Air Mata Jelilah ✓

By jmd_aini

64.4K 9.8K 3.8K

(Xinlaire series 2) Tentang Jibril yang dijodohkan dengan wanita bercadar bernama Jelilah. Walaupun sudah men... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan Belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua

Empat belas

3.2K 542 246
By jmd_aini

Halo! Update lagi nih, jangan lupa votement!

Yang rame ya!









Dua bulan kemudian.

Jelilah dan ayahnya, serta Aji kembali ke Indonesia untuk menghadiri sidang perceraiannya dengan Jibril. Sebenarnya sidang ini sudah berlangsung sejak dua bulan lalu. Namun, Jibril dan pengacaranya selalu berhalangan hadir.

Hari ini di pengadilan, sidang perceraian antara Jibril dan Jelilah sedang berlangsung. Orang tua, saudara-saudara Jibril, dan ayah Jelilah datang ke sana sebagai saksi. Jibril dan Jelilah duduk berdampingan dengan kursi yang agak berjarak.

"Hadirin, sidang hari ini, Sabtu, 14 Mei 2022 dibuka," kata hakim lalu mengetuk palu.

Tuk

Tuk

Tuk

"Kepada penggugat, apakah benar anda ingin bercerai?" tanya Hakim pada Jelilah.

Jelilah selaku penggugat mengangguk. "Benar, Pak Hakim. Saya tidak bisa menerima keputusan dia yang telah berselingkuh dan menikah lagi."

Hakim kembali bertanya, "Apakah anda yakin atas semua keputusan yang diambil?"

Kembali Jelilah mengangguk. "Saya benar-benar yakin."

"Apakah Anda tidak ada niat untuk rujuk kembali dengan pasangan anda?" tanya Hakim lagi.

Jelilah diam beberapa saat lalu menoleh sekilas pada Jibril yang hanya menunduk dalam. Jelilah menghela napas berat dan menggeleng. "Sama sekali tidak, Pak Hakim," ujarnya.

"Baiklah," kata Hakim lalu beralih menatap Jibril. "Kepada pihak tergugat, apakah anda setuju dengan keputusan pihak penggugat?" tanyanya.

"...." Jibril tidak langsung menjawab, hanya menghela napas berat karena dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

"Saudara Jibril... apakah anda setuju dengan keputusan saudari Jelilah?" tanya Hakim lagi.

Jibril mengangkat kepalanya dan mengangguk kaku. "Iya, saya setuju dengan keputusan tersebut."

"Karena pihak tergugat menyetujui keputusan dari pihak penggugat, maka... hakim memutuskan bahwa permohonan penggugat untuk bercerai dengan suaminya terkabul. Saudari Jelilah dan saudara Jibril, hari ini, tanggal 14 Mei 2022... kalian sudah resmi bercerai."

"Sidang hari ini ditutup."

Tuk

Tuk

Tuk

Jelilah langsung beranjak, tidak ingin memperlihatkan matanya yang telah berkaca-kaca. Karena sesungguhnya, ia masih belum bisa menghapus cintanya pada Jibril walaupun mereka sudah bukan suami istri sejak dua bulan lalu.

Jibril pun sama, sakit sekali ketika mendengar pernyataan hakim bahwa Jelilah sudah benar-benar bukan istrinya lagi. Ikatan pernikahan mereka kini hanyalah kenangan. Sesak menyeruak dalam dadanya, semakin terasa sampai sulit untuknya bernapas. Jibril meremat dadanya kuat sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Bruk!

Jelilah langsung berbalik. "Jibril?!"

Jack, Lytian, serta saudara-saudara Jibril langsung mendekati Jibril. Wajahnya sangat pucat, memang sebelum sidang dimulai, Jibril sudah terlihat sedang tidak sehat. Rubia terlihat paling khawatir, berusaha menyadarkan sang kakak, menepuk-nepuk pipi Jibril pelan sambil memanggil-manggil namanya.

"Kak... Kak Jibril, bangun, Kak!" panggil Rubia.

"Bawa ke rumah sakit!" Malik langsung mengangkat adik keduanya itu, membawanya keluar dari gedung pengadilan diikuti oleh keluarganya.

Sedangkan Jelilah masih terpaku sampai sang ayah menghampiri dan menyentuh bahunya.

"Yah...," gumam Jelilah yang hampir menangis.

"Kita pulang saja," ajak Liam.

"Tapi... Jibril--"

"Ada keluarganya, dia juga masih punya istri...," kata Liam lalu merangkul pundak putrinya. "Ayo...."

Jelilah menggeleng. "Kita harus ikut keluarga Jibril ke rumah sakit, aku mohon."

Liam menghela napas berat. "Baiklah...."

Keduanya pun mengikuti keluarga Jibril menuju rumah sakit. Jelilah agak khawatir, terbukti, Jibril benar-benar sakit tanpanya. Pria yang sudah berganti status menjadi mantan suaminya itu terlihat pasrah saat di pengadilan, ia juga tidak membawa pengacara.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Jibril langsung dilarikan ke UGD untuk ditangani lebih lanjut. Raline juga ada di sana dan tampak khawatir. Rubia mendekati Jelilah dengan mata berkaca-kaca. Jelilah memeluk mantan adik iparnya itu.

"Apa Kakak akan memutus hubungan dengan keluarga kami setelah ini?" tanya Rubia.

"Tidak, Bia... ada Aji yang masih sedarah dengan keluargamu," kata Jelilah.

"Bagiku, kakak iparku hanya kak Heaven dan Kak Jelilah, tidak ada yang lain... aku sayang Kakak."

Jelilah mengusap lembut kepala Rubia. "Kakak juga menyayangimu, Rubia... dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun."

Raline yang mendengar itu hanya bisa menggerutu dalam hati. Tidak ada yang menganggapnya di situ.

Tak lama kemudian, dokter keluar dari UGD. Mengatakan bahwa Jibril sudah sadar dari pingsannya. Raline langsung masuk dan menghampiri suaminya itu.

"Kenapa bisa sampai pingsan? Seharusnya tadi tidak usah ke mana-mana," kata Raline.

"Tidak bisa, Raline... aku  sudah menunda sidang ini selama dua bulan... aku tidak ingin membuat Jelilah menunggu lebih lama lagi untuk bisa lepas dariku," kata Jibril lemah.

"Ya sudah, intinya sekarang istrimu hanya aku, tidak perlu memikirkannya lagi," lanjut Raline dan langsung mendapat tatapan sinis dari keluarga Jibril.

Jelilah yang mendengar itu diam saja. Liam merangkul bahu putrinya itu. "Ayo pulang," ajaknya.

Jelilah menurut. "Iya, Yah...."

Jibril yang melihat ada Jelilah langsung memanggil mantan istrinya itu. "Jelilah...."

Sang pemilik nama menoleh, Jibril berusaha bangun dari pembaringan dan mengulurkan tangannya. "Ke sini sebentar...."

Jelilah melangkah ke dekat Jibril sambil menggendong putranya.

"Boleh saya pinjam Aji sebentar?"

"...." Jelilah diam sebentar, menatap Aji yang juga menatapnya. Jelilah langsung mendudukkan Aji di pangkuan Jibril. Bayi itu terlihat bingung sambil menatap bingung pada ayahnya.

"Anak papa," gumam Jibril sambil mencubit gemas pipi Aji lalu kembali menatap Jelilah. "Kapan kembali ke Hong Kong?" tanyanya.

"Lusa," jawab Jelilah singkat.

"Berarti... saya tidak bisa bertemu Aji lagi," kata Jibril, mengelus rambut tebal Aji. Sedangkan Jelilah diam saja.

"Masih ada calon anak kita," sahut Raline.

"Iya, tidak perlu memikirkan Aji," timpal Jelilah lalu mengambil Aji dari Jibril. "Saya bisa mengurusnya sendiri."

####

Empat bulan telah berlalu, Jelilah telah berhasil mengembangkan usahanya dalam membuat dan menjual pakaian syar'i. Bahkan, ia juga berhasil membuat gaun syar'i pernikahan. Produk yang Jelilah buat laku keras di pasaran, terutama pasar Indonesia yang paling banyak memesan gamis buatannya. Jelilah memiliki sebuah rumah khusus yang dijadikan tempat beberapa karyawan untuk menjahit lalu mengemas barang-barang yang telah dipesan.

Jelilah baru pulang dari tempat kerja, Aji sementara ia titipkan pada ayahnya yang kebetulan tidak ada jadwal di kantor hari ini.

"Assalamualaikum," salam Jelilah sambil melangkah ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam...," sahut Liam yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memangku Aji.

"Mamamama...," kata Aji sembari mengulurkan kedua tangannya, meminta sang ibu agar mengambilnya dari gendongan kakeknya.

"Apa, Sayang?" Jelilah mendekat dan menggendong bayinya yang sudah berusia sembilan bulan itu.

"Mam...."

"Makan? Apa Aji belum makan, Yah?" tanya Jelilah.

"Dia sudah menghabiskan semangkuk bubur tadi, mungkin lapar lagi," kata Liam.

"Lihat, pipimu seperti mau tumpah," ujar Jelilah sambil mencubit pelan pipi gembul Aji karena gemas. "Ya sudah, aku ke kamar dulu, Yah," lanjutnya pamit dan Liam mengangguk.

Jelilah membawa Aji ke kamar, mendudukkan bayinya itu di atas karpet berbulu lalu memberinya biskuit bayi. "Mama mandi sebentar, Aji makan di sini saja, jangan kemana-mana," kata Jelilah lalu beranjak, membuka pakaian luarnya sebelum masuk ke kamar mandi.

Selesai Jelilah mandi, Aji masih duduk di tempatnya sambil menikmati biskuit bayi. Jelilah terkekeh, biskuit yang tadinya baru dibuka, kini hanya tersisa tiga. Jelilah mendekati bayi gembulnya itu. "Sudah dulu, Sayang... nanti malah muntah kalau kebanyakan." Mengangkat Aji lalu mendudukkannya di kasur. "Lihat, perutmu sudah besar begini," lanjutnya.

Jelilah meninggalkan Aji sebentar untuk memakai gamis rumahannya. Tak lama setelah itu, pintu kamarnya diketuk oleh Liam. Jelilah segera membukakan pintu. "Ada apa, Yah?"

"Ada Harsa di luar," kata Liam.

"Harsa?" beo Jelilah.

Liam mengangguk. "Iya, ayo temui dia dulu," ajaknya.

"Iya, sebentar... aku ambil Aji dulu." Liam mengangguk, Jelilah segera mengambil Aji lalu menggendongnya keluar. Menemui Harsa yang tengah duduk di ruang tamu. Pria itu tersenyum ramah, Jelilah duduk di sofa yang berposisi di depan Harsa.

"Apa kabar?" tanya Harsa langsung.

"Alhamdulillah, baik," jawab Jelilah langsung.

Harsa menghela napas pelan, membenarkan posisinya menjadi tegak. "Saya ke sini karena ada maksud dan tujuan."

"...." Jelilah diam.

"Sudah empat bulan berlalu semenjak sidang perceraian Jelilah dengan mantan suaminya, masa iddahnya juga sudah berakhir... dan tujuan saya ke sini, ingin mengenal Jelilah lebih dekat, saya ingin ta'aruf dengannya," tutur Harsa.

Jelilah langsung melirik ayahnya, Liam hanya tersenyum tipis padanya.

"Jawabannya saya serahkan pada Jelilah, biar dia sendiri yang memutuskan," kata Liam.

"Saya...." Jelilah menggantung kalimat, menghela napas panjang sebelum mengatakan, "Saya belum siap menjalin hubungan dengan laki-laki lagi...."

"Tidak masalah, saya akan menunggu sampai kamu siap," ujar harsa.

Dari dulu juga saya selalu menunggumu, Jelilah....

"Jangan menunggu... karena saya tidak tahu... apakah saya bisa menerima laki-laki lagi di hidup saya atau tidak. Saya tidak ingin seseorang terbebani karena menunggu kepastian dari saya sedangkan saya belum tentu bisa memberi kepastian itu," ujar Jelilah.

Harsa tersenyum tipis. "Tidak perlu memikirkan tentang perasaan saya, kamu hanya perlu belajar untuk membuka hati lagi. Tetapi, kalau memang tidak bisa... saya juga tidak akan memaksa," ujarnya.

Jelilah menghela napas pelan. "Baiklah... terserah kamu saja. Saya juga tidak bisa melarang kalau memang kamu memiliki perasaan khusus terhadap saya."

"Kalau begitu... saya permisi dulu," ujar Harsa lalu beranjak dari duduknya. "Terima kasih atas waktunya."

"Langsung pulang ke Indonesia?" tanya Jelilah.

"Tidak, saya menginap di hotel dan akan pulang besok pagi. Saya ke sini menggantikan ayah saya untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnisnya yang akan diadakan nanti malam," tutur Harsa.

"Oh," gumam Jelilah.

"Kenapa? Mau mengantar saya ke airport?" tanya Harsa.

"Ti--"

"Iya, besok akan kami akan ikut ke airport, " potong Liam.

Harsa tersenyum senang. "Baiklah, jadwal penerbangan saya jam sembilan pagi, saya tunggu besok di airport," ujarnya.

"Kalau begitu, saya permisi... assalamualaikum," pamit Harsa.

"Waalaikumsalam," balas Jelilah dan ayahnya bersamaan.

####

Keesokan harinya, Jelilah benar-benar berangkat menuju bandara bersama ayahnya dan Aji. Sebenarnya ia bingung, kenapa tiba-tiba sang ayah ingin mengantar Harsa. Padahal, mereka tidak punya hubungan apa-apa selain rekan bisnis.

"Kenapa kemarin Ayah bilang ingin mengantar Harsa?" tanya Jelilah tiba-tiba.

"Karena dia ingin melihatmu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Liam.

Jelilah mengernyit heran. "Melihatku?" beonya.

"Harsa sudah pernah bercerita tentang perasaannya saat ayah menjalani perawatan di istana keraton pasca kecelakaan pesawat waktu itu. Dia bilang pada ayah kalau dia sudah menyukaimu sejak SMA, Harsa sebenarnya ingin menikahimu... tapi, dia terlambat selangkah dari Jibril. Dan ayah juga tidak menyangka, ternyata sampai saat ini dia masih menyimpan perasaan khusus padamu," tutur Liam panjang lebar.

"...." Jelilah diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia terlalu fokus mencintai Jibril sampai tidak menyadari bahwa ada seseorang yang juga mencintainya. Dan penantian pria itu tidak main-main, ia mencintai Jelilah dari SMA sampai sekarang.

"Tapi... aku belum siap untuk menjalin hubungan lagi, aku takut, Yah," gumam Jelilah.

Liam mengusap kepala putrinya sambil tetap menatap lurus ke jalan. "Ayah mengerti, ayah tidak akan memaksamu untuk menikah lagi kalau memang kamu tidak mau, ayah juga tidak ingin melihatmu tersakiti untuk yang kedua kalinya."

Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di bandara. Di sana, Harsa sudah menunggu. Senyuman tersungging di bibirnya saat melihat Jelilah datang.

"Assalamualaikum," salam Liam.

"Waalaikumsalam," balas Harsa. "Terima kasih sudah datang."

Mereka bertiga duduk di kursi tunggu, menunggu jam keberangkatan Harsa. Aji yang berada dalam gendongan Jelilah sibuk mengulur tangannya ke arah Harsa.

Melihat itu, Harsa beranjak dari duduknya dan mendekat pada Jelilah. Aji semakin tidak bisa diam dan ingin berdiri. Harsa terkekeh melihat tingkah menggemaskan bayi itu. Ia pun mengulurkan tangannya, hendak menggendong Aji. "Boleh saya gendong?" tanyanya pada Jelilah.

Jelilah mengangguk lalu menyerahkan Aji pada Harsa. Aji hendak meraih kacamata yang Harsa kenakan. Harsa langsung melepasnya dan memberikan benda mahal itu pada Aji.

"Ayah...," gumam Aji tiba-tiba.

Harsa mengernyit. "Apa?"

"Ayah... Ayah...," ujar Aji lagi.

"Pasti karena mamamu sering memanggil kakekmu ayah, makanya kamu bilang begitu... iya, kan?" ujar Harsa, tidak ingin terlalu percaya diri.

"Ayah...!"

"Kakek, bukan ayah, Nak," tegur Jelilah.

"Ayah," balas Aji, menepuk-nepuk dada Harsa sambil menggigit kacamata Harsa hingga liurnya menempel di benda itu.

"Ya sudah, iyakan saja," final Harsa akhirnya.

Karena jam terbang Harsa tinggal beberapa menit lagi, ia pun mengembalikan Aji pada Jelilah dan bersiap-siap. Menyalami tangan ayah Jelilah sebelum beranjak pergi lalu mendatangi Jelilah lagi. "Saya adalah orang yang jika menginginkan sesuatu, maka saya harus mendapatkannya walau dengan cara licik sekalipun. Tapi, saya tidak akan melakukan itu untuk mendapatkan hatimu, saya akan tetap bersabar meski harus menunggu lama."

"Kenapa kamu terus menunggu saya? Di luar sana banyak yang lebih baik dari saya, Harsa. Saya juga bukan orang dari keluarga yang memiliki darah bangsawan atau raja, saya hanya orang biasa," ujar Jelilah.

"Memang banyak yang lebih baik, tapi, hati saya tetap memilihmu."

Jelilah menghela napas pelan. "Semoga kamu mendapat perempuan yang lebih baik dari saya," ujarnya.

"Kamu setidak mau itu dengan saya?" tanya Harsa.

"Bukan begitu, saya hanya tidak ingin kamu terlalu lama menunggu karena saya belum tentu bisa membuka hati lagi."

"Sudah, tidak perlu membahas ini lagi. Intinya, saya akan tetap mencintaimu. Entah sampai kapan, saya juga tidak tahu," final Harsa dan Jelilah langsung terdiam.

"Ayah... ini...," kata Aji lagi sambil menunjukkan kacamata milik Harsa yang sudah berlumuran liur.

Harsa terkekeh. "Dasar bayi, untung kacamata saya sudah steril sebelum dipakai."

"Maaf," ucap Jelilah.

"Kenapa minta maaf? Itu hanya barang kecil, untuk Aji saja, sepertinya dia menyukai kacamata itu," ujar Harsa.

"Tapi, ini pasti mahal," ujar Jelilah, melihat merk ternama tertera pada bingkai kacamata itu.

"Biarkan saja... saya pamit, assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam," balas Jelilah.

Tanpa Harsa tahu, pipi Jelilah sempat memerah di balik cadarnya saat Harsa secara terang-terangan mengatakan cinta padanya tadi.

####

Jibril sedang berada di rumah sakit, Raline mengeluh sakit perut. Kini ia sedang ditangani oleh dokter, sedangkan Jibril menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa saat kemudian, dokter kandungan keluar dari ruang bersalin. Jibril segera menghampiri dokter tersebut. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Kandungannya baik-baik saja, kan?" tanyanya.

"Kandungan?" beo Dokter tersebut.

"Iya, janinnya sehat-sehat saja, kan?" tanya Jibril lagi.

Sang dokter semakin heran. "Sebelumnya, apa istri anda pernah melakukan USG?"

Jibril berpikir sejenak. "Seingat saya... tidak pernah, Dok. Dia tidak ingin melakukan USG agar jenis kelamin bayi kami menjadi kejutan," paparnya.

"Apa istri anda pernah mengeluh sakit atau nyeri perut sebelum ini?" tanya Dokter lagi.

Jibril mengangguk. "Iya, Dok... nyerinya kadang-kadang, tapi, istri saya selalu mengabaikannya."

"Mari ikut saya," ajak Dokter itu.

Jibril menurut dan mengikuti dokter tersebut ke ruangannya. Di sana, Jibril diperlihatkan foto rontgen dalam perut Raline. Bukan sebuah janin, melainkan hanya gumpalan berukuran besar yang hampir memenuhi rongga perut Raline.

"Mohon maaf karena saya harus mengatakan ini, Pak... istri anda sebenarnya tidak hamil," ujar sang Dokter.

"Maksud Dokter?"

Dokter itu menghela napas pelan. "Perut Bu Raline membesar bukan karena kehamilan, melainkan karena adanya tumor jinak dalam perutnya hingga membesar dan terlihat seperti sedang hamil."

"...." Jibril terdiam, syok mendengar pernyataan dari dokter tersebut.

"Tumornya harus segera diangkat sebelum menjadi tumor ganas yang dapat mengancam nyawa bu Raline," lanjut Dokter.

"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dokter," balas Jibril.

Dokter itu mengangguk. "Kami akan berusaha, tetapi... resikonya, Bu Raline tidak akan bisa hamil setelah ini, tumor tersebut sudah menggerogoti seluruh bagian rahim hingga mau tidak mau, rahim Bu Raline juga harus diangkat,"

"Lakukan saja, Dok, yang terpenting... istri saya selamat," kata Jibril akhirnya.

Dokter tersebut mengangguk, Jibril langsung menandatangani surat izin operasi yang akan dijalani oleh Raline. Sebenarnya, ia sangat terpukul dengan kenyataan yang ada. Masalah Raline tidak bisa hamil lagi dan keuangan mereka yang semakin menipis. Tabungan hanya sisa beberapa juta, itupun akan terpakai untuk biaya operasi Raline yang pastinya tidak murah.

Karyawan di perusahaannya sudah banyak yang mengundurkan diri karena tidak digaji selama dua bulan. Jibril benar-benar sudah diambang kebangkrutan. Ia tidak bisa berbuat banyak selain berusaha semaksimal mungkin mengurus perusahaan yang nasibnya sudah di ujung tanduk. Baik orang tuanya maupun orang tua Raline sejak awal sudah angkat tangan dan tidak ingin berurusan dengan Jibril maupun Raline lagi.

Beberapa jam kemudian, operasi Raline berjalan lancar dan ia sudah sadar dari pingsan pasca operasi. Jibril berada di sampingnya, memegang tangan istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku tidak sabar ingin melihat bayi kita, dia laki-laki atau perempuan? Apa kamu sudah melihatnya?" tanya Raline dengan wajah sumringah.

Jibril menghela napas frustrasi. "Raline...."

"Iya?"

"Sebenarnya... kamu tidak hamil."

"...." Raline terdiam beberapa saat, tidak mengerti dengan maksud Jibril. "Maksudmu apa, Jib?!"

"Kamu tidak hamil... yang membuat perutmu membesar adalah tumor, operasi tadi adalah operasi pengangkatan tumor sekaligus rahim kamu," papar Jibril.

Raline menggeleng ribut dan mulai menangis. "Tidak, tidak mungkin!" pekiknya tidak terima. "Kamu pasti bohong, kan?!"

"Aku tidak berbohong, Sayang... tumor itu sudah menyebar dalam rahimmu sehingga rahim kamu juga harus diangkat," ujar Jibril.

"Berarti... aku tidak akan bisa punya anak?!" tanya Raline.

Jibril mengangguk lesu. "Iya...."

"Tidak... katakan padaku kalau semua ini bohong! Mana anak kita?!" Raline histeris.

"Sadarlah, Raline! Tidak ada anak kita, kamu tidak hamil!" tegas Jibril sambil memegang kedua bahu istrinya.

Raline langsung terdiam, air matanya semakin deras mengalir. Tidak sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya tidaklah hamil dan tidak akan bisa hamil lagi setelah rahimnya diangkat.

Setelah pulang dari rumah sakit, Raline jadi lebih banyak diam dan sering menangis. Secara otomatis, Jibril telah kehilangan sekretarisnya karena Raline tidak bisa bekerja dan banyak melamun. Diajak shalat pun ia enggan, Raline benar-benar putus asa karena tidak bisa memiliki anak.

Jibril mengurusnya dengan sabar, meskipun dirinya juga sudah hampir gila karena perusahaannya yang akan bangkrut.

Sebulan setelahnya, keadaan Raline semakin parah. Ia depresi berat, Jibril beberapa kali memergoki istrinya itu hampir bunuh diri. Raline sering tertawa lalu tiba-tiba menangis, ia juga sering berhalusinasi sedang menggendong bayi. Hingga mau tidak mau, Jibril harus mengantarnya ke rumah sakit jiwa.

Perusahaan Jibril pun sudah tidak bisa dipertahankan lagi, ia bangkrut. Namun, Jibril tidak langsung menyerah, bagaimanapun juga, Raline butuh perawatan di rumah sakit jiwa, Jibril harus mendapatkan uang untuk biaya perawatan istrinya tersebut.

Ia juga sudah tidak punya muka untuk meminta bantuan pada orang tua maupun mertuanya. Saat mengabari mertuanya bahwa Raline masuk rumah sakit jiwa pun, mereka tidak begitu peduli. Apalagi orang tua Jibril sendiri, Jack mengatakan bahwa semua yang Jibril alami sekarang merupakan balasan dari apa yang telah ia perbuat pada Jelilah di masa lalu. Bayaran atas semua rasa sakit yang pernah Jelilah rasakan saat masih menjadi istrinya.

Jibril mengacak rambutnya frustrasi, menangisi nasibnya sekarang, menyesal karena telah menyakiti hati mantan istrinya.

Keadaannya begitu terpuruk, belum lagi kondisi fisiknya yang juga mulai terganggu karena jam tidur yang tidak teratur.

Menggunakan sisa tenaganya, Jibril mulai bekerja keras lagi dengan membawa produk parfum yang tersisa dari perusahaan ke dalam tas besar. Berkeliling menjajakannya ke rumah-rumah. Satu-satunya yang masih setia bersama Jibril adalah managernya, Theo.

"Bagaimana kalau kita jual secara online saja, Bos," usul Theo, keduanya sedang berada di pinggir jalan, beristirahat sebentar usai berjualan parfum seharian.

"Ide bagus... tapi, ngomong-ngomong, tidak perlu memanggil saya dengan sebutan bos, saya bukan pemilik perusahaan lagi," kata Jibril.

"Tidak apa-apa, bagi saya, anda tetap bos," ujar Theo.

"Tapi, saya tidak bisa menggaji kamu lagi, hasil berjualan parfum saja tidak seberapa," keluh Jibril disusul helaan napas berat.

Theo menepuk bahu Jibril. "Harus tetap semangat, Bos! Saya yakin, Bos pasti akan berjaya lagi," ujarnya.

"Aamiin...."














:')

Continue Reading

You'll Also Like

391K 40.1K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
91.4K 12.6K 45
[Follow dulu sebelum baca] Kisah ini menceritakan tentang seorang Rose dengan kehidupan barunya setelah menikah. Tentang Jaehyun lelaki yang jatuh ci...
273K 21.4K 101
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
3.6K 480 24
"Ya Allah. Jika aku jatuh cinta, biarkan aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut kepada-Mu." Kata yang selalu dia ucapakan dalam doanya. U...