Sia-Sia Jatuh Cinta?

By hapsari1989

84.8K 7.7K 255

Marizka Djenar baru terbebas dari belenggu pernikahan yang membuatnya merasakan kekerasan dalam rumah tangga... More

Nubar Membatik
1. Serius, dia?
2. Reuni?
3. Nostalgia
4. Tentang Willy
5. Status Marizka
6. Jangan Menjauh
7. Permintaan Willy
8. Jawaban Marizka
Prapesan Sia-Sia Jatuh Cinta

9. Masalah Anak-Anak

2.4K 749 22
By hapsari1989


Aku tak tahu apa yang terjadi hingga Nabila terlibat pertengkaran. Anakku bukan anak yang nakal apalagi sampai melakukan kekerasan. Ia pendiam dan cenderung menyimpan perasaannya sendiri. Kami mungkin tidak hidup dalam keluarga yang harmonis, tetapi Nabila bukan tipikal anak yang mencari perhatian dengan tindakan brutal. Nabila tak menyukai kekerasan. Aku yakin anak itu tahu persis bagaimana rasanya disakiti dan diperlakukan kasar. Ia bahkan tak tega kepada kucing yang diperlakukan semena-mena oleh orang, apalagi pada manusia dan temannya.

Apapun yang Bu Ria katakan di sambungan tadi, tak ada yang kupercaya sampai aku mendengar sendiri apa yang terjadi pada Nabila dari penuturannya. Aku ingin anakku mengatakan semua yang ia lalui kepadaku dengan lengkap dan jujur. Aku yakin, Nabila akan mengatakan semuanya dengan jelas dan detail. Aku akan membela Nabila apabila dia terbukti mendapatkan perundungan.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, jantungku berdegup sangat kencang dan aku tak bisa tenang. Berbagai pikiran buruk bercokol dan membuat dudukku tak tenang. Aku meminta supir ojek yang kukendarai, mengemudikan motornya secepat yang ia bisa. Jalanan di jam makan siang sangat ramai dan padat. Aku harus terus menenangkan diri dan mensugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat sampai di sekolah, aku melihat mobil Willy juga baru masuk gerbang sekolah dan berhenti di parkir kendaraan orangtua. Alih-alih berlari menuju ruang konseling, aku justru berdiri dengan cemas di lobi sekolah. Willy dan aku bersitatap selama beberapa saat, lalu kembali melangkah saat aku mengangguk, memberinya kode untuk masuk bersamaku.

"Aku mau langsung bawa Tiara ke rumah sakit. Aku yakin lukanya parah." Willy berjalan sangat cepat, membuatku berlari kecil demi bisa menyamai langkahnya.

Kami sampai di ruang konseling, dan aku seketika berteriak kaget.

"Ini apa-apaan sampai kalian jadi begini, Ya Tuhan." Aku berlari ke arah Nabila, lalu memeluk anakku. "Kamu gak apa, Bila?"

Nabila menangis melihatku datang. Aku memeluknya erat, mengusap kepala dan punggungnya, demi membuat anakku tenang. Air mataku tak bisa kutahan saat melihat Tiara yang terbaring tak berdaya di sofa ruang konseling ini.

"Saya bawa ke rumah sakit sekarang. Saya tidak bisa menunggu lagi." Willy menyelipkan tangannya di bawah lutut dan pundak Tiara, lalu menggendongnya. "Saya yakin dia terluka dalam."

"Jadi ... yang jatuh dari tangga itu ... Tiara?" Aku menutup mulutku, membayangkan bagaimana sakitnya tubuh anak itu. "Bagaimana bisa?" Tangisku kembali pecah. "Ya Tuhan, apa Nabila yang melakukannya?" Aku menatap Nabila yang masih menangis.

Anakku menggeleng pelan dengan wajah penuh rasa bersalah. "Lia yang dorong Tiara sampai jatuh di tangga, Bu. Lia yang dorong Tiara."

Aku menoleh ke arah anak yang Nabila sebut. Emosiku merangkak naik dan membuatku mendekatinya. "Kamu tahu akibat perbuatanmu, ha? Tiara bisa patah tulang!"

"Anda siapa berhak memarahi anak saya! Dia tidak sengaja melakukannya! Anak kecil belum tahu mana yang bahaya dan tidak!" Seorang wanita mendorong pundakku dengan kasar. "Kita sebagai orangtua harusnya menenangkan mereka, bukan memarahi."

"Tenang Ibu-Ibu, kita selesaikan secara baik-baik. Mohon tenang dan biarkan anak-anak yang menjelaskan." Kepala sekolah menengahi dan mengarahkanku untuk duduk di kursi yang ada di sebelah Nabila. "Sementara ini, apabila ayah Tiara ingin langsung ke rumah sakit, pihak sekolah akan mengantar dan menemani, hingga Tiara mendapatkan pertolongan medis."

Aku menatap Willy yang sudah ada di ambang pintu. Ia tak tersenyum sedikitpun dan wajahnya sarat dengan amarah. Hatiku mencelus saat Willy tak terlihat lagi dan tak bisa membayangkan apa yang harus kulakukan setelah ini. Ia pasti marah, kecewa, dan tak terima anaknya menjadi korban hingga separah ini. Entah Tiara masih akan belajar di sini atau tidak, mengingat ia anak baru dan terpaksa mengalami kejadian nahas.

Kepala sekolah memulai mediasi kasus perundungan yang dialami Nabila. Dari hasil rekaman cctv, diketahui Nabila dan Lia terlibat perdebatan sengit. Mereka berdua baku cakar dan jambak dengan beberapa anak yang justru bersorak, alih-alih melerai. Nabila berteriak dan mendorong Lia hingga jatuh terduduk.

Lia menangis kencang, lalu berdiri dan hendak mendorong Nabila yang berdiri di dekat tangga. Saat Lia sudah dekat dengan Nabila, tiba-tiba Tiara datang dari belakang Nabila, lalu mendorong Nabila ke samping, hingga dirinyalah yang terdorong jatuh ke tangga hingga mengalami luka parah.

Aku menangis pilu melihat rekaman itu. Bukan karena Nabila yang mendapat luka cakar di sekujur wajahnya, tetapi membayangkan Tiara yang menolong anakku hingga sebesar itu. Aku bahkan tergugu dan hancur. "Tolong—tolong jangan pernah bertengkar lagi. Itu bukan perbuatan baik dan mengancam keselamatan teman kalian."

Guru konseling mengusap pundakku dan mengatakan jika Nabila dan Lia akan mendapatkan penanganan khusus dari ruang BK selama beberapa hari kedepan. Kemungkinan akan ada hukuman berupa meminta maaf dari kelas ke kelas dan berjanji di depan kelas untuk tak mengulangi lagi.

"Saya—saya mau menemani Tiara. Dimana dia dibawa oleh ayahnya?" Aku bertanya kepada kepala sekolah. "Dia harus mendapatkan dukungan agar lekas pulih dan tak sedih menghadapi sakit setelah kecelakaan ini."

Seorang guru memberitahu rumah sakit mana pihak sekolah mengantar Tiara. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lantas mengajak Nabila untuk menyusul Tiara.

Aku tahu anakku pun tak baik-baik saja saat ini. Banyak luka cakar di wajahnyaa dengan mata sembab. Aku tak tahu apa yang mereka ributkan dalam pertengkaran itu, sampai Nabila mendorong Lia dan berteriak kencang. Aku tak banyak bertanya pada Nabila. Ia butuh tenang dan pulih secara mental setelah hal besar yang ia lalui. Sepanjang perjalanan, aku hanya memeluk Nabila di dalam taksi hingga kendaraan itu sampai di rumah sakit.

Nabila memanggil seorang guru yang tanpa sengaja kami temui di lobi rumah sakit. Guru yang mengantar Tiara, menyanyakan kepentingan kami berada di rumah sakit. Setelah kami memberitahu keinginanku untuk menemani Tiara, guru itu menginformasikan jika Tiara masih berada di IGD untuk observasi.

"Sepertinya retak tulang kaki dan tangan." Guru itu memberitahu saat kami sampai di pintu IGD. "Kami para guru akan menemani sampai Tiara mendapatkan kamar inap."

Aku mengangguk, lantas menitipkan Nabila kepada guru sebelum permisi masuk ke IGD. Langkahku terhenti tepat di belakang Willy yang memeluk Tiara. Anak itu masih menangis sesenggukan. Rasanya pasti menyiksa sekali. Aku tak tega melihat Tiara terbaring seperti itu.

"Will." Pelan, aku memanggilnya.

Willy berbalik dan menatapku. Sorotnya sayu dan sendu. Aku bisa menangkap kepedihan dan kekecewaan dari binar matanya. Ia tak menyapaku, pun tersenyum. Willy hanya berdiri diam menatapku seakan mempersilakanku untuk menilai seberapa rapuhnya ia sekarang.

Tanpa pikir panjang, aku melangkah mendekati Willy, lalu memeluknya. "Maaf, Will, maaf." Aku menangis, merasa bersalah atas kejadian ini. "Aku—aku akan ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa Tiara."

"Pulanglah." Willy bicara pelan, dengan nada yang terdengar pasrah. Aku lebih merasa bahwa ia kecewa dan marah, meski taka da caci maki atau nada tinggi.

Aku menggeleng. "Aku mau temani kamu. Ini pasti berat dilalui."

"Pulanglah, Marizka. Aku bisa melewatinya sendiri."

Aku melepas pelukan kami, lalu menatap Willy dengan hati hancur. Sebenci ini dia kepadaku. Aku berharap, ia bisa memisahkan hubungan kami dengan masalah ini. Aku ingin ikut andil dalam kesembuhan Tiara, sebagai orangtua Nabila. Tiaralah yang menyelamatkan Nabila hingga ia terluka.

Willy tersenyum segaris saat aku menangis. Ia mengusap air mata yang membasahi wajahku, membuatku merasakan sesuatu yang hangat tetapi perih dalam hati.

"Kamu harus temani Nabila. Dia juga butuh bantuan untuk sembuh. Aku bisa mengurus anakku sendiri, karena kami sudah terbiasa tanpa seorang ibu." Willy tersenyum sendu sambil memegang kedua pundakku. "Kita akan bicara lagi nanti, bukan sekarang. Pikiranku sedang buntu dan hanya bisa fokus pada anakku."

Aku mengangguk dengan perasaan ngilu. Saat Willy melepas tangannya dari pundakku, aku menghampiri Tiara dan mengusap kepalanya dengan pelan. "Tiara yang kuat ya, Sayang. Tante akan jenguk Tiara besok."

Entah Willy akan mengizinkan atau tidak, aku tetap akan memberikan dukungan pada anak yang menyelamatkan anakku.

****

Genks, ya ampuuun. Maaf aku lupa ini Kamis dan jadwalnya posting wkwkwkkwk. Aku post satu bab ini dulu, menyusul nantik malam yaaaa. Ketik bab 10 nya dulu akutu hehehhee

Happy reading dan jangan lupa votes dan komennya. Muaacch


LopLop

Hapsari

Continue Reading

You'll Also Like

449K 35.1K 60
Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya kekasih kemudian besok ia menikah dengan yang lain. Set...
4.2M 53.8K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
950K 86.8K 22
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
3.4M 16.5K 2
DON'T REPOST MY STORY!!! Menjadi selingkuhan Protagonis pria adalah bencana untuk Altheya. Awalnya ia hanya ingin hidup dengan baik namun kedatangan...