GIOFI (Terbit)

By Rifannah_

14.3K 3K 1.5K

Syafika dituntut untuk menjadi seperti kakaknya yang sukses di dunia kerja. Dia harus meraih nilai sempurna... More

● PROLOG ●
01 - Sistem Unik
02 - Apa yang Salah?
03 - Risi Sebangku
04 - Hindari Sebangku
05 - Tolong Kembali
06 - Jadi Itu, Gio?
07 - Aksi Terbaik
08 - Fakta dan Opini
09 - Sudut Kelompok
10 - Jefri Curiga
11 - Di Bawah KKM
12 - Seleksi Teman
13 - Tak Lama Lagi
14 - Harus Bersama
15 - Nilai Ulangan
16 - Pengakuan di Pengumuman
17 - Sidang Kejujuran
18 - Sesal pada Pencapaian
19 - Dua Insan Pusat Perhatian
20 - Beauty Privilege
21 - Kalimat yang Sama
22 - Lukisan Gio
23 - Orang yang Dilukis
24 - Goresan dari Ucapan
25 - Cari Penyakit
26 - Merindu Momen
27 - Ya, Fi dan Ya, Gi
28 - Hasil Bujuk
29 - Nekat Tanya
30 - Teori Kesepakatan
32 - Protagonis dan Antagonis
33 - Ramai Diserang?
34 - Tak Sesuai Harapan
35 - Biang Keladi
36 - Masa Kelam
37 - Katakan Damai
38 - Karena Jeritan
39 - Sumpah dan Sampah
40 - Minta Maaf
41 - Meluruskan Cerita
42 - Tarik Balik!
43 - Pemicu Prinsip
44 - Malam Emosional
45 - Bagian Rencana
46 - The Monster
47 - Jefri
48 - Janji Baru
49 - Giat Belajar
50 - Remaja Penuh Drama
● EPILOG ●
● GIOFI'S Arts ●

31 - Sebotol Air Mineral

162 39 19
By Rifannah_

"Tetap kepoin kamu meskipun aku tahu bahwa itu sama aja kayak cari penyakit."

= GIOFI =

Acara tujuh belas Agustus peringatan hari kemerdekaan Indonesia di SMA Darwijaya saat ini sedang diadakan. Ada berbagai macam lomba mulai dari lomba peringatan hari Pramuka, kebersihan kelas, pameran kelas, menyanyi, monolog, tarik tambang, pertandingan basket, dan hoki. Selama seminggu SMA Darwijaya tidak mengadakan pembelajaran.

Bisa dibilang, ini bukanlah momen yang tepat untuk Afi dalam mencari tahu informasi lebih dalam melalui Pak Mujiarto.

Ketika langkahnya sampai di pekarangan sekolah, cewek dengan rambut dikucir kuda itu langsung mampir ke ruang guru untuk bertanya. Dia bertemu dengan Pak Anton selaku guru sejarah kelas dua belas.

"Permisi Pak, Pak Mujiarto ada?"

Pria paruh baya itu melirik masuk ke dalam ruangan dan menggeleng. "Kemungkinan hari ini nggak masuk Nak. Soalnya beliau lagi ada pelatihan di luar kota, besok."

Afi menghela napas, firasatnya betul. Selanjutnya, dia melangkah menuju kelas dengan tergesa, meletakkan tas secara asal, dan turun ke lantai satu lagi untuk menjadi mata-mata. Halaman tengah SMA Darwijaya dipenuhi siswa perwakilan kelas yang mempersembahkan karya mereka untuk dipamerkan. Sebagai anak yang tidak jago di bidang seni, tentunya Afi tak memiliki karya apa pun yang bisa dipamerkan. Jadi hari ini dia akan menjadi penonton saja.

Afi berjalan sendirian menuju lapangan di belakang gedung utama. Ramai sekali anak OSIS dan MPK, Gio juga berulang kali dia lihat lewat di sana, sangat ceria dan bersemangat. Kemudian Afi berjalan menuju auditorium untuk melihat bagaimana persiapan ekskul teater untuk mengadakan lomba monolog antar kelas. Mencengangkan, dalam waktu sekejap ruangan sebesar itu dibuat serba gelap dengan banyak kain hitam di sekelilingnya. Afi tidak akan meninggalkan perlombaan ini, apalagi salah satu teman kelasnya yakni Nur akan menjadi perwakilan kelas.

Baru saja keluar auditorium, mata Afi sudah disuguhi dengan pemandangan yang tidak enak. Afi melihat Rofira sedang menghampiri Gio yang bertugas. Cewek itu terlihat berpamitan dengan pacarnya.

Afi mendekat dan memasang pendengaran tajam-tajam.

"Hati-hati lombanya," kata Gio.

"Kamu juga semangat lombanya." Rofira pun pergi dengan senyuman yang masih merekah dan berjalan mundur menuju gedung utama.

Harmonis sekali kelihatannya, tetapi begitu Rofira pergi, Gio menghela napas kasar seolah semua bebannya berguguran saat itu juga. Afi tersenyum miring saat kepalanya memunculkan ide gila.

Mumpung tidak ada Rofira.

* * *

"Lomba hari ini apa aja ya Henry?" tanya Afi saat berpapasan dengan teman kelas lamanya.

"Oh itu, lomba hoki dulu, terus lomba pramuka, lomba pameran kelas, sama nyanyi. Besok baru penilaian lomba kebersihan kelas, lomba basket, monolog, dan nggak tahu lagi, deh, apa. Banyak. Oh ya, jangan lupa, besok kita upacara di SMK Karsa Raga."

"SMK Karsa Raga yang lapangannya luas itu?"

"Iya itu. Semua sekolah di kota ini pada kumpul ke sana."

Afi mengangguk. "Makasih infonya Henry," tandasnya sambil berjalan menuju kantin, membeli sebotol air mineral, dan duduk di bangku penonton di balik jaring pagar pembatas lapangan yang akan dipakai untuk pertandingan hoki hari ini.

Pandangan Afi bertumbuk dengan pandangan Gio yang kala itu sudah mengganti seragam olahraganya dengan jersei berwarna biru. Sekarang, cowok itu tinggal menunggu kelompok hoki dari kelas XI IPS 1 dipanggil.

Pia, Cici, Binar, dan Tami rusuh menghampiri Afi ketika dugaan mereka ternyata benar.

"Kenapa ke sini nggak bilang-bilang?"

"Kenapa ke sini nggak kasih tahu kita?"

"Pak Mujiarto gimana?"

"Lo ngapain Afi?!"

"Tuh, kan, apa gue bilang!" teriak Pia.

Rusuh, heboh, tidak bisa diam, dan merubah suasana sesak menjadi acara talkshow, itulah keahlian mereka. Afi terpaksa menggeser tubuhnya ke ujung bangku agar teman-temannya dapat menonton pertandingan bersama.

Tak menunggu lama, XI IPS 1 dan XI IPA 1 disebut namanya oleh para anggota OSIS yang memimpin acara ini. Gio dan kawan-kawan perwakilan kelas maju. Sontak Pia, Cici, Binar, dan Tami menjerit keras untuk mendukung kelas mereka.

Sejujurnya, Afi tak paham bagaimana jalannya permainan hoki lapangan. Yang dia tahu, Gio ada di dalam tim, permainan dimulai, kurang lebih terlihat seperti futsal tetapi menggunakan bola hoki—yang mirip dengan bola golf tetapi seukuran seperti bola tenis—dan stik hoki sebagai alatnya. Afi hanya melamun sepanjang pertandingan, tak paham betul. Fokusnya hanya pada Gio yang terlihat keluar auranya, memancing perhatian lebih satu sekolah, apalagi para cewek penyuka cowok ganteng, jangan ditanya. Kalau ada Rofira, pasti cewek itu akan ketar-ketir jantungnya, takut Gio direbut siapa saja.

Kelas XI IPS 1 mampu lolos ke babak berikutnya. Keempat teman Afi sudah bosan dan mengajaknya untuk pergi ke kantin atau beranjak dari sana. Namun, lagi-lagi Afi dalam mode keras kepala, harus mendapat apa yang benar-benar ingin dia gapai yaitu informasi Gio lagi, jadi terpaksa mereka meninggalkan cewek itu di bangku penonton, sendirian di tengah keramaian.

Tanpa disadari mereka, ternyata XI IPS 1 dipanggil untuk lanjut bermain lagi oleh para anggota OSIS. Penonton pendukung kelas itu habis, hanya ada beberapa yang masih peduli untuk memberikan dukungan tetap. Sisanya? Lelah berteriak, bosan, dan pergi ke kantin.

Untung saja Afi kukuh untuk menunggu. Dia tetap menonton walau tak paham dengan permainannya. Sebenarnya, tujuan utama memang bukan untuk menonton pertandingan, jelas, dia menonton hanya karena ingin melihat Gio.

* * *

Ketika cowok itu selesai bertanding dan timnya dinyatakan lolos sebagai tim yang masuk ke dalam final hoki nanti sore, Gio cepat berlari keluar lapangan, tempat di mana minumnya diletakkan. Baru saja meneguk sedikit, dia menyadari bahwa minumnya habis. Cowok itu menyebarkan pandangan ke sekeliling, tak ada supporter yang bisa dimintai pertolongan untuk ke kantin.

Afi tersenyum, saatnya mendekati Gio.

"Gio." Afi tersenyum lagi sembari memberikan air mineral dalam genggamannya.

Mendapat rezeki dadakan, Gio langsung menerima pemberian Afi itu dengan ucapan terima kasih bertubi-tubi. Jangan lupakan senyuman khas yang terus merekah itu. Dia meneguk cepat air mineral itu dan melirik Afi. "Sama siapa nonton di sini?" tanyanya basa-basi.

"Sendiri."

Lanjut meneguk air sampai setengah botol, sebelah alis Gio naik. "Nggak bareng Pia sama yang lain?"

"Oh, mereka ke kantin."

Gio manggut-manggut dan lanjut meneguk sampai air dalam botol itu sampai habis. Haus betul tampaknya, untung Afi kepikiran untuk membelinya tadi.

"Makasih ya, Fi," kata Gio seraya tetap memamerkan senyum khasnya.

Dia mengira, setelah kalimat penutup itu, Afi mungkin akan pergi, tetapi yang didapat justru berbanding terbalik. Afi tetap berdiri di sampingnya, tanpa memiliki keinginan untuk balik duduk atau ke kantin, seperti menunggu sesuatu.

Gio menyadarinya. "Kita ... bisa ngobrol di sebelah auditorium sebentar?"

Memang kalimat itu yang Afi tunggu dari tadi.

* * *

"Ada yang pengin lo bicarain sama gue, Fi?" tanya Gio langsung ke inti begitu langkah mereka sampai di sebelah auditorium yang bersampingan dengan pagar sekolah.

Tak mungkin Afi kontan menuduh dan mengatakan hasil pencariannya selama beberapa hari ini. Dia malah berbalik tanya, "Lo sendiri?"

Gio menarik napas panjang. "Ya, ada, tapi gue nggak tahu gimana cara bilangnya."

"Bilang aja, nggak usah ragu." Demi Tuhan, Afi ingin tersenyum lebar sekarang juga. Apakah yang akan dikatakan cowok ini?

"Bisa minta tolong, Fi?"

Oh Tuhan, sepertinya Afi tidak jadi tersenyum saat melihat raut wajah takut Gio.

Gio melanjutkan kalimatnya. "Selama beberapa bulan gitu, tolong jangan deket-deket sama gue, please. Yah, lo kayaknya tahu sendiri kalau si Rofira agak ...."

Tangan kanan Afi refleks mengepal. Ah sudahlah, mau bagaimana pun Afi mengelak fakta dan berharap bahwa Gio sebenarnya mungkin memiliki rasa yang sama, tetap saja yang di pikiran cowok itu hanya Rofira. "Agak apa?"

"Agak sensi sama lo," lanjut Gio, nada bicaranya terdengar sungkan. Seketika merasa tidak enak membahas ini dengan Afi.

"Karena apa?"

"Uhm, nggak jadi, Fi," tutur Gio. Menyesal nekat membahas ini di waktu yang tidak tepat.

"Nggak, nggak bisa begitu," tegas Afi, "lo udah ngasih tahu setengahnya. Gue nggak bisa kalau dapat info cuman setengah-setengah."

Apa yang sudah dibahas, tak bisa Gio tarik lagi seperti pesan What's App. Cowok itu pun lanjut menjelaskan, " Ya sudah. Gue juga kurang tahu Fi, apa alasan Rofira. Yang jelas, kalau dia lihat kita berdua berpapasan dan saling sapa aja, pasti dia bakal marah.

"Apalagi pas dia tahu kita bicara berdua begini. Gue ... nggak mau ngecewain dia atau ngebuat dia kepikiran berlebihan sampai ngelakuin hal yang enggak-enggak. Jadi maaf banget, tolong ya sementara kita jaga jarak dulu, seolah ... nggak pernah duduk sebangku. Maaf banget, Fi."

Afi tercengang mendengar kalimat itu. Gio tak mau mengecewakan Rofira sementara dia sudah mengecewakan Afi berkali-kali. Indahnya hancur karena ekspektasi.

Perlakuan dan kalimat lama Gio yang berpadu dengan peristiwa akhir-akhir ini muncul di pikiran Afi, meremukkan secercah harapan dalam hati.

Ingat saat Gio menyuruh Afi percaya padanya? Ingat saat Gio mengatakan bahwa dia suka melihat Afi tersenyum? Ingat bagaimana kalimat permohonan Gio agar mereka bisa duduk sebangku? That's the problem.

Mata Gio mengisyaratkan sesuatu saat mengatakan itu. Seolah menjelaskan bahwa Afi tidak boleh pergi ke mana pun, ke siapa pun, hanya ke Gio. Namun, setelah mendapatkannya Gio malah pergi dengan yang lebih cantik dan lebih posesif.

Fakta yang lebih sakit adalah ketika Gio mengatakan bahwa dia akan berusaha untuk mendapatkan nilai matematika yang baik tanpa melihat kertas sontekan yang diberikan Afi, padahal nyatanya tidak begitu.

Bisakah itu disebut sebagai pengkhianatan?

Tanpa sadar, Afi merenung cukup lama.

"Fi? Lo nggak papa? Kalimat gue kenapa? Maaf, Fi."

"Gi, kalau lo tahu pacar lo begini, kenapa lo malah pilih buat jadian sama dia?!" Kalimat itu meluncur dari bibir Afi tanpa disaring dahulu di kepala. "Kenapa lo mau pacaran sama orang posesif kayak Rofira?"

Gio tergugu-gugu.

"Kalau lo bakal pilih dia, kenapa lo ngotot banget mau duduk sebangkuan sama gue di waktu itu?" tanya Afi lagi.

"Gue udah pacaran sama Rofira dari lama, Fi."

"Bohong!"

"Fi." Gio menoleh ke balik dinding auditorium. "Bentar lagi Rofira balik, gue duluan ke depan ya."

"Pengalihan topik!" Nada bicara Afi terdengar menusuk, lebih menekankan bahwa penyebab semua rasa tidak mengenakkan ini terjadi karena cowok itu. "Kalau memang lo udah jadian dari lama sama Disney Princess itu, kenapa lo tetap ngotot duduk sebangkuan sama gue? Kenapa lo nggak jaga jarak? Kenapa lo nggak jaga perasaan si dia? Kenapa? Kenapa? Kenapa?! Gue harap lo lihat diri sendiri di waktu itu!"

"Fi, tenang Fi." Gio maju dan menepuk bahu Afi. "Gue tahu lo lagi di mode nggak terima keadaan."

Afi menepis tangan Gio dan menunjuk wajahnya. "Gue rasa, lo tahu alasan kenapa gue NGGAK BISA terima keadaan yang sekarang!"

Gio yang masih tercengang karena tepisan kasar tangan Afi itu manggut-manggut. Berusaha tenang menghadapi lawan yang mau meledak. "Ya, gue tahu Fi. Gue minta maaf, gue salah. Gue kaget kalau sikap lo tiba-tiba begini, Fi. Nggak pernah gue lihat lo begini. Maafin gue, Fi."

Emosi Afi seketika turun melihat wajah tersinggung Gio. Pandangan cowok itu ke bawah, tak berani menatap wajahnya lagi, seolah merasa amat bersalah.

Seketika rasa bersalah itu pindah ke diri Afi yang sudah membentak Gio di hadapannya. Refleks Afi memegang mulutnya. Dia jadi bertanya, apakah perkataan tadi terlalu tajam sampai melukai Gio?

"Gi?"

Gio menghela napas dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Udah dulu ya, Fi? Gue mau balik ke depan."

Ketika Gio melangkah menjauh, Afi berusaha memanggilnya. "Gi, maafin kata-kata gue yang tadi kalau terlalu kasar."

Gio menggeleng. "Nggak papa, Fi. Nggak papa."

Sial, sekarang Afi yang merasa bersalah. 

= GIOFI =

Continue Reading

You'll Also Like

156K 28.8K 31
𝐓𝐀𝐄𝐇𝐘𝐔𝐍𝐆, 𝐉𝐈𝐒𝐎𝐎 Jasmine Clarabelle Illeona, gadis primadona yang bahkan disukai oleh semua kaum baik adam maupun hawa. Bertemu dengan pe...
1.1M 74.2K 30
[Sudah terbit] ❝Is it me that you see when you fall asleep? Cause I know it's you I dream about every night.❞ Namaku Arinda. Cuma gadis lima be...
3.2M 462K 73
"𝘼𝙥𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙠𝙚𝙟𝙖𝙢 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙙𝙖𝙢𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙞𝙧 𝙡𝙖𝙪𝙩?" Diselimuti dengan pedihnya sudut semesta yang hanya dibe...
1.3K 211 9
"Tapi .... kenapa anak Ayah tidak mau jadi pengacara? Pengacara itu hebat, bisa membantu orang." "Pengusaha juga lebih hebat. Kalau nanti Jenna jadi...