Si Julid ARJIOON✓

Bởi Arrastory

194K 27.7K 3.9K

Di balik tingkah nyinyir dengan mata tajam Jioon, dia menyimpan rahasia yang ia tanggung sendiri. Penyiar rad... Xem Thêm

Arjioon Putra Parswera
Ghistara Ayara Adiputra
1. Tawaran
2. Gimana?
3. Mama Adel
4. Kak Arji
5. Negosiasi Terakhir
6. Alasan Tara
7. Surat Perjanjian
8. Mas Kawin
9. Logam Mulia
10. D-day
11. Apartemen
12. Mahesa Pradipta
13. Sama, tapi Beda
14. Uang
15. Prasangka
16. Pikiran Sendiri
17. Drama Pagi
18. Deep Talk?
19. Hadiah Istimewa
20. Nginep
21. Joki Tugas dan Teman Bercerita
22. Harinya Jioon
23. Nggak Capek Sembunyi-Sembunyi?
24. Sebuah Pengakuan
25. Paling Depan
27. Tukar Pendapat
28. Rumah Bunda
29. Cara Jioon Mendidik
30. Ayah Adi
31. Di Balik Topeng Antagonis
32. Copy Paste
33. Jalan Pulang
34. Sakit
35. Bayi Besar
36. Lo Masih Sakit ya?
37. Makan Siang dan Fakta Terbaru
38. Rumah Tangga yang Baik?
39. Drama Korea
40. Aku-Kamu
41. Anak Pak Arjuna
42. Sebuah Kebiasaan
43. Tahan Sendiri
44. Tempat Berlindung
45. You Are Enough
46. Sidang
47. Gift
48. Selesai
49. Latihan
50. Nanti ...
Bonus Chapter
Bonus Chapter 6 - Anniversary
Bonus Chapter 7 - Rumah Baru. Keluarga Baru.
Bonus Chapter 8 - Hai, Arsen
Bonus Chapter 9 - "Kakak Mau Adek!"
Bonus Chapter 10 - Happy Ever After
Kelu(Ar)ga

26. Arti Komunikasi

2.7K 495 48
Bởi Arrastory

Helaan napas Jioon menjadi pembuka saat ia masuk ke apartemen. Suasana sepi, tanpa ada suara televisi. Tara yang biasanya sedang duduk di ruang tengah juga tidak terlihat, mode marah perempuan itu masih berlanjut.

Jioon melangkah lebih dalam, pintu kamar Tara menjadi tujuan pertama. "Ra, gue laper," ucapnya dengan kepala yang menyembul ke dalam kamar. "Lo masak nggak?"

Tidak ada jawaban dari Tara, tetapi perempuan itu tetap beranjak dari tidurnya. Berjalan menuju dapur, mencari makanan beku kiriman para orang tua yang bisa ia buat. Meskipun sedang dalam mode bungkam, lambung suaminya tak boleh menjadi korban.

"Stok frozen dari Mama sama Bunda udah abis ya?" Jioon ikut mengintip kulkas yang Tara buka. "Gue mau mi boleh nggak?" pintanya yang masih sempat mencari peluang memakan mi diluar jatah mingguan.

Sialnya, lambung Jioon masih tetap dibawah pantauan Tara meskipun ia sedang marah. Perempuan itu mengambil sosis dan beberapa nugget. Setidaknya ini lebih baik daripada mi instan.

"Besok gue libur, lo mau ke supermarket kagak?"

Belum ada tanda-tanda Tara akan menjawab pertanyaan Jioon. Selain mulutnya yang tidak mengeluarkan suara, telinganya juga mematikan fungsi pendengaran.

Jioon yang merasa lelah akhirnya menyerah. Memilih duduk di ruang makan, sembari memperhatikan Tara menggoreng sosis dan nugget. Tubuh serta pikirannya sudah bekerja kerasa selama di kantor dan radio, tetapi masalah rumah tangga justru menyambut ia ketika tiba.

Sepiring nasi panas serta goreng sosis dan nugget Tara sodorkan pada Jioon, lalu disusul dengan air mineral untuk suaminya sebelum kembali masuk ke kamar.

"Kemana?" Tangan kiri Jioon menahan pergelangan tangan Tara. "Temenin gue makan."

Dengan kasar Tara berusaha melepaskan tangannya, tetapi tentu saja tenaga ia kalah. "Lepas!"

"Duduk!" perintah Jioon yang masih menggenggam pergelangan tangan istrinya. "Gue bilang duduk!"

Tara masih tetap berusaha melepaskan tangannya yang mulai terasa sakit. Jioon terlalu keras menggenggamnya. Habis ini pergelangan tangan Tara pasti merah.

"Ra ...," panggil Jioon penuh penekanan, "duduk!" Ia sedikit menarik tangan sang istri untuk bergabung di meja makan. "Tolong banget, gue nggak mau marah."

Sejujurnya Tara masih bisa memberontak, egonya tetap menolak perintah Jioon dan memaksa untuk melanjutkan mode diamnya. Tetapi, tatapan mata sang suami sangat menyeramkan, ini pertama kalinya ia melihat Jioon seperti itu.

"Udah!" sentak Tara sembari melepaskan tangan Jioon. Ia menuruti permintaan sang suami, walaupun wajahnya terlihat tidak suka. "Cepet makan!"

Tak ada lagi obrolan di ruang makan. Jioon memilih fokus pada makan malam yang terlambat, sedangkan Tara duduk diam berlagak fokus pada apapun yang netranya tangkap. Beberapa bagian kotor di pigura foto pernikahan mereka saja dapat Tara lihat.

"Mau sampe kapan lo diem?" Jioon membuka obrolan di sela-sela makanya. "Pepatah emang bilang diam itu emas, tapi masalah nggak akan selesai kalo lo cuma diem."

Silent Treatment Tara memang sangat parah. Ia bahkan mampu mendiamkan seseorang hingga berbulan-bulan, buktinya saja pada sang ayah, semenjak menikah, Tara tak pernah lagi berbicara pada beliau. Bahkan, pada Bunda pun sebenarnya enggan.

Jioon beranjak dari ruang makan, menyimpan piringnya pada wastafel sembari cuci tangan. "Mau ke mana?" tanyanya saat melihat pergerakan Tara yang juga beranjak dari ruang makan.

Konsep apartemen tanpa sekat antara dapur, ruang makan dan ruang tengah membuat mereka hanya memiliki ranah privasi di kamar masing-masing. Tara sedang masak, Jioon dapat melihatnya dari ruang tengah atau saat Jioon menjemur pakaian, Tara bisa melihat suaminya dari ruang makan.

"Apa lagi?" Tara sudah malas meladeni Jioon. "Lepasin tangan gue!" pintanya saat kembali menjadi tawanan sang suami. Ia bahkan sedikit kesulitan mengikuti langkah Jioon yang membawanya ke ruang tengah. "Apaan, sih?"

Tatapan tajam Jioon masih menjadi point utama. Ia sudah mendudukkan Tara dan dirinya di ruang tengah. "Mau sampe kapan diem?" Posisi duduknya sudah bersila menghadap Tara yang menatap lurus pada televisi mati di depannya. "Kalo menurut lo gue salah, ya bilang letak kesalahannya di mana. Gue mana paham kalo cuma liat lo diem."

Suasana hati Tara yang buruk kini menjadi semakin tidak berbentuk. Ia memiliki alasan sendiri untuk diam, bukan hanya karena uring-uringan tidak jelas. Yang mengetahui karakternya seperti apa tentu diri sendiri, Jioon mana paham, apalagi lelaki itu terbilang orang baru.

"Ra, gue yakin lo jauh lebih paham tentang komunikasi. Pengertiannya, tujuan, bahkan hal-hal lain yang jadi dasar dari program studi lo." Jioon berusaha melembutkan suaranya, ia tak boleh emosi, walaupun pergelangan tangan Tara menjadi korban karena terlalu keras ia genggam. "Tapi, ini kenapa malah lo yang nggak bisa jalanin semua ilmu itu?"

Tara menghela napas. Jioon benar-benar sok tahu. "Kalo nggak tau apa-apa, mending lo diem--"

"Kalo gue nggak tau, harusnya dikasih tau!" sela Jioon, bentaknya hampir saja kembali meluap. "Bukan disuru diem."

Helaan napas kasar Tara terdengar jelas. Ia benar-benar ingin mengakhiri obrolan ini sebelum emosinya tak lagi tertahan, tetapi Jioon sudah sigap menahan kedua pergelangan tangannya. Lelaki ini benar-benar menyebalkan.

"Ra, diem juga bisa jadi sebuah komunikasi, tapi apa itu efektif? Apa semua pesan yang mau lo sampaiin bisa diterima sama gue? Nggak, Ra." Jioon masih terus berusaha menyelesaikan masalah, malam ini semua harus beres. "Sekarang, bilang apa yang buat lo marah?"

Tatapan Tara menajam, emosinya mulai tersulut. "Pikir sendiri!" jawab ia berusaha melepaskan genggaman Jioon. "Awas, ih! Gue mau tidur."

"Duduk atau lo gue tidurin!"

Jelas Tara terdiam, otaknya memberi peringatan. Jioon selalu melakukan apa yang diucapkan, dulu sebelum menikah saja pernah mengancam akan memeluk Tara jika tidak mau diam. Dan, benar! Itu bukan sebatas omong kosong.

Tentu saja ancaman yang sekarang jauh lebih berbahaya. Tara bukan manusia bodoh yang tidak tahu makna dari kata 'tidurin'. "Mau ngapain, sih? Lo kagak liat sekarang jam berapa? Udah tengah malem!" omelnya menutupi rasa takut pada ancaman Jioon.

"Itu tau udah malem, gue juga capek. Jadi, jawab pertanyaan gue yang tadi! Nggak ada yang boleh masuk kamar sebelum masalah ini selesai." Bentakan keluar dari mulut Jioon, ia gagal mengendalikan emosinya.

Satu wawasan baru untuk Tara. Jioon kalo marah galak banget, ini jauh lebih menyeramkan daripada Ayah. Belum lagi ketegasannya dalam menyelesaikan masalah.

"Iya, gue marah. Gara-gara postingan lo anak-anak kampus pada ngomongin gue. Usaha buat nggak jadi pusat perhatian selama kuliah seketika sia-sia, banyak komentar jelek yang gue terima. Dan, lo bukannya hapus foto gue, malah makin menjadi-jadi!" Tara meluapkan keluhannya, meskipun masih tetap berusaha mengendalikan rasa marah dan air matanya. "Dari kemarin WhatsApp gue bahkan terus kena teror, anak kelas nyebarin nomor gue!" Gagal, Tara akhirnya menangis.

Dua hal yang menjadi alasan mengapa Tara diam saat sedang emosi adalah ini. Ia takut tak bisa mengendalikan kata-kata pedasnya dan kalaupun berhasil mengendalikan mulut, ia sudah pasti gagal untuk menahan air mata yang selalu lancang ikut campur. Tara tak suka ada orang lain yang melihat kelemahannya.

Mata tajam Jioon berubah membulat, ia tak menyangka bahwa komentar jahat pada Tara bisa separah itu. "Nomor yang chat lo, semuanya masih ada?" tanyanya seketika melunak. "Biar mere gue urus--"

"Nggak perlu," tolak Tara cepat. "Hapus aja semua foto gue--"

"Nggak!" Jioon memotong cepat. Jelas ia menolak permintaan Tara. "Gue justru bakalan terus post foto lo--"

"LO GILA, YA?"

Perdebatan semakin sengit. Keduanya masih teguh dengan keinginan masing-masing. Tak ada yang mau mengalah, si sulung Tara dengan ego yang tinggi melawan Jioon anak bungsu yang selalu berusaha untuk mempertahankan keinginannya.

Jioon menghela napas. "Kasih gue alasan kenapa foto lo harus gue hapus," pintanya kembali menurunkan nada suara. Mengumpulkan kembali sisa-sisa kesabaran yang sebelumnya tercecer. Genggaman tangannya juga mulai melonggar. "Mungkin bisa jadi pertimbangan."

"Ya biar mereka nggak teror gue lagi."

"Seyakin itu?" Jioon menaikan sebelah alisnya. "Lo kagak mikir ke efek lainnya."

"Efek lainnya gue akan tenang."

Jioon mendengkus, bibirnya tersenyum miring. "Kagak, efeknya justru lo akan diledek abis-abisan," jelasnya tenang, "mereka yang komentar jelek justru bakalan seneng kalo foto lo nggak ada lagi di feed gue."

"Nggak gitu, Kak."

"Gue belajar ini dari drama korea yang lo tonton." Jioon membocorkan perguruan mana yang ia jadikan panutan. "Gue lupa episode berapa, pokoknya gue nonton waktu lagi revisian skripsi."

Alis kanan Tara menukik. Ia tak tahu drama Korea mana yang Jioon maksud, lagi pula suaminya ini memang selalu revisian di saat ia menonton drama. "Drama apa?" tanyanya penasaran. Perasaan akhir-akhir ini tak ada drama Korea yang kisahnya hampir sama seperti masalah ini, batin Tara

"Si Kang Taemu itu," jawab Jioon tanpa beban. "Gue lupa pas episode berapa, pokoknya waktu si pemeran cewek diremehin sama temen-temennya."

Tak hanya alis yang menukik, kening Tara sekarang ikut berkerut. Apa hubungannya pemeran utama drma A Business Proposal dengan masalah mereka ini? Sepertinya tidak ada.

"Hubungannya Shin Hari di remehin sama gue apaan?"

"Ya, lo juga diremehin sama followers gue," jawab Jioon menjelaskan dengan serius. "Mereka komentar jelek tentang lo, bilang lo nggak cocok sama gue, bahkan ada kata-kata kasar lainnya. Nah, gue contoh Kang Taemu."

Tara masih belum paham. "Apa yang lo contoh? Lo punya kapal pesiar? Atau traktir mereka makan di restoran mewah?"

"IP semester lo beneran selalu empat?" tanya Jioon tiba-tiba. "Kok kayak gini aja nggak apaham, sih? Lo beneran pinter atau jago buat contekan?"

Jioon tetaplah Jioon, mulutnya masih tetap memproduksi komentar nyinyir bahkan di saat seperti ini. Demi apapun, rasa penasaran Tara akan Kang Taemu kini berubah menjadi ingin mencari Kang Tampol untuk mulut suaminya.

"Gini, loh. Gue pake cara si Taemu, bukan jiplak," jelas Jioon dengan gemas. "Kang Taemu yang bungkam mulut teman-temannya si Hara--"

"Hari!" potong Tara yang masih sempat mengoreksi kesalahan nama dari drama kesukaannya.

Jioon menghela napas. "Iya, Hari. Si Taemu bungkam mulut temen-temennya Hari dengan cara menjaga harga diri cewek itu," kata Jioon menggebu-gebu, ia terlihat sangat semangat memberikan penjelasan, "sedangkan gue juga bungkam komentar followers gue dengan cara terus posting lo."

"Kagak ada hubungannya!" omel Tara tidak terima. "Kang Taemu berhasil bungkam komentar nyinyir temen-temennya Hari, sedangkan lo malah bikin gue semakin jadi bulan-bulanan netizen yang terhormat lo itu."

Genggaman tangannya kini ia lepas dan beralih menguyel-uyel pipi Tara dengan gemas bercampur sedikit rasa kesal. "Prosesnya beda, Ra. Kalo drama Korea cuma ada berapa episode doang, kalo hidup kita masih panjang, butuh waktu," ucap Jioon yang moodnya seketika membaik. "Percaya sama gue, deh."

"Kak, gue nggak mau jadi pusat perhatian," pinta Tara dengan suara pelan. Air matanya kembali berlinang, tetapi kali ini ibu jari Jioon dengan sigap mengusapnya. "Gue nggak suka jadi topik obrolan gibah mereka, gue benci dikenal orang-orang."

Tara melupakan semua hal yang ia benci. Biarkan saja Jioon tahu, lagipula lelaki itu memang seharusnya menyelesaikan semua masalah yang sudah diperbuat, bukan menambah kehebohan.

"Lo nggak sendiri, ada gue--"

"Nggak ada! Gue sendirian waktu di kelas, teror di WhatsApp cuma gue yang hadapi. Lo nggak ada di situ, gue sendirian!"

Kedua tangan Jioon masih nyaman bertengger di pipi Tara, sedangkan ibu jarinya menghalau air mata sang istri yang siap mengalir. "Maaf, ya," ucapnya dengan lembut. "Maaf karena gue udah buat lo nggak nyaman. Secepat mungkin akan gue perbaiki, janji."

"Nggak mau tau, pokoknya sebelum gue masuk semester 6, semua udah beres!"

"Asal lo kooperatif, seminggu juga beres," balas Jioon yang kembali lancang menguyel-uyel pipi istrinya. "Bilang apapun yang nggak lo suka, jangan pendem semuanya sendiri. Bisa?"

Tara belum menjawab. Tak tahu bagaimana caranya, menjadi anak sulung membuat ia selalu memendam semuanya sendiri. Takut bercerita pada orang tua dan menjadi lebih tertutup pada orang lain. Prinsip Tara, biar ia sendiri yang menghadapi masalahnya.

"Bisa nggak?" Jioon kembali bertanya, menyakinkan. "Bilang kalo lo marah atau nggak suka, jangan diem aja. Mulai kurangi silent treatment lo."

"Nggak janji--"

"Ra ...," sela Jioon cepat. "Lo anak ilmu komunikasi, gue rasa teori dasar komunikasi itu udah di luar kepala."

Posisi duduk Tara yang awalnya menghadap ke arah televisi kini berubah menjadi berhadapan dengan Jioon, mengikuti sang suami yang duduk bersila. "Justru karena gue paham komunikasi," bela Tara memberikan alasnya. "Sebelum berkomunikasi dengan orang lain, gue akan lebih dulu komunikasi pada diri sendiri. Selama gue diem, itu artinya gue belum nemu feedback dari pertanyaan sendiri dan nggak akan ngomong karena takut itu salah."

"Terlalu lama mikirnya."

"Heh! Mikir dulu baru ngomong, lo harusnya gitu, Kak!"

Jioon mengedikan bahunya. Teori Tara memang lebih matang daripada ia, tetapi Jioon sudah dulaun terjun ke lapangan.  "Iya, deh. Tapi, kalo ke gue nggak usah mikir, kelamaan," pinta Jioon. "Lagian, silent treatment itu nggak baik, Ra."

"Iya tau, tapi lebih nggak baik lagi kalo gue marah-marah. Daripada mulut ini ngeluarin kata-kata kasar, gue lebih milih pendem semuanya sendiri."

Gelengan kepala Jioon berikan. "Nggak baik lo pendem sendiri, fungsi gue apa coba? Lo bisa ceritain ke gue. Tiap malem gue dengerin orang curhat di radio, masa iya istri sendiri kagak punya tempat cerita," ucapnya yang masih gemas dengan pipi Tara. "Lo juga jadi bisa belajar kelola emosi. Itung-itung latihan, nggak baik nanti kalo punya anak suka marah-marah."

Lihat! Emosi Tara yang sudah mereda seketika memuncak lagi. Mulut suaminya ini memang tidak beradab. Ada saja kata-kata memancing keributan yang diproduksi.

"Udah, ah. Gue mau tidur!" Memutus pembicaraan adalah pilihan yang tepat. "Awas!"

Jioon masih tetap menahan Tara. Mengambil pergelangan tangan sang istri yang terlihat sedikit memerah walaupun sudah mulai pudar. "Maaf ya, tadi gue terlalu keras nahan tangan lo," ucapnya dengan lembut sembari mengecup pergelangan tangan Tara yang memerah. "Maaf juga tadi gue nggak bisa kendaliin emosi sampe harus bentak-bentak."

Tbc

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

434K 62.4K 77
"Pernikahan gue ini cuman di atas kertas. Secuil rasa dan cinta gak ada untuk dia. Bagi Gue, pernikahan ini hanya ladang bisnis kedua orang tua kita...
486K 17.9K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Still The One Bởi Nona Zatari

Tiểu Thuyết Chung

4.3K 75 5
Pindah ke Cabaca "Jangan pernah bilang jika hidup lo nggak ada gunanya, karena setiap detik hidup lo selalu berguna, May." Mendengar itu, Maya mengal...
308K 2K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...