Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(12) Rumah Pagar Putih

1.4K 230 15
By dekmonika

Malam ini mau up satu part lagi ah.

Btw, disini ada yang anak paguyuban twitter nggak? Kalau ada, yuk lah mutualan sama aku wkwk. Akunku (tw: @dekmonik) tapi sekarang udah jarang kebuka juga sih wkwk, atau kalau yang main instagram boleh mampir ke ig-ku dengan username yang mirip-mirip (ig: @dekmonikk). Isinya nggak ada apa-apa sih, cuma beberapa editan amatiran seputar Aldebaran Andin, xoxo.

YUK LAH KITA LANJUT!

___________________

Tak lama setelah perbincangan dari hati ke hati di taman komplek itu, Andin akhirnya memutuskan ingin kembali pulang. Aldebaran sempat menawarkan untuk gadis itu menginap di rumahnya saja untuk malam ini, karena Aldebaran tidak yakin saat Andin di rumah Andin bisa lebih tenang. Namun gadis itu meyakinkan bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Andin ingin tahu keadaan sang mama. Aldebaran tidak bisa memaksanya, namun pria itu tetap akan menemani perjalanan Andin menuju rumahnya.

Dari jarak yang tak begitu jauh lagi dari rumahnya, Andin melihat sebuah mobil baru saja beranjak pergi dari sana. Aldebaran dan Andin saling menatap, lalu bergegas melanjutkan langkah mereka.

"Bas!" Panggil Andin pada sang adik yang baru saja akan masuk ke dalam rumah. Lelaki bertubuh jangkung itu berbalik dan melihat kakaknya berjalan cepat ke arahnya.

"Itu tadi dokter Thomas, ya?" Tanya Andin. Baskara mengangguk, kemudian beralih menatap kehadiran Aldebaran yang juga ada disana.

"Bagaimana keadaan mama sekarang?"

"Mama sudah lebih tenang, kak. Dia sudah tidur sekarang." Mendengar hal itu membuat Andin bisa bernafas lega. Aldebaran yang melihatnya ikut tersenyum simpul.

"Kalau begitu, aku mau melihat kondisi mama dulu." Ucap Andin. Ia beralih menatap Aldebaran di sebelahnya.

"Mas Al, terima kasih, ya, sudah menemaniku sampai rumah."

"Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang sekarang ya."

"Iya, hati-hati, Mas." Ucap Andin dibalas dengan senyuman pria itu.

Bersamaan dengan Aldebaran yang mulai berjalan meninggalkan pekarangan rumah itu, Andin pun langsung bergegas masuk. Sementara Baskara yang masih melihat punggung Aldebaran yang akan keluar dari pagar rumahnya, tiba-tiba memanggil pria itu.

"Kak Al!" Seru Baskara menghentikan langkah Aldebaran. Pria tampan itu berbalik, melihat Baskara yang berjalan ke arahnya.

"Iya, Bas?" Baskara menatap Aldebaran dengan sedikit bingung membuat Aldebaran mengerutkan keningnya, tak mengerti.

"Ada apa, Baskara?" Aldebaran bertanya, lagi.

"Nggak, nggak apa-apa, Kak. Aku cuma mau mengucapkan terima kasih, karena Kak Al sudah menghibur Kak Andin." Tutur Baskara, sedikit sungkan. Dengan tersenyum, Aldebaran mengangguk mengerti.

"Saya tidak menghiburnya, Bas. Saya hanya menemaninya saja."

"Apapun itu, aku sangat berterima kasih."

"Sama-sama, Bas." Balas Aldebaran sambil menepuk sebelah pundak remaja itu.

"Saya senang melakukannya." Lanjut Aldebaran, tersenyum tulus. Dan Baskara bisa melihat ketulusan yang tercetak pada wajah pria itu. Hingga terbesit di pikiran remaja itu, apakah Aldebaran menyukai kakaknya?

"Saya pulang, ya."

"Iya, Kak. Hati-hati."

"Ya."

_______________________________________

Sejak malam itu, hubungan Aldebaran dan Andin nampak menjadi lebih dekat. Aldebaran tak perlu berpikir panjang lagi untuk sesekali menjemput Andin saat akan berangkat bekerja atau mengantar gadis itu untuk pulang.

Aldebaran yang kaku tiba-tiba seakan mencair dengan hadirnya seorang Andin di kehidupannya. Bahkan pria itu jadi lebih sering mendatangi Coffeshop tempat Andin bekerja dengan alibi untuk makan siang atau diskusi kecil dengan beberapa karyawannya, meskipun sebenarnya tujuannya hanya untuk memastikan Andin baik-baik saja.

Namun sebelum malam itu pun, Aldebaran sudah mulai menyadari apa yang ia rasakan. Ia suka menatap kedua bola mata gadis itu. Ia suka mendengar suara lembut gadis itu. Tawanya, senyumannya, selalu menghadirkan rasa hangat di dalam hati Aldebaran. Terlebih dari itu, juga ada airmata gadis itu yang selalu membangkitkan nalurinya untuk menjaganya. Apakah itu berarti perasaan cinta? Entahlah. Aldebaran mungkin tidak pernah merasakannya sebelumnya.

Begitu halnya dengan Andin. Perempuan itu menjadi sedikit lebih luwes untuk berbagi cerita pada Aldebaran. Meskipun tak semua hal bisa ia curahkan, namun Andin seolah menemukan sosok baru yang bisa menjadi pendengar yang baik untuknya. Aldebaran memang tak selalu bisa memberikan jawaban atau solusi. Akan tetapi dengan tatapan teduh pria itu, Andin bisa merasa lebih tenang. Andin merasa tidak sendirian.

"Selamat pagi."

"Pagi sayang. Sarapan sini."

Aldebaran tampak sudah rapi dengan celana hitam dan kemeja biru dongker. Ia berjalan sambil terfokus pada handphone-nya, menghampiri meja makan yang disana telah terlihat anggota keluarganya yang lain, sang papa, mama, dan Roy yang tampaknya menjadi satu-satunya yang belum mandi diantara mereka. Adik Aldebaran itu masih mengenakan piyama tidur dengan muka bantalnya.

"Loe mau ke kantor Al?" Tanya Roy saat Aldebaran meletakkan jasnya pada sandaran kursi miliknya.

"Ya menurut loe, gue sudah rapi gini mau ke taman safari?" Celetuk Aldebaran membuat Roy berdecak kesal. Sedangkan sang papa terlihat terkekeh geli.

"Mau sarapan apa, sayang? Biar mama ambilin." Tanya sang mama yang duduk di seberangnya. Aldebaran tampak melihat-lihat sekilas.

"Roti saja, Ma." Jawab Aldebaran sambil sibuk melipat lengan kemejanya.

"Padahal gue hari ini rencananya mau ngajak loe ke lokasi shooting. Gue satu set sama Aurel soalnya." Beritahu Roy membuat kening Aldebaran mengerut.

"Terus, hubungannya sama gue apa?" Sahutan itu membuat Roy menatap abangnya tersebut dengan jenuh.

"Al, Al, loe nggak sadar-sadar ya. Aurel kan suka sama loe, bagaimana sih!" Celetuk Roy membuat kedua orang tua mereka hanya menatap maklum pada anak-anaknya.

"Aurel suka sama gue bukan berarti gue juga harus suka sama dia kan?" Jawab Aldebaran, telak, malah membuat sang mama hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perdebatan kecil dua putranya.

"Makasih, Ma." Tutur Aldebaran saat Rossa memberikan roti beserta isiannya pada piring Aldebaran.

"Loe mau cari perempuan yang gimana sih, Al? Aurel itu padahal sudah mendekati sempurna banget. Dia cantik, baik, berpendidikan, model terkenal, aktor, terus sekarang sudah mulai nyanyi juga. Kapan lagi ada cewek se-perfect dia suka sama cowok kayak loe yang kaku begini." Protes Roy membuat Aldebaran meliriknya sekilas sambil menyuap potongan kecil roti ke mulutnya.

"Loe mau tahu tipe perempuan yang gue suka?" Tanya Aldebaran.

"Gimana?" Roy bertanya, penasaran.

"Perempuan yang kayak mama." Ungkap Aldebaran membuat sang mama merasa tersanjung. Sedangkan Roy hanya melirik sang mama yang duduk di sebelahnya.

" Perempuan yang nggak hanya cantik, nggak hanya baik, nggak hanya sukses. Tapi dia punya hati yang tulus. Dia yang bisa memberikan rasa nyaman pada orang yang dicintainya. Dia yang mempunyai hati yang lapang. Dan dia yang tidak pernah menyerah pada hidupnya." Ungkap Aldebaran sambil menatap sang mama dengan rasa bangga.

"Oh, my son, I love you." Ucap Rossa, terharu.

"I love you too, Ma." Balas Aldebaran, tersenyum simpul, lalu melanjutkan makannya. Sementara Roy tidak bisa berkutik apa-apa.

"Bagus, Al. Kamu punya standar perempuan idaman yang luar biasa. Meskipun papa yakin tidak akan ada lagi yang seperti mamamu ini." Sahut sang papa dengan gombalan yang terselubung sambil melirik istrinya. Rossa terkekeh dengan menggelengkan kepalanya, memaklumi. Aldebaran tertawa ringan. Sedangkan Roy memasang ekspresi gelinya melihat kebucinan orang tuanya.

"Tapi omong-omong Al, kamu bicara seperti itu apa jangan-jangan kamu sudah menemukan perempuan dengan kriteria yang kamu maksud?" Tanya mama Rossa, menyelidik.

DEG!

Aldebaran tertegun. Pertanyaan sang mama membuat pria itu mendadak gagu dalam sesaat. Tak ada wanita yang ia pikirkan selain sang mama. Namun, beberapa waktu terakhir sepertinya ada wanita lain yang sering mengelilingi pikirannya.

Wanita yang belum terhitung lama ia kenal, tetapi mampu memberikan rasa nyaman saat Aldebaran bersamanya. Wanita yang membuat waktu pria itu terasa jauh lebih cepat. Wanita yang membuat Aldebaran ingin terus berlama-lama menatap wajahnya dan mendengar suara lembutnya.

"Dih, ditanya malah bengong!" Roy menyahut, seketika membuat Aldebaran tersadar. Pria itu buru-buru meraih gelas air mineral di hadapannya, kemudian menyesapnya.

"Ehmm, maaf Ma, Pa, aku harus segera berangkat ke kantor, ya."

Rossa, Damar, dan Roy saling menatap curiga saat melihat Aldebaran nampak buru-buru setelah mendapatkan pertanyaan itu. Aldebaran beranjak dari tempat duduknya dan meraih jas yang ia sampirkan pada sandaran kursi tersebut.

"Buru-buru amat loe!" Seru Roy. Namun Aldebaran tak menghiraukannya.

"Ma, aku pergi dulu ya." Ucap Aldebaran setelah mencium tangan sang papa, dan beralih pada mamanya.

"Sebentar." Rossa sedikit membantu merapikan kerah jas hitam yang baru saja dikenakan oleh putranya tersebut.

"Hal-hal kecil begini saja harus mama yang perhatikan. Cepat-cepat punya istri makanya. Biar ada yang urusin." Celoteh Rossa sambil merapikan kerah jas Aldebaran.

"Maa..." Protes Aldebaran yang akhirnya membuat Rossa terkekeh.

"Mama bercanda. Sudah sana, berangkat." Aldebaran tersenyum, sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan tiga orang tersebut yang masih ada di ruang makan.

"Tumben sekali dia bahas perempuan." Gumam Damar, melihat kepergian putra sulungnya. Hal itu dapat didengar oleh Rossa dan Roy.

"Iya ya, Pa, nggak biasanya." Rossa menyahut setuju.

"Aku itu sudah lama curiga, Ma, Pa. Dia itu akhir-akhir ini beda, jadi lebih sering senyum-senyum. Aneh deh." Roy ikut menimpal.

"Masa sih?" Rossa mempertanyakan, ragu.

"Si mama nggak percayaan." Seloroh Roy.

"Tapi Roy benar juga. Pas kapan hari, papa pernah memergoki dia senyum-senyum setelah menerima telepon." Sang papa mendukung pernyataan Roy.

"Nah!" Roy berseru.

"Yang benar, Pa? Telepon dari siapa?" Rossa semakin penasaran.

"Nah, soal itu papa tidak tahu." Jawab Damar membuat Rossa tampak berpikir sejenak.

"Kayaknya anak mama yang satu itu lagi kasmaran deh." Komentar Roy.

"Apa Al lagi dekat dengan seseorang, ya?" Rossa bergumam membuat Roy dan sang papa saling melirik satu sama lain.

Hanya berjarak kurang lebih seratus meter dari rumahnya, Aldebaran menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah berpagar putih yang sedang terbuka lebar yang tak lain adalah kediaman Andin. Untuk hari ini ia tidak memberitahu gadis itu bahwa dia akan menjemput. Akan tetapi Aldebaran tahu kalau Andin mendapat shift jaga di Coffeeshop pagi ini.

Aldebaran keluar dari mobil, dan yang pertama kali ia lihat adalah seorang wanita seumuran sang mama yang sedang menyiram beberapa tanaman hijau di pekarangan rumah tersebut. Aldebaran yakin bahwa wanita itu adalah ibunya Andin, meskipun ia belum pernah bertemu sebelumnya.

"Selamat pagi, tante." Sapa Aldebaran saat telah berdiri di belakang wanita itu. Refleks wanita itu pun berbalik melihat siapa yang datang.

"Pagi..." Sahutnya, bingung.

"Kamu siapa, ya?" lanjutnya, bertanya.

"Saya Aldebaran, tante. Saya temannya Andin." Jawab Aldebaran dengan tersenyum ramah. Wanita itu tampak mengangguk-angguk mengerti. Sesaat kemudian ia memperhatikan penampilan pria itu dari ujung kaki hingga kepala, kemudian menoleh pada mobilnya yang terparkir di depan pagar.

"Kamu yang sering mengantar Andin pulang, ya?" Tebaknya, membuat Aldebaran terdiam sesaat. Hingga kemudian ia mengangguk, meng-iya-kan.

"Benar, tante. Rumah saya juga dekat sini kok." Jawab Aldebaran.

"Oh, kamu tinggal di komplek ini juga?"

"Iya. Mungkin tante kenal dengan Rossa Mahendra, beliau mama saya." Jelas Aldebaran yang kali ini membuat ekspresi wanita itu berubah. Ia tampak kaget mendengar nama sahabatnya yang baru saja disebutkan.

"Oh, jadi kamu anaknya Rossa, ya?" Raut wajah wanita itu yang sebelumnya datar bahkan terkesan dingin, seketika memperlihatkan senyumannya begitu mendengar fakta itu.

"Saya putra sulungnya, tante." Aldebaran membenarkan.

"Astaga. Maaf ya, tante tidak tahu."

"It's okay, tante." Aldebaran terkekeh.

"Oh iya, kalau kamu datang kesini untuk menjemput Andin, dia sudah berangkat." Wanita bernama Susan itu memberitahu Aldebaran.

"Naik sepeda, tante?" Tanya Aldebaran.

"Bukan. Tadi pagi-pagi Daniel yang menjemputnya." Mendengar nama Daniel membuat Aldebaran tercenung sesaat. Ia sebenarnya masih penasaran sejauh mana hubungan antara Andin dan Daniel. Namun tak berapa lama, pria itu mengangguk mengerti.

"Yasudah tante, karena Andin sudah berangkat, saya izin pamit. Terima kasih sebelumnya."

"Iya, sama-sama. Salam buat mama kamu, ya."

"Ya, nanti saya salamkan. Permisi, tante."

"Hati-hati."

Dari jarak puluhan meter, seseorang dari atas balkon tampaknya tak sengaja sedang memantau mobil BMW hitam yang baru saja melesat pergi dari depan pagar sebuah rumah. Sepasang kelopak matanya menyipit, menatap penuh curiga.

"Ma!" Panggilnya kepada sang mama yang tentu saja akan sulit didengar oleh orang yang dipanggil karena posisi pria itu sedang berada di balkon kamarnya sendiri.

Akhirnya ia memutuskan keluar kamar untuk mencari keberadaan wanita itu. Ia mencari ke ruang tengah, tidak ada. Berlanjut menuju dapur, juga tidak ada. Sambil terus memanggil sang mama, pria bernama Roy itu menuju kebun kecil mamanya di belakang rumah. Dan benar saja, mamanya sedang ada disana.

"Mama aku cari-cari, ternyata disini."

"Loh, ini kok belum mandi juga? Katanya mau shooting." Cecar Rossa saat melihat penampilan putranya yang masih acak-acakan.

"Tadinya sudah mau mandi, Ma. Tapi...."

"Kebanyakan alasan kamu ini." Rossa memotong kalimat Roy sebelum Roy menyelesaikan ucapannya.

"Mama dengerin aku dulu."

"Iya, mama dengarkan."

"Tadi pas aku lagi di balkon kamar, aku melihat mobil Al baru berangkat dari sebuah rumah, Ma." Roy selalu suka membocorkan hal apapun yang berkenaan dengan sang kakak pada sang mama.

"Rumah? Rumah siapa?" Rossa mengerut, bingung.

"Aku nggak tahu rumah siapa. Makanya aku heran, ngapain itu orang. Perasaan dia nggak punya teman siapa-siapa di komplek ini." Mendengar pernyataan Roy membuat Rossa terlihat sedang berpikir. Rumah siapa yang dimaksud Roy?

"Rumahnya yang mana?"

"Rumahnya ada di ujung jalan jalur ini. Ada pagar putih di depannya. Mama tahu itu rumah siapa?" Padahal seharusnya itu bukan menjadi urusan yang penting baginya, tetapi bagi Roy segala hal yang berkaitan dengan kakaknya akan menjadi sesuatu yang penting. Sebab, Roy tahu betul betapa tertutupnya Aldebaran pada dirinya, bahkan juga pada kedua orang tua mereka.

"Itu kan rumah..." Rossa menggantungkan kalimatnya.

"Rumah siapa?" Roy semakin dibuat penasaran. Rossa memetik jarinya, terlihat seperti baru mengingat sesuatu.

"Ah, iya, mama baru ingat." Cetus Rossa dengan wajah yang tiba-tiba berbinar.

"Apanya?" Roy semakin dibuat bingung.

"Itu rumah teman lama mama." Beritahu Rossa.

"Teman lama? Oh, mama nitip sesuatu buat dianterin kesana sama Al?"

"Bukan begitu."

"Terus, apa hubungannya?"

"Teman mama itu punya anak perempuan, namanya Andin, seumuran kamu sepertinya." Mendengar nama 'Andin' membuat kening Roy mengernyit.

"Andin?" Apa maksud sang mama itu adalah Andin yang ia kenal?

"Iya, katanya dia kuliah di jurusan yang sama kayak kamu, desain interior." Lanjut Rossa membuat Roy semakin yakin bahwa itu adalah Andin yang sama.

"Jadi, Al dan Andin itu saling kenal, tapi belum lama sih sepertinya. Kata mereka sih mereka hanya berteman. Tapi kalau mama lihat, sepertinya kakak kamu memandang Andin tidak seperti dia memandang perempuan yang lainnya." Rossa kembali menjelaskan. Roy mendengarkannya dengan serius sambil mengelus dagunya, berusaha mengambil kesimpulan.

"Maksud mama, Al suka sama Andin?" Tebak Roy.

"Ya mama kurang tahu juga sih. Tapi mama merasa ada yang berbeda saja dengan kakakmu itu setiap kali mama melihat dia menatap Andin."

"Jangan-jangan perempuan yang sedang dekat dengan Al itu adalah Andin."

"Who knows." Balas Rossa, tersenyum sumringah. Wanita itu tampak senang sekali jika benar putra sulungnya itu mulai memikirkan perihal asmaranya, terlebih jika benar perempuan itu adalah Andin, gadis yang sejak pertama kali ia kenal sudah mampu mengambil hatinya. Apalagi gadis itu adalah putri dari sahabat baiknya.

Sementara Rossa kembali mengurusi tanaman-tanamannya, Roy masih berdiri di tempatnya, masih terpikir soal Aldebaran dan Andin. Ia juga baru ingat, tempo hari Aldebaran pernah menanyakan beberapa hal tentang Andin padanya. Pria itu semakin yakin bahwa mereka pasti memiliki hubungan istimewa.

Roy harus mencari tahu itu nanti. Sedangkan untuk sekarang saatnya ia harus kembali ke kamar dan mandi, sebelum ocehan sang mama kembali berdengung di telinganya.

____________________________________________

Menjelang siang hari, di sebuah coffeeshop tempat Andin bekerja sudah mulai diramaikan oleh para costumer yang datang untuk sekedar bersantai atau makan siang. Para barista pun tampak sibuk dan cekatan melayani setiap costumer yang datang.

Diantara keramaian itu, sambil meracik segelas kopinya, Andin terlihat sedang melamun meskipun tangannya tetap bekerja. Hingga tiba-tiba ia menyadari keberadaan bingkisan sebatang coklat panjang yang dipita dan terlihat ada kertas ucapan disana.

"Hope you have a good day, Andin. Semangat bekerja, jangan melamun."

Begitulah kira-kira kalimat yang tertulis disana. Andin mengerutkan keningnya, bingung seraya meraih batang coklat itu.

"Biar mood-nya bagus seharian." Ucap seseorang dari belakang Andin, membuat gadis itu tercekat dan refleks melihat siapa orang itu.

"Kelakuan loe, ya?" Tebak Andin pada pria yang baru saja mengenakan appron yang sama dengannya. Pria itu tersenyum lebar, seolah meng-iya-kan.

"Habisnya loe kebanyakan melamun. Kesambet entar." Ledek pria bernama Daniel itu.

"Siapa yang melamun?"

"Ya elo lah. Makan itu coklatnya, biar fokus." Andin melirik coklat yang ada di pegangannya, lalu menyengir kecil membuat Daniel hanya terkekeh. Andin membuka bungkusan coklat tersebut, lalu menggigitnya dan mulai merasakannya.

"Enak. Thanks ya." Ucap Andin lagi-lagi membuat Daniel tertawa.

"Iya. Harus dihabiskan."

"Loe mau bikin gue gendut ya?" Andin melirik Daniel, penuh curiga.

"Dih, suudzon!"

"Nggak bisa. Loe harus ikut makan juga. Aaaa!" Andin mematahkan potongan kecil coklat itu lalu menyodorkannya ke mulut sahabatnya tersebut secara paksa. Mau tidak mau Daniel membuka mulutnya menerima suapan paksa dari gadis itu. Keduanya pun saling tertawa dengan tingkah konyol masing-masing.

"Yaudah, gue ke atas bentar ya, mau lihat yang lain dulu." Ucap Daniel sambil membersihkan sisi bibirnya dengan tissue.

"Iya." Sahut Andin.

"Jangan melamun lagi."

"Iya, bawel loe!"

Begitu Daniel pergi, Andin kembali pada pekerjaannya. Seperti permintaan Daniel tadi, ia harus lebih fokus. Sambil menunggu mesin kopi itu meracik biji-biji kopi yang telah ia masukkan, Andin mengedarkan pandangannya ke segala sudut di lantai dasar kedai kopi itu. Tanpa sengaja, matanya menangkap keberadaan seseorang yang ia kenal.

"Mas Al?" Lirihnya saat melihat pria itu yang duduk pada salah satu kursi yang berada jauh di ujung pandangannya. Pria tampan dengan kemeja biru dongker itu terlihat sibuk dengan laptopnya, namun tampaknya dia sempat melirik keberadaan Andin disana beberapa saat.

"Donny, gue tinggal sebentar ya." Andin meminta izin kepada teman barista yang baru saja kembali dari belakang.

"Oke, Ndin."

Andin melangkah menghampiri meja dimana pria itu berada. Ia memasang wajah berserinya menyambut kehadiran pria bernama Aldebaran tersebut.

"Kamu sudah lama disini, Mas?" Andin bertanya saat dirinya sudah berdiri tepat di hadapan pria itu yang duduk masih terfokus pada laptopnya.

"Mau americano kayak biasa nggak?" Andin kembali bertanya. Perlahan, Aldebaran mendongakkan kepalanya, menatap gadis itu yang tersenyum manis padanya.

"Saya sudah pesan." Jawab Aldebaran, terdengar dingin. Hal itu membuat Andin menjadi sungkan, padahal beberapa hari belakangan hubungan mereka sudah terasa hangat.

"Oh, begitu." Respon Andin, pelan.

"Mas lagi mau ada meeting ya disini?" Andin kembali melontarkan pertanyaannya, berharap dengan begitu situasi jadi mencair.

"Ya." Jawaban pria itu malah semakin singkat dan dingin, meskipun Aldebaran menjawab dengan melirik Andin sekilas.

Mendapatkan respon sedingin itu, membuat Andin akhirnya membatalkan niatnya yang sebelumnya ingin mengajak pria itu berbincang ringan. Sepertinya kondisi Aldebaran sedang tidak bisa diganggu. Atau mungkin juga pria itu sedang ada masalah yang membuat sikapnya jadi berbeda.

Andin menggelengkan kepalanya diam-diam, berusaha mengusir berbagai spekulasi di otaknya. Apapun yang sedang dialami oleh Aldebaran, bukan haknya untuk mengetahui. Andin harus sadar diri akan hal itu.

"Baik, Mas. Kalau begitu aku permisi."

Belum sempat Andin melangkah, tiba-tiba genggaman tangan Aldebaran menahan satu lengannya. Andin kaget dan refleks kembali berbalik. Ternyata pria itu sudah berdiri, tepat di hadapannya. Kedua pasang bola mata itu bertemu dalam jarak yang cukup dekat. Andin mendadak gagu, seolah mulutnya dikunci dengan tatapan yang amat dalam dari Aldebaran. Begitu pula Aldebaran, ia tak mengeluarkan kata apapun.

Entah apa yang akan dilakukanAldebaran, pria itu perlahan semakin mengikis jarak wajahnya dengan wajah gadisitu. Andin bak patung yang tak tahu harus berbuat apa saat Aldebaran semakinmendekatkan wajahnya. Andin hanya bisa merasakan jantungnya yang seperti akanmelompat dari tempatnya.

To be continued...

Eng ing eng! Kira-kira apa yang akan dilakukan Aldebaran?

Dah ya, sampai sini dulu. Mau lanjut nge-deadline dulu WKWK.

Continue Reading

You'll Also Like

46.7K 6.3K 38
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
616K 61.2K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
173K 14.8K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...
74.3K 7.2K 20
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG