinya begitu sakit melihat kondisi Jean dalam sedekat ini.

Shan susah payah beranjak dari posisinya, kemudian ia mendudukan tubuhnya di kursi, ia meraih tangan Jean dan menggenggamnya, terasa begitu hangat, ia begitu merindukan genggaman dan pelukan Jean.

Shan memandang wajah Jean, kemudian ia kembali menurunkan pandangannya, memilih untuk memandang tangan Jean yang berada di genggamannya.

"Jean, aku kangen."

"Bangun, katanya mau nemenin aku terus."

"Aku kira aku bakal baik-baik aja, tapi nyatanya enggak. Aku benar-benar butuh kamu, Jean. Tolong jangan tertidur terlalu lama."

"Pokoknya jangan pergi, jangan pergi tinggalin aku, aku gak tau gimana jadinya kalau enggak ada kamu, t-tolong."

Shan susah payah untuk menahan tangisannya, sebab yang ia tahu orang koma akan mendengarkan suara-suara disekitarnya.

Shan mengecup tangan Jean yang berada di genggamannya, membiarkan air matanya mengalir membasahi tangan hangat Jean.

Shan menaruh tangan Jean di pipinya, ia begitu rindu usapan Jean yang bisa membuatnya tenang, namun kali ini ia benar-benar tak bisa tenang karena tak ada respon sedikit pun dari Jean.

"Aku kangen banget sama kamu, Jean. S-sayang, sayang banget sama Jean."

Shan terus menangis di sana, bibirnya tak bisa berhenti bergumam untuk memanggil nama Jean.

Shan dibuat terkejut ketika merasakan jari Jean bergerak pelan di pipinya, sontak ia memandang wajah Jean, terlihat kelopak mata Jean bergerak dan perlahan terbuka. Hal tersebut membuat Shan terkejut bukan main, Shan pun segera memanggil dokter di sana, sampainya akhirnya ada beberapa petugas medis yang datang untuk memeriksa kondisi Jean, sementara Shan harus keluar dari ruang ICU.

Shan terlihat gusar, ia meremat jari-jarinya berharap Jean terbangun, dan ia tak berhenti untuk berdo'a.

Shan mengedarkan pandangannya, hanya ada di dirinya di ruang tunggu, padahal sebelumnya ada Yuno yang selalu menunggu Jean di sana.

Shan mendudukan tubuhnya di kursi tunggu, ia kira ia bisa menemui Jean lagi dalam walau cepat, namun nyatanya sudah 4 jan berlalu ia belum diijinkan untuk menemui Jean, entah apa yang tengah mereka lakukan di dalam sana.

Yuno juga belum kembali, Shan tak memiliki nomor ponsel Yuno, jadi Shan hanya diam di sana sambil menunggu Yuno kembali.

Sekitar 15 menit kemudian, akhirnya Shan diijinkan untuk menjenguk, dengan cepat Shan kembali memasuki ruang ICU, sampai akhirnya ia melihat Jean yang tak lagi menggunakan alat bantu pernafasan berupa selang yang melewati tenggorokannya, tergantikan dengan alat lain berupa masker oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya.

Shan tak henti-hentinya mengucapkan kata syukur saat melihat mata sayu Jean yang memandangnya.

Shan susah payah untuk tidak menangis, namun rasanya sulit, air matanya tetap mengalir.

Shan pun menggengam tangan Jean, membuat mata Jean melirik ke arahnya dengan lemah.

"S-shan.." panggil Jean dengan suara serak yang hampir tak terdengar, membuar air mata Shan menetes semakin deras.

"Akhirnya, akhirnya kamu bangun," lirih Shan, kemudian ia mengecupi punggung tangan Jean dengan lembut.

"Jangan pergi," bisik Jean yang membuat Shan menggelengkan kepalanya.

"Aku selalu nungguin kamu, aku selalu nunggu kamu buat bangun. Makasih, Jean. Makasih udah bangun dan mengurangi sedikit kepanikan aku, tolong jangan tidur terlalu lama lagi."

"S-sayang Shan."

"Aku juga sayang kamu, cinta kamu, aku gak mau kamu pergi," balas Shan sambil tersenyum haru.

"Jam berapa?" Tanya Jean, Shan pun melirik jam di pergelangan tangannya.

"Jam 3 sore, ini udah 3 hari kamu tidur, Je."

"Jangan nangis, nanti aku sedih," bisik Jean, Shan pun mengusap air matanya.

"Aku nangis karena terharu, akhirnya kamu bangun. Jadi sore ini aku bahagia banget bisa denger suara kamu lagi," sahut Shan seraya tersenyum dan mengusap tangan Jean.

"Sakit gak?"

Shan mengerutkan dahinya sambil tetap tersenyum, "aku gak sakit, kamu yang sakit," sahutnya.

"Iya, aku sakit."

"Apa sekarang ada yang sakit banget?" Tanya Shan.

"Y-ya, kepala aku, sakit banget."

"Kata suster kamu udah dikasih obat penghilang rasa sakit, jadi tunggu aja, obatnya bakal bereaksi."

"Aku ngantuk, tapi gak mau tidur."

"Kenapa?" Tanya Shan dengan suara gemetar.

"Nanti tersesat lagi, aku t-takut. Takut sendirian, g-gelap."

Shan kembali meneteskan air matanya, "aku bakal selalu nungguin kamu, kamu boleh tidur, tapi janji bangun lagi ya?"

Jean tersenyum lagi, "aku selalu pengen bangun, tapi susah."

"Sekarang pasti bisa, kondisi kamu udah membaik, jangan paksain buat tetap terbangun kalau kamu ngantuk," ucap Shan, sepertinya Jean mengantuk karena pengaruh dari penghilang rasa sakit.

"Permisi kak, kakaknya sudah terlalu lama di sini, sekarang kakak tunggu diluar ya?" Ujar seorang suster yang baru saja menghampiri Shan.

"Iya, sus. Sebentar lagi." Shan menyahut seraya beranjak dari kursinya, kemudian ia melepaskan genggaman tangannya pada tangan Jean.

"Kamu harus istirahat lagi, biar cepat pulih. Aku bakal tunggu di luar, nanti aku dateng lagi," bisik Shan.

Tangan kanan Jean terangkat ke udara secara perlahan, bola matanya bergerak gelisah, namun ia tersenyum lemah. Tangan Jean bergerak seperti tengah menulis sesuatu di udara, Shan pun menaruh tangan Jean ke tempat semula.

"Kenapa?" Tanya Shan.

"Shan, c-cantik."

Shan tersenyum haru, "makasih, aku benar-benar harus tunggu di luar."

"S-Shan, panggil namaku terus ya? Apapun yang terjadi jangan pernah tinggalin aku, aku gak mau pulang," bisik Jean dengan suara yang hampir hilang, namun Shan masih mampu mendengarnya.

Shan merengut sendu, "y-ya."

Shan pun dengan berat hati keluar dari ruang ICU, kemudian suster lain datang sambil membawa cairan infus di tangannya.

Suster tersebut ikut tersenyum ketika melihat Jean yang tengah tersenyum lemah dengan pandangan kosong.

"Kenapa kakak senyum-senyum?" Tanya suster itu dengan ramah sambil mengganti cairan infus Jean yang sudah hampir habis.

"Bidadari saya dateng, cantik ya?" Sahut Jean, membuat suster tersebut terenyuh mendengarnya.

"Iya, cantik. Tunggu sampai besok ya? Semoga besok kakak bisa pindah ke ruang rawat biasa, biar bisa ketemu bidadarinya lagi."

"Sekarang jam berapa?" Tanya Jean yang lagi-lagi menanyakan jam.

"Jam 3 lewat 10 menit."

"G-gak mau pulang."

"Ya, kakak gak boleh pulang sebelum kakak sembuh."

"Lampunya jangan dimatiin, takut." Jean berucap dengan nada lirih, padahal lampu di ruang ICU selalu dibiarkan menyala.

"Iya, kak. Lampunya gak bakal dimatiin, kakak tidur aja, kayaknya kakak udah ngantuk banget," ujar suster itu seraya membenarkan letak selimut Jean.

Suhu tubuh Jean begitu rendah, bahkan nafas Jean lebih berat dari sebelumnya.

Dan sore itu Jean kembali terlelap karena pengaruh obat anti nyeri.

Sementara itu Shan mengobrol dengan Yuno tentang kondisi Jean yang terlihat membaik, dan Yuno tidak bisa menjenguk Jean untuk malam ini, harus menunggu besok pagi.

**

Shan membuka matanya, ia memandang langit yang terlihat cerah, kemudian ia menggeser pandangannya hingga bertemu tatap dengan Jean yang kini tengah tersenyum padanya.

Ternyata posisi Shan saat ini tengah terbaring di atas rerumputan dengan kepala yang berada di pangkuan Jean.

"Kamu tau? Tadinya mendung, tapi tiba-tiba cerah," ujar Jean.

"Mungkin awan hitamnya cuma lewat," sahut Shan tanpa mengubah posisinya.

"Ya, mereka cuma lewat."

"Kenapa kamu ada di sini?" Tanya Shan dengan suara serak.

"Iya, pengen ketemu kamu, ini udah lama banget ya? Hm sekitar 3 tahun."

"3 tahun? Jangan becanda!" Shan nampak terkejut, Jean membual terlalu jelas.

"Emangnya berapa lama?" Tanya Jean dengan tatapan bingung.

"Aku gak tau."

"Pokoknya lama, aku kangen banget sama kamu," ucap Jean lagi.

"Kenapa kamu nangis?" Tanya Shan saat melihat mata Jean yang berkaca-kaca, namun ada senyuman manis di wajah Jean.

"Sakit."

Sontak Shan bernjak dari duduknya, kemudian ia duduk berhadapan dengan Jean sambil menatap Jean dengan tatapan cemas.

"Apa yang sakit?"

"Semuanya, sakit banget," sahut Jean seraya menunjuk ke seluruh tubuhnya, membuat dada Shan mendadak begitu sesak.

"Ayok pulang, kamu harus istirahat," ajak Shan seraya meraih tangan Jean, namun Jean menggelengkan kepalanya.

"Enggak mau pulang, nanti kamu sendirian."

Shan terdiam sambil menatap mata Jean lamat-lamat, "pulang sama aku."

"Gak bisa, bisanya pulang sendiri."

"Kamu ngomong apa sih, Jean?"

"Jangan minta aku buat pulang, aku enggak mau pulang," sahut Jean seraya menggelengkan kepalanya, air mata Jean menetes begitu saja.

"Kenapa gak mau?"

"A-aku takut, Shan. Jangan minta aku buat pulang, tolong, jangan," ujar Jean lagi, senyuman di wajahnya luntur, tergantikan dengan raut wajah ketakutan.

"Kamu kenapa? Kenapa takut buat pulang? Ada aku. Kamu bisa istirahat di rumah, aku temenin kok," balas Shan dengan tatapan cemas, tak biasanya ia melihat Jean yang ketakutan hingga menangis tanpa suara.

Jean kembali menggelengkan kepalanya, kemudian Shan kembali terdiam, ia mengerti dengan maksud Jean namun ia tidak bisa mengungkapkannya, ia juga bingung kenapa perasaannya begitu tak karuan.

"Panggil aku lagi, aku kangen suara kamu, jangan pernah tinggalin aku, aku gak mau sendirian," ucap Jean dengan nada frustasi, tangannya meremat tangan Shan yang berada di genggamannya.

"Shan, janji ya? Jangan tinggalin aku. Kalau kamu pergi, nanti aku sendirian, aku takut," lirih Jean, sementara Shan hanya diam, Shan pikir bukankah dirinya yang harus mengatakan itu pada Jean?

Shan takut Jean pergi meninggalkannya, namun kini Jean yang terlihat begitu takut untuk ditinggalkan olehnya.

"Shan, aku takut. Takut banget, jangan pergi ya?"

"Aku juga pengen bangun, tapi gak bisa. Semuanya sakit."

"Jangan pernah berhenti buat manggil namaku, jangan pernah berhenti buat genggam tanganku, karena kehadiran kamu bikin aku gak ketakutan lagi."

"Tapi kenapa lama banget? Kenapa kamu baru datang hari ini? Kenapa kamu baru panggil aku hari ini? Aku ketakutan, Shan. Di sini gelap, aku sendirian."

"Panggil aku lagi, panggil namaku lagi, jangan pergi."

"Shan, jawab. Janji ya kamu gak akan tinggalin aku sendirian? A-aku takut."

"Tolong, Shan. Janji sama aku."

Jean menangis lirih, namun anehnya Shan hanya terpaku ditempatnya sambil mendengarkan keluhan Jean di sela tangisannya, Shan ingin sekali memeluk Jean namun tidak bisa, bahkan suaranya mendadak tak bisa keluar.

"Mereka jahat banget sama aku, mau pisahin aku sama kamu. Ini bukan keinginan aku, tapi keinginan orang jahat itu."

"Tolong, Shan. Aku masih pengen hidup, panggil aku, jangan tinggalin aku."

"Jangan biarin orang-orang itu datang buat bunuh aku."

"Orang-orang jahat itu."

"Aku takut."

"Tolong.."

"Aku gak mau kayak gini, aku mau bangun, tapi gak bisa."

Jean terus meracau sambil menangis, tangisan yang terdengar begitu menyayat hati. Shan benar-benar tak bisa mengeluarkan suaranya, seolah ia hanya perlu mendengarkan keluhan Jean yang ketakutan.

"Shannon, kalau waktu dapat diputar, malam itu aku enggak akan pulang, malam itu aku bakal tetep nemenin kamu di rumah, maafin aku, Shan. Ini semua kesalahanku, aku yang gak bisa jaga diri baik-baik sampai orang itu nyakitin aku."

"Aku nyesel, seharusnya aku enggak pulang, seharusnya aku enggak pulang terlalu jauh, seharusnya aku gak ninggalin kamu di rumah."

"Shannon, sayang. Aku sayang banget sama kamu. Kalau kamu pergi, aku bakal ketakutan lagi, Shan.. sakit.."

"Shannon, aku masih pengen hidup, pengen bahagiain kamu, tapi aku gak bisa bangun, aku cuma bisa mendengar suara kamu."

"Jadi, apapun yang terjadi nanti, tolong jangan pernah tinggalin aku, dan jangan pernah berhenti buat panggil namaku, aku bakal kembali, aku gak bakal pulang."

"Shannon, bilang Tuhan, aku enggak mau pulang sekarang."

Setelah meracau dengan banyak kalimat yang menyayat hati, Jean kembali menangis tersedu-sedu, tangisannya begitu memilukan hingga membuat Shan ikut menangis, namun Shan tak bisa bergerak lebih.

Sampai akhirnya, mata Shan terbuka, menyisakan isakan lirih yang keluar dari celah bibirnya, kemudian ia mengusap jejak air mata di pipinya.

Shan sadar ia baru saja bermimpi, mimpi yang terasa begitu nyata. Entah Shan harus percaya atau tidak pada mimpi yang ia alami.

Yang Shan tangkap dari mimpi itu Jean meminta untuk ditemani olehnya, Jean ketakutan ketika ditinggal sendirian, dan Jean meminta Shan untuk selalu memanggil namanya dan menggenggam tangannya.

Shan mengusap air matanya, apa pun yang terjadi, ia tak akan pernah meninggalkan Jean.

Shan baru saja hendak beranjak dari kursi tunggu untuk menemui Jean lagi, namun ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara tangisan orang lain di sana, ia pun menoleh dan mendapati Shua yang tengah menangis di kursi lain, sementara Qian menangis sambil bersimpuh di atas lantai.

Shan pun melirik Yuno yang tengah mengobrol dengan dokter di hadapannya.

Jantung Shan berdebar begitu keras hingga menimbulkan rasa sakit, ia melihat air mata mengalir di pipi Yuno ketika Yuno tengah berbincang dengan dokter tersebut.

Yuno memegang lengan dokter itu seraya menatap dokter itu dengan tatapan memohon, namun dokter itu hanya menunjukan raut wajah penyesalannya.

Apa yang terjadi? Itulah pertanyaan yang ada di pikiran Shan, namun tubuhnya lemas hingga tak sanggup untuk sekedar bergerak.

Shan baru menyadari kehadiran Theo yang tak jauh dari Yuno dan dokter tersebut, kemudian Theo menghela nafas dan menoleh padanya.

Theo pun menghampiri Shan, kemudian Theo berdiri di hadapan Shan hingga Shan harus mendongakkan kepalanya untuk menatap Theo.

"Shan, harapan kita udah berakhir," ujar Theo dengan mata yang memerah, membuat air mata Shan kembali menetes.

"A-ada apa?" Tanya Shan dengan suara gemetar, membuat Theo terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya.

"J-Jean kenapa? Tadi sore gue abis ngobrol sama Jean, dia baik-baik aja kan?" Tanya Shan lagi.

Theo memejamkan matanya sejenak, kemudian ia kembali menatap Shan dengan tatapan sendu. "Jean koma lagi. Jean mengalami mati otak, seluruh aktivitas otaknya berhenti secara permanen, sampai kapan pun Jean enggak akan pernah bangun walau jantungnya masih berdetak karena bantuan alat."

.
.
.
.

Scroll aja buat chapter 29! Udah aku publish.

Jangan mogok di sini ya 🤧🤧

💚💚💚

Continue Reading

You'll Also Like

113K 5.8K 41
[ BEBERAPA PART AKAN DI PRIVAT, WAJIB FOLLOW DULU! SETELAH ITU VOMENT! HAPPY READING! ] [NEW VERSION] "Kau milikku yang paling berharga." "Ah, pekerj...
364K 4.2K 5
Hi ! Mau infoin sebagian part cerita ini aku pindahin ke Dreame. Kalian bisa baca disana tapi cast nya aku ganti nama lokal Pen nama di Dreame : Bunn...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.2M 249K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.8M 191K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...