MALA

By Alleennn

22.3K 4.7K 2K

Semenjak kepindahannya di lingkup elite SMA Bina Bangsa, Tama perlu mengasingkan keberadaannya yang tak sesua... More

Prakata
Prolog
01. Keadaan
02. Posisi
03. Gelombang
04. Frekuensi
05. Baur
06. Tanggung
07. Sembunyi
08. Saling
09. Warna
10. Interpretasi
11. Bantuan
12. Konsisten
13. Kontras
14. Pandai
15. Lelah
16. Samar
17. Sketsa
19. Cenderung
20. Getir
21. Khawatir
22. Terbuka
23. Sementara
24. Figur
25. Damai
26. Bilang
27. Selamanya
28. Impas
29. Jatuh
30. Perhatian
31. Naluri
32. Hasil
33. Percaya
34. Tinggal
35. Eksplorasi
36. Teman
37. Sayang
38. Memulai
39. Tanda
40. Jawaban
41. Upah
42. Asing
43. Wujud
44. Rumit
45. Sobat
46. Kasus
47. Manual
48. Penilaian
49. Hilang
50. Hancur
51. Wakil
52. Kasih
53. Pulang
54. Sahabat
55. Rumah
56. Damai
57. Afirmasi
57. Maaf
58. Impian
Epilog
Terima Kasih

18. Kisah

666 112 92
By Alleennn

Hening alobar malam disertai padamnya massa yang menuntut beragam rutinitas sejak tadi pagi, rasanya menjadi waktu yang paling tepat untuk membiarkan pikiran melarung ke bagian terpencil dalam benak.

Di luas kamar pribadinya tersebut, Tama tengah berbaring santai sembari mengangkat lengannya ke atas selaku sanggaan bagi kepala. Berulang kali, laki-laki itu menghela napas panjang seolah akibat ia serampangan menilik sesuatu yang tertuang di buku sketsa milik Luna, barang magis tersebut menjatuhinya efek samping berupa menyerap pasokan udara.

Kilas cerita yang Luna uraikan lewat coretan pensil itu, agaknya memicu beberapa pengalaman buruk di memori Tama. Terutama mulai dari halaman yang menyorot duduknya seorang perempuan di bawah pigura keluarga yang teramat besar, entah kenapa memberi kesan mendalam tentang luka batin yang Tama rasakan.

Memasuki pertengahan buku, garis arsiran Luna juga tampak semakin tebal dan kasar kala memproyeksikan gambaran sudut rumah sehingga menampilkan dua kondisi yang berbeda ketimbang awalan. Tama kira, Luna sedang menyiratkan perihal situasi yang tak terduga atas tempat tinggalnya dahulu yang terbilang aman, tiba-tiba bersanggah kacau begitu saja diwakili hamburan pecahan kaca dan sekian elemen lain yang kurang Tama pahami penafsirannya bagaimana.

Sayang, ketika Tama hendak mengonfirmasi kebenaran tersebut, bel tanda masuk kelas lagi-lagi berbunyi memisahkan mereka dengan percakapan yang belum selesai. Luna menutup pertemuan lewat senyum khasnya yang memilukan, kemudian mengajak Tama pergi keluar seakan tanpa kalimat afirmasinya pun semua sudah jelas diutarakan.

"Lo ... sama kayak gua, Lu?" Tama bersenandika menengadahkan telapak tangannya ke permukaan wajah.

Sedikitnya, kini Tama mengerti mengapa sejak pertemuan pertama, dirinya dan Luna semacam menyuar resonansi sejenis. Apa yang mereka bagi, ternyata bukan sekadar aksi pengasingan diri melainkan spesifikasinya pun berdasar serupa berjudul kerusakan keluarga.

Siang itu di sudut bangku arboretum, Tama selalu bertanya-tanya perkara apa yang mengakibatkan Luna menangis pedih demikian tetap menjaga lembut sikapnya. Petunjuk dari Luna waktu lalu, tentang orang-orang rumahnya yang pandai berbohong, barangkali menjelma pesan bahwa perempuan tersebut sering memendam rasa oleh sebab itu, setiap kerentanannya Luna simpan di balik keanggunan sebuah tabiat. Tindak menipu diri, sekarang begitu menyakitkan untuk Tama lihat. Tama tidak suka mendapati Luna terlalu lihai menampung luka.

Tok Tok

"Abang ... Putri masuk, ya?"

Bunyi ketukan ringan diselingi panggilan tersebut membuat Tama segera mengusap wajahnya mengaburkan pandangan. Laki-laki itu mengatur paru-parunya lebih tenang mengambil pernapasan. Terkadang, malamnya tidak selalu leluasa menciptakan perenungan. Tingkah Putri yang suka membuka pintu kamar semaunya menghancurkan ranah privasi Tama. Mempunyai adik kecil yang terlampau aktif mengajaknya bermain, tentu menuntut Tama perlu siap siaga berlaku ceria. 

"Ih, Abang ... kebiasaan, deh!" Mendapati kelopak mata kakaknya terpejam di atas kasur, Putri lantas langsung menyempil ke sebelah badan Tama. Kakaknya itu pasti berakting lagi, seperti sebelumnya. Putri pun mencubit lubang hidung Tama secara sengaja. "Jangan pura-pura begitu! Putri tau, kok, Abang nggak mungkin tidur kalau lampu kamarnya masih nyala!"

"Duh, Putri, Abang nggak bisa napas!" Menggamit tangan mungil Putri sambil menghirup udara terlampau banyak, Tama pun tertawa singkat menangkup adik kecilnya ke pelukan. Tangan kanannya menepuk lembut puncak kepala Putri. "Haha ... Abang ketahuan, ya? Kamu sendiri kenapa belum tidur? Ini udah malam, 'kan?"

Menampilkan ekspresinya yang cemberut hendak memprotes, Putri mendongakkan wajahnya sembari tengkurap di bidang dada Tama. "Tapi, ini, 'kan, malam Sabtu, Bang! Abang lupa, ya?"

Dahi Tama mengernyit mendengarnya. Sejenak, ia benar-benar tak mengingat soal hari lantaran kelewat sibuk memikirkan Luna. "Oh, iya! Kalau begitu, Putri mau tidur bareng Abang malam ini?"

Putri mengangguk antusisas lalu berlari mengambil dua boneka beruang yang tadi ia letakkan di depan pintu kamar Tama. Bocah tersebut menyusun mainannya di pertengahan lantai ruangan kemudian aktif bergerak lagi mencari sesuatu untuk ditambahkan.

Setiap akhir pekan, Putri gemar mengunjungi satu-satunya kamar di lantai dua untuk bermain dan tak jarang ikut tidur bersama Tama. Pelepasan 2 hari agenda libur tersebut rutin Putri manfaatkan demi menghabiskan waktu di sekitar kakak kesayangan.

Menanggapinya, tentu Tama tidak keberatan sekali pun, bahkan senang dapat menghibur Putri. Sebaliknya, Tama pula sering dibuat tergelak sebab tingkah bocah kecil tersebut. Mungkin, dua hal yang sedikit mengganggu Tama hanyalah besar tenaga dan kebiasaan Putri yang harus mengacak-acak ruangan guna membangun istana boneka. Tama yang termasuk golongan remaja jompo, alhasil butuh mengekstrak energi lebih demi menandingi semangat Putri yang luar biasa, sedangkan kamarnya yang dari awal memang tidak tertata rapi, akan semakin tak karuan keesokan paginya.

"Bang, Putri mau bangun istana buat Teddy sama Caca di dekat Punci-Punci boleh, ya?" 

"Hah? Iya, boleh. Terserah kamu aja." Melirik dari kasur, Tama terkekeh kala Putri nyaman menyebut samsaknya dengan julukan 'Punci-Punci'. Dahulu, ketika Putri menanyakan benda tersebut fungsinya untuk apa, Tama malah memeluk kantung berisi sabuk karet itu dan mengumpamakannya selaku boneka kesayangan. Punci-Punci ia adopsi dari Bahasa Inggris, yaitu punch, namun karena pelafalan Putri belum terlalu jelas, Tama mengubahnya agar gampang diucapkan.

"Putri punya Caca sama Tedi, kalau milik Abang namanya Punci-Punci." 

"Oh, bentuknya beda banget dibandingkan punya Putri! Tapi, kok, boneka Abang kumal banget, sih? Pasti sama Abang nggak dirawat baik-baik, ya? Kasihan tau Punci-Punci-nya."

Beruntung, anak kecil mudah diakali. Tama tidak tahu bagaimana cara menjelaskan bahwa samsak tersebut merupakan sarang tinjuan kasarnya di saat kalut emosinya tengah melanda.

"Putri cari apa, sih? Hm?" Mendengar kegaduhan, Tama pun menegakkan kerangka tubuhnya mengamati Putri dari sisi ranjang. 

Bocah tersebut berlarian ke sana kemari mengeksplorasi tiap jengkal ruangan Tama. Putri mengambil barang apa pun yang dirasa sesuai untuk properti istana bonekanya. Mulai dari ikat pinggang yang dibentang menjelma tembok perkebunan, handphone serta kancing seragam yang terputus dialihfungsikan sebagai kereta berkuda, bahkan ide-ide unik lain yang tak terpikirkan semacamnya.

"Duh, besok Abang harus kerja rodi ini kalau kamu berantakinnya kayak begini." Mengacak rambutnya sedikit kewalahan, Tama kemudian berdiri menghampiri Putri yang berpotensi menginvasi zona pribadinya terlalu jauh. Sampai detik ini, barangkali Tama kelewat membiarkan Putri berbuat sekenanya sehingga anak kecil itu berani membuka lemari bajunya dan membongkar beberapa kotak yang tersimpan agak menjorok ke dalam.

"Tangan kamu nanti debuan, Putri. Carinya jangan di sini, ya?"

Berbagai benda terserak berhamburan dan Tama terpaksa memungutnya ulang satu per satu, padahal koleksi usang tersebut sudah lama tidak ia sentuh. 

"Bang, kok, Abang nggak bilang kalau punya banyak mainan di kotak ini? Tau begitu, Putri, 'kan, bisa pinjam."

Sebagian penuh, wadah persegi berwarna abu-abu itu memang diisi dengan setumpuk mainan favorit Tama di kala kecil. Terkait pertanyaan Putri, Tama mengerutkan kening menimang-nimang kenapa dahulu ia tidak membuang atau menyumbangkannya kepada panti asuhan, tetapi malah menyimpannya di sudut kamar yang terpencil.

Lantas memegang masing-masing stik video gim, miniatur kapal terbang, serta sekumpulan mainan lainnya, mendadak memunculkan kilas keseruan di bilik memori Tama. Ternyata, ada banyak kenangan yang sukar terlupakan dan hal itu spontan mengukir senyum manis di bibirnya. 

Kendati begitu, untuk mengatakan barang-barang tersebut terlampau berarti sehingga sayang jika dibuang, mungkin tidak terlalu tepat juga karena di sisi lain, segala memoar tersebut turut menghadirkan lubang besar di hati Tama. Tama ingat betapa suramnya di waktu periode SMP yang lalu, teman tak bernyawanya itu pernah mendampinginya menghadapi pernikahan Ayah yang kedua.

"Abang juga suka gambar, ya? Kok, banyak yang Putri baru tau, sih? Terus orang-orang yang Abang bikin ini, ceritanya siapa aja?" 

Tercelus menerima kertas usang yang Putri temukan di permukaan dasar kotak, dada Tama yang sebelumnya telah mengganjal akibat memikirkan permasalahan Luna, lagi-lagi kembali terasa sesak meratapinya. 

"Ini ... bukan siapa-siapa, kok! Abang asal gambar aja pas dulu dikasih tugas sama guru," kata Tama menahan senyum getir sebab tak mungkin ia menunjukkan kekacauannya di hadapan Putri.

Faktanya, gambar itu menyimpan sebilah luka yang sampai sekarang masih lekat membekas di sekat jantung Tama. Melalui aksi kesembronoan Putri, Tama baru menyadari apa yang membuat hidupnya begitu berat, pada dasarnya bersifat mengikat dan tak mudah ia lupakan.

Sering kali, mengumpulkan baik atau buruknya sebuah kisah adalah bantuan yang paling bisa diterima untuk menjelaskan suatu keadaan. Berkatnya, Tama pun tidak heran mengapa di buku sketsa tersebut, Luna lapang mengukir setiap sakitnya tak terelakkan.

Bunyi gesekan halus dari sejumlah batang krayon berwarna-warni, menjelma perhatian utama seorang anak laki-laki yang sibuk menghiasi gambar kebanggaannya. Per menit kegiatan tersebut berlalu, bocah itu mengubah posisi duduknya mulai dari mengangkat sebelah kaki, kemudian bergerak tengkurap di permukaan karpet. Antusiasmenya ingin menyelesaikan sebuah mahakarya, barangkali terlihat jelas melalui caranya mengerutkan dahi atau menggigit lidah saking fokusnya mengisi ruang garis dengan tepat. 

Ya, meski kemampuan meniru objeknya kurang bagus, bocah tersebut sangat meyakini bahwa orang tuanya tentu paham atas apa yang ia tuangkan di atas kertas. Senyum manisnya lambat laun tertuai merekah kala membayangkan, mereka pasti tersentuh mendapati potret keluarga yang berusaha ia ciptakan. 

"Oke, udah bagus!" katanya ceria sembari mengangkat gambarannya setinggi kepala. Campuran warna kuning, merah, dan oranye banyak ia pakai demi menanamkan kesan kehangatan.

Setelahnya, anak laki-laki itu pun langsung berlari mengapit kertas berukuran A4 di jemari menuju kamar sang Bunda. Kebetulan, Ayah belum pulang kerja, jadi biar Bunda saja yang berkesempatan untuk melihatnya selaku orang pertama. 

Di celah pintu yang sedikit terbuka tersebut, anak laki-laki itu sempat mengintip apakah bundanya masih bisa diganggu atau sudah tertidur. Ketika tak sengaja Bunda menangkap presensinya yang membaur di balik bayangan, ia pun meringis kecil mulai beranjak masuk menyembunyikan barang bawaannya ke belakang badan.

"Bunda, kok, belum tidur?" ucapnya berbasa-basi, padahal hatinya kelewat senang ingin memamerkan gambarannya.

Bunda tersenyum tipis lalu menggeser tubuhnya agar terbentuk ruang untuk duduk di sebelah. Tangan kanannya lekas menepuk kasur hendak mengundang tawaran bergabung. "Kamu sendiri kenapa belum tidur? Ini udah malam, loh, Tama." 

Bocah laki-laki itu kembali menampilkan deret giginya sigap mendekati keberadaan sang Bunda. Kali ini, ia bergerak cukup berhati-hati supaya mahakaryanya tak tertekuk kala ditunjukkan. 

"Tama belum tidur soalnya, Tama habis bikin ini!" Gambaran tersebut lantas ia bentangkan begitu bersemangat ke hadapan sang Bunda. Tetapi, lantaran lebar kertasnya teramat luas menutupi wajah, ia pun perlu menilik ke samping demi melihat reaksi bundanya. "Bagus nggak?"

Alih-alih memperoleh balasan yang sesuai harapan, alis bocah lelaki tersebut justru terangkat tinggi menimang-nimang, kenapa Bunda malah menutupi mulutnya menggunakan permukaan tangan. Di balik netra bundanya yang tampak mengecil, sebersit bait kesenduan menggenang, namun ia tidak terlalu mengerti jelas tentang cara memaknakannya.

"Bagus sekali. Kamu gambar ini sendiri?"

Meski begitu, sebab tak lama kemudian Bunda merespons seraya mengelus puncak kepalanya teramat lembut, kebingungan yang sempat melanda bocah tersebut pun lekas memudar berganti kepuasan yang membahagiakan.

"Iya, dong! Ceritanya Bunda sama Ayah lagi berpelukan saling-saling sayang-sayangan! Walau senyum Ayah sengaja Tama bikin nggak selebar Bunda, tapi menurut Tama, Ayah tetap kelihatan bahagia di situ. Terus, masing-masing sebelah tangan Ayah dan Bunda rangkul bahu Tama, deh, karena Tama anak laki-laki kesayangannya. Oh, Tama juga balas pelukan Ayah Bunda karena Tama sayang kalian berdua."

Sebagaimana bocah tersebut menjelaskan maksud coretannya kian sederhana, tiba-tiba isakan tangis sang bunda menderu di pendengarannya.

"Loh, Bunda kenapa?" tanyanya khawatir sembari menghapus jejak air mata Bunda yang berjatuhan. 

Bunda tidak menjawab selain memegangi dadanya seolah terasa begitu sesak. Melihatnya, anak kecil itu baru menyadari bahwa binar kesenduan yang tadi ia temukan di balik netra sang bunda, ternyata adalah syarat permulaan dari hatinya yang terluka. 

Pemandangan ini, jujur tampak serupa ketika tempo lalu, Ayah pernah menampar pipi bundanya demikian keras. Hingga saat ini, bahkan ia tidak tahu apakah ayah dan bundanya sudah berbaikan atau belum. Niatnya, gambar tersebut menjelma surat pengharapannya terkait ia mau kedua orang tuanya kembali menghidupkan suasana rumah dengan mencintai satu sama lain. Tetapi, apa ia telah bertindak terburu-buru?

"Bunda, Tama minta maaf, ya? Tama bakal buang gambarnya kalau Bunda nggak suka." 

Mendengar penuturan tersebut, Bunda menggeleng pelan kemudian menangkup bocah tersebut ke dalam pelukan. Anak laki-laki itu hanya bisa terdiam merasakan kepalanya terbenam nyaman di ceruk leher sang Bunda. Pipinya pun dibelai penuh makna seolah Bunda teramat sangat menyayanginya. 

Sebab belakangan ini ia terlampau jarang menerima gestur kehangatan, syarat ketenangan lantas mudah merasukinya bahwa kasih sayang ini tidak mungkin hilang ke mana-mana. Perjolakan emosi dari sedih menuju senang cepat berganti sebaliknya ia terus keliru dalam memahami setiap perilaku orang tuanya. 

Dengan ini, setidaknya ia dapat memastikan walau tentu membutuhkan waktu, Bunda pasti bakal mengusahakan semuanya tetap terjaga. Namun, tak berlangsung lama ia menghela napas lega mengamati gambarnya yang berwarna cerah tersebut, Bunda malah mengucapkan sesuatu yang sejenak membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. 

"Tama, kalau nanti Ayah sama Bunda harus berpisah, kamu pilih tinggal bareng siapa?"

Rengkuhan erat ini, ternyata bukanlah usaha Bunda untuk mengatakan segalanya akan berjalan baik-baik saja, melainkan itu adalah bentuk permintaan maaf Bunda karena tak sanggup mewujudkan doanya. 

Continue Reading

You'll Also Like

352K 30.8K 39
[Nominasi Pemenang Wattys Award 2017] Sebuah perpisahan yang akan selalu kau ingat.
2.5K 1.5K 14
D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati...
7.3K 239 49
Banyak kata yang ingin kuucapkan tapi apa daya semuanya tercekat ditenggorokan. Banyak perasaan yang ingin kuungkapkan tapi apa daya semuanya terhent...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.2M 69.6K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...