ARJEAN || I Am (not) Villain...

By NihaOsh

237K 30.6K 54.5K

[17+] "Lebih suka cowok seumuran atau yang lebih tua?" -Arjean. "Siapa aja, asal bukan lo." -Shannon. ⚠️WARNI... More

00 || Arjean
01 || Bau Keong
02 || Poci
03 || Boba
04 || Pembunuh?
05 || Pap
06 || Mabuk
07 || Sate
08 || Sasaran selanjutnya
09 || Pengkhianatan
10 || Pilih Kasih
11 || Terluka
12 || Bukan orang baik?
13 || Donor
15 || Mabuk (2)
16 || G-anas?
17 || Ferry dan Shannon
18 || Arjean dan Shannon
19 || Percaya?
20 || Mati?
21 || Kesalahan
22 || Dilanjut?
23 || Membunuh?
24 || Racun
25 || Pergi
26 || Sakit
27 || Aku butuh jantungnya
28 || Ketakutan yang tak berujung
29 || Masih ada harapan?
30 || Dia orang baik [SELESAI]

14 || Cara licik

5.2K 906 1.3K
By NihaOsh

Sebelumnya aku update dua chapter, jangan kelewat yaaaa.

Spam komen yuk!

Jangan lupa Vote juga, makasih 😍

**

Jam menunjukan pukul 7 pagi, Jean bergabung dengan Julian, Haikal, Ayang, Theo, dan Nando di warung nasi kuning ibunya Haikal.

Tiba-tiba Jean terbatuk, membuat haikal menoleh.

"Idiw koronce!" Pekik Haikal seraya menunjuk Jean, hal tersebut membuat Jean berdecak kesal.

"Bacot amat," gumam Jean, kemudian memakan nasi kuningnya.

"Shan kok gak diajak, Je?" Tanya Theo.

"Udah putus."

Sontak Julian dan Haikal berseru heboh!

"Akhirnya Shan jomblo!" Teriak Haikal.

"Giliran gue yang deketin Shan, lo mah entar!" Ucap Julian seraya menoyor kepala Haikal.

"Heh? Shan kan masih pacaran sama Nathan." Ayang mengingatkan, membuat Haikal dan Julian bungkam seketika.

"Mampus! Hahahaha" Nando tertawa keras.

"Bentar lagi juga mati," celetuk Jean.

"Parah anjng! Gak boleh gitu lo? Je." Theo menegur, namun Jean hanya mengendikan bahunya.

"Kok lo bisa putus sama Shan, bang?" Tanya Ayang.

"Shan bosen sama bang Jean," celetuk Haikal.

"Gak usah dibahas," gumam Jean yang membuat mereka bungkam, nampaknya mood Jean tidak begitu baik pagi ini.

Tak lama Yorka datang bersama Shan, raut wajah Shan terlihat begitu dingin, sementara Yorka terus menggengam tangan Shan dari kejauhan.

"Nah kan yang diomongin dateng," ucap Haikal dengan nada semangat.

"Shan pasti belum mandi, tapi masih cantik anjir!" Timpal Julian.

"Bidadari mah beda," gumam Nando.

"Pagi Shan! Pagi-pagi udah cemberut aja!" Sapa Nando.

"Berasa abis bangunin kebo, susah banget, Yaudah gue siram pake air keran," sahut Yorka kemudian ia dan Shan duduk di hadapan Theo, Nando, dan Ayang.

"Parah lo, Yorka! Kalau mau bangunin Shan bilang gue aja!" Tegur Haikal, dan Julian yang mendengarnya hanya memutar bola mata malas.

"Bu, nasi kuningnya dua!" Pinta Yorka.

"Iya!" Sahut bu ira.

"Shan, mantan tuh." Ayang melirik Jean yang terlihat tak peduli dengan keadaan sekitarnya.

"Bisa diem gak?" Desis Shan, Ayang pun bungkam sambil menahan senyum.

"Bang Jean frustasi kayaknya putus sama lo. Kenapa bisa putus sih? Kan Bang Jean baik sama lo, selalu ada buat lo," tanya Julian yang tahu keseharian Jean dan Shan, sebab ia sering melihat keduanya pergi dan pulang bersama.

"Dia orang jahat," gumam Shan seraya melirik Jean.

"Jahat gimana?"

"Dia minta Nathan buat mutusin gue, terus pas Nathan nolak, dia malah pukul Nathan sampe pingsan, dari awal emang dia berharap Nathan mati," sahut Shan dengan santai, hal itu masih terdengar oleh Jean, membuat suasana mendadak canggung.

"Sebenarnya gue nerima Jean cuma buat bahagiain nyokap doang, nyokap gue kan obsesi banget punya menantu kayak Jean, gak tau aja Jean orangnya sejahat apa," ucap Shan lagi.

"Jadi, lo gak suka sama Jean?" Tanya Haikal.

"Enggak, biasa aja. Gue juga kasian sama dia yang ngejar-ngejar gue terus, jadi gue terima, tapi gak ada perasaan lebih," sahut Shan seraya tersenyum kecil.

Theo melirik Jean sejenak, menurutnya ucapan Shan cukup keterlaluan, ditambah Shan berbicara di depan banyak orang yang bisa membuat Jean malu.

Sementara Yorka hanya diam seraya melirik Shan dengan tatapan tajam.

"Gak seharusnya lo ngomong gitu," bisik Nando.

"Biarin aja, biar dia denger dan sadar diri," sahut Shan.

"Kalau lagi flu jangan minum air dingin, cepet-cepet minum obat, Je." Bu Ira menaruh air hangat di atas meja, dan Jean hanya mengangguk kecil.

"Kasian tuh lagi sakit," bisik Ayang pada Shan.

"Rasa sakitnya gak sebanding sama apa yang Nathan rasain karena ulah dia," sahut Shan.

Theo tertawa pelan, "mending lo diem, Shan. Selesain urusan lo sama Jean secara pribadi, gak usah diumbar kayak gitu buat bikin Jean malu. Jean aja gak mau bahas tentang lo, tandanya dia gak mau jelek-jelekin lo di depan kita."

Ucapan Theo membuat Shan bungkam.

"Emang harus dilakban mulutnya," gumam Yorka, dan Shan hanya mendengus kecil.

Tak lama kemudian, Jean selesai makan, ia membayar makanannya pada Bu Ira, kemudian pergi tanpa berbicara pada teman-temannya.

Shan memandang kepergian Jean, kemudian memulai sarapannya, ia agak sakit hati karena Theo menegurnya seperti itu, namun ia berusaha untuk terlihat tak peduli.

**

Diana baru saja selesai mandi dan berpakaian, ia meraih ponselnya yang terus berdering di atas meja nakas, ia pun menjawab panggilan dari Qian.

"Ya?"

"Sore Diana.."

"Ya, sore Qian. Ada apa?"

"Gimana hubungan Shan sama Jean?"

Diana terdiam sejenak, kemudian ia menghela nafasnya, "aku dengar mereka pisah, Yorka bilang semua karena Jean pukul Nathan, dan itu bikin Shan marah."

"Di, Jean mendadak nolak donorin jantungnya buat Nathan, aku gak tau harus bujuk Jean kayak gimana lagi," lirih Qian yang membuat Diana kembali terdiam.

"Kondisi Nathan semakin memburuk, aku gak mau kehilangan Nathan," lanjut Qian.

"Aku gak tau harus ngomong apa, kalau Jean nolak, kamu gak bisa maksa dia," gumam Diana.

"Apa aku harus jujur soal ini sama Shan? Siapa tau Shan bisa bujuk Jean buat jadi pendonor-."

"Qian," panggil Diana menyela ucapan Qian yang terdengar gusar, Qian terdengar panik hingga tak bisa berpikir jernih.

"Menurut aku Shan gak akan bisa bujuk Jean, justru Shan bakal marah sama kamu. Aku harap kamu bisa cari pendonor lain, kalau bisa jangan orang yang sehat," ucap Diana dengan suara pelan, ia harap Qian tidak marah karena ucapannya.

"Gak ada. Tolong aku, Diana. Tolong bantu aku bujuk Jean buat jadi pendonor. Kamu bisa minta Shan buat bujuk Jean, aku mohon." Qian mulai menangis lirih di sebrang sana.

"Aku udah lakuin banyak hal buat kebahagian Jean, karena Jean mau donorin jantungnya buat Nathan, tapi tiba-tiba Jean ingkar. Aku harus apa, Diana? Aku gak mau kehilangan Nathan." Qian terus menangis pilu, membuat Diana ikut sedih mendengarnya.

Siapa yang tidak sedih ketika sang anak berada di ambang kematian? Sebagai orang tua pasti rela melakukan apapun demi anak kesayangannya.

"Kita harus belajar ikhlas, gak ada yang bisa ngelawan takdir, Qian."

Tanpa mengatakan apapun Qian memutuskan panggilannya, membuat Diana mendengus kecil. Ia pun keluar dari kamarnya, melihat Shan yang tengah membuat minuman di dapur.

"Perjodohan kamu sama Jean masih berlangsung, kenapa jauhin Jean?" Tanya Diana seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jean itu jahat, pokoknya aku gak mau dijodohin sama Jean," sahut Shan tanpa menoleh.

"Jangan bikin mama malu sama keluarganya Jean."

Shan pun menoleh, "aku harus apa biar mama batalin perjodohan aku sama Jean?"

Diana terdiam sejenak dengan raut wajah dinginnya, kemudian ia berdecak kecil, "jadi, kamu tetep mau pacarin Nathan? Cowok penyakitan itu?"

"Kalau emang Nathan harus pergi, seenggaknya aku temenin Nathan sampai dia benar-benar pergi, aku gak mau tinggalin Nathan karena alasan apapun."

"Mama ada pertanyaan buat kamu. Lebih pilih ditinggal pergi sama Nathan atau sama Jean?" Tanya Diana yang membuat Shan mengerutkan dahinya.

"Kenapa mama tiba-tiba nanya kayak gitu?"

"Jawab aja."

"Maksud mama, ditinggal mati?"

"Hm.."

"Aku gak mungkin jawab itu, kalau bisa gak ada yang boleh pergi."

"Jawab aja, mungkin setelah ini mama gak akan ikut campur sama urusan percintaan kamu," gumam Diana yang membuat Shan semakin bingung.

"Kenapa?"

"Jawab aja, Shan. Kamu pilih ditinggal pergi sama Nathan atau Jean?" Tanya Diana lagi yang menuntut jawaban dari Shan.

Shan terdiam sejenak, tatapan Diana terlihat begitu serius, membuat Shan takut untuk tidak menjawab.

"M-mungkin Jean, dia orang jahat," sahut Shan dengan suara terbata di awal kalimat, Diana pun mengangguk kecil.

"Perjodohannya batal, terserah kamu mau pacaran sama siapa, asal jangan lupa belajar," ujar Diana, kemudian ia kembali memasuki kamarnya.

Sementara Shan masih terdiam di sana, ia masih terlihat bingung dengan ucapan Diana yang terlalu mendadak, bahkan dengan mudahnya Diana membatalkan perjodohan itu.

**

Jam menunjukan pukul 8 malam, Jean dan Theo tengah duduk di pos berdua saja, kebetulan mereka mengajak yang lain juga, hanya saja yang lain belum datang.

"Lo seriusan minta Nathan buat putusin Shan? Dan mukul dia sampe pingsan?" Tanya Theo seraya menikmati jajanan telur gulung.

"Hm."

"Cuma karena Nathan nolak buat putusin Shan?"

Jean menghela nafasnya, ia mengambil satu stick telur gulung dan memakannya dengan santai.

"Lo pernah mikir pengen mati gak?"

"Gak, gue takut. Apa lo berpikir kayak gitu?" Balas Theo dengan dahi berkerut.

"Hm, sebenarnya keluarga gue itu berantakan. Maksudnya hidup gue yang berantakan, gue gak nyangka bisa bertahan sampe sejauh ini," gumam Jean yang membuat Theo terdiam, ucapan Jean memang terdengar santai, namun kalimat itu membuat Theo merasa sesak di dadanya.

"Gue berulang kali mikir buat mati, tapi seiring berjalannya waktu gue sadar mati bukan jalan keluar dari masalah yang gue punya, gue masih punya nyokap yang harus gue jaga, kalau gue pergi siapa yang nemenin nyokap gue? Nyokap gue udah gak punya sanak saudara, dia dibenci sama keluarga bokap gue," lanjut Jean.

"Masalah keluarga lo gede banget?" Tanya Theo.

"Gue itu anak pembatu, jadi dulu nyokap gue tidur sama majikannya yang gak lain bokap gue, dan akhirnya gue lahir. Istri dari bokap gue ngambil gue buat diurus sama dia, dan ngusir nyokap gue gitu aja."

"Dua tahun kemudian, akhirnya istri bokap gue punya anak juga setelah 5 tahun susah hamil, dan dua tahun kemudian isitrinya bokap gue ngelahirin anak kedua. Anak pertamanya itu Nathan, pacarnya Shan. Sampe detik ini Shan gak tau kalau sebenarnya gue sama Nathan satu ayah," lanjut Jean yang membuat Theo terkejut.

Jean tidak pernah bercerita tentang keluarganya pada siapapun, ia benar-benar menjaga privasinya walau terkadang mulut tetangga tiba-tiba tahu tentangnya entah dari siapa.

"Nathan sakit lemah jatuh, dan gue udah tandatanganin surat perjanjian kalau gue jadi pendonor jantung buat Nathan, karena gue pikir gue udah cape idup, lebih baik mati aja."

"Lo gila? Segampang itu lo nyerahin hidup lo buat adek lo?" Theo kembali terkejut, kali ini tidak setuju dengan ucapan Jean soal donor.

"Gue minta nyokap gue buat deketin gue sama Shan, gue pengen ngabisin waktu gue sama Shan, tapi semuanya gak berjalan lancar. Ternyata gue gak bisa lepasin Shan gitu aja, sampe akhirnya gue batalin perjanjian itu sepihak berharap gue bisa hidup sama Shan, dan hal itu bikin Nathan marah, dia bilang dia bakal ambil jantung adeknya, makanya gue pukul dia di rumah sakit," ujar Jean yang membuat Theo paham, alasan dibalik Jean memukul Nathan.

"Jadi Shan marah karena itu, dia gak tau soal donor, yang dia tau gue pukul Nathan karena gue minta Nathan putusin dia," ujar Jean lagi.

"Tapi lo seriusan batalin perjanjian itu kan?" Tanya Theo, dan Jean mengendikan bahunya.

"Kenapa gak tau, lo harus batalin!"

Jean hanya diam seraya memandnag kosong ke depan sana, membuat Theo cemas.

"Nathan yang minta jantung lo atau lo yang nyerahin diri?" Tanya Theo.

"Nyokapnya Nathan mohon-mohon sama gue, dan Nathan pun minta gue buat lakuin itu, mereka ngedukung gue buat mati."

"Gila! Nathan sama nyokapnya gak ada otak! Lo gak boleh donorin jantung lo buat Nathan, siapa tau hidup lo di masa depan bakal jauh lebih baik dari hari ini," ujar Theo.

"Gue gak tau, masalah gue bukan cuma itu, nyokap gue lagi hamil anak bokapnya Shan," gumam Jean yang membuat Theo tercengang, entah sudah berapa kali Theo terkejut.

"Je, lo serius?" Tanya Theo dengan suara tertahan.

"Hm, nyokap gue itu keras kepala, dia selalu berbuat sesukanya, gue gak tau harus lakuin apa, ini bakal jadi masalah besar."

Theo terdiam masih dengan tatapan terkejut, kemudian ia menggeleng kecil, "gila gila, gue gak abis pikir. Kok bisa?"

"Udah 5 tahun nyokap gue sama bokapnya Shan selingkuh, pokonya sejak gue sama nyokap pindah ke sini, mereka sering ketemu diem-diem di rumah. Ternyata mereka dulu sempet pacaran, dan sekarang nyokap gue malah dijadiin selingkuhannya. Gue udah berulang kali bilang ke om David buat tinggalin nyokap gue atau tinggalin tante Diana, tapi om David gak pernah bisa milih."

"Nyokap lo sama bokapnya Shan sama-sama salah, gue gak bisa bayangin gimana kalau tante Diana tau soal ini," ucap Theo.

Jean menghela nafasnya, kemudian ia tertawa pelan, "pokoknya semuanya bikin pusing, sampe gue mikir kok bisa Tuhan kasih gue cobaan sebanyak itu."

"Lo gak boleh nyerah. Sekarang lo bilang sama Shan soal donor itu, biar Shan gak salah sangka dan gak marah lagi sama lo."

"Gak, gue takut Shan lebih milih Nathan ketimbang gue, gue gak siap denger Shan bilang kalau gue harus donorin jantung gue buat Nathan."

"Gak mungkin, Shan gak mungkin setega itu sama lo!"

"Lo gak akan bisa nebak pikiran orang lain, Theo. Yang pasti gue takut," ucap Jean, kemudian ia menoleh pada Haikal, Lucas, Ayang, dan junior yang baru saja tiba di pos.

"Serius amat, ngopi napa ngopi!" Ujar Lucas seraya memberikan dua cup kopi pada Jean dan Theo.

"Thanks," gumam Jean, dan Lucas hanya tersenyum lebar.

"Bidadari chat dong, suruh ke sini," pinta Ayang seraya menyenggol Haikal.

"Bang Jean suruh pulang dulu, baru Shan mau ke sini," sahut Haikal seraya melirik Jean.

"Lah kenapa?" Tanya Junior.

"Kan mereka udah putus, jangan tanya gue kenapa bisa putus," sahut Haikal yang membuat junior dan Lucas terkejut.

"Siapa yang mutusin?" Tanya Lucas.

"Pastinya Shan," sahut Haikal lagi yang membut Lucas tertawa.

"Tandanya Shan bosen sama bang Jean," ujar Lucas di sela tawaannya, sementara Jean hanya berdecak kecil.

"Eh eh! Bidadari dateng!" Haikal terlihat antusias melihat Shan yang berjalan bersama Yorka dari kejauhan.

Theo pun melirik Jean yang terlihat tak peduli, "lo bisa balik kalau emang gak nyaman."

"Santai aja," sahut Jean.

"Bang, jangan galau gini napa, gue prihatin sama lo, mana sampe sakit," ujar Ayang.

"Lemah banget, ditinggal Shan doang sampe sakit," sindir Haikal.

"Kalau lo pacaran Shan, terus diputusin sama Shan, gue yakin lo bunuh diri!" Celetuk Ayang.

"Sorry gue gak selemah itu, paling Shan yang stress gara-gara putus sama gue," sahut Haikal dengan nada yang menyebalkan.

"Jean, gue mau ngomong sama lo," ujar Shan tanpa menghentikan langkahnya, ia terus berjalan melewati pos, sementara Yorka sudah bergabung di pos.

Jean pun beranjak dari duduknya dan berjalan menyusul Shan, ia memasukan kedua tangannya ke dalam kantung Hoodienya sambil memandang punggung Shan.

Shan hanya mengenakan celana pendek dan kaos oversize, padahal Jean pernah bilang pada Shan agar tidak memakai pakaian seperti itu lagi jika di luar rumah, namun Shan tak pernah mau mendengar.

Mereka pun sampai di jembatan yang tak begitu jauh dari komplek, kemudian Shan menghentikan langkahnya dan membalikan tubuhnya, hingga kini ia berhadapan dengan Jean.

"Gue minta maaf soal di rumah sakit dan soal semalem," gumam Shan dengan raut wajah dingin seolah tak berniat untuk meminta maaf.

"Kenapa minta maaf?" Tanya Jean.

"Tinggal maafin atau enggak, tapi terserah."

"Aku gak marah, udah?"

Shan mengerutkan dahinya, "lo gak mau jelasin kenapa lo pukul Nathan saat itu?"

"Kamu udah tau, buat apa jelasin lagi?"

"Kalau gitu lo harus minta maaf sama Nathan," pinta Shan.

"Hm, nanti," sahut Jean, kemudian ia beralih memandang sungai yang mengalir di bawah sana sambil berpegangan pada pembatas jembatan.

"Shan, kamu seriusan putus sama aku?" Tanya Jean yang membuat Shan mendengus kecil, kemudian Shan berdiri di sampingnya, ikut memandang sungai yang terlihat jernih.

"Menurut kamu?" Shan balas bertanya dengan suara pelan.

"Jadi, kamu nerima aku cuma karena Kasian? Cuma karena pengen bahagiain mama kamu?"

"Gak gitu sih, abisnya aku kesel sama kamu, makanya ngomong sembarangan," sahut Shan.

"Terus, faktanya kayak gimana?" Tanya Jean lagi.

Shan berdeham sejenak, kemudian menghela nafasnya, "aku seriusan sayang sama kamu, tapi rasa kesel bikin aku nyakitin hati kamu, aku gak bermaksud kayak gitu, maaf."

"Kita gak bisa balikan lagi?"

Shan menoleh, "gak bisa, aku gak bisa ninggalin Nathan."

"Karena kamu lebih sayang sama Nathan? Rasa suka kamu lebih besar buat Nathan?" Tanya Jean lagi, ia menaruh harapan pada Shan.

"Gak tau," sahut Shan seraya memalingkan wajahnya untuk kembali memandang sungai.

"Jadi kita temenan kayak bisa aja, kita bisa ketemu setiap hari, kalau mau antar jemput aku ke sekolah juga gak apa-apa, terserah kamu," ucap Shan yang membuat Jean terdiam.

"Je, mama bilang perjodohan kita batal, jadi semuanya udah selesai, tapi aku gak pengen musuhan sama kamu," ucap Shan lagi, kemudian terdengar helaan nafas lirih dari Jean.

"Gak ada kesempatan sedikit pun buat aku?"

"Ada," sahut Shan yang membuat Jean merasa sedikit senang.

"Aku bukannya ngedoain Nathan pergi, tapi aku pikir aku bisa balikan sama kamu setelah aku sama Nathan selesai. Aku gak minta kamu buat nunggu, jadi terserah kamu mau nunggu atau enggak, karena belum tentu Nathan pergi dalam waktu cepat, bisa aja Nathan bakal hidup sampai berpuluh-puluh tahun lagi," ujar Shan, jika Nathan mendengar mungkin Nathan akan merasa sakit hati, namun Shan sama sekali tak bermaksud seperti itu.

"Kalau begitu pikirin baik-baik, siapa yang paling kamu cintai diantara aku sama Nathan," pinta Jean.

"Kenapa harus milih sekarang? Kamu ada cewek lain?" Tanya Shan.

"Gak ada, cuma kamu. Tapi aku butuh jawaban malam ini."

Shan terdiam sejenak, menatap Jean lamat-lamat, ia pikir bukankah Jean bisa menunggu seperti biasanya? Maksudnya bersikap seperti biasanya seolah tak ada yang terjadi, tak peduli dirinya masih kekasih Nathan atau bukan, tapi kenapa sekarang Jean bertanya seolah ia harus menentukannya hari ini?

"Kalau aku jawab Nathan, apa yang bakal kamu lakuin?" Tanya Shan yang membuat Jean tersenyum kecil.

"Pergi."

Shan mengerutkan dahinya, "ke mana?"

"Ke mana pun, karena sejujurnya kebahagian aku cuma kamu," sahut Jean, kemudian ia membalikan tubuhnya dan melangkah pergi.

Shan terkejut dalam diam, ada rasa tidak rela ketika Jean mengatakan ingin pergi, tapi ke mana?

Shan pun berjalan dengan cepat, kemudian memeluk Jean dari belakang, membuat Jean menghentikan langkahnya di sana.

"T-tapi aku gak rela kamu pergi," lirih Shan dengan suara terbata.

"Pilihannya cuma dua saat ini-."

"Kamu bilang, kamu janji gak akan nanya tentang siapa yang paling aku cintai, dan tentang aku yang pilih Nathan atau kamu." Shan menyela ucapan Jean.

"Itu udah lama, sekarang aku berubah pikiran. Wajar kan kalau manusia mendadak berubah pikiran?" Balas Jean.

"Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak mungkin nyerah gitu aja, Jean. Aku kasih kamu kesempatan buat nunggu."

Jean menghela nafasnya, "aku ngerti, kamu bingung. Kamu sayang sama aku dan Nathan, tapi kamu gak bisa ninggalin Nathan karena kondisi Nathan, dan kamu bisa ninggalin aku karena kamu pikir aku baik-baik aja."

"Enggak kayak gitu, J-je.."

"Shan, hidup itu pilihan. Aku pikir, sekarang udah saatnya kita memilih. Kamu memilih Nathan, kalau begitu aku memilih buat pergi, aku gak akan ganggu hubungan kamu sama Nathan lagi."

Shan terdiam seraya mengeratkan pelukannya, bahkan matanya sudah terpejam dengan bibir bawah yang gemetar.

"Kamu berucap seolah kamu gak akan kembali," lirih Shan.

Jean pun melepaskan pelukan Shan secara paksa, kemudian ia membalikan tubuhnya dan menatap Shan yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu.

"Aku punya apartment di luar kota, deket sama kampus, minggu depan aku bakal tinggal di sana."

"Kamu pindah buat ngehindarin aku?"

"Ya, aku gak bisa ketemu kamu setelah aku gagal milikin kamu."

"Kamu serius? Gak mau nunggu?" Tanya Shan lagi, sebelumnya ia bilang terserah Jean akan menunggunya atau tidak, namun saat ini ia sangat berharap Jean mau menunggunya entah sampai kapan, ia tidak rela jika suatu saat nanti ia mendengar kabar bahwa Jean sudah tidak mencintainya dan sudah memiliki kekasih baru.

Shan tahu dirinya begitu egois.

"Aku harus fokus kuliah, sampai ketemu nanti kalau udah gak sibuk lagi," bisik Jean seraya tersenyum, kemudian ia membalikan tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Shan yang mematung di sana.

Shan ingin mengejar Jean, namun ia merasa kakinya terpaku di sana hingga ia hanya bisa terdiam sambil memandang kepergian Jean.

Dan kini, Jean benar-benar menyerah untuk Shan, tidak ada perjuangan yang akan ia lakukan lagi, sebab tak ada sedikit pun semangat untuk melakukan banyak hal.

Jean lelah, ia hanya ingin beristirahat dalam waktu yang lama.

**

Cklek

Nathan menoleh ke arah pintu, ia melihat Ferry yang baru saja datang.

"Udah lama gak ketemu, gimana kabar lo?" Tanya Ferry seraya menghampiri Nathan.

"Gak baik," sahut Nathan yang membuat Ferry tersenyum kecil.

"Lo bakal sembuh."

"Semoga aja."

Hubungan Nathan dan Ferry cukup baik, sebab mereka sering main bersama, begitu pun dengan  Shua dan Eric.

"Apa sampe sekarang lo belum dapet donor?" Tanya Ferry seraya menaruh buah-buahan yang ia bawa di atas meja.

Nathan terdiam sejenak, kemudian ia membalas tatapan Ferry dengan tatapan yang serius.

"Sebenarnya Jean udah janji mau donorin jantungnya buat gue, tapi tiba-tiba dia ingkar."

Ferr nampak terkejut, "lo serius?"

"Ya, gue harusnya sembuh, tapi Jean mendadak berubah pikiran, dan sekarang gue gak tau harus berharap sama siapa lagi, Jean bener-bener ngancurin harapan gue."

"Tapi, kenapa bisa? Kenapa Jean janji?"

"Kata nyokap gue, dulu mentalnya Jean udah kena karena rumdungan dari keluarga kita, dan Jean pernah hampir bunuh diri tapi gagal, makanya nyokap gue minta Jean buat donorin jantungnya buat gue, biar dia gak mati sia-sia," sahut Nathan.

"Bisa-bisanya dia mainin lo," desis Ferry yang terlihat kesal.

"Hm, gue ada cara."

"Gimana?" Tanya Ferry dengan alis terangkat sebelah.

"Jatohin Jean dari jembatan layang sampe dia bener-bener mati, dengan begitu dia bisa donorin jantungnya buat gue."

.
.
.
Tbc

Next?

💚💚💚

Continue Reading

You'll Also Like

780K 21.9K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
113K 5.8K 41
[ BEBERAPA PART AKAN DI PRIVAT, WAJIB FOLLOW DULU! SETELAH ITU VOMENT! HAPPY READING! ] [NEW VERSION] "Kau milikku yang paling berharga." "Ah, pekerj...
1.8M 192K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
40K 5.9K 25
Ketika semuanya bermula dari pertemuan dirimu dengan empat laki-laki yang memoleskan warna-warni di kanvas putihmu. Yang meninggalkan banyak sekali...