Eira And The Last Human

Von YouKnowWhoIAm15

7.9K 2K 154

[Epic Fantasy] - Eira Book 2 Setelah semakin meluasnya kegelapan dan menutup hampir setengah Afemir, iblis se... Mehr

Glossary and Bestiary
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8

CHAPTER 9

881 163 50
Von YouKnowWhoIAm15

Derap langkah kaki membangukan Eira. Perlahan, dia menarik tubuhnya untuk duduk di pinggiran tempat tidur sambil mendengarkan. Cahaya matahari belum nampak, yang berarti masih tengah malam. Diliriknya Osric yang tengah tidur di dekat perapian yang menyala. Suara langkah kaki mulai terdengar kembali, membuat Eira memutuskan untuk memeriksanya. Dia berusaha melangkah dengan hati-hati, namun suara lantai kayu berdecit seiring dirinya menuju pintu membuat Osric mengingau sesaat dan hening kembali.

Di luar pondok, Nero juga terlelap, seperti biasa melingkarkan tubuhnya bagai buntalan kain besar. Gemerisik di semak-semak membuat Eira terjaga, dengan bertelanjang kaki dia mulai mengikuti suara itu. Cahaya bulan menyinari sekitar, namun semakin jauh melangkah dari pondok miliknya, cahaya itu memudar perlahan, tertutup oleh lebatnya pepohonan. Angin malam yang cukup dingin mulai menyentuh kulitnya, membuatnya tersadar bahwa dia lupa mengambil mantel sebelum pergi tadi.

Sambil menyalakan api di telapak tangannya, Eira menelusur sekitar yang tidak berbuah apa pun. Mungkin hanya hewan hutan yang kebetulan lewat, pikirnya. Dia memutuskan untuk kembali saat udara semakin terasa menusuk kulitnya. Padahal, beberapa saat yang lalu, tidak sedingin ini, bahkan secara tiba-tiba napasnya mulai mengeluarkan kepulan uap dingin. Eira berbalik, hanya untuk mendapati dirinya kembali pada mimpi tentang manusia waktu itu.

Di depannya, danau tertutup es seperti terakhir kali dilihatnya, dengan lubang besar di tengah-tengah yang persis sama saat dia tenggelam di sana. Dia melangkah mendekat, kakinya yang tanpa alas jelas-jelas kedinginan saat menyentuh es, namun dia mengabaikannya. Api masih menari-nari di tangannya saat dia menolehkan kepala ke atas lubang es itu. Sedangkan sesosok tubuh mengambang di atas sana, wajahnya pucat dengan bekas luka jahitan yang banyak. Sosok yang mengejar lelaki tua waktu itu, pikirnya lagi.

Karena penasaran, Eira berlutut untuk meraih sosok lelaki itu, untuk memeriksa apakah ada denyut nadi darinya. Namun, tepat saat dia mengulurkan tangannya, sosok itu membuka mata lebar, meraih kepala Eira dengan lengan besarnya dan mencelupkannya masuk ke air yang sangat dingin. Eira memukul, bahkan berusaha membakar sosok itu, namun hal itu hanya berakhir sia-sia. Dia megap-megap saat kantung udaranya sudah tidak sanggup lagi menahan air untuk tidak masuk.

Lagi-lagi, suara nyanyian para Siren berdenging di telinganya. Namun, di akhir nyanyian itu, Eira mendengar suara lembut menyentuh telinga, begitu halus dan cepat. "Temukan manusia itu!" katanya.

Sebuah tarikan dari belakang mengembalikan dirinya pada tempat semula. Osric dengan obor ditangannya terkejut mundur saat Eira merespon dengan tengah-engah. "Apa yang kau lakukan di luar sini?" tanyanya, sedangkan keningnya mengerut. Osric lebih terlihat khawatir ketimbang penasaran.

Eira menoleh kebingungan, setengah pakaiannya basah karena dia mencelupkan dirinya ke danau. Sedangkan dirinya sendiri tidak ingat bagaimana dia berakhir di sana. Sambil mengelap wajahnya, Eira bangkit dibantu Osric yang masih menunggu jawabannya. Dia memegangi lengan Eira dan menuntunya kembali ke pondok. Sedangkan selama perjalanan mereka kembali, tidak ada percakapan dari keduanya. Eira masih mencerna apa yang dilihatnya dan apa yang terjadi padanya, sedangkan Osric tidak ingin memaksa perempuan itu.

Lelaki itu rasanya cukup tahu apa yang dirasakan Eira saat ini. Karena, itu yang dia alami beberapa bulan belakangan ini sebelum dia memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menjadi Amarok. Dikecewakan oleh diri sendiri, dijauhi dan ditinggal orang-orang yang dia sayangi. Mabuk-mabukan, berjudi, dan berkelahi, itu lah yang Osric lakukan pada saat itu, bahkan saat dia pergi meninggalkan kawanannya, rasa kepercayaan diri dan keinginan hidupnya adalah hal terakhir yang dia khawatirkan, hingga dia bertemu Nimue dan Eira.

Tanpa bertanya-tanya lagi, Osric menuntun Eira hingga ke tempat tidur. Melihat ekspresi Eira yang masih tidak bicara, lelaki itu akhirnya memeluknya. "Tidak apa-apa, hal buruk terjadi pada setiap orang, tapi bukan berarti itu salahmu," katanya menenangkan. Eira tidak menyahutnya, namun pelukan erat kembali sebagai balasan sudah cukup untuk Osric mengerti maksudnya. Setelah itu dia menunggu hingga Eira memejamkan mata sembari menggenggam tangannya.

Esok paginya, Eira bangun saat fajar sudah tinggi dipermukaan. Dia mendorong dirinya untuk bangkit, Osric sudah tidak ada di sampingnya. Matanya kemudian menoleh ke perapian, namun dia juga tidak menemukannya di sana. Beranjak menuju luar, Nero yang melihat Eira langsung melompat-lompat seolah minta untuk diberi makan.

Sambil tertawa, Eira menggeleng. "Kau tahu, kau bisa mencari makan sendiri bahkan sebelum kita bertemu. Aku terlalu memanjakanmu, ya," ujarnya. Namun dia mengambil peralatannya untuk berburu tupai akar.

Pada jam-jam segini, berburu tupai akar akan sedikit susah. Karena mereka biasanya akan muncul pada tengah hari untuk mencari makan, Begitu juga pada malam hari, tupai akar justru akan sangat mudah dicari. Mereka memiliki penglihaatan malam yang cukup bagus dan demi menghindari predator siang hari, mereka akan lebih sering mencari makan saat malam.

Namun, dengan keberuntungan yang hampir tidak Eira duga—terlebih saat cincin Andvaranaut masih menghiasi jarinya—dia berhasil menemukan dua ekor tupai akar yang sedang mencari makan di atas pohon. Keduanya tengah mengumpat dibalik ranting sambil mengumpulkan biji-bijian. Eira harus memanjat dengan hati-hati sebelum kedua tupai itu menyadari kehadirannya. Jika saja dia pintar dalam memanah, hal itu tidak akan lebih sulit. Namun, busur dan panah bukan senjata pilihannya, sedangkan tebasan pedangnya lebih baik dari pada bidikan panah yang pernah dia lakukan.

Setelah berhasil menangkap buruannya, Eira kembali ke pondok. Di sana, seseorang tengah menunggunya. Lelaki itu tengah berdiri sambil mengelus Nero yang mulai kegirangan saat melihat Eira kembali membawa dua ekor tupai akar untuknya, sedangkan piaraannya Phoenix, ikut bangkit seolah Eira juga membawa makanan untuknya.

Menoleh, Elias memberikan senyuman tipis sekilas. Pertemuan terakhir mereka memang tidak begitu mengenakan dan Eira tidak ingin lelaki itu menceramahi dirinya lagi. "Apa yang kau inginkan, Elias?" gerutunya.

"Aku minta maaf, hanya itu yang ingin kukatakan." Dari nada bicara lelaki itu, Eira tahu betul bahwa Elias bersungguh-sungguh.

Eira masih berdiri di tempatnya, tidak mengira kalimat itu yang akan terlontar dari Elias. Namun, dia juga merasa bahwa dirinya salah, terlebih saat dia mengatakan ucapan buruknya pada lelaki itu. Walau bagaimana pun, Elias telah menjaganya, memberinya makan, dan mengurusnya. Tidak sepantasnya Eira menghakimi seseorang yang telah berbuat baik padanya hampir separuh hidupnya. Dia adalah sosok terdekat yang bisa Eira katakana sebagai keluarga.

"Maafkan aku juga," balasnya. "Lagipula, aku juga butuh pelukan saat ini."

Elias tersenyum, dia kemudian mengahampiri Eira dan memeluknya erat. "Hari ini pemakamannya," ujar Elias kemudian. "Kau tidak perlu datang, jika kau tidak ingin."

"Aku tidak yakin sanggup, Elias." Mengingat semua hal itu, membuat Eira kembali pada memori yang tidak bisa dia raih. Setelah ingatan indahnya mengenai Castro di ambil darinya, yang dia rasakan hanyalah kepedihan yang bagai tiada akhir. Seolah dia mengenal lelaki itu seumur hidup, namun tidak pernah bertemu dengannya.

Jika dia harus menyaksikan kepergian terakhir Castro, rasanya dia tidak akan sanggup untuk tidak menahan air matanya kembali, serta rasa sakit yang tidak berujung. Seperti pada saat gatal melanda kulitmu, namun seberapa keras kalian menggarukknya, gatal itu tidak hilang karena tidak yakin berada di mana.

"Aku mengerti," balas Elias. "Kalau begitu aku harus pergi." Sebelum pergi, lelaki itu mencium puncak kepala Eira sekali dan mengelus pipinya lebut. Dia kemudian pergi dan menghilang di langit.

Sebuah tarikan napas panjang muncul setelah Elias pergi, seolah Eira tidak sanggup untuk bernapas sejak tadi. Dia kembali masuk ke pondok setelahnya, sambil termenung untuk beberapa saat. Tidak yakin pada pilihannya sendiri, bahkan Eira tidak yakin pada dirinya sendiri lagi. Semua pilihannya seolah tidak ada yang berjalan dengan baik.

Pandangannya yang tengah berpikir, kini melirik pada jarinya yang berhias cincin Andvaranaut. Sambil memainkan cincin itu dengan jari-jarinya, Eira mencoba untuk menariknya. Anehnya, perlahan cincin itu mulai terlepas, hingga di ujung jarinya dan terbebas, dia meletakkan cincin itu di atas meja dengan perasaan lega yang tidak bisa dia dapatkan belakangan ini. Setidaknya, satu masalah telah selesai, pikirnya.

Namun, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada apa yang telah terjadi. Rasa kecemasaan dan penyangkalan muncul kembali, membuat Eira merasakan gejolak penuh emosi. Menghempaskan barang-barang di atas meja, dia tidak sanggup untuk kenyataan pahit itu kembali. Hingga akhirnya dia berlari menuju hutan, kembali pada danau di mana dia hampir kehilangan nyawanya lagi, walau hal itu bukah lah sebuah kesengajaan.

Pantulan dirinya mengingatkan satu-satunya orang yang ia benci saat ini, yaitu dirinya sendiri. Kemudian, matanya menangkap jalinan kepang rambut yang berantakan. Tanpa pikir panjang, Eira menarik belati pemberian Castro dari pinggangnya, menggenggam rambutnya erat-erat dan memotongnya dengan cepat. Dia kembali melihat pantulan dirinya lagi di genangan air danau, kini dengan rambut cokelat sebahu.

"Jika kau ingin melupakan, buang jauh masa lalumu, dan jangan menoleh ke belakang. Setidaknya, untuk satu kali lagi," katanya sambil berniat untuk melihat Castro terakhir kalinya.

Dengan persiapan terburu-buru, Eira dengan cepat meminta Nero membawanya menuju Troan. Sesampainya di sana, upacara pemakanan sedang berlangsung. Seperti para dwarf kebanyakan, upacara pemakaman diadakan di bukit dengan seorang peniup trompet memberikan aba-aba sebelum jasad mereka di bakar dengan sebuah api yang ditembakkan dengan anak panah.

Dari kejauhan Eira menyaksikan, dia tidak melihat raja Castor di sana. Mungkin, sama seperti dirinya, kepergian sang Putra terlalu berat untuk dia saksikan. Tanpa menunggu upacara itu selesai, Eira memutuskan untuk pergi menuju istana Troan. Penjagaan di sana tidak akan terlalu ketat karena hampir semua prajurit ditugaskan untuk berada di upacara pemakaman. Kunjungannya ke istana hanya untuk mengingat pertemuan tidak sengajanya di sana, tidak lebih. Sebelum dia benar-benar meninggalkan ingatakan yang hampir tidak ada untuknya.

Melewati ruang tahta, menuju ruang harta, dia berniat untuk pergi setelah berdiri cukup lama di depan pintu. "Jika saja kau tidak bertemu denganku, hidupmu akan jauh lebih baik," katanya penuh penyesalan.

Tidak mau berlama-lama, Eira melangkahkan kakinya untuk beranjak. Namun, tepat saat dia melewati sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka, suara itu membuatnya untuk masuk dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Di depan balkon, di balik tirai yang tertiup angin perlahan, Castro tengah berdiri membelakanginya. Eira yakin itu adalah lelaki yang dia tangisi belakangan ini, dan begitu lelaki itu berbalik, betapa rasa kelegaan menyeruak tanpa henti.

"Semua ini salahku," ujar Castro.

Eira baru saja ingin menghampiri lelaki itu, dia sangat ingin berlari padanya, memeluk dan tidak akan pernah melepaskannya. Namun, langkahnya terhenti saat seorang perempuan mendekati Castro dan menangkup wajahnya. "Ini semua bukan salahmu, kau tidak berhak menghakimi dirimu karena hal yang tidak kau lakukan." Suara wanita itu begitu lembut, selembut sutra yang ditenun dengan begitu hati-hati.

Perempuan itu kemudian memeluk Castro, berusaha menenangkannya dari rasa bersalah yang sama dengan Eira. Hingga dari sana, Eira tersadar, bahwa memang seperti itu jalannya. Castro lebih baik tanpa dirinya, dia layak mendapatkan siapa pun selain dirinya. Hanya rasa sakit yang bisa Eira berikan jika dia melangkah untuk menemui lelaki itu. Sedangkan dirinya tengah berusaha untuk melupakan rasa sakit itu, justru yang datang adalah sebaliknya. Sebuah ingatan yang tidak akan bisa dia hapus selama hal itu berdiri di depannya.

Perlahan, Eira meninggalkan ruangan itu, meninggalkan istana Troan, dan seperti terakhir kali dia pergi dari sebuah istana, dirinya tidak berniat untuk kembali lagi. Hanya untuk kabur dari rasa sakit dan bersalah atas apa yang telah terjadi, bukan untuk melupakan, melainkan untuk melanjutkan hidup, lagi.

Kini, ingatannya menuju pada Elias, lelaki itu sudah pasti tahu mengenai hal ini. Namun, dia merahasiakannya dari Eira. Dia tahu betul bagaimana Elias akan menyembunyikan kenyataan itu dengan dalih untuk kebaikan Eira semata. Sebuah kebohongan akan lebih menyakitkan saat kalian mengetahui kebenerannya tanpa disengaja.

Dengan emosi yang tumpah ruah, Eira pergi menuju istana Failos. Menantikan kepulangan sang Raja yang telah membohonginya.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

1.5M 136K 74
NOT BL! (Follow biar tahu cerita author yang lain ok!) Update sesuai mood 🙂 Seorang remaja laki-laki spesial yang berpindah tubuh pada tubuh remaja...
205K 18K 19
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
88.8K 6.9K 32
Orrin Nara gadis berusia 18 tahun. Merasa hidupnya tidak beruntung. Ditinggalkan Ibu dan kakak laki laki satu satunya, membuat dia harus tinggal bers...
105K 6.8K 17
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...