Pesona Rasa After Marriage

By diaparamita

42.6K 5.2K 353

Sekuel dari Cerita Pesona Rasa Aku undang kembali kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) setelah m... More

1. Hari Setelah Aku Menikahimu
3. Caca Akan Melaluinya
4. Hilang Kesadaran Karena Bucin

2. Sekarang Sudah Pro

10.2K 1.2K 56
By diaparamita

Kami terjebak macet. Sungguh epik! Harusnya nggak kuturuti permintaan Mas Dharma yang ingin mandi sore bareng. Padahal kami mempunyai undangan pernikahan kolega Mas Dharma di rumah sakit. Sungguh nggak bisa dipercayai sekali selangkangan laki-laki. Kami baru selesai sekitar pukul lima sore, sedangkan undangan pukul tujuh malam. Dan mohon maaf, hari ini adalah malam Minggu. Bisa dibayangkan betapa macetnya jalanan menuju gedung resepsi.

"Kamu tuh benar-benar, Mas!" Aku gemas. Ingin marah, tapi pada akhirnya aku juga yang mancing-mancing lagi. Tapi 'kan ya, Bestie, kalau Mas Dharma nggak mancing duluan, aku nggak akan mungkin terpancing. Otakku masih waras untuk mengingat kalau kami mendapatkan undangan dari kolega satu rumah sakitnya Mas Dharma. Tapi, dasarnya saja bapaknya Caca ini genit banget kalau sedang hari libur. Bawaannya nempel terus.

"Namanya juga ingin, Ren." Mas Dharma tersenyum kalem.

"Wah, nanti malam 'kan bisa."

"Caca ngajak nonton film bareng. Nggak yakin dia mau tidur cepat. Nggak baik nahan-nahan, Renata."

"Manis banget kalau cari alasan." Aku mengeluarkan alat make up dari dalam tas. Karena terburu-buru, aku tidak sempat menggunakan eyelinner dan mascara. "Jangan narik gas tiba-tiba, ya, Mas. Aku mau perang dulu." Aku nggak terlalu ahli mengaplikasikan eyelinner dan mascara. Kegiatan itu selalu membuat tanganku tremor karena saking sulitnya. Kalau sampai kesenggol sedikit, emosiku bisa tersulut.

"Kayaknya nggak akan jalan sampai setengah jam ke depan." Mas Dharma memilih santai sambil melihatku berdandan.

"Kalau nggak keburu, Senin minta maaf aja."

"Terburu, tapi paling nggak kebagian katering."

"Mas! Masih dandan nih." Aku mengeluhkan guyonan garingnya yang membuatku menahan tawa. Mas Dharma tersenyum sambil melarikan tangannya ke atas pahaku yang tertutup dress dan mengusap-usapnya perlahan. Aku menyimpan make up-ku kembali ketika telah selesai berdandan. "Yang nikah siapa sih, Mas?"

"Anaknya Prof. Januar yang sedang PPDS."

"Berat banget tuh hidup." Aku menghentikan gerakan tangan Mas Dharma yang semakin meresahkan, kemudian menautkan jari jemari kami. "PPDS bukannya sibuk banget, ya? Mana tugas dan stressnya overload."

"Ya, tergantung pribadinya. Kalau menurutku lebih enak punya istri. Apalagi kalau lagi stres-stresnya."

Aku mendengkus ketika tahu apa maksudnya. "Curiga nih, jangan-jangan kamu sengaja pakai alasan itu setiap malam."

"Nggaklah!" sangkal Mas Dharma, tapi kalimat selanjutnya yang keluar dari mulutnya membuatku ingin memutar balik kemudi. "Kamu aja yang mancing-mancing."

"Bilang aja doyan!"

Kami terbahak-bahak. Sebelum menikah, aku mungkin nggak terpikir bakal membicarakan hal-hal menjurus begini dengan Mas Dharma. Namun, setelah sah secara agama dan hukum, pembicaraan menyerempet tipis-tipis seperti ini menjadi hal wajar dan menyenangkan untuk dilakukan. Apalagi jika pasanganmu benar-benar pas dan pengertian.

Aku yang masih awam dan belum berpengalaman seringkali penasaran dan ingin mencoba hal-hal baru. Beruntungnya pasanganku sepengertian dan sesabar Mas Dharma yang mau bereksplorasi bersama. Walaupun, seringkali aku merasa kalau dia berubah jadi pria tiga puluhan lagi. Semangatnya menggebu-gebu dan berdampak pada kehidupan ranjang kami yang sangat instens dan konsisten.

"Nggak apa-apalah, Ren. Hitung-hitung biar proyek adiknya Caca cepat terealisasi. Umurku juga sudah nggak muda lagi."

"Tua-tua begini dapat istrinya muda banget." Kuusap rambutnya sambil tertawa. "Masih jadi bahan gosip di rumah sakit, Mas?"

Sejak hubungan kami terkuak dan berita pernikahan kami terungkap, Mas Dharma beberapa kali bercerita kalau dia sering mendapat godaan dari rekan sejawatnya (tentu saja yang berusia sepuh atau seumuran dengannya) tentang jarak usia kami yang merentang jauh. Delapan belas tahun memang bukan jarak yang umum bagi pasangan. Ya, kayak aku bisa nawar saja bakal menikah dengan siapa.

"Ya, masih." Mas Dharma terdengar santai. "Mau digimanain memang begitu 'kan? Kalau kita jalan bareng sekali lihat orang juga bakal tahu kalau kamu jauh lebih muda dariku."

"Tapi, serius deh, Mas. Kamu kayaknya lagi dalam masa ganteng-gantengnya." Aku jadi ingat perkataan mama kalau pria berusia empat puluhan itu biasanya sedang dalam masa puncak kegantengan. Dulu kupikir itu bohong, namun melihat Mas Dharma sekarang kayaknya omongan mama ada benarnya juga.

Meskipun masa muda Mas Dharma juga nggak kalah ganteng. Hanya saja, diusianya yang menjelang empat puluh satu itu, garis wajah Mas Dharma semakin hangat dan kebapakan, tatapan matanya juga menyiratkan pengayoman, serta stamina dan fisiknya yang semakin prima. Mana perut semakin rata dan kencang. Meskipun nggak sampai kotak-kotak, tapi dada bidang dan bahu lebarnya yang tegap sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, vitalitasnya nggak main-main. Mengingat hal itu, mau nggak mau aku sekarang jadi ikut ngegym dan kursus yoga. Ya, masa aku yang masih muda letoy, sedangkan suamiku yang sudah berumur masih sangat bugar.

"Cari hotel gih, Ren!"

"Maunya." Kurangkul lengannya dan kusandarkan kepalaku di bahunya. "Boleh." Aku nyengir. "Mumpung Caca sedang dimomong sama Mama dan Dito."

Mas Dharma menyerahkan ponselnya padaku. "Booking!"

Aku terbahak-bahak. "Niat!"

#

"Bukannya kita telat?" Aku menatap seisi gedung yang terlihat masih sangat ramai. "Temanmu ngundang satu Jakarta atau gimana?" Aku agak ngeri karena jam kondangan hanya tersisa sepuluh menit lagi.

"Dokter senior." Mas Dharma melepaskan rangkulannya di pinggangku dan beralih untuk menautkan lengan kananku ke lengan kirinya. "Kenalannya banyak." Mas Dharma menawariku. "Salaman terus ke hotel?" Aku tersenyum malu-malu sambil mengangguk. Dia tertawa.

Ya, gimana? Masih terhitung pengantin baru. Nikah belum ada satu tahun. Sedang hangat-hangatnya dan bawaannya ingin nempel terus. Apalagi aku, parah banget! Colek sedikit saja langsung kepancing. Hormon di usia muda yang sedang menggebu-gebu.

"Prof. Dharma!"

Aku seharusnya nggak berharap banyak. Yang kami hadiri adalah pesta kolega kerjanya Mas Dharma, artinya tamu-tamunya pun adalah orang-orang yang otomatis terkoneksi dengan suamiku. Nggak mungkin kami cuek saja dan langsung cabut setelah menyapa tuan rumah.

Mas Dharma menatapku dan meminta pemakluman. Aku mengangguk kecil sebagai tanda setuju. Lagipula, aku nggak menikahi pria seusiaku yang masih bisa bersikap semaunya. Dan mengingat Mas Dharma sangat mencintai dan menikmati pekerjaannya, aku memang harus mengerti serta beradaptasi termasuk dengan mengharagai orang-orang yang bersinggungan dengannya di lingkungan kerja.

"Apa kabar, Prof?"

"Baik, dokter Irfan." Mereka berjabat tangan, saling menanyakan kabar sebelum Mas Dharma memperkenalkanku. "Kenalkan, ini Renata, istri saya." Kami berjabat tangan. Kemudian Mas Dharma mulai memperkanlanku pada koleganya yang lain.

Ketika dulu kami menikah, kami nggak mengundang banyak orang. Aku dan Mas Dharma sepakat untuk menggelar pernikahan yang hangat dan sederhana. Meskipun itu pernikahan pertamaku (dan akan menjadi yang terakhir), tapi bagi Mas Dharma itu adalah pernikahan kedua. Dan ibuku juga mendapatkan menantu yang sama di pernikahan anak keduanya.

Mempertimbangkan hal tersebut (selain karena aku juga malas repot), kami memutuskan untuk tidak mengundang banyak orang. Selain saudara dekat, Mas Dharma hanya mengundang teman-teman akrabnya (yang semuanya sudah ia kenalkan padaku) dan rekan-rekan kerja yang harus diundang, terutama demi sopan santun.

"Kami sudah dengar banyak cerita, tapi baru berkesempatan ketemu istrinya sekarang, Prof." Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Nadia itu meatapku sambil tersenyum lebar. "Prof. Dharma ini dulu konsulen saya, Mbak Renata. Beliau dulu banyak sekali membantu saya. Mana di chat tengah malam pun masih dibalas, Mbak. Kalau nggak ada Prof. Dharma entah deh nasib residensi saya bakal gimana." Dia tertawa.

"Dulu satu kloter emang paling surga bedah anak, sih. Meskipun banyak kasus berat, tapi kayak tenang aja kalau sudah bisa konsul sama Prof. Dharma. Suhu banget!" Dokter Irfan menambahi.

"Tapi, tetap yang namanya residensi buat nyaris mati berdiri." Celetuk salah satu diantara mereka. "Kecuali Alia." Dia menunjuk wanita berjilbab keturunan Arab yang sedang tersenyum tersipu-sipu. Aku nggak perlu memperhatikan lebih jauh untuk tahu kalau dia pernah atau masih naksir Mas Dharma.

Namanya medical romance nggak bisa terhindarkan di lingkungan kerja milik Mas Dharma. Waktu mereka nyaris habis di rumah sakit dan interaksi mereka terbatas pada rekan kerja atau pasien. Aku maklum, lagipula nyetir hati memang susah. Kita ngga bisa menentukan bakal naksir sama siapa. Hanya saja, Mas Dharma sekarang sudah menikah denganku. Aku tahu dia nggak bakal belok ke mana-mana. Selagi dia masih memegang teguh komitmen kami, aku nggak perlu khawatir.

"Saking pinternya sampai beberapa kali ikut operasinya Prof. Dharma." Alia masih tersipu-sipu.

"Sekarang tugas di rumah sakit daerahmu ya, Al?" tanya Mas Dharma. Agaknya dia nggak peka dengan ekspresi mantan residennya itu. Aku curiga, jangan-jangan dulu Mas Dharma nggak tahu lagi kalau Alia naksir dia.

"Iya, Prof. Sudah jalan hampir empat tahun ini." Suaranya lembut sekali, tipikal wanita halus.

Mas Dharma berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya pamit. "Yang tadi itu pernah naksir?"

"Siapa?"

"Alia."

"Nggaklah," sangkalnya. "Sudah punya suami. Suaminya adik tingkatku dulu."

Benar'kan? Mas Dharma nggak peka. Aku nggak membahas lebih lanjut.

Mas Dharma menolak ketika kutawari untuk mencicipi makanan. Dia langsung mengajakku menuju hotel setelah kami bersalaman dengan tuan rumah. "Pesan makanan di hotel saja," katanya padaku.

"Yakin bakalan makan malam?"

Mas Dharma menatapku dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Iya." Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Makan kamu."

Aku terkikik. Tingkahku najis sekali, seperti wanita yang jarang dibelai. Tapi, mau bagaimana lagi? Memang Mas Dharma 'kan yang ngajarin? Sebelum menikah mah aku polos banget. Nggak paham yang beginian. Sekarang? Sudah pro.

"Berarti kamu harus ngebut."

#

Ya, Renata mah emang polos, nikahnya aja sama org yg pengalamannya udah khatam wkwkwkwk

Mereka habis ngebut mau ngapain hayoooo???

Bestie-bestie, yg mau curi start buat baca duluan bisa mampir ke Karyakarsa uwee..

Di sana sudah sampai part 6, Bestie. Harga per 2 bab dengan jumlah kata jauh lbh panjang cuma 5k aja.

Selamat berhari minggu, see ya!!!


Btw, vibe nya Niko soleh amat, jd pengen diimamin solat... eh 🤣

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 194K 48
Dibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan...
625K 46.9K 51
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
2.2M 11.9K 25
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
436K 39.8K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...