Lelaki Kedua (Sudah Terbit Eb...

By SuzyWiryanty

88.4K 4.5K 513

Arimbi Maulida merasa dunianya runtuh saat Nina, sepupunya, membawa buku nikahnya dengan Seno Caturrangga, ca... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 5

Part 4

2.9K 857 111
By SuzyWiryanty

"Mas Esha sudah datang. Sebentar saya akan mengambilkan jas pesanan Mas Esha. Pak Tian keluar sebentar. Tapi beliau sudah menyelesaikan semua pesanan Mas Esha. Tunggu sebentar ya, Mas?"

Tiwi, salah seorang staff  Swan Boutique and Bridal, milik Sebastian Reynaldi, sang perancang busana, sekaligus pemilik butik, menyambut Ganesha dan Arimbi hangat.

Tiwi adalah asisten senior butik yang biasanya melayani Arimbi dan Seno. Arimbi tersenyum kecil. Ia malu karena datang ke butik bersama laki-laki yang berbeda. Ketika ia masuk ke dalam butik bersama Ganesha saja, beberapa orang staf tampak berbisik-bisik lirih. Arimbi yakin mereka pasti membicarakannya. Wajar, mengingat bahwa biasanya ia mendatangi butik bersama dengan Seno.

Arimbi duduk diam di sudut butik. Sementara Ganesha melihat-lihat beberapa kebaya-kebaya kontemporer rancangan Sebastian Reynaldy yang dikenakan pada manekin.

Ganesha memesan jas yang lain rupanya. Bukan jas yang sedianya akan dikenakan oleh Seno.

Sejurus kemudian Tiwi kembali dengan jas dalam pelukan. Di belakangnya Icha mengikuti dengan sehelai kebaya indah yang disampirkan pada lengannya.

"Ini jasnya Mas Esha. Silakan dicoba dulu. Dan ini kebaya Mbak Rimbi. Silakan dicek dulu. Apakah sudah sesuai dengan model yang Mas Esha inginkan. Pak Tian dan team design lembur dua hari hingga jam tiga pagi mengerjakannya. Semoga saja hasilnya memuaskan. Berikan pada Mbak Rimbi kebayanya, Cha." Tiwi memberi perintah pada asistennya.

Satu pemahaman memasuki pemikiran Arimbi. Ternyata Ganesha tidak mau menggunakan jas dan kebaya yang sedianya akan dikenakan olehnya dan juga Seno. Ganesha memilih pakaian mereka sendiri. Dikerjakan oleh Sebastian, perancang busana langganan keluarga Caturrangga. Kata Tiwi tadi Sebastian dan teman mengebut dua hari dua malam. Arimbi bisa membayangkan betapa dalamnya kocek yang harus dikeluarkan oleh Ganesha, untuk jas dan kebaya ini.

Jas dan kebayanya dengan Seno yang mereka pesan enam bulan sebelumnya saja, membuat Seno harus mengeluarkan dana sekian puluh juta. Bagaimana dengan permintaan pakaian-pakaian istimewa ini dalam dua hari jadi? Arimbi tidak berani membayangkannya.

"Jas saya nanti saja saya coba. Kamu temani saja calon istri saya berpakaian. Saya ingin melihatnya mengenakan kebaya spesial pilihan saya itu." Ganesha berbicara dengan Tiwi seolah-olah Arimbi tidak ada di sana.

"Ayo, Mbak Rimbi. Ikut saya ke ruang ganti pakaian." Tiwi mengambil alih kebaya indah dari lengan Icha. Ia kemudian berjalan mendahului Arimbi ke ruang ganti. Arimbi membuntuti dalam diam.

Mereka berjalan ke satu ruangan besar berdinding kaca. Di sana ada lima  ruangan khusus yang disekat dengan tirai. Ke sana lah Tiwi membawanya.

"Kita ke fiiting room yang nomor tiga saja ya, Mbak?" Arimbi menolak saat Tiwi membawanya ke fitting room nomor satu. Karena biasanya di sana lah ia mencoba pakaian saat masih bersama Seno. Arimbi benar-benar ingin menghapus bayangan Seno dari pernikahannya dengan Ganesha ini. Bahkan sekedar ruang ganti pakaian pun ia usahakan berbeda, agar suasananya berbeda.

"Baik. Pilih senyamannya Mbak Arimbi saja."

Tiwi menyibak tirai, mempersilakan Arimbi masuk. Setiba di fitting room, Tiwi melepas hanger dan memberikan kebaya indah itu ke tangan Arimbi.

"Ayo dicoba, Mbak Rimbi. Kebaya pesanan Mas Esha ini adalah kebaya teranggun yang pernah saya lihat. Tertutup, simple, namun meneriakkan kata mahal." Tiwi mengelus sekilas kebaya yang sudah berpindah tangan.

"Masa sih?" Pujian yang dilontarkan Tiwi terhadap gaun kebayanya membuat Arimbi penasaran. Arimbi pun memperhatikan detail kebaya di tangannya.

Kebaya ini sekilas terlihat sederhana. Berkerah shanghai dengan butiran kancing mutiara. Panjang kebayanya sendiri hampir semata kaki. Detail renda bunga-bunga yang bergerombol di tepi kebaya mengesankan kemewahan nan elegan. Tiwi benar, dibalik kesederhanaannya kebaya ini menunjukkan kelasnya.

"Iya, ya. Cantik sekali." Arimbi mengelus permukaan kebaya dengan pandangan menerawang. Nama Sebastian Reynaldi memang bukan kaleng-kaleng. Kebayanya dengan Seno saja bagus sekali. Dan yang ini beberapa kali lipat lebih bagus lagi.

Pernikahannya juga akan berlangsung megah, mengingat begitu banyaknya tamu yang diundang. Namun kedua mempelai yang duduk di atas pelaminan mewah itu nanti, tidak memiliki cinta. Hanya keterpaksaan saja yang membuat mereka berdua ada di sana. Sayang sekali rasanya jikalau mereka harus menghabiskan biaya sebesar ini.

"Mbak Rimbi ingin saya bantu menggunakan kain songket dulu atau bagaimana?" Tiwi menawarkan bantuan.

"Tidak apa-apa, Mbak Tiwi. Saya bisa sendiri. Nanti kalau saya membutuhkan bantuan, saya akan memanggil Mbak Tiwi."

Arimbi menolak bantuan Tiwi secara halus. Bukan apa-apa, Arimbi merasa sangat tidak nyaman saat harus membuka pakaiannya di hadapan orang lain. Walaupun dirinya dan Tiwi sama-sama perempuan, tetap saja, Arimbi rikuh.

"Baik, saya menunggu di depan saja ya? Kalau Mbak Rimbi butuh apa-apa, Mbak Tinggal teriak saja seperti biasa," Tiwi tersenyum maklum. Ia memahami ketidaknyamanan Arimbi. Karena sebelumnya, saat bersama Seno, Arimbi juga bersikap yang sama.

Sepeninggal Tiwi, Arimbi mulai menyalin pakaian. Ketika menggunakan kebaya, Arimbi sangat hati-hati sekali. Ia takut kalau kebayanya rusak apabila ia mengenakannya dengan tergesa. Setelah kebaya melekat erat di tubuhnya, barulah Arimbi memanggil Tiwi. Ia kesulitan mengancingkan kancing-kancing mutiara di punggungnya.

"Wah, Mbak Arimbi cantik sekali. Sampai pangling saya." Tiwi terpana. Tiwi  membantu Arimbi mengancingkan kebaya dan mengencangkan songketnya.

"Ah, Mbak Tiwi bisa saja. Kebayanya yang cantik. Saya mah cuma manekin saja," kata Arimbi canggung. Ia tidak biasa dipuji terang-terangan.

"Manekinnya memang sudah bagus, tapi karena modelnya juga bagus, jadi hasilnya maksimal. Ayo kita ke depan, Mbak. Mas Seno, eh maaf, Mas Esha sudah menunggu."

Tiwi Jadi kepingin menggigit lidahnya sendiri saat salah berucap. Terbiasa melayani Arimbi dan Seno, lidahnya jadi selip mengucapkan nama Seno. Sementara Arimbi, ia gamang saat nama Seno kembali disebut.

"Saya minta maaf ya, Mbak Rimbi?" Tiwi kembali meminta maaf ketika melihat Arimbi tertegun.

"Tidak apa-apa. Saya mengerti," Arimbi tersenyum kecut.

"Kalau begitu mari kita keluar. Kita perlihatkan betapa cantiknya Mbak Rimbi ini pada Mas Esha."

Tiwi sangat berhati-hati sekali kala menyebut nama sang mempelai pria. Selain tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya bersikap professional, ia juga harus menjaga perasaan calon mempelainya.

Arimbi mengikuti instruksi Tiwi. Ia pun mengikuti langkah Tiwi yang tengah menyibak tirai.

"Lho, Rimbi. Kamu di sini juga?"

Nina Sujatmiko. Sepupu pencuri mantan pacarnya.

Arimbi terdiam sejenak. Ia menata emosinya dulu, baru bertindak. Melihat gaun pengantin berkerah sabrina yang dipegang oleh Icha di belakang Nina, satu pengertian memasuki benak Arimbi. Seno dan Nina akan menggelar resepsi juga rupanya. Dan gaun yang dipegang oleh Icha itu adalah gaun pengantin untuk resepsinya bersama Seno. Rupanya Nina akan mengenakan gaunnya.

Tenangkan dirimu, Rimbi. Bersikaplah anggun dan penuh harga diri. Jangan membuat ular beludak ini tertawa karena melihat keterpurukanmu.

"Iya, Mbak. Ini Mas Esha memesan kebaya spesial untuk saya kenakan saat akad nanti. Bagus tidak, Mbak?" Arimbi dengan sengaja memutar tubuhnya sekali. Memperlihatkan siluet tubuh rampingnya yang anggun dengan kebaya putih gadingnya.

"Ya, lumayanlah. Untuk ukuran calon mempelai pengganti, si Esha cukup royal juga. Asal jangan nanti setelah nikah kamu dicerai ya?"

Tiwi terbatuk. Sementara Icha berdiri serba salah. Mereka berdua merasa kasihan pada Arimbi yang diserang oleh perempuan yang baru saja datang bersama Seno. Mereka tidak perlu bertanya apapun. Melihat Ganesha yang dua hari lalu meminta butik menyelesaikan sebuah jas ukuran tubuhnya, dan kebaya spektakuler dengan ukuran tubuh Arimbi, mereka sudah menduga-duga akan adanya swicth atau pertukaran mempelai pria.

Dugaan mereka makin menguat saat melihat Arimbi datang bersama Ganesha. Dugaan telah menjadi kebenaran, ketika perempuan bernama Nina ini datang bersama Seno ke butik. Nina ingin mencoba kebaya lama Arimbi kala fitting dengan Seno kemarin dulu. Kesimpulan yang mereka lihat dari pengamatan singkat ini adalah, sepertinya Seno memilih Nina dan mencampakkan Arimbi. Sehingga Arimbi pada akhirnya mencari mempelai pengganti. Kasihan.

Selain itu mereka takut akan terjadi huru hara di ruang fitting room ini. Dua orang perempuan yang berseteru karena cemburu itu damagenya luar biasa.

"Ya begitulah, Mbak. Mas Esha bilang, ia ingin yang terbaik untuk Rimbi. Tidak seperti Mas Seno. Dia malah memberikan gaun pengantin bekas Rimbi pada Mbak. Terlihat sekali, kalau Mas Seno itu tidak mau usaha."

Arimbi menggeleng-gelengkan kepala. Menampilkan sikap prihatin. Di depannya, Tiwi dan Icha nyengir. Dibalik sifatnya yang lembut, Arimbi mampu membalas perempuan yang dipanggil Nina dengan sindiran menusuk.

"Mengenai Mas Esha menceraikan Rimbi, semoga saja tidak ya? Hati-hati mendoakan hal-hal jelek pada orang lain lho, Mbak. Takutnya nanti malah berbalik pada diri sendiri," sahut Arimbi kalem.

"Oh ya, Mbak Nin. Gaun Rimbi itu, pinggangnya sangat kecil. Sepertinya Mbak harus mengubahnya di bagian pinggang dan perut. Bukan apa-apa. Takutnya nanti bagian perutnya tidak bisa dikancing."

Tiwi dan Icha saling berpandangan. Dalam diam mereka ikut senang dengan jawaban cerdas bercampur sarkas Arimbi. Dari kalimat ambigu Arimbi, mereka juga sudah bisa menebak penyebab Seno memilih Nina. Perempuan ini sudah hamil rupanya.

"Khusus doa Rimbi untuk Mbak Nina. Semoga pernikahan Mbak langgeng sampai Mahmud memisahkan. Eh maut memisahkan," imbuh Arumbi kenes. Setelahnya Arimbi mengarahkan pandangan pada Tiwi.

"Ayo, Mbak Tiwi. Saya sudah tidak sabar untuk memamerkan kebaya ini pada calon suami saya."

Arimbi berjalan melewati Nina dengan dagu terangkat tinggi. Di belakangnya Tiwi mesem-mesem, karena kesusahan menahan senyum. Kekhawatirannya dengan Icha akan berseteruan antar dua calon pengantin di ruang ganti pakaian ternyata tidak terjadi.

Di luar fitting room, seperti yang Arimbi duga, ada Seno di sana. Seno duduk bersisian dengan Ganesha yang sudah mengenakan jas abu-abu pesanannya tadi. Ternyata Ganesha sudah mencoba jas barunya. Hanya saja belum dilepas.

Kedua kakak beradik itu duduk dengan tegang. Jelas terlihat keduanya sama tidak nyamannya. Hanya saja, Ganesha lebih bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya. Air muka Ganesha datar sembari memainkan ponsel. Sementara Seno duduk diam dengan tangan saling terjalin di pangkuan.

"Mas Esha, ini kebaya pesanannya sudah dipakai oleh Mbak Rimbi." Tiwi memecah keheningan dua pria menawan di depannya. Ganesha pun berpaling.

"Wah, bagus sekali kebayanya ya, Rimbi? Cocok sekali kamu memakainya." Ganesha mematikan ponsel dan mengacungkan jempolnya pada Arimbi.

"Iya, Mas. Ukurannya juga pas sekali. Terima kasih karena Mas sudah memesan kebaya yang sangat indah ini untuk saya."

Arimbi memaksakan seulas senyum manis. Padahal dalam hati, Arimbi ingin sekali memaki-maki laki-laki lemah iman di samping Ganesha. Entah apa maksud Seno membawa Nina ke butik ini. Seolah-olah di ibukota ini tidak ada butik bridal yang lain.

"Mas, gaunnya jelek sekali. Saya tidak suka model maupun warnanya. Norak dan murahan. Tidak ada bling-blingnya lagi. Kurang mewah. Selain itu saya juga tidak nyaman memakainya!"

Nina muncul di belakang Arimbi dengan kata-kata tidak mengenakkan. Selama berbicara, Nina juga dengan susah payah menahan napasnya. Kalau ia salah bernapas, dikhawatirkan bajunya akan robek karena kesempitan.

"Maaf, saya adalah designer gaun pengantin yang Anda kenakan."

Sebastian Reynaldi. Sang perancang busana sekaligus pemilik Swan Butique and Bridal, yang baru saja tiba, tersinggung. Ia sudah belasan tahun melayani jasa merancang kebaya dan gaun pernikahan para pejabat, artis dan sosialita negeri ini. Kata-kata Nina mencoreng harga diri dan brand butiknya.

"Saya akui selera tiap orang itu berbeda-beda. Namun kalimat Anda yang mengatai gaun spektakuler saya dengan kalimat murahan dan norak, saya tidak terima. Ada standard dan aturan dasar dari kami, para designer, dalam menilai fashion dan model terkini. Anda harus bisa membuktikan di bagian mana gaun rancangan saya yang sudah masuk dalam majalah bridal ini, murahan dan norak. Dan kalau Anda tak bisa membuktikannya, maka saya akan membuat laporan kepada pihak yang berwajib atas dasar penghinaan dan pencemaran nama baik."

Sebastian Reynaldi mengamuk. Usaha bridalnya yang sudah mendunia dikatai norak dan murahan oleh orang yang bukan siapa-siapa. Makanya ia siap menuntut atas pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

Untuk itu Seno buru-buru meredakan kemarahan sang perancang busana yang Nina hina.

"Sorry, Yan. Nina asal bicara. Gue mewakili Nina meminta maaf."

Seno buru-buru meminta maaf sebelum urusan bertambah panjang. Nina telah menghina seorang desainer senior hanya karena ingin mencela gaun pengantin pilihan Arimbi.

"Baik. Kalau begitu silakan lo dan pasangan lo mencari gaun di tempat yang lain saja. Yang sesuai dengan selera calon istri lo yang tidak biasa. Mungkin gaun berwarna kuning terang dengan hiasan manik-manik dan mote-mote bling-bling seterang lampu petromaks di kala malam."

Ketusnya kalimat Sebastian menandakan bahwa ia sangat tersinggung akan hinaan Nina atas karyanya.

"Udahlah, Yan. Lo nggak  perlu membuang-buang napas melayani sesuatu yang level belum nyampe di lo. Lebih baik lo komentarin aja kebaya design lo yang gue minta tambahin kerah biar sopanan dikit."

Ganesha mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang lebih berguna.

"Oke, Bro. Sebagai seorang pengusaha yang tidak tahu menahu soal fashion, gue angkat jempol buat lo. Lo bisa menambahi satu karya seni tanpa mengubah cita rasa perancang aslinya." Sebastian mengacungkan jempolnya.

"Oh ya, gue juga mau mengucapkan selamat pada lo yang sudah berhasil memilih permata alih-alih batu kali. Selamat ya, Sha. Hidup lo pasti akan lebih tenang dan bermakna. Jauh dari si Seno yang penuh dengan huru hara dan melodrama."

Continue Reading

You'll Also Like

270K 19.2K 30
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
2.1M 183K 29
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
1.1M 15.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.9M 69.8K 73
Bukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.