9. Masalah Anak-Anak

2.3K 749 22
                                    


Aku tak tahu apa yang terjadi hingga Nabila terlibat pertengkaran. Anakku bukan anak yang nakal apalagi sampai melakukan kekerasan. Ia pendiam dan cenderung menyimpan perasaannya sendiri. Kami mungkin tidak hidup dalam keluarga yang harmonis, tetapi Nabila bukan tipikal anak yang mencari perhatian dengan tindakan brutal. Nabila tak menyukai kekerasan. Aku yakin anak itu tahu persis bagaimana rasanya disakiti dan diperlakukan kasar. Ia bahkan tak tega kepada kucing yang diperlakukan semena-mena oleh orang, apalagi pada manusia dan temannya.

Apapun yang Bu Ria katakan di sambungan tadi, tak ada yang kupercaya sampai aku mendengar sendiri apa yang terjadi pada Nabila dari penuturannya. Aku ingin anakku mengatakan semua yang ia lalui kepadaku dengan lengkap dan jujur. Aku yakin, Nabila akan mengatakan semuanya dengan jelas dan detail. Aku akan membela Nabila apabila dia terbukti mendapatkan perundungan.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, jantungku berdegup sangat kencang dan aku tak bisa tenang. Berbagai pikiran buruk bercokol dan membuat dudukku tak tenang. Aku meminta supir ojek yang kukendarai, mengemudikan motornya secepat yang ia bisa. Jalanan di jam makan siang sangat ramai dan padat. Aku harus terus menenangkan diri dan mensugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat sampai di sekolah, aku melihat mobil Willy juga baru masuk gerbang sekolah dan berhenti di parkir kendaraan orangtua. Alih-alih berlari menuju ruang konseling, aku justru berdiri dengan cemas di lobi sekolah. Willy dan aku bersitatap selama beberapa saat, lalu kembali melangkah saat aku mengangguk, memberinya kode untuk masuk bersamaku.

"Aku mau langsung bawa Tiara ke rumah sakit. Aku yakin lukanya parah." Willy berjalan sangat cepat, membuatku berlari kecil demi bisa menyamai langkahnya.

Kami sampai di ruang konseling, dan aku seketika berteriak kaget.

"Ini apa-apaan sampai kalian jadi begini, Ya Tuhan." Aku berlari ke arah Nabila, lalu memeluk anakku. "Kamu gak apa, Bila?"

Nabila menangis melihatku datang. Aku memeluknya erat, mengusap kepala dan punggungnya, demi membuat anakku tenang. Air mataku tak bisa kutahan saat melihat Tiara yang terbaring tak berdaya di sofa ruang konseling ini.

"Saya bawa ke rumah sakit sekarang. Saya tidak bisa menunggu lagi." Willy menyelipkan tangannya di bawah lutut dan pundak Tiara, lalu menggendongnya. "Saya yakin dia terluka dalam."

"Jadi ... yang jatuh dari tangga itu ... Tiara?" Aku menutup mulutku, membayangkan bagaimana sakitnya tubuh anak itu. "Bagaimana bisa?" Tangisku kembali pecah. "Ya Tuhan, apa Nabila yang melakukannya?" Aku menatap Nabila yang masih menangis.

Anakku menggeleng pelan dengan wajah penuh rasa bersalah. "Lia yang dorong Tiara sampai jatuh di tangga, Bu. Lia yang dorong Tiara."

Aku menoleh ke arah anak yang Nabila sebut. Emosiku merangkak naik dan membuatku mendekatinya. "Kamu tahu akibat perbuatanmu, ha? Tiara bisa patah tulang!"

"Anda siapa berhak memarahi anak saya! Dia tidak sengaja melakukannya! Anak kecil belum tahu mana yang bahaya dan tidak!" Seorang wanita mendorong pundakku dengan kasar. "Kita sebagai orangtua harusnya menenangkan mereka, bukan memarahi."

"Tenang Ibu-Ibu, kita selesaikan secara baik-baik. Mohon tenang dan biarkan anak-anak yang menjelaskan." Kepala sekolah menengahi dan mengarahkanku untuk duduk di kursi yang ada di sebelah Nabila. "Sementara ini, apabila ayah Tiara ingin langsung ke rumah sakit, pihak sekolah akan mengantar dan menemani, hingga Tiara mendapatkan pertolongan medis."

Aku menatap Willy yang sudah ada di ambang pintu. Ia tak tersenyum sedikitpun dan wajahnya sarat dengan amarah. Hatiku mencelus saat Willy tak terlihat lagi dan tak bisa membayangkan apa yang harus kulakukan setelah ini. Ia pasti marah, kecewa, dan tak terima anaknya menjadi korban hingga separah ini. Entah Tiara masih akan belajar di sini atau tidak, mengingat ia anak baru dan terpaksa mengalami kejadian nahas.

Sia-Sia Jatuh Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang