Forever After

By dekmonika

104K 15.7K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(10) Kenangan Masa Lalu

1.4K 215 7
By dekmonika

Pagi itu, Andin telah selesai mematut dirinya di depan cermin meja rias, bersiap untuk pergi ke kampus. Senyumannya terukir simpul, berharap hari itu menjadi hari yang baik untuk dirinya. Senyuman itu juga sebagai simbol bahwa ia telah melupakan perkataan yang cukup menyakitkan dari sang mama tadi malam.

Andin sangat paham, kadang tak semua hal dalam hidup akan berpihak pada dirinya. Tak selalu garis kehidupan membawanya pada hal-hal yang melegakan. Terkadang ada rasa sakit yang harus ia telan bulat-bulat kemudian melupakannya begitu saja.

Andin meraih tasnya kemudian keluar kamar. Ia menuruni satu-persatu tangga kecil yang menghubungkan kamarnya dengan lantai dasar rumah tersebut. Di ruang makan sudah ada sang mama dan Baskara yang baru akan memulai sarapan. Andin pun lantas segera bergabung disana.

"Pagi, Ma, Bas." Sapa Andin seraya duduk pada kursinya.

"Pagi, Kak." Balas Baskara dengan tersenyum, lebar. Sedangkan mama mereka sibuk mengolesi roti dengan selai kacang kesukaan Baskara. Sudah biasa. Begitulah kira-kira arti tatapan yang muncul pada kedua bola mata gadis itu.

"Ma, hari ini aku pulang agak telat, ya. Soalnya habis jam pelajaran nanti akan ada program bimbingan sains dari sekolah untuk olimpiade bulan depan." Kata Baskara, kemudian melahap roti selainya.

"Kamu ikut olimpiade lagi?"

"Doakan ya, Ma. Mudah-mudahan pas seleksi aku terpilih lagi."

"Of course, sayang. Mama selalu berdoa yang terbaik buat kamu." Balas sang mama, tersenyum hangat pada putranya.

Andin yang selalu melihat interaksi hangat antara ibu dan adik lelakinya itu tampak ikut tersenyum samar. Sebagai kakak, Andin tentu juga merasa bangga atas pencapaian adiknya. Namun jauh di relung hatinya, ia pun sering cemburu dengan perlakuan sang mama yang selalu manis dan hangat pada Baskara, berbeda jauh jika dengannya.

Baskara melirik sang kakak yang duduk berseberangan dengannya. Gadis itu terlihat mengolesi roti dengan santainya sembari tersenyum tipis. Terkadang remaja itu juga sering merasa tak enak hati dengan perlakuan sang mama yang senantiasa memberikan perhatian lebih padanya namun di sisi lain justru menyisihkan keberadaan kakaknya. Baskara tahu sekali betapa terjalnya jalan yang telah dilewati oleh Andin sejak perceraian kedua orang tua mereka.

Sedari remaja, kakaknya itu harus dihadapkan pada situasi yang tak pernah diinginkan oleh anak mana pun, menghadapi keluarganya yang semula begitu harmonis tiba-tiba hancur dalam sekejap. Sang kakak yang begitu dekat dengan sosok sang papa mau tidak mau harus merelakannya pergi demi segala pengkhianatan yang telah pria itu berikan kepada keluarga mereka.

Di babak selanjutnya setelah pengkhianatan itu, mereka berdua dihadapkan pada depresi sang mama. Wanita itu terkadang berteriak-teriak ketika malam, berhari-hari tidak mau makan, tidak mau bicara, seperti mayat hidup. Namun sesekali justru tertawa-tawa sendiri. Seberapa menyakitkan kondisi itu bagi mereka berdua saat itu? Tak bisa dijabarkan. Amat sangat menyakitkan.

Namun saat itu Baskara masih terlalu dini untuk memahami semuanya. Semua rasa sakit itu ditanggung penuh oleh Andin. Dia lah sosok yang harus terlihat selalu kuat diantara mereka. Dialah satu-satunya orang yang harus berpikir keras bagaimana cara mereka bertahan dalam situasi sulit itu.

Bahkan di saat situasi mulai membaik, Andin masih tak memiliki tempat untuk menumpahkan semua rasa sakit itu. Ia harus menerima kenyataan bahwa sang mama telah berubah. Ia tak mengenal lagi sosok wanita hangat yang selalu ia panggil dengan sebutan 'mama' itu.

Hingga waktu demi waktu, Andin sudah terbiasa dengan itu semua. Tak ada yang bisa Andin lakukan selain berbesar hati menerima. Meskipun jauh di dalam hatinya ia masih berharap suatu saat, kapan pun itu, sang mama bisa kembali menyayanginya seperti sedia kala.

"Ma, Bas..." Baskara tersadar saat suara sang kakak mengusik keheningan diantara mereka yang sedang sama-sama menikmati sarapan.

"Ya, kak?" Baskara menyahut.

"Malam ini ada tetangga baru komplek kita yang akan mengadakan acara syukuran. Nah, mereka juga mengundang kita. Kalau kamu sama mama nggak sibuk, kita datang sama-sama ya." Beritahu Andin.

"Wah, rumah paling gede di depan itu ya, Kak?" Baskara bertanya.

"Kamu kenal mereka, Bas?" Andin justru bertanya balik

"Kenal sih enggak, cuma dengar-dengar pemilik rumah itu kan bos besar salah satu e-commerce terkenal di Indonesia." Mendengar cerita Baskara malah membuat Andin tak menyangka bahwa adiknya jauh lebih tahu dibanding dirinya.

"Masa sih?"

"Yee, kakak bagaimana sih, dapat undangan tapi nggak tahu-menahu sama tuan rumahnya."

"Memang harus tahu banget?"

"Nggak juga sih." Baskara menjeda bicaranya untuk menyuap rotinya kembali.

"Boleh itu kita datang ke undangannya. Orang tajir melintir begitu pasti makanannya juga enak-enak dan ekstraordinari. Lumayan kan, kapan lagi." Lanjut Baskara dengan mata berbinar penuh semangat. Andin terkekeh, lalu beralih menatap sang mama.

"Kalau mama bagaimana? Bisa?" Andin bertanya.

"Lihat nanti saja." Jawab sang mama, datar. Andin dan Baskara saling melirik, kemudian Andin tersenyum simpul sambil mengangguk, mengerti.

____________________________________

Jauh di ketinggian berpuluh-puluh meter, dalam sebuah ruangan luas didominasi kaca tebal, sesosok pria bertubuh tegap menatap jauh ke depan. Pemandangan gedung-gedung raksasa di sekitarnya, ratusan penghuni lalu lintas beserta kendaraan yang sudah terlihat seperti semut-semut liar di bawah sana. Tangan kirinya bersembunyi pada saku celana hitam itu sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah benda pipih yang bernama handphone. Hening.

Ingatan tentang mimpi yang menyambangi tidurnya tadi malam tiba-tiba menyeruak mengusik pikirannya. Mimpi buruk yang sama dengan apa yang sering ia alami ketika masih kanak-kanak. Sebuah mobil terguling, kemudian meledak dan terbakar. Serta suara tangisan anak kecil. Seperti kaset jadul yang rusak. Mimpi itu secara berulang datang ke tidurnya tadi malam. Membuat pria itu terbangun dengan keringat dingin.

Pria itu sedikit memijat keningnya. Terus-menerus mengingat mimpi buruk itu membuat ia merasa pusing. Hingga suara telepon di meja kerjanya berbunyi dan membuyarkan segala pikiran negatifnya.

"Iya, Tom?" Tanya pria itu setelah menekan salah satu tombol di telepon.

"Disini ada pak Darwin, Pak. Beliau bilang beliau ada janji dengan bapak sekarang." Sahut Tommy.

"Iya, benar. Kamu langsung ajak dia ke ruangan saya."

"Baik, Pak."

Beberapa menit selang Aldebaran menerima telepon, pintu ruang kerjanya yang besar itu terbuka. Dua orang pria terlihat muncul dari sana, memasuki ruangan tersebut. Tommy masuk menghantarkan seorang tamu untuk Aldebaran.

Seorang pria dewasa dengan rambut gondrong yang terkuncir, kumis tipis, dan kacamata minus yang menghiasi penampilannya. Pria itu tampak memiliki tinggi yang sama dengan Aldebaran. Bedanya, ia hanya terlihat sedikit lebih kurus dibanding badan Aldebaran yang berisi dan terbilang ideal itu.

"Hei, bos besar!" Sapa pria pria itu tersenyum sumringah pada Aldebaran yang menyambut kedatangannya.

"Selamat datang, tuan Chris!" Balas Aldebaran, lalu saling memeluk satu sama lain.

"Apa kabar? Kau terlihat makin tampan saja." Pria itu bertanya sambil menepuk kedua pundak Aldebaran. Aldebaran tertawa kecil mendengarnya.

"Aku baik. Kau bagaimana? Sudah sibuk sekali rupanya dengan negara barumu itu. Sampai aku lupa kapan terakhir kali kau menginjakkan kaki di Jakarta. Sombong sekali." Celoteh Aldebaran kembali membuat pria itu tertawa. Sedangkan Tommy yang sedari tadi menyaksikan pertemuan dua sahabat tersebut hanya bisa tersenyum simpul, hingga ia berinisiatif untuk keluar dari ruangan tersebut.

"Maaf, Pak. Saya izin permisi." Kata Tommy dibalas anggukan kepala oleh atasannya.

"Silahkan, Tom. Terima kasih."

"Ya, sama-sama, Pak."

"Hei, ayo duduk dulu." Aldebaran yang menyadari bahwa posisi mereka masih berdiri segera mengajak teman lamanya itu untuk duduk pada sofa mewah di ruang kerja itu.

Di tempat berbeda, di dalam komplek perumahan, Rossa terlihat baru sampai di depan sebuah rumah berpagar putih setelah hampir seratus meter ia berjalan kaki sendirian dengan membawa sebuah kotak yang entah berisikan apa. Wanita itu tampak mencari-cari sesuatu.

Setelah menemukannya, ia menekan benda itu hingga menghasilkan bunyi guna memanggil si pemilik rumah. Tak berselang lama, seorang wanita penghuni rumah itu keluar, tampak berjalan ke arah pagar.

"Ya, cari siapa, Bu?" Tanya si pemilik rumah.

Senyum di wajah Rossa perlahan memudar. Wanita itu tampak terpaku melihat siapa yang baru saja membukakan pagar tersebut. Tak hanya Rossa, bahkan si pemilik rumah yang baru saja bertanya itu, ikut tertegun. Kedua wanita yang tampak seumuran itu saling melihat satu sama lain, seakan ada ingatan tentang memori yang sedang menghubungkan keduanya.

"Susan?" Lirih Rossa, mengukir senyumannya kembali dengan tatapan seperti sedang mengenang seseorang yang pernah hadir dalam kehidupannya. Seseorang yang dipanggil 'Susan' itu masih terpaku dalam posisinya.

"Kamu Susan kan? Kamu ingat aku?" Tanya Rossa dengan rasa haru.

"Rossa?" Nama itu meluncur dari mulutnya. Senyuman Rossa kian melebar, kemudian ia mengangguk.

"Sungguh, kamu ini Rossa?"

"Iya. Aku Rossa, adiknya Kak Pram." Jawab Rossa. Keduanya masih dalam ekspresi antara percaya atau tidak.

"Astaga..." Susan melirih, dan seketika merengkuh tubuh Rossa hingga keduanya saling berpelukan, melepas rasa rindu yang tiba-tiba muncul ke permukaan.

"Apa kabar Rossa? Lama sekali kita tidak pernah bertemu lagi." Ucap Susan seraya mengusap punggung Rossa yang juga masih mendekapnya.

"I'm good, San. Kamu sendiri bagaimana? Sehat?" Rossa bertanya, balik. Sebelum menjawabnya, Susan melepaskan pelukannya lebih dulu dan mulai memperlihatkan senyum simpulnya.

"Aku juga baik, Ross. Kita tidak mungkin bicara panjang lebar disini. Ayo masuk dulu." Ajak Susan membuat Rossa terkekeh.

"Sepertinya kita melewatkan banyak cerita satu sama lain setelah berpisah puluhan tahun." Gurau Rossa turut membuat Susah tertawa. Kemudian keduanya memasuki rumah bergaya Eropa klasik, namun tak begitu megah itu.

______________________________________________

"So, loe perlu bantuan apa dari gue?"

Di dalam ruangannya, Aldebaran masih bersama teman SMA-nya yang bernama Christ Darwin. Lebih tepatnya, Darwin adalah senior Aldebaran sewaktu mereka di High School dulu. Jika dilihat dari penampilan kumis serta rambut gondrongnya, mungkin orang lain akan mengira bahwa Darwin berusia sangat jauh di atas Aldebaran yang baru berusia 27 tahun. Namun pada faktanya, Darwin dan Aldebaran hanya terpaut selisih usia dua tahun.

"Sebagai konsultan interior professional yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi, gue harap loe bersedia bantu gue."

"Apa dulu? Loe mau renovasi ruangan? Atau mau bangun gedung lagi?" Demi mendengar tebakan sahabatnya itu, Aldebaran sedikit terkekeh.

"Bukan."

"Terus, apa?"

"Jadi begini. Gue punya teman, mahasiswi salah satu universitas di Jakarta. Dia lagi kuliah di jurusan Desain interior. Nah, kebetulan di salah satu mata kuliahnya, mereka ditugaskan untuk bekerjasama dengan salah satu konsultan interior professional dan tentu harus memiliki pengalaman yang tidak main-main. Dengan si konsultan interior itu nanti mereka harus mendapatkan pengalaman-pengalaman terbaik mereka selama satu bulan. Ya secara kasarnya gue bilang, semacam jadi asisten buat si konsultan." Jelas Aldebaran, panjang lebar. Dan Darwin mendengarkan dengan seksama.

"Hem, terus?"

"Ya gue minta tolong sama loe buat bantuin teman gue."

"Kenapa harus gue?" Kening Darwin mengerut.

"Konsultan interior yang gue kenal cuma loe, Win." Jawab Aldebaran.

"Nggak. Maksud gue kenapa harus loe yang turun tangan? Kenapa nggak dia cari sendiri? Sejak kapan seorang Aldebaran memiliki rasa peduli yang besar pada seorang teman?" Darwin terlihat memincingkan matanya mentap curiga pada Aldebaran.

"Resek loe!"

"Hahaha."

"Intinya saja deh. Loe mau nggak bantuin?" Desaknya.

"Sure, gue pasti bantu. Dari dulu mana pernah gue nggak bantuin loe kalau loe perlu sesuatu." Jawab Darwin membuat lawan bicaranya itu terlihat tersenyum tipis.

"Begitu dong."

"Tapi gue jadi penasaran sih, siapa teman yang loe maksud ini. Beneran teman, atau...." Darwin menyipitkan matanya membuat Aldebaran bingung.

"Atau apa?"

"Atau loe malah demen." Darwin melemparkan godaannya pada pria dingin itu. Aldebaran menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah menertawai ledekan dari sahabatnya tersebut. Meskipun dalam gerak-gerik tersebut, ia juga terlihat sedikit salah tingkah.

"Nggak usah mancing gue." Ketus Aldebaran, namun justru membuat Darwin tertawa.

"Terus bagaimana? Kapan dia mau ketemu gue?" Darwin kembali ke inti pembicaraan mereka.

"Gue belum tahu sih. Nanti gue tanya ke dia. Tapi schedule loe aman nggak ini? Nanti yang ada loe malah buru-buru balik ke Ausy."

"Tenang saja. Setahun ke depan gue akan stay dulu di Jakarta. Istri sama anak gue boyong entar."

"Loh, kenapa?"

"Lagi ada sedikit problem sama CV disini. Jadi gue sama istri sepakat untuk fokus ke masalah ini dulu. Dan supaya lebih gampang, kita stay Jakarta juga."

"Loe kalau ada problem bilang. Jangan diem-diem saja." Titah Aldebaran.

"Hehehe. Thanks, man. But, it's okay. Gue masih bisa ngehandelnya."

"Okay."

Di ruang tamu rumah Susan, ia bersama Rossa tampak saling berbagi cerita. Sebelumnya, Susan sudah menceritakan sedikit banyaknya tentang kehidupannya kepada Rossa. Sahabatnya itu terlihat memasang raut ekspresi prihatin begitu mendengar cerita yang amat memilukan itu. Ia juga akhirnya mengetahui bahwa Andin adalah putri dari sang sahabat.

"Maafkan aku, San, aku baru tahu soal kamu. Sejak kamu dan keluarga pindah, aku dan kak Pram benar-benar kehilangan berita tentang kamu." Tutur Rossa seraya menggenggam tangan Susan yang ada di hadapannya.

"No. Jangan merasa bersalah seperti itu. Aku justru yang harus minta maaf karena tidak pernah berkabar lagi pada kalian. Bahkan saat aku menikah, aku tidak memberi kabar ke kamu dan Mas Pram." Susan meminta maaf dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"It's okay. Semua sudah berlalu, kan. Dengan bertemu kamu lagi, aku sudah merasa sangat bahagia. Dan lucunya, sebelum dipertemukan dengan kamu, aku malah lebih dulu bertemu dengan putrimu." Ucap Rossa diiringi kekehannya dan direspon dengan senyuman simpul dari Susan.

"Dia lagi tidak ada di rumah, ya?"

"Iya. Dia masuk kuliah hari ini."

"Kuliah apa dia?"

"Desain interior."

"Oh ya? Wah, sama dong dengan Roy."

"Roy?" Susan tampak mengernyitkan keningnya, bertanya.

"Iya, Roy itu anakku, putra keduaku. Anak pertamaku laki-laki juga. Dia sudah berkarir sekarang. Kami tinggal sementara di komplek ini ya di rumah dia." Jelas Rossa.

"Ohh pantas saja aku baru melihat kamu sekarang."

"Hehehee."

"Kalau Mas Pram, sekarang tinggal dimana?" Tanya Susan yang membuat raut muka Rossa berubah dalam sesaat. Rossa menatap wanita di hadapannya itu dalam-dalam dengan mata yang sarat akan kesedihan. Lantas ia hanya bisa tertunduk. Melihat reaksi itu tentu membuat Susan bingung.

"Ross? Kamu kenapa?" Rossa menggelengkan kepalanya pelan, lalu mendongakkan kepalanya lagi dengan senyuman tipis yang terlihat begitu berat.

"Kamu pasti rindu kak Pram, ya? Sama, aku juga." Jawaba atas pertanyaannya masih menggantung dengan balasan yang baru diberikan oleh Rossa. Susan merasa ada yang tidak beres. Ia menatap Rossa lekat-lekat dengan nafas yang mulai tertahan.

"Kak Pram sudah lama pergi, San." Ungkap Rossa membuat kerutan pada kening sahabatnya itu kian banyak.

"Pergi?"

"Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tak lama setelah dia menikah, mereka mengalami kecelakaan lalu lintas yang akhirnya merenggut nyawanya." Lanjut Rossa membuat Susan termangu, bak dihantam petir di siang bolong.

"Oh, Tuhan." Lirih Susan, menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya, sambil berusaha menahan kedua mata yang sudah akan digenangi airmata.

"Sebelum memutuskan menikah, Kak Pram sempat berkali-kali berusaha mencari tahu kabar tentang kamu. Tapi dia tidak beruntung. Dia tidak menemukan petunjuk apapun. Sampai akhirnya keluarga kami mengenalkannya dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Meskipun pada saat itu aku tahu, separuh perasaannya masih tersisa di kamu, San." Rossa berterus terang, dan tak henti menggenggam tangan wanita itu untuk saling menguatkan.

"Maafkanaku, Ross. Aku sungguh minta maaf. Aku menghilang begitu saja." Ucap Susan,namun Rossa segera menggelengkan kepalanya dengan senyum harunya. Kedua wanitaitu pun akhirnya saling berpelukan, erat. Pelukan kerinduan yang berpadu denganpelukan kesedihan dan saling memberikan ketegaran pada diri masing-masing.

_______B E R S A M B U N G_______


Untuk minggu ini kayaknya up 2 part aja ya, hehe. Masih suasana lebaran jadi agak jarang buka laptop, apalagi lanjutin tulisan. BTW, Minal Aidzin Wal Fai'idzin, mohon maaf lahir dan batin🙏

Continue Reading

You'll Also Like

206K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
AZURA By Semesta

Fanfiction

219K 10.6K 23
Menceritakan sebuah dua keluarga besar yang berkuasa dan bersatu yang dimana leluhur keluarga tersebut selalu mendapatkan anak laki-laki tanpa mendap...
88.9K 9K 37
FIKSI
140K 13.8K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...