Kak Ricko | ChaeMura

By hoonienhy

1.3K 87 2

Kisah tentang Eileen yang diam-diam menyukai kakak kelas pendiam anggota ekskul basket. Namanya Kak Ricko. More

•°'~the characters~'°•
• need to moving forward
• anxiety causing trembles
• gotcha
• something new
• here we go, again
• because of me
• then, who am i?
• warmth in coldness

• eileen and her fruit salad

88 8 0
By hoonienhy


"Dek tau ga, dari semua quotes percintaan, gue paling setuju sama quotes ini, 'tresna jalaran saka kulino' (bisa cinta karena terbiasa)". Kata Sully sambil menyisir rambut panjang sang adik dengan jari-jarinya.

Malam minggu kali ini Sully meliburkan diri dari kencan demi adiknya. Dan Justin dengan hatinya yang lapang dada mempersilakan.

"Kenapa gitu?". Eileen yang kepalanya rebah di atas pangkuan kakak cantiknya itu menatap wajah kakaknya lamat-lamat, kepalanya sedang mengagumi dan berusaha membaca ekspresi.

"Berdasarkan pengalamanku sih gitu, with Justin,".

Eileen tahu bagaimana cerita keduanya bisa sampai tahap saling menempel seperti perangko. Keduanya sama-sama dari klub paduan suara dan sering diminta mewakili lomba.

Awalnya sama sama saling membenci, menghujat satu sama lain. Namun yah, karena sering bersama dan semakin mengenal satu sama lain, jadilah mereka.. bersama.

"Terus apa maksud kakak dari pernyataan kakak barusan?".

Eileen tak mengerti arah bicara kakaknya, apakah kakaknya itu sedang mengenang kisah dengan kekasihnya? atau mau menyarankan sesuatu?. Sebentar, menya-ran-kan..?

"Yah, gue berharap.. lo sama Ricko..". Belum selesai mengucapkan lanjutan katanya, Eileen sudah melonjakkan diri dari posisi berbaringnya.

Matanya menyipit dengan wajah kentara kesal. Bahkan deru napas beratnya menunjukkan kalau Eileen tak terima kisahnya akan disamakan dengan sang kakak.

"We're over, nope.. i mean, I'M OVER!". Suara Eileen melengking marah, dan setelahnya terisak menyesal karena terbawa emosi.

Sully jelas terkejut, namun ia berusaha paham kondisi adiknya. Maka sebelum mereka saling mendiamkan satu sama lain selama satu minggu lebih, Sully menarik adiknya dalam pelukan hangat.

"I'm sorry, Yes.. we'll have different story. Aku cuma menyayangkan kenapa kamu harus nyerah, tapi kalau ini emang keputusan kamu, kakak ga akan maksain kamu lagi,".

Sully jika sudah kembali dengan temperamen kakak baik, tentunya merubah kebiasaan panggilan gue-lo dengan aku-kamu.

Eileen yang butuh luapan afeksi itu sudah tentu balas dekapan kakaknya erat. Bukan salah kakaknya, mengingat Eileen belum sepenuhnya menceritakan alasan kenapa dia memilih mundur.

"Aku terlalu kasat mata buat dia kak,". Eileen menarik diri dari pelukan untuk bisa menceritakan apa yang ia alami sampai membuat keputusan sendiri.

"Emang baru sekali aku memunculkan diri, Kak Haru aja ga ngenalin aku, apalagi Kak Ricko. Bingkisanku dikasih ke oranglain,". Eileen kembali menangis. Sully tak akan menyalahkan karena ini kisah cinta pertama adiknya di masa SMA dan sudah memiliki progres dengan keberanian untuk bertindak.

Sejak SD sampai SMP, Eileen selalu memilih untuk memendam perasaan dan mengalah. Namun sejak MOS dimana Ricko diminta menjadi salah satu penanggungjawab kelas IPS, disitulah Eileen mulai menaruh rasa.

Sully senang karena dengan itu pula Eileen lebih bersemangat menjalani sekolah, lebih hidup, lebih ceria, sekalipun ketika rumahnya sepi karena orangtuanya sibuk dengan pekerjaan.

Diluar hujan deras, dan kekejian dari lemparan airnya mengetuk-ngetuk keras jendela rumah mereka. Beberapa kali gemuruh dengan kilat menyambar membuat keduanya saling bergenggaman tangan. Sully berusaha menguatkan hati adiknya.

"Aku mau tidur,". Eileen berpamitan dan menjalankan kedua kakinya menuju kamar.

Sesampainya di sana, Eileen mematikan lampu, membuka gorden kamarnya yang polos berwarna abu sekaligus membuka jendela. Tak peduli pada tetes air yang menghantar, mampir dan melemparkan diri sampai ke lantai kamarnya.

Eileen sengaja tak menyalakan AC. Dia akan merasakan dingin di dalam dekapan udara yang terbawa angin hujan yang lembab. Sebelum menggelungkan diri di bawah selimut, jarinya mengukir beberapa gambar awan dan tanpa sadar mengukirkan satu nama berawalan huruf R yang segera dihapusnya.

Saat ini, Eileen merasa malu dengan hatinya. Yang memarkirkan rasa pada hati yang sama sekali tak menyadarinya.



Beberapa bulan berlalu, setelah UTS sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, akan diadakan festival. Setiap kelas diminta menampilkan sesuatu, juga mewakili stand apapun bentuknya.

Beberapa darinya membuka stand ramalan, tembak bola, stand ala bar yang berisikan minuman soda dan jus, pakaian, marchandise kpop sampai anime, juga makanan.

Tidak mewakili kelas manapun, karena kelas Eileen memilih membuka stand tato non-permanen yang nyatanya jauh dari kata laku, maka Eileen diminta kakaknya menemani salah satu teman kakaknya--Kak Wony untuk berjualan Jus buah dan aneka smoothies.

Ah ya, Eileen sendiri menjual salad buahnya yang sudah rapi dengan cup dengan beberapa ukuran. Kadang Kak Wony ditemani temannya, Kak Eliz.

Namun nyatanya Kak Wony hanya membersamai mereka di satu jam hari pertama. Selebihnya, menghilang. Kabar buruknya, Eileen bukan orang yang pandai memulai pembicaraan yang juga dialami oleh Kak Eliz sendiri.

Stand mereka memang sepi, cuaca akhir-akhir ini juga kurang mendukung. Beberapa kali band yang tampil pun harus tetap bernyanyi di bawah guyuran hujan. Penontonnya pun kedapatan basah kuyup saat pulang.

Sendirian, Eileen menelengkan kepala ke kanan dan kiri guna mengurangi rasa pegal. Terbukti dengan gemeletak tulang yang terasa kembali ke tempat asalnya.

Eileen menilik kembali jamnya, masih terlalu awal untuk menutup stand. Ia tak memiliki nomor Kak Eliz maupun Kak Wony, dia juga terlalu malas untuk mengirim pesan pada kakaknya yang senantiasa terbalas satu jam setelahnya.

"Disini jualan apa aja?". Eileen mendongak dan sama sekali tak menyangka Ricko datang ke kedainya.

Eileen mencoba melihat ke belakang punggung cowok itu, menyangka kakaknya yang berulah. Namun saat ini hujan, setengah jam lalu band terakhir sebelum acara nanti malam sudah selesai dengan performnya.

Beberapa stand penjual makanan hangat dan berkuah adalah kedai yang paling ramai. Berbanding terbalik dengan kedainya sekarang.

Eileen bersyukur kalau tak ada lagi lonjakan rasa girang berlebihan di hati yang mendorong jantungnya bergerak lebih cepat, sehingga Eileen merasa lebih rasional untuk menghadapi sosok Ricko di depannya.

"Sebagaimana yang kakak lihat, jus, smoothies, ada salad buah juga, disini ga ada bakso atau siomay--ga ada makanan hangat,". Jelas Eileen dengan nada ogah-ogahan. Ia bosan karena sepi dan sendirian.

"Oke, jus sirsak sama salad buahnya satu deh,".

Dengan setengah hati, Eileen bergerak untuk mulai membuatkan jus. Ini bukan pekerjaan dia seharusnya. Yah tapi siapa lagi jika bukan dia yang melayani pelanggan saat ini.

"Pakai es?". Eileen bertanya karena cuaca dingin, dan kenapa cowok itu juga memilih minuman dingin?.

"Iya,". Tandas Ricko tanpa ragu.

Baiklah kalau itu maunya. Maka saat blender mulai menghancurkan gumpalan sirsak, Eileen mulai menata cup gelas yang diisi dengan bongkahan es.

"Gue bisa ambil saladnya sekarang? keburu laper,". terang Ricko dengan suara memelas yang tidak merubah tampang lempengnya sama sekali.

Eileen meletakkan dahulu cup gelas berisikan es batu itu, dan membiarkan gumpalan sirsak hancur di dalam blender yang meraung, menunjuk jenis cup salad mana yang akan dipilih.

"Yang besar,". Pilih cowok itu dengan nada tak sabar.

Eileen mengambilkan sendok, meletakkannya di atas salah satu salad ber-cup besar dan menyodorkannya pada Ricko.

Ricko mengambilnya cepat, tak sadar kalau tangannya bersentuhan dengan tangan Eileen. Eileen juga berusaha tak menyadarinya.

Selesai dengan air yang berhasil bercampur dengan sirsak secara sempurna, Eileen menuangkan jus ke dalam cup gelas itu dan memberikannya pada Ricko.

"Duduk sini aja sih,". Ajak Ricko. Eileen menimbang.

"Harus ya kak?".

"Eh, kak?". tanya Ricko hampir-hampir dengan nada antara mengejek dan tak percaya.

"Aku kelas 10,". terang Eileen.

"Oh.. lo tinggi sih, terus gue lihat-lihat selain stand kelas, ga ada kelas sepuluh yang buka stand mandiri,". Jelas Ricko.

"Duduk gih,". Ricko menunjuk kursi di depannya.

Demi menjaga kesopanan, Eileen mengalah duduk disana. Eileen berusaha keras untuk tak merasakan apa-apa dengan menatap langit yang dengan murah hatinya menerjunkan hujan yang semakin lebat.

"Ini stand-nya barengan sama Kak Wony, sama Kak Eliz juga,". Jelas Eileen yang berbicara sambil menatap ke meja depan, menghindari kontak mata.

"Oh.. gue agak kenal sama Kak Wony karena pacaran sama Kak Haru. Tapi ga begitu kenal sama Kak Eliz, cuma tahu nama sama wajah orangnya aja,".

Apalagi aku yang ga kasat mata, besok juga lupa. Batin Eileen nelangsa.

"Eh, bentar bentar.. lo kenal sama mereka? tetangga? saudara?". tanya Ricko lebih lanjut dibarengi mengunyah makanannya.

Eileen agaknya malas menjelaskan siapa dirinya. Namun ya sudahlah, "Kakakku temennya mereka,".

"Kakak lo?". Ricko lanjut bertanya lagi. Lihatlah.. alis yang mengkerut lucu itu dibarengi dengan wajah penasarannya sangat menggemask--. Sangat bukan apa-apa.

"Kak Sully,". Mendengar nama itu otomatis Ricko segera menjentikkan jarinya setelah menyuapkan satu sendok penuh ke mulutnya.

"Pacar Kak Justin, kan?". Ricko memastikan.

Yah, Sully manalagi jika bukan kakaknya!. Di sekolah ini hanya kakak Eileen yang bernama Sully!.

"Iya,". Eileen menumpukan kepalanya di atas tangan, bosan.

Ia menebak kalau Ricko akan membicarakan Justin-Sully sebagai couple inspiratif dan sebagainya. Jadi dia memasang bahasa tubuh bosan duluan.

Nyatanya setelah itu keduanya sama-sama diam tanpa mengatakan apa-apa.

"Lo pulang malem juga?". Tebak Ricko selesainya ia menghabiskan santapan salad buahnya.

Membayangkan hal itu sudah hampir membuat Eileen merengek sedih. Ini Hari Sabtu! dan Eileen tak mau terjebak di tengah-tengah keasikan berbagai pasangan. Baik pacar, sahabat, atau bentuk relasi apapun itu.

Karena Eileen merasa sendiri tanpa bentuk relasi apa-apa.

Mendesahkan napas dengan berat, "Aku harap enggak sih, pasti bakal lebih rame.. dan becek,". Iya, pakaian sudah pasti jadi lebih mudah kotor.

Ricko mengangguk, setelah itu dia memilih menanyakan total harga makanan, membayar, dan pergi.

Lima menit kemudian Kak Eliz datang dan minta maaf berkali-kali. Setelah itu Eileen berpamit terlebih dahulu setelah membantu beberes secukupnya.



Eileen menumpukan kepalanya pada besi penyangga halte yang dingin. Ia baru ingat kalau hari ini ada demo besar-besaran, semua kendaraan dialihkan dan tak bisa melewati jalan yang berada di area sekolahnya.

Ia sedang berusaha mengumpulkan semangat dan tenaga untuk berjalan satu-dua kilometer untuk mencapai jalan besar. Masih gerimis, namun gerimis tipis, dan Eileen tak membawa payung.

Jaket yang dipakainya sudah setengah basah digunakan melindungi diri dari lapangan sekolah hingga halte.

tin tin

Sebuah mobil mengklakson, Eileen yang sedang menengadahkan tangannya untuk menyentuh hujan pun meluruhkan tangannya kembali.

"Ga ada bis, bareng sama gue sini,".

Ricko. Tak ada habisnya, Eileen harus berhadapan dengan Ricko lagi!.

"Ga usah kak, aku ke halte sana aja,". Eileen menunjuk ke kiri.

"Gue anter,". Kekehnya. Dan Setelah menghitung sampai angka lima, akhirnya Eileen masuk ke mobil Ricko.

"Duduk sini, jangan belakang. Gue bukan supir ya,".
Oke, Eileen mengalah.

Memasuki mobil, Eileen agak menyesali perbuatannya yang barusan bermain air. Tangannya seketika terasa semakin dingin, bersamaan dengan AC dalam mobil yang punya suhu serupa.

"Nih pake dulu jaket gue, jaket lo udah basah. Pasti dingin banget,". Ricko mengulurkan tangannya ke belakang untuk mengambil jaketnya dan diberikannya jaket itu pada Eileen.

"Gapapa kak?". Eileen memastikan.

"Gue yang suruh loh, yaudah pakai aja sih,". Lalu Ricko mulai menjalankan mobilnya.

"Makasih kak,". Eileen sudah memasukkan jaketnya ke dalam tas, dan berganti memakai jaket Ricko yang sudah tentu membuatnya tenggelam dan hangat di waktu bersamaan.

Eileen berusaha untuk tak merasakan semua yang dialaminya. Ia berusaha menggunakan logikanya sebaik mungkin. Pasti Ricko tak hanya berbuat seperti ini pada dirinya.

"Eh iya, haltenya kelewat kak,". Eileen baru tersadar.

"Udah, gue anterin. Kayaknya gue pernah denger nama daerah rumah kakak lo,".

"Perumahan Abbey Village,".

"Nah itu, itu sebelahan tau sama perumahan gue,".

"Iya?".

"Iya, gue di Perumahan Boar Glass,".

"Loh, iya. Itu sampingan banget,".

Ricko tertawa, membuat hati Eileen hampir tertawan. Dan sekali lagi Eileen mencoba melawan.

"Iya kan? ada taman di antara dua perumahan itu. Kapan-kapan main bareng yuk, lari pagi atau jalan pagi. Kadang-kadang mamah gue ikut senam disana tiap minggu pagi,". Jelas Ricko panjang kata.

Eileen masih berusaha 'terjaga' dan tak mau menerbangkan dirinya dengan angan semu.

"Hm, aku anak rumahan banget jadinya jarang keluar gitu kak,". Jelas Eileen.

"Gue juga belum pernah kesana kalau bukan buat nemenin mamah, tapi kalau ada temennya ya ayo aja, iya kan?". Jelas Ricko. Iya, Eileen menangkapnya sebagai penjelasan kalau mereka akan berteman, tidak lebih.

"Iya juga sih, hehe".

Jalanan ternyata macet. Antara karena malam minggu, juga efek samping aksi demo.

"Sebenernya mau bawa motor tapi karena sering hujan jadi bawa mobil, gini nih kalau bawa mobil jadi lebih lama,". Decak Ricko sambil sesekali mengecek jam di pergelangan tangan.

"Lo ga yang buru-buru pulang tepat waktu kan?". Tanya Ricko.

Eileen menggeleng. "Santai kak, mama-papa ku lagi keluar kota, Kak Sully juga pasti baru pulang malem. Jadi gapapa,". Jelasnya.

"Oke.. eh, gue puter radio ya biar ga sepi banget,". Ijin Ricko, Eileen mengangguk.

Suasana makin membuat Eileen nyaman, badannya hangat tapi lelah. Beberapa kali matanya mengerjap menahan kantuk.

"Pakai syal gue nih, kaki lo pasti dingin,". Ricko menyerahkan bebatan kain di lehernya yang kemudian dihamparkan--sehingga menjadi lebih besar, digunakan untuk menyelimuti kaki jenjang Eileen yang tak tertutup rok.

"Sekali lagi makasih kak,".

"Santai,".

Macet betulan macet, Eileen yang lelah sudah tak dapat menahan kantuk dengan mengerjap, akhirnya terjatuh ke alam mimpi.

Ricko sadar itu dan tak dapat menahan diri menoleh, memperhatikan bagaimana Eileen yang tertidur dalam balutan jaketnya.

Menggemaskan seperti kucing yang terlelap. Eileen. Eileen.

Eileen dan salad buahnya, dan suara nyanyiannya, dan salad buahnya lagi, dan aroma bayinya. Mau tak mau membuat Ricko tersenyum agak seperti orang gila.


Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 26K 53
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...
570K 9K 125
You can clearly tell who my favorite drivers are....
294K 7.2K 53
what will happen to ayasha (🐶) after their marriage contract with mikael (🦊) ended? Knowing that she's pregnant with the billionaire? This story a...
1.2M 41.3K 86
As a Jedi padawan, gaining a Master is like a dream come true. It's one step closer to reaching knighthood, and then to reaching Master. But that dr...