Finding Unknownland ✔

By hwarien

11.9K 1.6K 194

[Fairytale Series #1] "Semua anak akan tumbuh dewasa, kecuali aku. Kata dokter, jantungku akan berhenti berde... More

• perkenalan •
• intro •
• atap rumah sakit •
• taman samping •
• jendela kamar •
• kembang api •
• sepeda kayuh •
• rumah singgah •
• hujan pagi buta •
• luka lama •
• perahu danau •
• batu kenangan •
• selimut tipis •
• kotak nama •
• taman ilalang •
• cerita senja •
• tiga jembatan •
• rumah pohon •
• tebak kata •
• jerit diam •
• teringat rindu •
• ikut kehilangan •
• keluar rumah •
• amat lelah •
• titik balik •
• selamat tinggal •

• mulai curiga •

248 44 9
By hwarien

Suasana berkabung tidak berlangsung lama. Tangis yang niatnya berlarut-larut nyatanya terusik berkat lelaki paruh baya yang terlihat dari utara. Kali ini di tangannya memegang pena dan secarik kertas, bukan parang seperti biasa--saat ditemui di hutan. Pakaiannya pun formal, seakan baru saja bepergian dan menyempatkan diri untuk mampir. Namun, Peter belum siap menerima itu dan buru-buru menarik tangan Tere.

"Sembunyikan Winnie. Cepat!"

Tere mengangguk. Ia bergegas ke belakang, mencari gadis yang mengupas buah-buahan untuk beberapa anak abadi. Sejak pulang dari pemakaman, ia menghabiskan waktu menghibur para bocah yang berduka itu. Sayangnya, belum ada satu pun yang berhasil hingga ia terjebak di sana.

Ketemu, Tere langsung menepuk pundak Winnie dan merebut pisau yang dipegangnya. Ia kemudian menyimpannya di rak makanan paling atas, lalu mengajak Winnie enyah dari dapur. Gadis yang kini memakai dress hitam berenda itu lekas celingak-celinguk dan menenteng roknya saat Tere menarik paksa, lalu membawanya menaiki lantai dua. Ia makin kebingungan saat tiba-tiba didorong masuk ke lemari dan dikunci begitu saja.

"Te--"

"Jangan teriak. Peter dalam masalah. Sebisa mungkin buat dirimu nggak ada di rumah ini."

"Harus banget kayak gini?" Winnie mendengkus dan memutar bola matanya. Dikurung di tempat gelap dan sesak seperti ini tidaklah menarik baginya.

"Aku mohon diamlah." Tere memperbesar lubang yang ada di dekat kenop menggunakan penjepit rambutnya. "Aku atau Peter akan ke sini lagi nanti."

Tere mempercepat langkahnya menuju dapur, memakai jalan pintas yang tak mengharuskannya melewati ruang tamu. Ia kemudian membawa dua gelas air putih di atas nampan dan menyuguhkannya di hadapan Peter, juga Paman Hans. Gadis itu mengembuskan napas panjang, tersenyum senatural mungkin, lalu duduk di samping Peter yang telah menguasai getaran tubuhnya.

"Ada perlu apa, Paman?"

Peter menoleh dan menepuk paha Tere. Gadis itu lekas terkesiap, takut salah berbicara. Namun, sahabat kecilnya itu menggeleng kecil seolah yang dibahas bukan suatu hal besar. Mengingat tidak tahu apa-apa, Tere hanya memandangi Peter dan Paman Hans bergantian, lalu menyilangkan kakinya anggun.

"Paman hanya menyampaikan dukanya," ucap Peter.

"Oh, begitu. Terima kasih, Paman."

Lelaki berkumis tipis yang menyalakan rokoknya itu mengangguk. "Jadi siapa yang kalian antar tadi?"

"Nomor dua, Paman."

"Em, yang ketularan penyakit orang tuanya itu?"

Pahit, Peter mengangguk. Ia menunduk, mengingat luka asing yang timbul di beberapa area tubuh anak kecil itu hingga harus diasingkan. Makin hari, tanpa melakukan apa pun, anak yang sudah lama berada di rumah singgah itu amat tersiksa. Baik Tere maupun Peter sama-sama lega dapat melihatnya terbebas dari rasa sakit.

"Dia datang bersamamu, kan, Pete?"

"Iya, Paman. Aku menemukannya lontang-lantung di jalan setelah diusir pihak rumah sakit."

"Siapa sangka malah dia yang mati duluan, ya."

Tere menatap sinis. "Paman!"

"Maaf, maaf. Kebiasaan," ucap lelaki itu kemudian mengepulkan asap rokoknya.

Sebenarnya Peter tidak ingin berbasa-basi, terlihat dari seberapa sering ia memainkan celana Tere, berharap gadis itu melayangkan pertanyaan sakral yang selalu muncul saat Paman Hans tiba-tiba kemari. Namun, gadis yang mengusap wajah itu hanya mengangkat bahu dan membuang muka, seakan menyerahkan segala hal pada Peter. Keadaan ini berlangsung lama sampai akhirnya Paman Hans membanting catatan yang ia bawa ke atas meja.

"Aku ke sini karena itu."

Tere mengambilnya, lalu membuka ke halaman terakhir. "Jumlah apa ini, Paman?"

"Menurutmu apa?"

Peter ikut melihat. "Penghuni sini?"

"Benar." Paman Hans merapatkan kakinya dan menautkan tangan, menatap Peter dan Tere lekat-lekat. "Kenapa jumlahnya masih sama? Padahal baru saja ada yang dimakamkan."

Peter menelan ludah. Ia mencengkeram pahanya saat Paman Hans menekankan setiap kata yang diucapnya. Ia tahu, hari ini pasti datang entah kapan pun itu. Namun, ia sama sekali tak berpikir kalau lelaki paruh baya penguasa Unknownland itu mau repot-repot datang hanya untuk menanyakan kecurigaannya. Tere yang menyadari kegugupan Peter pun lekas mencubit lengannya agar kembali pada situasi saat ini.

"Mungkin Paman salah hitung."

"Kamu meragukan penglihatanku?"

Tere sedikit mengangkat dagunya. "Bisa aja, kan? Memang Paman mengawasi kami dari mana?"

Paman Hans berdecak. "Dari kebun dekat pemakaman kalian, tentu aja. Aku tadi kebetulan baru pulang dari kota dan berniat menyiapkan bibit baru. Kenapa? Mau menyiapkan alibi?"

Peter menggeleng kecil. "Alibi apa, Paman?"

"Kamu membawa penghuni baru, kan? Mana anaknya?"

"Aku nggak membawa siapa-siapa. Paman salah hitung. Lagi pula, kenapa Paman kurang kerjaan menghitungnya segala? Ingin mencari kesalahanku?"

"Peter!" Tere berusaha menahan ucapan sahabatnya.

"Nggak apa-apa, Re." Paman Hans tersenyum tipis. "Curiga nggak ada salahnya, kan? Berhubung kamu sering bawa anak keluar-masuk ke sini."

"Aku hanya membawanya ke gapura."

"Itu karena mereka nggak memenuhi kriteria."

"Nah, itu Paman tau. Sekarang pun sama. Paman boleh menggeledah tempat ini kalau mau."

Paman Hans menggeleng. Ia menghabiskan minumannya dan mematikan rokok di atas asbak. "Nggak perlu. Toh, kalau kamu membawanya, dia pasti udah bersembunyi di sekitar sini."

"Udah, Paman. Jangan mencurigai Peter terus-terusan seperti itu."

"Oke, oke." Lelaki yang mengenakan kaus hitam-putih bergaris itu berdiri. "Ingat kesepakatan kita, Pete. Jangan bawa orang yang akan menimbulkan masalah. Jangan bawa orang yang dapat menyebarkan keberadaan tempat ini. Jangan bawa orang yang bisa hidup."

"Kami paham."

Tere lekas mengantar Paman Hans hingga halaman depan. Ia tidak tenang jika hanya berdiri dan mengawasi di teras. Gadis itu lekas masuk dan mendapati Peter tengah menenggak obatnya menggunakan air minum yang tersisa. Sepertinya tekanan tadi cukup menyulitkan jantungnya yang sudah kepayahan.

"Aku tau kamu mau memarahiku sekarang, tapi kumohon ditunda dulu," ucap Peter saat mengetahui Tere hendak membuka mulutnya.

Gadis itu memukul lengan Peter dan menjawab, "Aku cuma mau bilang, setelah ini gimana, Pete?"

Peter menggeleng dan berdiri. "Kita bicara sama Winnie dulu."

Tere mengangguk. Mereka lekas bergegas ke atas dan menuju ruangan tempat Winnie bersembunyi. Peter segera membuka kunci, sedangkan Tere menjauh dan tak berniat ikut campur--selama Peter tidak memancing kemarahannya. Gadis yang cukup lama terjebak di tempat sempit itu lekas luruh dalam dekapan Peter hingga yang ditimpa pun hampir terjatuh. Namun, syukurlah, tidak ada yang terluka karenanya.

"Maaf, Win." Hanya itu yang bisa Peter ucapkan seraya mengusap peluh Winnie. "Maaf, ya."

"Kenapa kalian melakukannya?" Winnie mengatur napas dan berkedip-kedip, menyesuaikan sinar alami matahari dengan pandangannya yang kehijauan.

"Paman Hans udah curiga. Mau nggak mau, siap nggak siap, kamu harus pergi dari sini," terang Tere tidak mau berbasa-basi.

Peter sontak menoleh dan menatap tajam. Namun, setelahnya ia menghela napas dan membenarkan. Ia tidak mungkin egois. Kali ini, Tere bersikap netral tanpa ada kebencian. Semuanya untuk kebaikan mereka.

"Tempat ini emang indah, tapi bukan untuk orang sepertimu, Winnie. Kuharap waktu kita kemarin cukup untuk membuatmu sadar. Sekarang, aku harus mengantarmu pulang."

"Ta-tapi kenapa? Aku nggak boleh di sini selamanya bareng kalian?"

Peter menggeleng, begitu pula dengan Tere. Meski mereka mau, mereka tetap tidak bisa.

"Kamu tau berita seorang dokter yang sempat viral karena melegalkan suntik mati pada pasiennya?"

Winnie samar-samar memanggil memorinya. Sayang, ia tidak terlalu mengikuti berita-berita berat seperti itu. "Nggak sama sekali."

"Nggak apa-apa," sambung Tere. "Paman Hans adalah dokter itu. Setelah masa tahanannya selesai dan izin medisnya dicabut, dia membuat tempat ini. Paman akan membantu siapa pun yang menginginkan kematian, Win. Sekali masuk dan diketahui olehnya, kamu nggak akan bisa keluar."

Peter menghadapkan wajah Winnie ke arahnya. "Sekarang kamu tau, kan, kenapa Tere sekeras itu ingin mengusirmu?"

"Peter! Jangan memakai namaku!"

"Apa salahnya? Toh, benar kamu yang paling antusias."

"I-itu karena demi keselamatannya. Lagian, kalau Winnie terus-menerus di sini, kasus orang hilang bisa melebar dan bisa aja Unknownland kebongkar. Langsung mati massal kita, tau?"

"Jangan berlebihan." Peter mendengkus dan sedikit membentak. Ia lantas mengusap wajah dan menatap Winnie. "Yang jelas, ayo pergi dari sini."

"Sekarang?"

Peter dan Tere saling pandang, lalu menjawab bersamaan. "Sekarang!"

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 21
26 April 2022

1247 kata

Continue Reading

You'll Also Like

4.5K 181 26
Adeline, gadis muda yang cantik merasa hidupnya hancur karena hubungan cinta yang beracun. Dia tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Apakah dia akan...
2.2M 33.5K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.6K 325 32
Menurut Bintang, setiap kisah akan berakhir pada epilog nantinya. Begitu juga dengan hidupnya. Ia yang mulai menyerah, mendadak saja mengetahui tujua...
123K 11.9K 25
*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri...