Kak Ricko | ChaeMura

Bởi hoonienhy

1.2K 86 2

Kisah tentang Eileen yang diam-diam menyukai kakak kelas pendiam anggota ekskul basket. Namanya Kak Ricko. Xem Thêm

•°'~the characters~'°•
• anxiety causing trembles
• eileen and her fruit salad
• gotcha
• something new
• here we go, again
• because of me
• then, who am i?
• warmth in coldness

• need to moving forward

218 10 1
Bởi hoonienhy


"Mama! Eileen pergi dulu ya!". Eileen berteriak sambil menyincing dua buah sepatu ke teras.

Mama menyahut, bilang hati-hati serta titip salam untuk calon mantu--yang nyatanya si calon belum tahu akan jadi calonnya.

"Bye kak!"
Eileen tak lupa pamit pada kakaknya yang sedang movie-date dengan pacarnya di ruang tamu.

Melihat bagaimana matahari tak dapat kesempatan mengusik keasikan dua sejoli yang sedang kasmaran itu, membuat Eileen membayangkan jikalau dirinya dan Ricko--cowok yang dia suka akan mengalami hal yang sama.

Mata Eileen menangkap bagaimana kakaknya itu nyaman dalam dekap sang kekasih yang membiarkan dadanya menjadi tempat bersandar.

"Hati-hati,". Pesan kakaknya tak jauh beda dari si mama.

"Iya, bye!".
Usai memastikan sepatunya terpakai dengan benar, Eileen melambaikan tangan kencang sambil lempar senyum untuk balas senyum yang dilempar pacar kakaknya, Justin.

Lalu kakinya terbirit, lari sekencang yang ia bisa untuk mencapai halte setelah menutup gerbang rumah dan melambai pada sang Ayah yang sedang menghirup kopi di balkon atas dengan khidmat.

Eileen melonjakkan kakinya girang, bus-nya datang bersamaan dengan langkahnya yang sampai di halte. Selalu tepat waktu.

"Pagi pak!" Sapa Eileen ramah, kemudian tak ambil peduli pada sang sopir yang malas menjawab barang anggukan kepala saja.

Eileen mengambil posisi duduk, hatinya bergemeletuk seiring dengan kakinya yang terhentak berusaha mengendalikan perasaan membuncah yang meluap-luap hampir tumpah.

Ini hari minggu, biasanya Eileen menggunakan akhir pekan untuk belajar agar pandai seperti sosok idola sekaligus crushnya, orang yang ia suka!.

Namun karena pekan ini si kakak crush sedang mengikuti lomba, maka Eileen tak mau ketinggalan untuk ikut memberi semangat barang dari makanan yang dia buat khusus untuk cowok itu seorang.

"Stadion kota pak!" Pesan Eileen kepada sang kernet yang hanya mengangguk, ikut tak bersemangat seperti halnya pak supir.

Begitu Eileen sampai, kakinya bergerak cepat menuju stadion yang mulai ramai.

Eileen pernah diajak kakaknya nonton basket teman-temannya disini juga. Jadi dia paham dimana tempat para pemain berada.

"Eh, eh, siapa kamu?" Seorang lelaki dengan pakaian training mencegat Eileen yang mau memasuki pintu yang menghubungkan pada ruang para pemain basket dari sekolahnya.

Di antara semua pintu, hanya pintu itu yang memiliki tanda dengan nama sekolahnya yang tertempel disana.

Eileen tersenyum, ia familiar dengan sosok yang mencegatnya. Pak Namja memang cukup terkenal sebagai guru olahraga baru, yang nantinya akan menggantikan guru olahraga sekarang.

Karena tak berseragam, pun Eileen bukan siswi yang tenar, jadilah sosoknya tak mencerminkan kefamiliaran terlebih untuk guru baru seperti Pak Namja.

"Saya Eileen dari SMA Hybe, mau kasih ini ke..". Belum selesai bicara, Eileen sudah malu duluan.

Benaknya sudah bingung akan menyebut Kak Ricko sebagai siapanya. Ia malu kalau harus menyematkan 'orang yang saya suka' setelah menyebut nama kesukaannya itu.

Atau jika kekasih, hihihi.. dia kan belum sampai tahap sana. Namun bagaimana? jantungnya sudah bertalu lagi, membuat mulutnya bungkam. Sulit untuk menggerakkan. Ah, bahkan wajahnya kini ikutan panas karena malu!.

Pak Namja yang sedari tadi melihat perubahan itu seketika menangkap, pasti mau memberi sesuatu untuk penyemangat--entah pada siapapun itu.

Maka Pak Namja memberi Eileen kesempatan untuk masuk. Eileen tersenyum lebar sambil melangkahkan kaki menuju ke ruangan yang dimaksud.

Tak tahunya, ruangan itu sudah penuh dengan anggota pemain basket dari sekolahnya. Bahkan saat itu mereka sedang berdiskusi tentang rencana permainan menilik dari kekurangan dan kelebihan lawan, berdasarkan beberapa kali pertandingan.

Melihat sosok Eileen yang asing, perempuan, dan sendirian, cukup membuat para pemain menghentikan diskusi. Semua mata mengarah pada perempuan yang sedang mengedarkan pandangan mencari-cari seseorang.

"Nyari siapa dek?" tanya Kak Haru si ketua basket yang amat terkenal.

Tampan dan playboy adalah dua kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana lelaki itu.

"K-kak Ricko, aku cari kak ricko,". Rasa bergidik karena atensi dan detakan jantung yang tak sabar untuk bertemu kakak favorit cukup membuat suaranya bergetar di awal.

"Bro,". Haru mengedikkan kepalanya ke arah pintu pada lelaki yang ikutan tertegun, merasa tak kenal dengan sosok yang barusan mengatakan mencarinya.

Ricko memang cukup keren, tampan, kharismatik. Namun sangat suka diam. Sehingga agak kurang meyakinkan ada seseorang yang mencarinya begini. Sampai mengikuti ke stadion!.

"Gue?". Mencoba meyakinkan kembali ia tak salah dengar.

"Iya, itu. Buruan,". Pinta Haru tak sabar.

Mereka barusan terdistraksi saat menjelaskan ulang mengenai rencana permainan. Agar tak lupa, dan membantu meningkatkan tekanan untuk memompa adrenalin kemenangan.

Ricko berlari kecil mendekati perempuan yang kelihatannya malu-malu membawakan sesuatu dengan paperbag-nya.

Ricko agak tak menyangka ada yang datang padanya. Tepatnya sebelum ia memulai pertandingan. Karena setelah pertandingan ini, sudah tentu ia akan mendapat hadiah menang atau kalah. Karena apa, orang-orang senantiasa melihat hasil setelah ia berusaha. Bukan dorongan di awal.

"H-hai kak, maaf ganggu. Aku bawain ini buat kakak, dimakan ya kak. Maaf aku datengnya agak lambat,".

Perempuan itu menyodorkan paperbag padanya. Ricko agak bingung, kenapa juga harus meminta maaf. Toh dia tak meminta juga tak begitu membutuhkan.

"Ohya, makasih,". Ricko memilih kalimat efektif yang tepat. Ia merasakan bagaimana tatapan Haru sampai menusuk punggungnya, memintanya bergegas kembali.

"Iya kak, aku duluan," Eileen agak berharap kalau akan ada kesempatan untuknya dapat berbicara lebih lama dengan kakak kelas favoritnya.

Namun harapan hanyalah harap melihat Ricko yang mengangguk lalu berpaling pergi terlebih dahulu tanpa mau repot-repot memastikan apakah Eileen selamat keluar dari ruangan itu.

Iya kecewa, tapi tak apa.

Eileen berjalan gontai menyusuri jalanan. Sebenarnya antara stadion sampai rumahnya tak begitu jauh. Cukup menempuh tiga puluh menit untuk berjalan.

Eileen memang tak suka menonton pertandingan, tak suka berada di tengah keramaian. Oleh karena itu ia sengaja memberi bingkisannya di awal waktu.

Ah, Kak Ricko terlampau cuek, tak peduli, bahkan tampak tak memberi minat lebih. Iya, Eileen kecewa. Namun tak salah juga, toh baru kali ini Eileen memberanikan diri untuk memberi secara langsung.

Biasanya Eileen akan menitipkan pemberiannya pada oranglain secara acak. Mana pula Ricko tak pernah merasa terusik dengan siapa yang sering memberi tanpa jeda di waktu latihannya.

"Lemes banget dek,"

Kakaknya melihat perbedaan itu. Dimanakah adiknya yang berlarian tadi pagi dengan wajah bersinar menyaingi mentari? Dan kini muram layaknya mendung yang tiba-tiba ikut menggantung di langit sana.

"Capek jalan aja sih, huft,". Lalu Eileen merobohkan badannya ke atas sofa. Justin sudah pergi sepuluh menit lalu sambil meninggalkan aroma parfumnya di salah satu bantal sofa.

"Ga bawa motor sih," Komentar kakaknya sambil mencari camilan di kulkas.

Eileen memilih kembali duduk, lalu beranjak menuju tangga untuk mencapai kamarnya.

Berjalan dengan lambat, wajah Eileen yang murung diikuti membandingkan diri dengan kakaknya yang di matanya amat sempurna. Membuat bibirnya makin mengerucut saja.

Tentang segembel apapun kakaknya, tetaplah mempesona. Sekalipun es krim belepotan di bibirnya, bahkan masih ada belek yang menyembul di sudut-sudut matanya.

Juga.. ah bekas kemerahan di leher itu sudah tentu Eileen tahu sebabnya.

"Males,". Jawaban Eileen untuk manjawab keengganannnya naik motor.

Sebelum kakinya sampai di tangga ketiga, Eileen mengecilkan suara, "Kak, belek lo tuh masih ada. Cuci muka gih. Ohya sama itu, ada merah merah di leher--kelihatan jelas,".

Pesan Eileen yang melanjutkan langkah dengan malas menuju kamar. Tak peduli dengan wajah Suly yang sudah semerah tomat dan berlari ke kamar mandi terdekat.



"I wish I, could fly-y,.."
Eileen bernyanyi dengan khidmat, kelas musik dengan ruangannya adalah perpaduan terbaik untuk bisa memperbaiki mood Eileen yang sempat terpuruk kemarin.

Ia tak peduli jika saja nadanya kurang pas, atau suaranya yang kurang baik. Yang penting ia menikmati dan semua orang mau mendengarkan.

Usai bernyanyi, tentu saja guru Eileen memberi arahan untuk membuat kelasnya riuh dengan tepuk tangan. Namun setelah itu Eileen menulikan telinga ketika Mrs. Rosse memberikan nilai dan masukan.

Eileen paham kalau gurunya itu super perfeksionis. Halo, ini hanya kelas biasa seperti pelajaran lainnya. Namun gurunya ini terlalu beranggapan kalau sekolah ini akan mencetak penyanyi terkenal.

Setelah itu kelas usai, dan mereka berbondong-bondong keluar dari ruangan karena akan digunakan dengan kelas lain.

Eileen kira mood membaik itu akan terbawa sampai sekarang yang nyatanya sudah menguap seiring berjalannya ia menuju loker untuk mengambil buku mata pelajaran selanjutnya.

"Ciyee yang kemarin dikasih apaan tuh dari Kak Ricko,".

Eileen dengar bisik-bisik itu, ia menoleh dan mendapati paperbag buatannya dipegang seorang teman sekelas.

"Apa sih," Dibalas dengan malu-malu tapi tidak juga. Karena wajahnya lebih menyiratkan pada rasa sombong ketimbang bangga.

"Isinya apaa?". rengek salah satu dari mereka dan Eileen menahan kakinya untuk sedikit lebih lama disana. Memastikan.

"Hehehe, susu pisang, cheese cake strawberry, sama dua puding cokelat," lalu sorak sorai ejekan memeriahkan pernyataan barusan.

Argh, kecewa berat. Diantara semua itu hanya salad buah yang hilang, lupa disebutkan sepertinya. Mungkin diberikan ke perempuan lain, pikir Eileen.

Eileen menutup lokernya cepat, lalu berjalan menuju ruang kelas selanjutnya. Diantara loker-loker yang memenuhi tembok itu tak sengaja Eileen bersitatap dengan Ricko, sedang mengambil buku musik di lokernya.

Mata mereka bertemu. Namun Eileen yang biasanya melempar senyum tanpa bosan kali ini tak bisa bertindak memaksa diri. Jadi ia hanya berlalu begitu saja.

Sementara itu Ricko merasa ia pernah bertemu dengan perempuan barusan, namun tak tahu siapa.



Dari kejauhan Eileen hanya bisa menatap dengan rasa sesal. Apa karena selama ini ia terlalu berharap?.

Eileen tahu kalau itu sama sekali bukan salah Ricko yang tak kenal padanya mengingat selama setengah semester lebih ini Eileen selalu menitipkan barang pemberian ke banyak orang, acak.

Tindakan yang kemarin ia ambil juga nekat saja. Ia berharap Ricko ada perhatian padanya, lalu ingat.

Namun sepertinya apa yang ia lakukan kemarin jadi pertanda untuk mundur saja. Toh cowok itu bahkan tak ingat dia, menilik pada gerak geriknya tadi ketika saling bersitatap di depan loker.

Menghembuskan napas berat, Eileen memutuskan untuk mundur. Kedinginan hati seorang Ricko memang tak mampu ia cairkan sebagaimana rumor yang ia dengar selama ini.

"Eh lo, mau nitip minuman lagi?". Seorang cowok dengan temannya sedang berjalan menuju lapangan yang sedang digunakan latihan basket yang ada Ricko disana.

Eileen tak kenal, tapi sepertinya ia pernah beberapa kali menitip. Tak sadar di tangannya ada dua buah minuman yang ia beli seperti sore-sore sebelumnya.

Padahal sudah ada botol minum besar yang sudah penuh lagi setelah diisi ulang di kantin, miliknya sendiri di dalam tas.

Oke, untuk yang terakhir kalinya. Eileen terlampau kasat mata untuk dilihat sosok seperti Kak Ricko.

"Iya deh ini, satunya buat kamu,". Eileen menyerahkan dua minuman dingin itu.

Kedua lelaki tadi tertawa lalu mengucap terimakasih.

Tanpa peduli lagi, Eileen menuju taman sekolah untuk menemui kakaknya, hanya bertanya akan pulang bersama atau tidak.

Dari kejauhan Eileen melihat betapa Suly sangat hangat dan bersinar, dikelilingi teman-temannya yang asik berbincang sambil tertawa kencang. Sungguh, Eileen merasa iri dan membandingkan dirinya yang dirasa lebih suram.

"Kak?".
Eileen hanya memanggil dan kakaknya tahu apa kira-kira kalimat selanjutnya.

"Kamu duluan aja yah dek, aku bareng sama Justin. Gapapa kan?".

Eileen mengangguk, kakaknya yang masih melihat kesuraman adiknya itu lantas berdiri dan mengecup kening adiknya. Seketika teman-temannya berseloroh, sampai tawa mereka memenuhi taman yang cukup luas.

"Hati-hatii,". Pesan kakaknya dengan nada gemas, Eileen mengangguk patuh.

"Eh iya, nanti ikutan yaa.. ke acara makan-makan anak basket,". Ajak kakaknya.

Buat apa ajak Eileen, sih? Tapi Sully memang begitu dan Justin tak pernah keberatan.

Eileen menggeleng dan beri kode tatap kalau ia punya alasan karena seseorang.

Layaknya kakak-adik, sudah tentu Sully membaca pergerakan itu dan paham.

"Oke, kita omongin aja di rumah,". Balas Suly yang diangguki Eileen.

Argh, Eileen lemas. Yuk, we need to moving forward, El!.


Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

120K 5.1K 52
❥❥❥ [BNHA x Fem!Reader] ❛❛𝔸𝕝𝕝 𝕥𝕙𝕖 𝕣𝕚𝕔𝕙𝕖𝕤 𝕓𝕒𝕓𝕪, 𝕎𝕠𝕟'𝕥 𝕞𝕖𝕒𝕟 𝕒𝕟𝕪𝕥𝕙𝕚𝕟𝕘, 𝔸𝕝𝕝 𝕥𝕙𝕖 𝕣𝕚𝕔𝕙𝕖𝕤 𝕓𝕒𝕓𝕪...
438K 11.5K 62
❝spencer, all this week you've been holding my hands. what about your germ thing?❞ ❝you were more important.❞ hazel finley is a liar. but she's a da...
1.3M 57.7K 104
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC
141K 6.5K 36
"I can never see you as my wife. This marriage is merely a formality, a sham, a marriage on paper only." . . . . . . She was 10 years younger than hi...