Forever After

By dekmonika

104K 15.7K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(7) Orang-orang Mencurigakan

1.4K 214 10
By dekmonika

Andin baru saja selesai menikmati makan siangnya. Gadis itu sudah berada di Coffeeshop sejak jam 10 pagi menjelang siang. Kini, saatnya ia kembali melanjutkan pekerjaannya bersama beberapa orang barista lainnya yang mendapatkan jadwal yang sama dengannya. Ia sudah mengenakan kembali apron coklat beserta topinya dan mulai menyambut manis setiap costumer yang datang.

"Mbak, dua cappuccino dan satu latte ya." Pesan salah seorang pengunjung yang datang. Dengan sigap Andin mencatat pesanan tersebut, lalu menyerahkannya pada rekan kerjanya yang sedang mengotak-atik komputer kasir.

"Ada lagi, Mas?" Tanya Andin.

"Sudah, itu saja."

"Baik. Silahkan ditunggu pesanannya ya, Mas."

Andin mengambil biji-biji kopi yang tersedia pada sebuah kotak, lalu memasukkan pada coffee grinder alias mesin peracik kopi yang telah tersedia lengkap di meja bar tersebut. Layaknya orang yang sudah sangat terbiasa dengan pekerjaannya, Andin terlihat fasih melakukan tahapan demi tahapan percikan biji kopi tersebut hingga menjadi secangkir minuman khas yang bisa dinikmati.

"Pesanan atas nama Andre!" Andin berseru setelah menyajikan dua cangkir kopi yang telah siap. Tak lama, sang pemilik nama datang dan membawa kopi tersebut.

"Terima kasih, mbak."

"Terima kasih kembali."

Pintu kaca utama kedai kopi itu kembali terbuka dan berbunyi yang menandakan pengunjung kesekian muncul lagi. Andin yang masih sibuk dengan mesin kopi itu mencoba melihat sekilas. Namun pandangan sekilas itu menjadi lebih lama saat ia tahu siapa yang baru saja datang. Seorang pria berpostur tinggi dan gagah yang mengenakan setelan celana panjang dan polo shirt serta jas yang serba hitam.

Ya, dialah Aldebaran. Pria yang sejak masuk ke kedai kopi itu sudah melayangkan pandangannya pada barista cantik itu. Aldebaran tersenyum manis pada Andin sambil berjalan santai menuju salah satu meja yang dilingkari beberapa kursi. Andin secara otomatis merespon dengan senyuman yang sama. Di meja itu Andin melihat Aldebaran yang tampaknya sudah ditunggu oleh tiga orang dengan pakaian formal yang dilengkapi dengan dasinya masing-masing. Hanya penampilan Aldebaran yang terlihat sedikit berbeda disana.

Andin menggelengkan kepalanya begitu menyadari tingkahnya yang mendadak senyum-senyum sendiri. Fokus Andin, fokus! Begitulah kira-kira sugesti yang Andin berikan pada pikirannya. Setelah menyajikan pesanan terakhir yang masuk, Andin meminta izin pada salah seorang rekannya untuk ke toilet sesaat.

Tak lama berselang, Andin pun keluar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat dua orang laki-laki yang sedang bicara di depan toilet pria. Satu laki-laki tersebut adalah rekan kerjanya yang memakai apron yang sama dengannya. Sedangkan yang satu lagi berpakaian rapi dan formal, dan Andin tidak mengenal orang itu. Kening Andin mngernyit saat melihat pria berdasi itu menyerahkan sebuah amplop coklat pada rekan kerjanya sambil sesekali mengamati keadaan di sekeliling mereka.

Tingkah mereka sangat mencurigakan. Namun Andin berusaha tak ingin ikut campur. Mungkin saja mereka memang ada urusan penting berdua. Andin menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang menghinggapi kepalanya. Ia memilih untuk segera pergi dari sana dan melanjutkan pekerjaannya.

"Dari mana, Ndra?" Andin yang sedang menuangkan secangkir kopi bertanya pada rekannya yang baru saja kembali dari belakang. Dia adalah laki-laki yang ia lihat sedang bicara dengan seseorang berpakaian formal tadi.

"Oh, ini... Habis dari toilet tadi." Jawab Indra terdengar sedikit gugup. Hal itu membuat Andin semakin menaruh rasa curiga. Tak biasanya temannya yang satu itu bersikap seperti itu.

Seolah sibuk dengan pekerjaannya sendiri, diam-diam Andin mengamati gerak-gerik Indra yang sedang meracikkan sebuah menu kopi bernama Latte. Andin tahu saat pria itu sudah mulai menuangkannya ke dalam sebuah mug. Keningnya tiba-tiba mengernyit saat melihat rekannya itu diam-diam menaburkan sesuatu yang aneh di permukaan kopi. Ia menahan diri untuk tidak menegur dengan masih berpura-pura tidak melihat meskipun sebenarnya ia sangat merasa resah.

"Mau kemana, Ndra?" Andin mencegat Indra begitu pria yang telah siap dengan sajian kopinya itu beranjak membawa secangkir kopi tersebut.

"Mau antarkan pesanan."

"Kenapa tidak dipanggil saja?" Tanya Andin, heran.

"Dia meminta untuk diantarkan. Tidak apa-apa lah. Pelanggan adalah raja, kan?" Jawab Indra dan melenggang pergi. Andin pun memperhatikan pada siapa kopi tersebut akan ditujukan.

Gadis itu semakin terperangah ketika melihat Indra berhenti tepat di meja dimana Aldebaran berada bersama tiga rekannya. Indra menyajikan secangkir kopi itu tepat di hadapan Aldebaran dan membuat pria itu mengangguk dengan senyum simpulnya. Sementara tiga rekannya tampak sudah mendapatkan kopi lebih dulu.

Tunggu, tunggu! Dia ingat salah satu diantara tiga rekan Aldebaran di meja itu. Salah satu pria itu adalah yang tadi ia lihat bersama Indra di depan toilet. Ya, Andin rasa tidak salah lagi.

"Andin, gue duluan ya!" Suara seseorang tiba-tiba membuyarkan pikiran Andin. Dia adalah Daniel.

"Eh, iya, Niel?"

"Gue pergi duluan. Ada janji di luar sama teman." Kata Daniel, menyandang tas ranselnya.

"Oke. Hati-hati ya."

"Siap!"

Saat melihat Daniel sudah pergi, Andin kembali tertuju pada kopi di hadapan Aldebaran. Sepertinya pria itu belum menyentuh kopi itu. Andin bergegas menuangkan secangkir kopi lagi dari mesin canggih tersebut. Dan begitu siap, ia membawanya menuju sekelompok pebisnis yang terlihat sibuk mendiskusikan sesuatu.

"Permisi..." Tegur Andin, gugup dengan membawa secangkir kopi yang sudah ia siapkan. Keempat pria itu pun mendongak, tak terkecuali Aldebaran. Pria itu tersenyum saat mendapati Andin yang tiba-tiba mendatangi mereka.

"Maaf sebelumnya. Sepertinya kopi yang baru saja diantarkan oleh rekan saya tadi tertukar dengan yang saya buat." Kata Andin membuat Aldebaran mengerutkan keningnya karena bingung. Ia tidak mengerti apa maksud Andin melakukan hal itu. Sementara dua rekan Aldebaran yang lain saling memandang satu sama lain.

"Ini punya bapak. Saya izin menukarnya ya." Andin meletakkan kopi itu ke meja di hadapan Aldebaran menggantikan secangkir kopi sebelumnya yang sudah ia ambil.

"Ya, tidak apa-apa." Balas Aldebaran, namun dengan tatapan yang seolah bertanya pada gadis itu. Andin pun membalasnya dengan sedikit melirik pada kopi yang baru ia letakkan di meja itu.

Begitu Aldebaran memperhatikan betul-betul, pria itu menyadari bahwa di antara mug dan piring kecil itu terlihat robekan kertas kecil. Aldebaran paham, sepertinya jawaban atas pertanyaannya ada pada kertas tersebut.

"Saya permisi." Kata Andin, kemudian meninggalkan meja tersebut.

"Oke, bisa kita lanjutkan?" Tanya Aldebaran pada dua rekan kerjanya dan asisten pribadinya. Saat salah satu diantara mereka tengah fokus menjelaskan sesuatu, Aldebaran menarik secarik kertas yang ada di bawah mug kopi di hadapannya dan diam-diam membacanya.

­"Maaf, Mas. Seseorang sudah mencampurkan minumanmu dengan sesuatu. Aku tidak tahu apa itu."

Air muka pria itu seketika berubah. Ia meremas kertas itu dengan rahang yang mengetat, namun pandangannya tetap terfokus pada seseorang yang sedang bicara di depannya. Aldebaran melampiaskannya dengan menyesap kopi di hadapannya, yang tentu saja sudah ia yakini aman karena disiapkan sendiri oleh Andin.

"Cukup." Aldebaran meminta untuk berhenti bicara. Hal itu membuat yang lain menatapnya bingung.

"To the point. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" Tanya Aldebaran terdengar dingin. Sang asisten menatap bosnya itu dengan bingung. Sedangkan dua orang yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya saling memandang satu sama lain.

"Pak Al bicara apa?" Tanya pria yang tampak seumuran dengannya. Tak ada jawaban dari Aldebaran.

"Saya rasa pertemuan ini sudah cukup. Silahkan kalau kalian ingin pergi. Saya permisi." Kata Aldebaran kemudian, membuat mereka kaget dengan rasa bingung. Aldebaran beranjak dari tempat duduknya dan melenggang pergi menuju area belakang kedai kopi tersebut. Sedangkan yang tersisa adalah asisten pribadinya yang tak bisa menjawab segala kebingungan dua orang tersebut.

Sementara itu di ruangan khusus karyawan Coffee shop tersebut, terlihat Andin yang sedang adu mulut dengan Indra, teman kerjanya, sesama barista disana yang menjadi dalang dari perbuatan nekat tersebut.

"Jadi sebenarnya apa yang loe campurkan ke kopi laki-laki itu?" Tanya Andin, menuntut.

"Apa? Mencampurkan apa?" Indra masih menyangkal.

"Jangan berbohong, Ndra. Gue melihatnya sendiri , loe sudah mencampurkan sesuatu itu ke minumannya. Loe sadar nggak sih dengan apa yang loe lakuin?"

"Sudah deh, Ndin. Loe gak usah ikut campur."

"Gue harus ikut campur karena ini berkaitan tentang keamanan costumer Coffe shop ini. Ini nggak main-main, Ndra. Kalau loe mencampurkan sesuatu yang berbahaya ke minuman laki-laki itu, loe akan berurusan dengan hukum." Peringat Andin membuat laki-laki itu tertegun.

"Loe dibayar berapa sih? Sampai mau-maunya melakukan hal senekat ini?" Ucap Andin membuat Indra sedikit tersinggung.

"Apa maksud loe bicara seperti itu? Loe pikir gue nggak punya harga diri dengan mau disuruh-suruh?" Andin terkekeh sumbang mendengar sahutan Indra.

"Loe sadar nggak, Ndra? Justru perbuatan loe itu yang sudah menjatuhkan harga diri loe sendiri." Balas Andin membuat Indra tak bisa berkutik.

"Lebih baik loe jujur sekarang. Atau masalah ini akan gue adukan ke Daniel." Paksa Andin.

"Oke, oke! Gue jujur!" Sahut Indra dengan emosi yang sudah memuncak. Ia juga terlihat panik.

"Gue memang mencampurkan sesuatu ke kopi laki-laki itu." Indra pun mengakuinya.

"Mencampurkan apa? Racun?" Ujar Andin menduga-duga.

"Bukan, bukan racun. Itu..." Indra tampak ragu mengatakannya lebih lanjut.

"Apa, Ndra?"

"Itu adalah... zat adiktif." Jawab Indra membuat sepasang mata gadis itu terbelalak.

"Whatt??"

"Gue awalnya ragu menerima tawaran itu karena gue nggak mau sampai membunuh orang. Tapi dia meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, selain membuat laki-laki itu akan merasa ketergantungan." Indra memperjelas membuat Andin benar-benar shock.

"Loe gila ya, Ndra? Loe sinting tahu nggak! Benda itu memang tidak akan membunuhnya secara langsung, tapi loe akan menghancurkan hidup dia. Loe akan menghancurkan hidup seseorang yang nggak bersalah sama sekali! Nggak ngerti gue sama loe." Andin menumpahkan emosinya seraya memegangi keningnya yang tiba-tiba terasa pusing.

"Gue sudah jujur sama loe, terus loe mau apa? Loe mau aduin ini sama Daniel, terus Daniel akan memberhentikan gue, iya?"

"Ndra, gue nggak tahu masalah apa yang sedang loe hadapi. Tapi sebagai teman, gue nggak mau loe jadi orang jahat."

"Sudahlah, Ndin. Gue lagi nggak mau dengerin nasihat-nasihat loe. Gue sudah memutuskan, mulai hari ini gue resign! Silahkan kalau loe mau aduin kejadian hari ini ke Daniel." Putus Indra mengejutkan Andin kembali.

"Ndra, denger gue! Nggak gini caranya menyelesaikan masalah." Kata Andin yang melihat Indra sudah mulai menutup tas ransel hitamnya dan melepas semua atribut barista yang sebelumnya melekat pada tubuhnya.

"Whatever! Gue pergi."

"Indra!" Pria itu tetap melenggang pergi tanpa mau berdebat dengan Andin lebih jauh lagi. Andin yang menyadari emosinya yang sudah terlampau tinggi, mencoba mengatur nafasnya dan mengontrol emosi itu agar normal kembali.

Dengan pikirannya yang masih kalut, Andin harus kembali ke meja bar barista. Ia mencoba menyuntikkan semangat lagi pada dirinya sendiri, serta menaruh sugesti bahwa semuanya telah baik-baik saja. Meskipun salah satu rekan kerjanya telah membuat keputusan sepihak yang sedikit membuatnya bersalah. Jalannya yang sedari tadi lebih banyak menunduk membuat Andin tiba-tiba berhenti saat mendapati seseorang berdiri di depannya.

Andin memperhatikan dari ujung sepatu pria itu, perlahan-lahan naik dan mendongak dengan sempurna. Pria dengan setelan serba hitam yang berdiri dengan senyuman tipisnya itu tak lain adalah Aldebaran. Sepasang mata gadis itu terlihat berkaca-kaca membuat Aldebaran terpancing untuk maju selangkah mendekat pada Andin.

"Are you okay?" Tanya Aldebaran dengan suara beratnya namun lirih. Andin mengangguk pelan, lalu sedikit tersenyum.

"Ya." Jawab Andin, singkat. Ia menarik nafas panjangnya sebentar.

"Kopi itu... Kamu tidak sempat meminumnya kan, Mas?" Tanya Andin, cemas.

Bukannya langsung menjawab, Aldebaran malah diam memandang sepasang mata indah di depannya dengan begitu dalam. Pria itu memang baru mengenal Andin beberapa hari ini. Akan tetapi setiap kali Aldebaran mendengar perkataan yang keluar dari gadis itu, Aldebaran selalu yakin bahwa Andin memiliki ketulusan pada setiap kata-katanya.

Mungkin hal itu pula yang membuat Aldebaran yang pada biasanya jika berhadapan dengan perempuan selalu bersikap dingin, namun tidak dengan Andin. Senyuman gadis itu seolah menjadi magnet untuk membuat dia ikut tersenyum.

"Tidak. Saya tidak meminumnya." Jawab Aldebaran.

"Tidak sedikit pun?"

"Tidak sedikit pun." Sahut Aldebaran kembali. Hal itu cukup melegakan bagi Andin.

"Boleh aku menjelaskan sesuatu?" Andin merasa harus menceritakan kejadiannya kepada Aldebaran.

"Ya, tentu."

Aldebaran mengajak Andin untuk duduk bersama di meja tempatnya semula, yang mana disana hanya tersisa asisten pribadi Aldebaran seorang, sedangkan dua orang lainnya tadi telah pergi entah kemana. Disana Andin pun menceritakan kronologi detailnya saat ia melihat teman kerjanya, yaitu Indra, yang sedang diberikan sebuah amplop yang entah isinya apa.

Andin terus melanjutkan ceritanya. Bagaimana dia melihat gerak-gerik aneh Indra hingga temannya itu terciduk olehnya diam-diam memasukkan sesuatu yang tidak wajar pada kopi pertama Aldebaran. Setelah itu, berlanjut dengan cerita berdebatan Andin dengan Indra beberapa saat yang lalu. Dan Andin pun membeberkan bahwa sesuatu yang dimasukkan tersebut adalah jenis narkotika yang sengaja ditujukan untuk Aldebaran.

Aldebaran dan sang asisten pribadinya menyimak cerita Andin dengan seksama. Reaksi mereka tentu terkejut, terutama bagi Tommy, asisten pribadi Aldebaran, yang sejak awal tidak tahu-menahu. Aldebaran mengusap wajahnya yang terlihat menahan emosi yang bergejolak. Namun Aldebaran sadar tak ada gunanya ia melampiaskan kemarahannya di hadapan orang-orang yang tidak bersalah.

"Terima kasih, Andin. Kamu sudah berinisiatif menukar kopi itu." Ucap Aldebaran.

"Sama-sama, Mas. Sudah menjadi kewajibanku untuk memberikan sajian yang aman untuk costumer kami. Aku justru yang meminta maaf karena ulah nekat rekan kami disini, kamu hampir saja celaka, Mas."

"No, kamu tidak harus meminta maaf. It's okay. Sudah lewat juga, dan saya baik-baik saja." Balas Aldebaran membuat Andin mampu tersenyum lega, sebab itu artinya Aldebaran tidak akan memperpanjang permasalahan itu.

"Saya tidak menyangka Pak Bakti bisa melakukan itu pada bapak. Padahal yang saya tahu selama ini pak Bakti bersahabat baik dengan pak Damar." Tutur Tommy, tak habis pikir.

"Bussines is bussines, Tom. Jangankan dengan kawan dekat, dengan saudara saja orang bisa melakukan apapun demi memenangkan dirinya pada setiap pertandingan bisnis." Kata Aldebaran membuat Tommy mengangguk setuju. Sedangkan Andin hanya diam, tak menunjukkan respon, karena ia rasa itu bukan urusannya lagi.

"Kalau begitu aku permisi..."

"Tunggu, Andin." Baru saja Andin akan beranjak dari duduknya, Aldebaran buru-buru mencegatnya. Hal tersebut membuat Andin kembali duduk dengan sempurna.

"Tom, kamu silahkan kembali ke kantor. Kalau ada sesuatu yang penting, tinggal laporkan ke saya." Perintah Aldebaran pada pria berdasi dengan pakaian rapi itu.

"Baik, pak." Tommy segera membereskan laptop yang sebelumnya sudah ia tutup ke dalam tasnya. Dengan segala rasa hormat dan patuhnya, Tommy beranjak dari kursinya kemudian sedikit membungkukkan badannya untuk berpamitan.

"Saya permisi, pak." Pamit Tommy.

"Ya."Jawab Aldebaran secara singkat. Untuk pertama kalinya Andin melihat bagaimana interaksi antara atasan dan bawahan itu. Melihat bagaimana kepatuhan seorang Tommy membuat Andin merasa semakin segan bergaul dengan pria tampan di depannya itu.

Begitu Tommy pergi dari sana, keadaan diantara mereka menjadi hening sesaat. Aldebaran sibuk dengan pikirannya. Melihat tatapan kosong pria itu, Andin tentu merasa canggung. Gadis itu tak mengerti ia harus berbuat apa selama Aldebaran masih menahannya.

"Mas..." Andin mencoba menegur pria itu.

"Ya?" sahut Aldebaran, refleks.

"Oh, sorry." Aldebaran tersadar.

"Masih kepikiran soal tadi ya?" Tanya Andin. Aldebaran tertawa kecil.

"Kamu ada waktu hari ini?" Aldebaran justru mengalihkan pertanyaan Andin dengan pertanyaannya. Andin tersenyum tipis, mengerti bahwa pria itu mungkin tak ingin membahas kejadian itu lagi.

"Hari ini aku shift sampai malam." Jawab Andin membuat Aldebaran berpikir sesaat.

"Oke. Saya tunggu disini sampai kamu selesai." Ucap Aldebaran dengan enteng membuat kening gadis itu mengerut, kaget.

"Ih, Mas, gak usah. Kalau Mas ada yang mau dibicarakan, sekarang saja tidak apa-apa." Kata Andin merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Andin. Sekarang waktunya kamu untuk bekerja. Saya tidak mau kamu melalaikan pekerjaan kamu hanya karena saya. Nanti malam, saya antar kamu pulang." Aldebaran tersenyum simpul. Andin masih dengan ekspresinya. Ia tidak mengerti maksud dari pria itu ingin menunggunya.

"Time to work, Andin. Itu liat, teman-teman kamu sepertinya kerepotan." Kata Aldebaran seraya menunjukkan arah pandangannya ke meja bar barista, dan diikuti oleh pandangan Andin.

Aldebaran benar. Teman-temannya terlihat agak kerepotan menghadapi para costumer yang menjelang sore semakin banyak. Apalagi Indra baru saja memutuskan keluar, tentu tenaga pekerja mereka semakin berkurang. Tugas Andin sekarang adalah menuntaskan pekerjaannya. Soal Aldebaran, nanti akan ia tanyakan pada pria itu lebih lanjut.

"Yasudah. Aku harus kembali dengan pekerjaanku, Mas. Kalau kamu masih mau disini, silahkan." Kata Andin beranjak dari kursinya.

"Ya. Selamat bekerja." Aldebaran tersenyum.


Sampai sini dulu ya, hehe. Semoga enjoy dengan ceritanya. Dimaafin ya kalau masih banyak typo wkwk

Continue Reading

You'll Also Like

88.8K 11.4K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
725K 67.6K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
AZURA By Semesta

Fanfiction

215K 10.3K 23
Menceritakan sebuah dua keluarga besar yang berkuasa dan bersatu yang dimana leluhur keluarga tersebut selalu mendapatkan anak laki-laki tanpa mendap...
126K 13.1K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...