Aku Tak Membenci Hujan [ TERB...

By Green0731

9.2M 585K 47.6K

[ SUDAH DI BUKUKAN ] NOVEL TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TBO. "Jangan pernah membenci hujan Rang. Karna hujan itu... More

# Prolog #
Hujan Pertama
Hujan ke_2 ( Main Cast )
Hujan Ke_3
Hujan Ke_4
Hujan Ke_5
Hujan Ke_6
Hujan Ke_7
Hujan Ke_8
Hujan Ke_9
Hujan Ke_10
Hujan Ke_11
Hujan Ke_12
Hujan Ke_14
Hujan Ke_15
Hujan Ke_16
Hujan Ke_17
Hujan Ke_18
Hujan Ke_19
Hujan Ke_20
Hujan Ke_21
Hujan Ke_22
Hujan Ke_23
Hujan Ke_24
Hujan Ke_25
Hujan Ke_26
Hujan Ke_27
Hujan Ke_28
Hujan Ke_29
Hujan Ke_30
Hujan Ke_31
Hujan Ke_32
Hujan Ke_33
Hujan Ke_34
Hujan Ke_35
Hujan Ke_36
Hujan Ke_38
Hujan Ke_40
TEMPAT PEMBELIAN NOVEL
INFO PENTING
INFO TERBIT...!!!

Hujan Ke_37

130K 11.4K 765
By Green0731


YUK SUPPORT 1K FOLLOWER
Follow dulu gais

Sebelum baca jangan lupa vote
dan ramaikan kolom komentar dong.

Paling tidak hargailah para Author dengan memberi tanda bintang 🥰

Happy reading

*
*
*
*
*

Ketika tak terhitung hati
Yang mencoba mengetuk pintu itu.
Aku adalah gadis yang paling beruntung
Yang akhirnya bisa memilikimu.

* * * * *

Hiruk pikuk kelas kosong yang seharusnya diisi oleh mata pelajaran sejarah mendadak batal. Pak Mardan yang seyogyanya mengisi jam kedua itu, absen karena harus mengantar anaknya untuk wisuda. Hal itu lantas membuat ruang kelas bergemuruh dengan para siswa yang asyik dengan aktifitasnya masing-masing.

Namun itu tak bertahan lama, tiba-tiba saja kepala sekolah menyeruak dari balik pintu. Di susul oleh guru BP dan ketua yayasan yang tak lain adalah ibu dari Karang, Andira Deepa.

"Siang anak-anak." sapa Kepala Sekolah.

"Siang Pak," Jawab murid serentak dan terkesan malas.

"Sebentar lagi ada KSN/OSN, Olimpiade Sains Nasional. Berhubung kelas ini memiliki dua siswa unggulan, dari itu Bapak ingin meminta Leon dan Karang untuk mewakili sekolah kita."

"Mana mau Karang ikut begituan Pak," potong Lukka.

"Iya. Karang lebih suka ngorok di kelas," Serobot seorang siswa.

"Karang lebih seneng ikut olimpiade dalam mimpi Pak," Sambut siswa yang lain.

"Diam-diam. Coba bangunin dia," Pinta Kepala Sekolah.

"Rang bangun... Karang..!!! Bangun hoy. Ada kepala sekolah tuh...!!! Mejanya nggak mau bangun Pak," Lapor Lukka dengan wajah serius yang disambut oleh gelak tawa para siswa.

"Kenapa mejanya yang tidak bangun? Maksud kamu apa Lukka?!" Tanya kepala sekolah tak mengerti.

"Karang nggak ada Pak. Yang ada cuman mejanya doang," seloroh Lukka dengan senyum puas.

Kepala sekolah menggeleng pasrah, "Kamu ini ya," Lantas Pak Handoko selaku Kepala Sekolah beralih mendekati Andira, "Bu... Karang kenapa tidak masuk?" Bisiknya.

Karna suara pak Handoko terlalu kecil, membuat Andira memicingkan telinga, "Bapak bilang apa?"

"Kenapa Karang tidak masuk sekolah Bu?"

"Oh. Jangan mengurus siswa yang tidak ada Pak. Masukin saja siswa yang ada," Jawab Andira pura-pura sibuk melihat daftar siswa yang ia pegang.

"Tapi Bu, kemarin sekolah kita hanya mendapat peringkat ke tiga di mata pelajaran matematika, kimia dan fisika. Karena dalam mata pelajaran itu, Leon masih kalah dengan Karang. Dan itu berimbas pada pendaftaran siswa baru yang sedikit menurun," Jelas Pak Handoko menghadap Andira yang terlihat sibuk, "Pandangan para orang tua murid juga mulai ragu pada sekolah kita. Apa benar sekolah kita masih sekolah swasta bergengsi yang mampu mencetak siswa-siswa berprestasi?"

Pak Handoko melanjutkan, "Jadi saat ini sekolah kita sangat membutuhkan Karang untuk mengembalikan nama baik sekolah kita Bu," Pak Handoko memandang Andira dengan tatapan memelas. lelaki yang sudah mengabdi di Edward selama puluhan tahun tersebut sangat berharap jika Andira sebagai orang tua dari Karang, bisa berbuat sesuatu untuk meyakinkan putranya.

Namun Andira tak memberikan respon sedikit pun.

"Tolong bantu saya Bu. Nama saya sudah ada di daftar ganti, karena para pemegang saham yayasan, merasa saya sudah tidak mampu lagi mempertahankan nama baik sekolah kita."

Andira terdiam beberapa saat.

"Saya mohon Bu, tolong bantu saya."

"Bapak masukkan saja nama Karang dalam daftar. Nanti saya yang bicara sama dia."

"benarkah Bu?" Tanya Pak Handoko dengan mata berbinar senang.

Andira tersenyum pahit, "Iya pak. saya akan bantu Bapak."

"Tapi bagaimana kalo Karang tetap menolak?"

"Itu urusan saya Pak. Saya akan pastikan Karang akan mengikuti Olimpiade tahun ini."

"Terima kasih Bu. Terima kasih."

Andira begitu yakin bisa membujuk putranya untuk mengikuti Olimpiade. Karena bagi Karang, perkataan Andira laksana titah yang harus di laksanakan tanpa boleh ada penolakan, dan Andira sangat menyadari itu.

Setelah kesepakatan sebelah pihak usai, akhirnya papan pengumuman segera memajang dengan jelas nama Karang Samudra Daneswara untuk mewakili Edward dalam mata pelajaran matematika, Fisika dan Kimia. Sedangkan Leon Archilaga mewakili Edward untuk mata pelajaran Ekonomi dan hukum.

"Hahahahah... Rasain tu anak setan!!! Besok kalo dia masuk, langsung bakal senam jantung...!!!" Ledek luka ketika High squad berkumpul di depan papan pengumuman menertawakan keikutsertaan Karang dalam Olimpiade untuk pertama kali.

Bagaimana tidak, selama ini Karang tak pernah sekali saja tertarik untuk mengikuti semua mata lomba. Remaja itu hanya tertarik pada basket, selebihnya, ia menolak setiap ajakan Sekolah yang hendak mendaftarakan namanya dengan dalih malas. (Dasar batu Karang 😑)

"Gue kentutin si bahil kalo gue ketemu besok," sambung Jonny tak mau ketinggalan meledek.

"Yakin lo berani kentutin Karang?" Seru Thalia seakan meragukan perkataan Jonny.

Jonny mengangkat kedua bahu, "Why not. He's not what he looks. He's cute Thal..!!"

"The power of emak juga ternyata. Karang pasti nggak bisa berkutik kalo Bu Andira sudah ngeluarin taringnya," sambung Gladis yang menggandeng mesra sang pacar tanpa merasa risih sedikit pun.

"Thal. Lo udah telpon Ka-Lon belom? Kok bisa Romeo-Juliet itu nggak masuk barengan?"

Thalia mengangguk, "Udah. Tapi nomor mereka berdua nggak aktif."

"Bahhhh... Jangan-jangan mereka check in," Lanjut Lukka tanpa berpikir panjang.

Puk... " Mulut nih di jaga... Dasar kebo!!" Thalia menghantam mulut Lukka yang di rasa sudah kelewatan.

Lukka mengusap mulutnya, "Becanda tante. Elahhhh... Salah lagi deh gue."

"Lo kok kasar sih Thal?" Seru Gladis yang sepertinya tak terima jika sang kekasih di pukul oleh Thalia.

"Masih mending gue pukul. Itu namanya gue masih dalam tahap sabar seyeng. Biasanya gue remes-remes tu mulut sampe lembut dan siap buat di goreng," Jelas Thalia santai seperti biasa.

Jonny merangkul Orion yang menatap papan pengumuman tanpa berkedip, "Yon. Masa iya lo beneran suka sama nelam kek gini?" Serepet Jonny.

Orion hanya tersenyum tanpa mengalihkan pandangan.

"Aduhaiii... senyuman lo... kentara banget bangke!!!" Lukka menendang pantat Orion yang masih senyam-senyum sendiri.

"Jangan senyam-senyum sok imut gitu deh lo! Nggak cocok!!!" Lanjut Jonny yang ikut greget melihat sikap Orion.

"Siang Bu," Sapa mereka serentak saat Andira melintas di depan mereka.

Andira tersenyum manis. Lantas menjawab sapaan mereka dengan ramah, "Siang semua."

"Wahhhhh... Ajib bener senyumnya!!!" Seronok Lukka.

"Cantik," Sambung Orion yang biasanya tak banyak bicara. Namun kini dengan terang-terangan memuji kecantikan wanita yang telah melahirkan Karang tersebut.

"Pantes Karang sama Biru ganteng. Liat aja bibitnya, bibit unggul."

"Ganteng sih ganteng, tapi batu. Bad attitude juga," Celetuk Gladis.

Lukka yang sedari tadi menggandeng mesra kekasihnya, sontak melepas lilitan lengannya dan kini berbalik menatap wajah Gladis penuh tanda tanya, "Beb, kok ngomongnya gitu?"

"Iya Beb. Gue nggak suka sama mulutnya Karang, pait. Udah gitu suka semena-mena sama yang lain," Gladis beralih melipat tangan di depan dada, "Gue nggak suka dia yang sok paling hebat, sok paling keren, sok paling nggak mau di ganggu, sok paling berkuasa deh pokoknya. Gue pikir ni ya, dia juga rada aneh. Nggak bisa bergaul sama sembarang orang kecuali kalian doang. Kalian sadar nggak sih, kalo Karang itu nggak punya temen!!!"

"Beb...?!!!" Lukka memandang wajah Gladis lebih lekat. Ia sepertinya begitu kaget dengan pendapat yang baru saja ia dengar.

"Cewek lo sekalinya ngomong kok nyelekit Luk," seru Orion, "Mending lo ajarin tata krama dulu deh, sebelum dia gabung sama kita," Lanjutnya kesal.

Gladis berbalik menatap Orion, "Emang gue salah ya Yon? Yang gue bilang bener semua kok. Pasti kalian juga ngerasa kan?" Lanjut Gladis seakan membenarkan semua ucapannya.

Mereka pun kompak terdiam.

"Nah kan. Kalian diem kan. Berarti apa yang gue omongin bener. Kalo Karang itu bebal."

"Beb...!!!" Lukka membentak Gladis yang semakin lama semakin melunjak.

Jonny bergerak maju menghampiri Gladis yang berdiri agak jauh darinya.Remaja blasteran Amerika tersebut berdiri dengan kedua tangan menggantung di saku celana. Dengan helaan nafas berat memanjang, Jonny mulai membuka suara, "Dis, lo denger ya. Gue nggak pernah sekali pun ngerasa Karang bad attitude. He's the best friend for me...!!! He's the one temen gue yang nggak pernah sekali saja ngeluh tentang apa pun. Dia... orang yang lo bilang bad attitude adalah manusia yang punya attitude paling good between us. HE'S A COOL GUY, YOU KNOW...!!!"

Thalia menarik tangan Gladis yang saat ini mulai terpojok, "Yuk ke kantin Dis," Thalia tak ingin jika Gladis akan menjadi bulan-bulanan mereka.

"Dis... Kalo gue di suruh milih antara Karang dengan orang tua gue. Gue nggak akan mikir dua kali. karna gue pasti milih Karang," Lanjut Orion menghentikan derak kaki Gladis yang baru saja melangkah hendak meninggalkan mereka bersama Thalia, "Jadi pasti lo bisa nebak, kek gimana posisi Karang dalam hidup gue."

Seakan tak ingin tertinggal, Lukka pun menjadi orang kesekian yang mengutarakan pendapatnya tentang Karang, "Dia temen terbaik gue Beb. Dia temen yang paling berharga dalam hidup gue. Dia selalu berdiri di depan, saat kami mendapatkan masalah. Dia akan mengesampingkan apa pun demi kami sahabatnya. Dia sahabat yang terkeren, jauh dari apa yang lo pikirin."

Lukka berjalan menghampiri Gladis, "Lo bener Beb, dia emang batu. Mulutnya pedes. Gue tambahin lagi. Karang juga kasar, tapi kami... terutama gue, nggak pernah buat itu jadi sesuatu yang harus kami debatkan. karna dia adalah Karang. kami menerima semua sifatnya itu tanpa pernah mengeluh," Lanjut Lukka menghakimi sang Pacar.

Gladis tertunduk lesu. Ia merasa bersalah dengan apa yang ia katakan. Namun mulutnya terlalu malu untuk mengucapkan kata maaf. Seharusnya ia sadar, jika ia hanya pendatang baru diantara mereka. Ia juga tak begitu dekat dengan Karang seperti yang lainnya. Jadi tidak sepantasnya ia menjudge Karang dengan hal-hal yang tak ia mengerti.

"Gue nggak akan ikut ngehakimin lo Dis. Gue cuma mau bilang, kalo Karang juga berharga buat gue. Tangannya ibarat malaikat pelindung buat gu. Lo pasti belum lupa kejadian gue beberapa waktu lalu, orang yang lo bilang aneh itu, pernah nyelametin kehormatan gue."





* * * * *





Terdengar suara tendangan bergantian menggerayangi tubuh lelaki jangkung itu. Launa yang masih meringkuk dalam pelukankan Karang, tak kuasa menahan tangis melihat kejadian di depan mata, "Hentikan... Jangan pukul!!! Tolong hentikan... Jangan sakiti dia. Hentikaaaaaan...  Gue mohon. Jangan pukul lagi!!!" Dengan airmata bercucuran, Launa meminta mereka untuk berhenti. Launa pun berusaha berontak, melepaskan diri dari rengkuhan Karang agar ia bisa melakukan sesuatu untuknya, namun dekapan Karang begitu kuat melindunginya, seolah-olah tak ingin melepas Launa untuk pergi.

"ORANG SAKIT KEK LO, SEHARUSNYA DI KANDANGIN... HAHAHA!!!" seru mereka sembari tertawa.

"Stop," Suara rendah namun berat yang keluar dari mulut Karang mampu membuat mereka mendadak berhenti. Karang lantas berdiri berbalik menghadap para preman yang ukuran badannya lebih kecil, bahkan tak sebanding dengan tubuh Karang yang mempunyai tinggi badan seratus delapan puluh senti meter lebih.

"Rang___?" Launa memanggil nama Karang yang kini hanya terlihat punggungnya saja. Antara ragu dan percaya, gadis itu membulatkan mata.

"Kembalikan jam tangan gue!!!" Karang menyodorkan tangan kiri guna meminta barang yang mereka ambil. Ia melihat jam tangan tersebut melingkar di salah satu lengan para preman.

"JAM TANGAN NENEK MOYANG LO!!!" Mereka menampik uluran tangan Karang dengan kasar.

"Kalian mau balikin jam tangan gue baik-baik atau kita ketemu di kantor polisi?!"

"KITA KETEMU DI KANTOR POLISI AJA NJJINGGG...!!! MUMPUNG KEPALA POLISINYA BOKAP GUE...HAHAHA!!!

Merasa tertantang, Karang segera meminta ponsel yang disimpan Launa di dalam tas, "Hallo Om. Ada preman kampung sok hebat di taman bermain Karita sari. Tolong ke sini Om dan basmi hama ini secepatnya."

"WKWKWKW... KITA MAU MAEN POLISI-POLISIAN NIH CERITANYA..." mereka tak henti-hentinya meledek Karang yang entah menelpon siapa.

"Gue nggak suka main-main, Apalagi sama orang kek lo. Kalian bukan level gue," Karang meladeni mereka dengan nada rendah. Namun tak begitu bagi mereka.

Seseorang dari mereka yang merasa tersinggung dengan ucapan Karang, menyerang secara tiba-tiba dengan kepalan tangan, dengan sigap Karang mengelak. Ia memelintir tangan si preman kemudian mendorongnya menjauh, "Jangan maen kasar Bro. Gue lagi males ngeladenin lo pada!!! ucap Karang sembari mengibas-ngibas sweter yang ia kenakan dengan sombong.

"ANJ___"

Belum selesai umpatan yang mereka keluarkan, suara sirine polisi tedengar dari kejauhan. Tak lama berselang terlihat tiga orang berbadan kekar memasuki taman bermain.

"Maaf Om, Karang ganggu waktu sibuknya," Sapa Karang pada seorang polisi yang bertampang preman.

"Nyante aja Rang. Yang mana nih yang mau di basmi?"

Keempat preman kecil tersebut hanya berdiri bengong. Mereka tak percaya jika ucapan Karang bukan hanya bualan.

Karang mengayunkan dagu lancipnya, "Tuh, Mereka berempat Om. Mereka cuman jadi sampah doang di sini. Butuh di daur ulang biar bisa di pake lagi," Lanjutnya.

"BREN____" umpatan mereka terputus untuk ke sekian kali. Yang kali ini di hentikan oleh Polisi yang menggepak kepala mereka. Keempat preman baru jadi itu langsung di gelandang ke mobil patroli tanpa perlawanan. Setelah sebelumnya, mereka menyerahkan jam tangan Karang yang sudah mereka ambil.

"Rang...?" Launa yang berdiri di belakang Karang sedari tadi, kini menyapa dengan haru. Gadis itu berdiri mematung. Ia tak berlari berhamburan memeluk sang pacar seperti waktu-waktu sebelumnya.

Karang yang melihat Launa tertegun, lantas berjalan mendekat. Ia mengacak rambut Launa tanpa pernah bertanya, apa yang sudah di lalui gadis malang itu selama ia menghilang.

Launa memukul-mukul dada Karang dengan kedua tangan bergantian, "Kamu egois...!!!" gadis itu berusaha melampiaskan rasa marah, kesal, sedih, yang beberapa hari ini begitu keras menghantamnya, "Kamu jahat...!!! Kamu jahat!!! Kamu jahaaaattt!!!"

Karang hanya tersenyum, membiarkan saja tangan kecil itu menyerangnya sedemikian rupa. Ia tahu betul jika saat ini yang Launa butuhkan bukan kata Maaf, melainkan objek pelampiasan untuk menyalurkan emosi yang tertahan dan itu adalah dirinya.

Gerakan tangan Launa perlahan melemah, pertanda ia sudah hampir selesai dengan segala kesal dan marah yang ia rasakan. Karang pun membalas pukulan itu dengan pelukan hangat. Pelukan yang mampu membuat tangis Launa yang sedari tadi tertahan, pecah tak terbendun. Gadis itu terisak dalam pelukan kekasihnya, "Kamu tau Lon, aku sangat suka saat kamu menangis karenaku seperti ini. Aku merasa menjadi orang yang berharga meski aku tak sepenting itu," Karang semakin mengeratkan pelukan, "Bersamamu... Aku merasa memiliki segalanya. Meski aku sama sekali tidak mempunyai apa-apa."

Karang mengelus pucuk kepala gadisnya dengan penuh kasih, "Dulu aku berdoa agar Tuhan memberiku sedikit saja kebahagian dalam hidupku yang menyedihkan. Dan kamu tau Launa, Tuhan sangat amatlah baik. Tuhan bukan hanya memberiku sedikit, tapi Tuhan memberiku terlampau banyak untuk bisa aku terima. Dan kebahagiaan itu adalah kamu."

Tangis Launa kian melengking bahkan kini disertai isak pilu yang mendayu. Sesederhana itu doa yang lelaki ini panjatkan pada sang pencipta. Sebegitu berharganya ia di hadapan lelaki yang dulu pernah ia sakiti. Launa melonggarkan lilitan lengan yang melingkari tubuh Karang. Ia mendongak lantas menemukan wajah tampan sang kekasih sedang menatapnya.

Launa mengendus lucu, seolah-olah sedang menarik ingus dengan sekuat tenaga yang sebenarnya tak ada. Sekali lagi, tingkah pola Launa sontak membuat Karang tersenyum. Karang langsung memencet hidung Sang kekasih dengan gemas.

"Jangan di pencet idungnya. Udah pesek nih," protes Launa manja.

"Makanya di pencet biar mancung."

"Operasi plastik aja kali ya biar mancung," Celetuk Launa yang membuat ia dihadiahi getokan kecil.

"Awww..."

"Mau hidung mancung biar kenapa coba?" Lanjut Karang.

"Biar tambah cantik dong. Biar tambah di sayang sama kamu," Goda Launa centil.

"Nggak perlu. Kalo mau tambah di sayang, kamu pake niqab aja. simpel."

"Haaahhh...?!!" Launa yang tak mengira jika ia akan mendapatkan jawaban extrem, spontan melepaskan tangannya dari pinggang Kekasihnya.

Karang yang merasa telah berhasil membuat Launa terkejut, berjalan melenggang meninggalkan Launa yang berkacak pinggang karena di permainkan olehnya.

"Kalo aku pake niqab, kamu panjangin jenggot sampe tanah!!!" Teriak Launa kesal.

"Deal...!!!" Jawab Karang sambil terus berjalan.

"Panjangin kumis. Terus kumisnya dikuncir kuda!!!" Lanjut Launa tambah kesal.

"Siapa takut...!"

"Pake baju gombrong. Terus perut kamu dibuncitin. Badan kamu digendutin. Kayak abah-abah timur tengah!!!"

"Siap.. Abis itu boleh poligami dong!!!" Jawab Karang ngasal.

Bugh... "ANAK TUYUULLLLL....!!!" Launa melempar Karang dengan kets yang ia kenakan tepat mengenai kepala bagian belakang Karang.

"Awww..." Karang berbalik meringis sambil mengelus kepala bagian belakang yang terkena lemparan.

"Rasain...!!! Weeeeekk....!!!"

"Awas kamu ya, Kalo ketangkep, aku cium!" Karang berjalan cepat hendak menangkap Launa.

"Jangaaaan...!!!" Launa yang pada dasarnya tak suka adegan ciuman, berjalan mundur menghindari Karang yang kini mulai berjalan mendekat, "Jangan macem-macem kamu ya!" Sambung Launa sambil mengacungkan kets sebelahnya lagi.

"Ow..ow.." Karang menggeleng, "Aku nggak akan macam-macam sayang. Cuman satu macam saja. Satu ciuman."

Kecentilan Karang semakin membuat Launa bertambah geli, "Berhenti nggak...! Jangan maju lagi...!!! Berhenti di situ...!!!"

Melihat Launa yang semakin geli, membuat Karang merasa tertantang untuk semakin menggoda sang pacar, "Mmmmmmmmuuuuu...." Karang memonyongkan bibirnya. Kali ini benar-benar membuat bulu kuduk Launa berdiri subur.

"Sayang jangan... Liat nih, bulu kudukku berdi____" Tak sempat Launa menyelesaikan ucapannya, sebongkah batu kecil berhasil membuat ia tersandung dan linglung.

"Ow...owwww.." Launa berusaha membuat tubuhnya seimbang. Namun ia tak berhasil. Gadis itu akhirnya pasrah jika sebentar lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah.

Karang yang melihat kejadian tersebut, berlari kencang guna menyelamatkan Launa yang sepertinya akan terjatuh. Dengan tangan kanan, Karang akhirnya berhasil meraih tangan Launa. Dengan segera lengan itu ia tarik untuk mendekat, lantas di ikuti dengan tangan kiri yang ia gunakan untuk menopang tubuh gadis itu. Bak adegan drama romantis, kerasnya tarikan Karang, membuat kedua bibir mereka bertemu dan menempel. Sampai pada akhirnya, terjadilah accident kiss diantara kedua anak manusia yang sedang dilanda asmara tersebut. 🤩🤩🤩



Akhirnya ya, bibir Launa nggak perawan lagi 🤣🤣🤣🤣


Ada yang nungguin first kiss mereka kah???🤣🤣🤣









Bersambung dulu...



Mungkin kek gini lah ya, gambaran keterkejutan mereka berdua.


Next nggak nih...
Kasi semangat dong, biar Author semangat updatenya...


Continue Reading

You'll Also Like

AREKSA By Itakrn

Teen Fiction

33.1M 3.2M 64
"Perasaan kita sama, tapi sayang Tuhan kita beda." ****** Areksa suka Ilona Ilona juga suka Areksa Tapi mereka sadar... kalau mereka berbeda keyakina...
61.1K 1.6K 62
When the heart still wants to tell at 00.00 AM. when the mouth is no longer able to speak, the word will reveal it. •Started : 23-05-2018• •Finished...
23.6K 2.9K 28
Bagi Darla, menyukai Genta seperti mengagumi keindahan bintang di angkasa. Terasa dekat di hati, tetapi begitu jauh ketika ia menengadah ke langit. ...
56.1K 9.8K 9
"Pak." "Pak." "Ya, dek?" "Martabak coklat kacang 1." "Martabak coklat kacang 1." "Kok lo ngikutin gue, sih?" "Dih, enak aja. Lo yang ngikutin!" Inspi...