Lingkaran yang Terputus; Bagi...

By AyamLincah

531 107 8

Kehidupan adalah sebuah perputaran, bagai percikan yang memudar, atau roda yang terinjak-injak. Kehidupan ber... More

Prakata
SATU - Wanita Tua di Pemakaman
TIGA - Misbahul Jannah
LIMA - Timi
Selesai!

TUJUH - Sendirian

43 16 3
By AyamLincah

Perumahan mati lampu saat aku sedang menonton gulat drama Amerika. Tadi malam hujan deras. Tetes air hujan sebesar biji jagung menghantam atap dan jendela. Berkat angin ribut, airnya masuk melalui celah ventilasi. Bukannya istirahat, aku malah harus berjongkok mengelap lantai basah. 

Berkat hujan deras pulalah aku tidak bisa segera tidur. Jadi aku berniat mengobok-obok saluran TV mencari hiburan untuk menunggu hujan mereda. Tak beberapa lama menyeduh teh panas, bunyi gledek meledak di dekat rumah. Jantungku jumpalitan. Aku menekan dada yang barangkali sudah tak ada isinya. 

Tak sampai sedetik lampu-lampu kompak wafat massal. Kuraba meja makan yang kuyakini ada korek api di sana. Aku langsung pergi ke nakas mencari lilin aromaterapi begitu ahaya api menyala. Sayang sekali aku tidak beli lilin biasa, jadi semua lilin aromaterapi berbagai varian kujajarkan di atas meja seperti lilin ultah. Wanginya saling gempur menyumbat hidung. Bukannya wangi, aku jadi mual dibuatnya.

Kubuka sedikit gorden. Remang-remang senter menyorot ke tiang listrik yang tak jauh dari halaman belakang. “Mampus, sudah. Bisa-bisa mati lampu semingguan.”

Hujan tak kunjung reda, yang ada malah mati lampu. Mau tak mau aku harus kembali ke kamar. Kumatikan banyak lilin aromaterapi yang menyala, kubawa dua saja akhirnya. Pelan-pelan aku melangkah melalui kursi dan meja. 

Cahaya lilin tidak benar-benar membantu. Kakiku meraba sejengkal demi sejengkal melewati banyak furnitur kayu. “Aku heran kenapa dia suka mengoleksi pernak-pernik!” Bahkan setelah kematiannya, ia masih menyusahkan aku dengan barng-barangnya.

Duk!

“Bangsa–!” jentikan kakiku menyepak kaki meja “--setan!”

Kutahan nyeri yang masih bersarang di kaki. Dengan terpincang-pincang aku pergi ke kamar. Kuletakkan lilin di nakas. Untungnya jentikanku masih utuh tidak berdarah–dan kurasa tidak akan koropos pula.

Walau kepala sudah tergeletak nyaman, tidak kunjung mata ini menutup. Telingaku tak kunjung mendengar hujan akan mereda, malah kilatan silih berganti mengintip celah ventilasi, disusul geluguk guntur di balik langit yang bersiap menyambar. 

Istriku, Helena, bilang, kalau aku mau memaksa menutup mata, pasti bakal tertidur juga. Helena bicara begitu karena aku pasti bakal terlelap saat dijampi-jampi begitu olehnya. Namun daya magisnya jadi berkurang saat Helena sudah tiada.

Alkisah, hujan malam begini ada seorang Pak Tua Kempot yang dibenci oleh seisi perumahan; tinggal di rumah yang katanya mirip seperti film-film; dan tidak bahagia, sebab ia hidup sebatang kara. Sekarang ia tidur di kegelapan, tengah merasakan simulasi alam kubur. 

Aku memiringkan tubuhku ke samping, menghadap ke bantal bekas pakai istriku. “Helena, di sana ada spring bed, tidak?” Kuusap hidung yang gatal. “Tidak mungkin ada, ‘kan, ya. Malaikat mana mau berkompromi?”

Gempuran air hujan mulai sayup-sayup terdengar di telinga. Mataku memberat. Kupeluk diriku sendiri bersama selimut yang menyelubungi.

***

Aku ingin punya anak. Rencananya dua. Anak pertama laki-laki, menyusul perempuan setelahnya. Kalau urutannya terbalik juga tak apa. 

Bertambah umur pernikahan kami, aku ingin punya anak tunggal saja. Laki-laki atau perempuan sama saja, aku ingin merawat mereka.

Dua puluh tahun pernikahan kami, aku meminta Helena untuk mengadopsi anak saja. Ia memekik kencang, ia ingin mengandung bayi. 

Aku tidak mengerti Helena. Sudah kuikhlaskan bila kami tidak diberi momongan. Tidak masalah bisa aku dan ia bisa mengadopsi anak bayi. Bakal kutanggung hidupnya sampai sekolah tinggi. Helena tahu, aku menabung untuk masa depan anakku nanti.

Berulang kali ia  menangis setelah banyak tertawa. Helena bakal duduk di dekat jendela mengamati kembang-kembangnya sambil mengusap perut yang rata. Ia akan meledak bila kusapa. Jika sudah begitu, mau tak mau kutinggal dirinya. Saat pulang bekerja, ia masih ada di sana hingga menjelang sore.

Kadang … kadang aku gila dibuatnya. Kadang … kadang aku ikut tertular kegilaan Helena. Aku bakal duduk di manapun, pikiranku bakal melayang ke manapun, menggendong anak bayi misalnya–entah bayi siapa pun, pokoknya bayi.

Suatu waktu Helena bertanya padaku. “Apa kau mau menceraikanku?” Ia tertawa dengan air mata mengambang. “Ayahmu bilang aku tidak akan bisa mengandung.” Tanpa sanggup kuingat bagaimana detailnya, ia juga berkata betapa orang lain mudah memiliki anak sekaligus menelantarkan mereka, sedangkan dirinya harus mengeluarkan segepok uang untuk hal yang tidak pasti.

“Aku tidak ingin menceraikanmu, Helena.” Kusentuh kedua pundaknya. “Kalau kita cerai, tidak akan ada yang mau janda secerewet dirimu. Kau bakal jadi janda-tua-kempot-malang-sebatang-kara—”

Ia menampar telak pipiku.

***

“Akhir kisah akulah yang jadi duda-tua-kempot-malang-sebatang-kara.” Mau menikah lagi sudah bau tanah, yang pasti aku bakal dicibir. Perlu diingat, jika disindir Pak Tua Pemarah tidak masalah, tapi kalau aku dipanggil ABG Tua, hancur sudah martabatku. 

“Kualat, sih!” Bocil itu mengejek. “Makanya jangan banyak tingkah. Baru kali ini Timi ketemu mbah banyak tingkah!”

“Diem! Kamu masih kecil, enggak tahu urusan orang dewasa!”

Timi bersidekap. “Pak Kumis juga diem! Pak Mis enggak tahu urusan anak kecil!”

Kesentil hidung peseknya dengan gemas. “Aku tahu. Kamu suka nyolong kembang di taman! Enggak baik itu, mencuri namanya.”

Timi tidak mau kalah. “Tau diri juga, dong, Pak Mis! Masa kembang punya tetangga samping rumah asal main dipotong gitu aja–” Tanpa rasa sungkan ia melahap roti pemberian yang kuberi beberapa menit lalu “--seenaknya sendiri itu namanya.”

“Coba dibandingkan, ya, Bocil.” 

Kurang lebih begini urutan kejadiannya:

Aku baru pulang kerja, daripada langsung pulang ke rumah–di mana tidak ada siapa-siapa lagi di sana–aku memilih duduk sebentar di taman sambil mengemil roti. Sayangnya taman terdekat adalah pangkalan anak kecil dengan rentetan ayunan dan jungkat-jungkit di sana. Walau agak tidak mengenakkan di dada, ini masih jauh lebih baik daripada diam di rumah.

Demi menghindar dari pemandangan anak-anak, aku harus duduk di pojokan taman bunga. Di sana ada Timi (dan aku masih belum mengenalnya), jarak kami hanya terpaut satu meter saja. Ia jongkok sendirian di kumpulan kembang-kembang. Kukira ini cuma tingkah anak kecil penasaran. 

Baru saja kubuka kemasan roti, Timi tanpa sungkan mencabut kembang sampai ke akar-akarnya. Saat melihatku melongo, ia menyapa “halo” lalu sibuk memilih-milih kembang. Ia bahkan mengangkat pot kamboja keluar dari pembatas.

“Wajar, lah!” komentarnya. “Stok bunga Mama udah habis, aku kudu cari di taman.”

Aku mengusap wajahku yang kendor ini. “Tapi kamu mencuri!”

“Di papan tulisannya ‘JANGAN DIINJAK’ bukan ‘JANGAN DICURI’!” Ia menandaskan secuil terakhir roti cokelatnya. “Pak Kumis sendiri malah enggak ada ijin asal main potong kembang orang. Kalau punya Pak Kumis tiba-tiba digitukan, apa Pak Mis mau nerima?” Belum sempat aku menjawab, ia melanjutkan. “Pasti enggak terima! Huh, dilihat dari manapun, Pak Kumis yang salah.”

Kami berdebat tidak habis-habis. Tanpa peduli tempat kami berdebat adalah tempat umum, kami saling adu argumen sampai akhirnya ia lapar lagi. Tahu-tahu sudah sore, anak-anak banyak yang sudah pulang. “Besok lagi ceritanya, ya!” Tanpa gerutuan, ia melompat-lompat riang meniti jalan. Sepertinya anak itu tidak benar-benar menganggap aku marah walau sudah kupelototi. 

Aku terkekeh kecil. Ia harus kuberi lebih banyak roti dan permen lain waktu. Maka sebelum pergi ke taman, aku selalu membeli roti agak banyakan. Seperti isi kepala anak-anak yang mudah ditebak, Timi suka menghabiskan roti pemberianku.

Pipinya bakal menggembung seperti bakpao, bergoyang riang seperti gambar tarian bokong kelinci yang pernah Timi pamerkan padaku. Dandanan rambutnya jadi berantakan selepas pulang sekolah, tapi masih bagus dipandang. Cukup dipakaikan bando, jadilah ia kelinci itu. 

“Cil, kau sendiri kenapa tidak langsung pulang ke rumah pas selesai sekolah?” 

“Mama kerja. Pulangnya agak sorean. Kalau di rumah nanti aku sendirian, jadi sengaja pulang lambat biar bisa main sama teman-teman sebelum mereka dijemput orang tua. Kalau mereka pulangnya cepat, langsung datang ke taman ini, deh.”

Belum kepikiran aku mengajaknya kunjung ke rumah. Kalau dari mulut anak kecil mengaku suka berkebun, seharusnya ia tidak berbohong mengenai itu. Tapi sekali lagi kubilang, aku belum ada keinginan mengundangnya–sebab tak pernah aku membuka pintu rumah kepada siapa pun selain keluarga.

Jauh-jauh hari sebelum aku menawarkannya datang ke rumah, sengaja kubawakan satu pot kecil isi bibit bunga petunia merah muda. Rekan kerjaku yang penasaran kenapa tiba-tba aku membawa kembang langsung kusemprot dengan cacian. 

“Rawat baik-baik. Kalau besar nanti kembangnya jadi mekar macam terompet warna merah muda,” kataku sambil menyerahkan pot itu. Aku ragu kalau ternyata di rumahnya ada juga petunia.

“Wah! Mama enggak punya tanaman gantung jenis bunga-bungaan. Mama punyanya cuma tanaman gantung yang isinya daun-daun aja.” Timi menatapku dengan matanya yang berbinar-binar. “Makasih Pak Kumis!”

Maka aku berniat memberinya lebih banyak bunga untuk ditanam. Di lain waktu, aku hendak memberinya million bells yang masih satu ponakan dengan petunia. Sama-sama indah dan pasti Timi baka suka. 

Aku sudah menaruhnya di bangku, kutunggu ia datang kemari. Berlalunya waktu, menjelang sore kemerahan, tak temu juga ujung hidungnya. Kulihat jam tangan, jarum pendeknya menunjukkan angka lima. 

Pada hari itu Timi tidak datang seperti kemarin-kemarin.

Begitu pula hari berikutnya.

Berikutnya lagi.

Lagi dan lagi.

Muncul rasa tidak enak di hati. Apa mungkin karena sudah terlalu banyak roti yang kuberikan membuatnya bosan? Atau ia adalah anak kecil yang sedang memanfaatkanku saja? Berhari-hari lama tak jumpa rasanya membuatku malas barang sedetik datang ke taman. Hingga di penghujung pensiun kerja, Timi tetap tidak tampak juga.

“Ini hanya buang-buang waktu saja.”

***

Aku tidak bohong kalau tiba-tiba jadi membenci anak itu. Maksudku, ia seperti anak kecil yang dilatih polos dan memoroti roti-rotiku sampai habis tak bersisa. Ibarat peribahasa: habis manis, sepah dibuang. Uangku habis, aku ditendang.

Lebih-lebih pikiranku makin semrawut setelah pecah Perang Tetangga Bagian 2 dengan Cerew, menyusul kematian Sampa setelahnya. Berbulan-bulan tiada hari tanpa pikiran jelek akan skenario kematianku. Semuanya selalu berujung: Nah, Misbahul Jannah! Kau akan mati sendirian, tidak ada yang mau mengkafani–bahkan setan hanya akan melangkahi tubuhmu. 

Di tengah-tengah huru-hara perasaan tak senang, aku berharap bisa bertemu dengan anak itu lagi,. Kami bertengkar pasal tetangga sebelah kanan yang cari masalah, lalu ia bakal menangkis argumenku. 

Meskipun begitu, aku jauh lebih sering berandai-andai daripada merealisasikannya. Perasaan itu (sedih-berharap-sedih-takut-berharap-sedih-takut-marah-berharap) terus silih berganti membuat encokku jadi semakin parah. 

Barangkali dengan berjalan kaki aku bakal agak mendingan; barangkali dengan beli sebungkus roti aku jadi bertenaga; barangkali duduk di bangku taman aku bakal menemukan anak lainnya–yang serupa.

Berbekal barangkali dan ketidakpastian aku kembali datang ke taman pada pagi yang mendung–menemukan Timi duduk di bangku sendirian.

Wajahnya pucat. Rambut yang biasa diberi manik-manik itu sudah tak ada, digantikan dengan rambut yang menipis banyak. Ia duduk membungkuk sama sepertiku, kedua kakinya tidak lagi menggantung lincah. “Makasih, Pak Mis,” lirihnya. Bibirnya memutih.

Jadi begitu, ya, batinku berkata. Seharusnya aku berpikir lebih jernih lagi kalau ia sakit lama. Dibandingkan aku, Timi tampak lebih bisa menahan dan menyembunyikan kesakitannya. 

Aku baru mengatakan ini padanya setelah ia mengalami sakit: “Kalau kau mau, aku bisa membelikanmu banyak roti berbagai varian rasa. Kau dan ibumu datanglah ke rumahku, kalian pasti bakal suka–” kueratkan cengkerangan tanganku “--Jalan Kenanga nomor 25, tembolnya pakai batu bata tanpa dicat.”

Namun Timi tidak kunjung datang. Berbulan-bulan lagi lamanya aku menunggu, kali ini tanpa ada rasa menuduh ini-itu. “Ia sakit,” kataku pada diriku sendiri. 

Lama tak berjumpa, aku berjalan lagi keluar rumah. Kali ini bukan ke taman, sadikit jauh aku berjalan menuju ke sekolah SD, tempat Timi belajar. Dengan sehalus mungkin aku bertanya, “Bu, apakah Timi Anastasia sekolah di sini?”

Raut mukanya hampa. Bibirnya terbuka hendak berbicara, namun menutup lagi setelahnya. Saat ia menarik napas, aku juga diam-diam ikut menarik napas. Guru itu menggeleng, “Doakan Timi semoga tenang di sana, ya, Pak.” Ia menatapku, sudut matanya menggenang. “Sekarang hari terakhir tahlilan tujuh hari di rumahnya.”

Guru itu memberitahu alamat rumah Timi. Tanpa kendaraan apa pun, aku berjalan terpincang-pincang menuju ke rumahnya. Bahkan menjelang Maghrib, di mana toa masjid mulai berkumandang, aku terus berjalan melewati banyak gang. 

Pada sebuah gang, ada sebuah rumah yang ramai oleh motor terparkir di depan halaman. Saat aku tiba di sana, banyak orang saling bahu membahu menyiapkan makanan. Ini adalah sensasi yang sama saat Helena yang Baik itu meninggal. Para tetangga datang membantu mengafaninya, membawanya ke kuburan, dan mendoakan. 

Sekarang Timi-lah yang orang-orang doakan.

Aku terkekeh kecil. Sepertinya aku memang bakal mati sendirian.[]














Catatan:
Sabtu, 30 April 2022

Continue Reading

You'll Also Like

902K 2.8K 7
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
1M 115K 52
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
579K 4.7K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
2.6K 1K 73
Sleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membas...