HELIOPHILIA | Doyoung x Sejeo...

By ShiningJulyy

254 90 78

Heliophilia (n.) Desire to stay in the sun; love of sunlight; An addiction to the sun ••••• "Kalau mau lompat... More

Prolog.
O1.
O2.
O3.
O4.
O5.
O7.
O8.
O9.
1O.
11.
12.
13.

O6.

14 5 1
By ShiningJulyy

Rapat besar sebelum acara pun dilaksanakan hari ini. Little Counselor, Bumi Bersuara, bahkan beberapa anak seni pun ikut berkumpul hari ini. Semua dekor telah ditata dengan rapi nan elok, besok adalah hari pertama acara kami dan kami sedang briefing terakhir sebelum acara.

Setelah rapat ini selesai, aku akan pergi ke toko bunga untuk membeli setangkai bunga Lily. Benar, aku akan mengunjungi kekasihku lagi hari ini.

"Nara!" panggilku saat kami telah selesai dan mengangkut kursi kursi untuk ditumpuk menjadi satu kembali.

"Iya, kak?"

"Saya pulang duluan, ya. Ada janji"

"Oh, iya tidak apa apa, sudah selesai juga"

"Semangat buat besok" ucapku basa basi.

"Kakak juga" ia tersenyum padaku dan melanjutkan pekerjaannya mengangkat kursi kursi.

Aku pergi tanpa membalas senyumannya. Aku menuju parkiran dan langsung menancap gas tepat setelah duduk di bangku sopir. Aku menuju toko bunga langgananku selama beberapa waktu ini. Aku memasuki toko bunga itu diikuti bunyi lonceng yang tergantung di pintunya.

"Eh Adimas, datang lagi"

"Iya, tante, hehehe" ucapku sambil mengedarkan pandangan kepada bunga bunga yang tertata rapi.

"Kayak biasa, Dim? Mau berapa tangkai?"

"Ah, satu aja tante"

"Harga Lily lagi naik naiknya, kalau biasanya kamu beli satu bucket empat ratus ribu, sekarang bisa sampai delapan ratusan, Dim" jelasnya.

"Oh ya?? Awal bulan nanti deh saya beli satu bucket lagi" jawabku sambil tersenyum kecil.

Tak lama menunggu, tante Aurel, pemilik toko bunga ini, memberiku satu rangkaian bunga Lily dengan beberapa bunga lainnya. Aku menerimanya dengan alis berkerut.

"Saya kan cuma-"

"Sudah, anggap saja saya menitip salam padanya" ucapnya. Aku membalasnya dengan senyuman lebar, wanita di depanku saat ini sudah sangat memahami hubunganku dengan Venna, sudah seperti ibu keduaku setelah Mama.

"Sana berangkat, keburu mataharinya habis" aku membalas dengan anggukan dan senyum kecil lalu berlalu pergi.

Aku kembali melajukan mobilku menuju pemakaman. Saat sampai aku sesekali menghirup wangi mawar yang khas, salah satu kesukaan Venna juga selain Lily. Saat dekat dengan tempat Venna, aku melihat serangkaian bunga dengan nuansa putih terletak di atasnya. Aku membaca nama yang tergantung di salah satu tangkainya.

"Reihan. Masih inget lo ternyata, Na" aku terkekeh kecil.

"Tapi tetep gue kan yang menang?"

Seperti biasanya, aku mulai menceritakan keseharianku belakangan. Terlihat seperti orang gila namun memang sudah menjadi kebiasaan bagiku. Tidak peduli dipandang aneh oleh orang orang yang melintas, karena bagiku ini adalah salah satu cara untuk melepas beban.

"Maaf ya, Na. Gue kangen terus sama lo" ucapku di akhir kata. "Gue juga belum bisa buka hati lagi"

Aku berdiri dari tempatku dan berjalan menjauh setelah 'berpamitan' pada Venna. Sepulang dari makam aku langsung pulang ke rumah, karena jujur saja belakangan ini aku jarang mendapat waktu untuk keluarga. Karena semua keperluan acara sudah matang, maka aku akhirnya mendapat waktu berharga itu sebelum kembali ke hari hari yang hectic.

Baru saja aku keluar dari mobil yang sudah terparkir di halaman rumah, bau masakan sudah merebak masuk ke dalam hidungku. Aku tersenyum kecil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah.

"Dim? Ada yang ketinggalan, ya? Makanya kamu tuh jangan teledor dong" ucap papa saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.

"Apaan, sih, pa? Dimas gak ke kampus lagi"

"HAH?! KAMU DI DO??!!! KAMU MAIN UNO DI KAMPUS YA??" pekik papa tiba tiba yang disusul oleh mama yang berlari dari dapur dengan centong nasinya. "SIAPA DI DO??!!!"

"Ya Tuhan! Ini anaknya dapet waktu luang malah dituduh yang enggak enggak mulu ah, keluarga prik emang" ucapku sebal sambil berjalan merajuk menuju kamar. Sedangkan mama dan papa hanya saling bertatapan bingung.

Setelah proses bujuk membujuk oleh papa, akhirnya kami memulai makan malam. Sunyi, tidak ada suara satupun kecuali suara sendok dan garpu yang bertabrakan.

"Tadi habis dari makam lagi, Dim?" ucap mama membuka obrolan.

"Kok mama tahu?" aku mengerutkan dahiku.

"Nota dari florist tadi jatuh di ruang tamu, kamu mana pernah keluar duit segitu banyak kecuali buat bunga" celoteh mama.

"Hehe, iya tadi Dimas mampir bentar"

Suasana kembali hening setelah ucapanku dibalas oleh anggukan keduanya. Aku telah menyelesaikan makananku dan beralih pada buah buahan yang sudah dipotong potong di depanku.

"Dim, kamu gak niat cari lagi?" alisku berkerut mendengar pertanyaan dari papa.

"Nyari apa? Beasiswa S2 kan udah dapet, pa"

"Ck, kamu itu otaknya kalau gak belajar ya Hima pasti" balas papa. "Cari cewek, Dim. Belum mau tah?"

Aku menggeleng sambil mengunyah sepotong besar buah melon dalam mulutku. "Gak minat cewek, pa"

"Terus? Cowok?"

"PAPA AHHH" rajukku yang disusul kekehan kecil mama. "Gak tau ah, Dimas capek ngomong sama papa"

🕊️

Siang hari yang terik. Di gedung aula besar terselenggara event besar dengan panitianya yang mondar mandir untuk menghandle segala tatanan acara yang berlangsung.

Nara adalah mahluk paling sibuk, namun juga salah satu gadis yang dikelilingi dengan aura cerahnya karena merasa bangga acaranya sukses diselenggarakan.

Sedangkan trio macan, alias Adimas, Rio, dan Janu serta beberapa tim Humas lainnya sedang bersantai di ruang panitia dengan tiupan AC yang sejuk. Mereka mengisi waktunya dengan menonton film bersama di layar proyeksi besar karena tugas mereka yang telah usai.

"Ini nonton horror asik deh" ujar Janu sambil membuka laptop yang sudah terhubung pada proyektor.

"Lo mah gak pengertian banget jadi temen" sahut Rio yang sama sekali anti-horror.

"Udah kaga ngapa, Yo. Nanti tidur minta temenin Janu deh" ucap Adimas dengan sebungkus keripik kentang dipangkuannya.

"Ndasmu, Dim"

Acara berlangsung sangat lancar. Lomba debat yang diselenggarakan pun menjadi tontonan asik para pengunjungnya. Kanvas kanvas selebar tembok pun berjajar dengan para pelukis di depannya.

Event itu berjalan mulai pagi hingga sore selama tiga hari. Dan selama itu, Nara adalah pemimpin dari segala hal yang sedang berlangsung.

Pada hari ketiga, hari terakhir dimana event itu berlangsung untuk pengumuman pemenang lomba dan penutupan acara, Nara justru terlihat lemas namun tetap mengatur segala tatanan acara. Tim Adimas dan tim Humas juga ikut turun tangan ke tempat acara kali ini.

"Nar, lemes amat, sih?" tegur Meeta.

"Hah? Kaga, ya kali acara mau kelar malah lemes" bohong Nara, padahal wajahnya sangat terlihat bahwa ia sangat pucat.

Baru saja Meeta mempercayai ucapan sahabatnya itu, tapi tiba tiba kaki Nara terasa seperti jelly yang akhirnya tubuhnya ambruk terduduk di lantai belakang panggung. Semua orang lantas menoleh ke arahnya.

"Cil! Lo kenapa anjir?" ucap Rio yang pertama kali menghampiri gadis itu. Rio.menatap Nara yang lemas dengan seksama "Lo kapan terakhir makan?"

Adimas yang kebetulan ada di dekat mereka pun menatap bingung dengan dua insan di depannya. Namun melihat kondisi yang ramai dan juga tangan gemetar Nara akhirnya Adimas membantu Rio menggotong Nara menuju ruang panitia.

"Duh, Nar. Bentar lagi lo pidato penutupan, kalau lemes gini gimana dong?" ucap Rio begitu mereka sampai di ruangan sejuk tersebut.

"Gue gak apa apa, bang. Lo yang alay bawa gue kesini" balas Nara yang sudah ingin bangkit dari duduknya namun di dorong kembali oleh Adimas.

"Tidak lihat tangan kamu gemetar sampai dahimu juga ikut berkeringat seperti itu? Kalau saya sih malu ya tampil depan banyak orang dengan tampilan seperti itu" ocehnya.

"Bener. Gue gantiin aja gimana penutupannya?" balas Rio dengan cepat.

"Gak us-"

"Nurut sama yang sepuh" ucap Adimas dengan ringkas. "Udah. Sana lo siap siap pidato, dia gue yang bawa" lanjutnya.

"Sampai lecet gue sunat lagi lo, Dim"

"Bawel" Dimas hanya mendorong Rio agar ia cepat cepat stand by di belakang panggung karena sebentar lagi waktunya untuk ia berpidato menggantikan Nara.

Adimas saat ini tinggal berdua di ruangan tersebut dengan Nara. Ia melihat Nara yang sudah pucat pasi serta lemah di salah satu sofa. Setelah memikirkan cara bagaimana ia menggotong Nara, akhirnya ia berjongkok membelakangi Nara tepat di depan gadis tersebut.

"Ayo, naik" ucap Adimas yang dibalas keheningan.

"Kalau saya bilang naik, ya naik" dengan segera Nara menurut setelah satu kalimat tersebut terlontar dari mulut Adimas.

Akhirnya, digendonglah gadis yang lebih kecil darinya itu menuju mobil miliknya. Nara sudah tidak lagi memikirkan rasa malu ataupun gengsi, yang ia rasakan saat ini hanya perih di ulu hatinya dan juga rasa mual yang hebat.

Setelah sampai di parkiran, Adimas segera mendudukkan Nara di bangku penumpang sebelah sopir. Ia juga menyelimuti Nara dengan selimut kecil yang ia simpan di bangku belakang. Tentu Adimas juga sedikit panik dengan perubahan raut wajah Nara yang semakin terlihat kesakitan. Bagaimana tidak, ini anak orang ia yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang fatal.

Setelah menyetir dengan perasaan khawatir dan panik, akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang biasa Adimas kunjungi. Dengan sigap ia memberhentikan mobilnya di depan pintu IGD dan menggotong Nara masuk. 

Adimas menunggu Nara selesai ditangani dengan berdiri di samping Vending Machine yang menyediakan minuman hangat. Ia terus menatap pintu ruang gawat darurat tersebut dengan tajam agar tak terlewat satu orangpun.

Tak lama menunggu, dokter yang menangani Nara tadi keluar ruangan untuk mencari Adimas, karena satu satunya wali yang mengantar Nara tadi adalah Adimas.

"Mas-nya wali dari Nara, kan?" tanya dokter tersebut begitu berdekatan dengan Adimas.

"Anggap saja iya, dokter"

"Jadi, pacar masnya sekarang lagi kambuh, sudah diberi infus dan obat obatan tapi dia harus rawat inap setidaknya dua hari" jelas dokter tersebut.

"Bukan pacar saya tapi ya sudah, nanti saya hubungi keluarganya" ucap Adimas yang lalu keduanya meninggalkan tempat.

Adimas berjalan menuju ranjang Nara yang rupanya gadis tersebut sudah akan dipindahkan ke ruang rawat inap.

"Mau makan apa? Saya belikan kali ini" tanya Adimas saat sudah di depan Nara.

"Nanti saja, kak"

"Ya sudah" lanjutnya sambil membantu para perawat mendorong kasur Nara.

Saat di kamar rawat inap pun, Adimas dengan sabar menunggu salah satu keluarga Nara datang, walau sebenarnya daritadi ia sudah di usir secara halus oleh Nara.

"Udah ah, kak. Pulang aja gih, gue sendirian juga gak apa-apa kok" ucap Nara kesekian kalinya.

"Tidak mau"

"Kak, ah, terserah deh!"

Percakapan tersebut terulang ulang di topik yang sama, yaitu mengusir Adimas. Karena selain Nara merasa sungkan, orang tuanya sebenarnya sudah berada di rumah sakit karena memang ini tempat kerja mereka.

Sedangkan Adimas, ia akan ketar ketir jika meninggalkan gadis itu sendirian di sini. Benar, ia juga masih trauma meninggalkan Venna berjuang sendiri kala itu. Maka dari itu ia bersikeras melekatkan pantatnya di sofa ruang tersebut.

"Kak, pulang deh. Papa mama udah di RS kok" ucap Nara lagi.

"Tidak mau, Nayara. Saya tidak percaya kamu"

"Serius kak, ini gak apa-apa banget guenya. Pulang deh ka-"

Pintu kamar Nara terbuka di tengah perdebatan. Keduanya menoleh kepada dua sosok dokter yang masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Kan udah gue bilang, mama papa tuh udah di RS dari pagi" sinis Nara saat Adimas melihat orang tua Nara masuk.

"Nar? Gimana? Enakkan gak?" ucap papanya begitu mendekat. "Widih dianterin Dimas begini, calon mantu kah, Nar?"

"PAPA AH"

"ENGGAK OM"

Teriak mereka berdua dengan serentak diikuti gelak tawa sepasang orang tua di depan mereka.

🕊️

Pacaran berkedok nemenin anak sakit, mumpung gak ada pasien katanya.

•••••

tbc.

©shiningjulyy

Continue Reading

You'll Also Like

39.1K 4.2K 16
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
232K 21.1K 74
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan.
984K 79.7K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
394K 40.4K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...