Lagu : Castle oleh Halsey
Ree
Lembah Penyihir Putih
Rasanya Ree tidak akan pernah bosan memperhatikan fitur Kairav ketika ia sedang terlelap. Sejujurnya Ree tidak pernah menyangka dapat melihat seorang manusia abadi dalam keadaan rentan seperti ini. Semua orang selalu memperlakukan Ree dengan waswas. Identitasnya sebagai Putri Pertama, pun sebagai Prajurit Bayangan dan Sang Karma membuat dirinya ditakuti.
Namun, Kairav sepertinya tidak mempermasalahkan identitasnya. Ya... memang diri Kairav sendiri juga lah seorang yang ditakuti banyak orang. Mungkin memang butuh seorang monster untuk menyeimbangi seorang monster.
Lalu, perihal kata-katanya tadi... Ree tidak habis pikir kenapa jalannya merucut ke sini. Ia tidak pernah menyangka hal itu mungkin terjadi. Ia kira pintu hatinya sudah tertutup rapat. Namun Kairav berhasil mendobraknya.
Seenak jidat pria itu memaksanya untuk terus melangkah, terus menerjang kepahitan hidup. Namun setidaknya... Ree tahu kali ini ia tidak sendiri. Meski hidupnya dikurung oleh takdir yang dibencinya, mengetahui bahwa ia tidak lagi sendiri membuat bahunya terasa ringan. Ia seakan memiliki alasan untuk terus berjalan. Kairav telah menjadi jangkarnya di kerangkeng takdir ini.
Entah sudah berapa lama Ree hanya terbaring di sisi tubuhnya, memperhatikan kelentikan bulu mata Kairav yang berwarna coklat-kemerahan. Bila dilihat seperti ini, Kairav tidak terlihat seperti manusia abadi yang menakutkan. Ia hanya terlihat seperti seorang pria.
Apakah Ree terlihat seperti seorang perempuan biasa pula di mata Kairav? Ah, untuk apa memikirkan hal itu?
Baru saja Ree menutup mata, berusaha untuk melanjutkan tidurnya, sebuah suara ketukan muncul dari jendela. Kelopaknya terbuka kembali bersamaan dengan suara ketukan kedua terdengar. Ketika ia melihat mata Kairav masih menutup, Ree langsung tahu bahwa ketukan itu hanya dapat didengar olehnya.
Sebisa mungkin tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, Ree turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah jendela dengan gorden yang tersibak. Jendela itu memperlihatkan kerlap-kerlip sederhana dari desa di Lembah Penyihir Putih. Samar-samar dapat terdengar suara nyanyian jangkrik di hutan.
Namun ada satu sosok yang menahan perhatian Ree dari awal. Begitu melihat matanya dari jauh, Ree langsung dapat mengenali siapa yang tengah melayang di depan jendela dan mengetuk kaca untuk memanggilnya.
"Halo, Putri Pertama," Wiseman menyapa dengan senyuman sumringah.
Ree tidak terkejut melihat sosok yang sebelumnya ia lihat telah menjadi debu di Turnamen Mentari. Sosok Wiseman masih sama. Rambut putih, perawakan pria berusia paruh baya, dan senyuman jahil yang seakan penuh rahasia. Satu hal yang berbeda adalah tubuh Wiseman kini seakan transparan. Terlihat serbuk-serbuk dan pintalan benang emas membentuk tubuhnya. Ia akan seperti terbuat dari jutaan kunang-kunang.
Untuk membalas senyuman lebar Wiseman, Ree mendesah, pura-pura kecewa melihat pria bukan pria ini masih hidup.
"Hey, jangan terlihat terlalu sedih melihatku masih hidup," protes Wiseman.
"Memangnya kau sebelumnya hidup?" tantang Ree. "Dari cerita Anielle, kau adalah seorang dalang yang dapat membuat wayang menjadi hidup. Madoff adalah salah satu contoh wayangmu yang menjadi hidup."
"Namun," Ree lanjut berbisik agar Kairav tidak terbangun. "Kau sudah tidak hidup semenjak ratusan tahun yang lalu, bukan? Semenjak Kara mengubah peraturan dunia ini dan menjerumuskan dirimu ke penjara abadi."
Senyuman Wiseman meredup, meski tidak sepenuhnya hilang. "Memangnya kau pikir para dewa dan dewi tidak hidup? Kita semua masih hidup. Karena magis adalah energi yang tidak pernah mati. Magis adalah kehidupan itu sendiri."
Ree memutar bola matanya, lelah mendengar penggunaan kata 'Dewa-Dewi' yang seakan diagungkan. Padahal, mereka lah monster yang telah membawa kegelapan ke dunia ini. Mereka yang sesuka hati mengubah hukum alam dunia demi keuntungan mereka saja, tidak peduli seberapa banyak korban sampingan yang muncul.
"Tidak semua yang kau sebut 'monster' itu bejat, Ree," katanya setelah membaca pikiran Ree. Suaranya halus, setengah berbisik. "Meski sebutan itu memang pantas untuk kami."
Tch. Ree mendecakkan lidahnya tidak suka. Ia menatap Wiseman dengan tatapan, 'Ayolah, kau masih akan membela diri?' Ia tidak segan-segan menunjukkan raut wajah tidak suka pada Wiseman.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ree dengan ketus.
"Kau sudah menyadari apa sebenarnya naga putih yang kau lihat, bukan?" Wiseman justru balik bertanya.
Ree mengangguk. Dari awal dia tersadar di kolam di dalam goa itu, ia sudah menyadari sebenarnya naga putih itu apa.
"Ree, ketika kau menyelamatkan penduduk Andalas di Turnamen Mentari," lanjut Wiseman, "Kau menyerap semua magis koloseum ke dalam dirimu. Termasuk menyerap diriku dan magisku. Namun tiba-tiba kau tidak dapat menggunakan magismu sama sekali."
Wiseman menggambar sebuah lingkaran di kaca menggunakan telunjuknya. Setiap telusurannya menghasilkan jejak emas yang bersinar.
"Itu karena magismu berpindah wadah. Magis koloseum sangatlah besar, dan tubuh kecilmu belum terbiasa dengan magis murni. Maka alam memindahkan magismu ke wadah lain, berupa naga putih itu."
Ree hanya dapat menatap, menunggu Wiseman selesai berseni di atas kaca sembari menjelaskan hal yang Ree sudah ketahui. Namun ia biarkan pria tua ini terus berbicara.
"Namun semakin lama, naga putih itu akan menyerap magismu sepenuhnya. Dan bila magismu sudah hampa, berikutnya ia akan menyerap kehidupanmu. Oleh karena itulah naga itu menyerap sebagian hidupmu dan mengembalikanmu ke wujud masa kecilmu. Untung saja Kairav menjadi jangkar jiwamu di sini dan menghentikan proses itu."
Gadis itu menoleh ke arah Kairav yang masih tertidur. Dadanya terasa ditarik setelah diingatkan bahwa Kairav telah menolong jiwanya.
"Kau harus mengambil kembali semua magis naga putih itu, Ree," kata Wiseman, "Bila tidak, naga putih itu akan mulai mengambil magis milik Kairav, karena sekarang kedua jiwa kalian sudah terpaut."
Nah, informasi terakhir ini tidak diketahui oleh Ree. Panik merasuki tubuh Ree. Ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Bagaimana aku dapat mengambil kembali semua magis itu dari naga putih?"
Mata Wiseman berbinar dengan rasa semangat. Senyuman sumringahnya kembali. "Kau harus menjadi pribadi yang naga putih itu anggap layak. Maka naga putih itu akan mengembalikan magismu dengan sukarela."
"Hah?"
"Artinya," Wiseman menunjuk simbol yang telah ia buat di kaca jendela. Sudah jelas itu adalah simbol antimagis. Simbol yang membuat magis dari kontrak tidak dapat digunakan. "Kau harus melatih magis murnimu. Panggil aku setiap jam 4 sore dengan menggambar antimagis di atas simbol kontrakmu. Kita akan latihan mulai besok." Suara pria magis ini mantap, penuh wibawa.
Ree berkedip.
Namun sebelum dia dapat bertanya lebih lanjut, tubuh Wiseman menghilang begitu saja, meledak menjadi jutaan serbuk-serbuk merah yang kemudian terbawa angin.
"Hey, tungg–" Ree langsung menutup mulutnya. Suaranya terlampau keras. Untungnya, ketika ia memutar badan, ia tidak melihat Kairav terbangun. Pria itu masih tertidur di sofa di samping tempat tidur.
'Hmm. Mungkin menautkan jiwa membuatnya kecapekan,' pikir Ree. Ia akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri kembali di tempat tidur milik Kairav. Jujur, ia merasa tidak enak hati telah mengambil tempat tidur empunya kamar. Ia mungkin akan sedikit merasa tidak bersalah bila saja Kairav tetap terlelap di atas kasurnya sendiri seperti saat pertama kali mereka datang ke kamar. Namun di tengah malam, sepertinya Kairav telah pindah ke sofa. Mungkin Kairav yang merasa tidak enak tidur di kasur yang sama dengan Ree.
Padahal... mereka kan tidak melakukan apa-apa.
Ree mendelikkan bahu. 'Yasudah,' pikirnya, 'Mumpung kasur empuk ini dapat kupakai, kupergunakan secara maksimal saja.'
'Mumpung aku masih dapat terlelap dengan tenang,' pikirnya lebih lanjut, 'Karena aku tidak tahu sampai kapan aku hidup.'
–Bersambung–
Siapakah gadis kedua yang disebut di judul?
(senyum lebar)
Apa cerita ini menjadi semakin pelik?
(ketawa jahat)
Pegangan saja ya kalo bingung.
Teruslah melangkah.
Salam,
Para bayangan di bawah langkahmu.