Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

After All

261 33 2
By Mizuraaaa

Sebelumnya ...

"(Y/n)-chan!"

Tersentak hebat, gadis itu terperanjat dari tempat duduknya. Ia menolehkan kepala, tampak menatap sebal terhadap pelaku pemanggilan. "Apa sih Houtarou, iya bentar lagi!" sewotnya tidak Terima, lantas kembali memfokuskan matanya pada konsol game yang ia mainkan.

Memijat dahi frustasi, Oreki menghembuskan nafas berat. Kehilangan kesabaran, ia memutuskan melangkah maju, lalu merebut paksa konsol game dari tangan gadis itu hingga raut kekecewaan terpampang di wajahnya. "Ih, Houtarou ...!! Kenapa diambil?!"

Bangkit dari duduknya, (Y/n) hendak merebut kembali permainannya, tetapi gagal karena Oreki menjauhkan tangannya sehingga (Y/n) tak bisa meraih benda itu. "Belajar! Jangan main game terus!" tegur Oreki tegas, tak peduli akan rengekan yang keluar dari bibir gadis itu.

"Ahhh, gamau ...! Mau main game dulu, itu lagi seru-serunya tau!" (Y/n) menghentak-hentakkan kakinya sebal. Menyatukan kedua tangan, ia menatap Oreki penuh harap. "Sebentar lagi, ya? Please .... Udah ini belajar, janji!" tatapnya dengan sungguh-sungguh.

Memutar bola mata muak, Oreki kembali mengeluarkan nafas lelah. Ia sudah kebal dengan hal semacam ini. "Kau terus mengatakan itu sejak empat jam lalu, (Y/n)-chan! Kau harus cepat belajar, sebentar lagi kau akan lulus."

Mendudukkan diri dengan cepat, (Y/n) melipat kedua tangannya sembari membuang tatapan. Bibir yang mengerucut seakan memperlihatkan kekesalannya tanpa perlu dijelaskan. "Abisnya aku muak, tau. Liat soal matematika gini bikin perut aku mual." sesaat kemudian tangannya berpindah memegang perut, terlihat meyakinkan dengan wajahnya yang memucat.

Melihat perilaku kekasihnya itu, Oreki hanya bisa menghela nafas pasrah. Ini baru awalan, entah sudah berapa kali dirinya menghela nafas hari ini. Entahlah, (Y/n) jadi semakin manja akhir-akhir ini, seperti ibu-ibu yang sedang hamil saja.

Ups, (Y/n) pasti akan memukulinya secara brutal jika tau Oreki mengatakan hal semacam itu dalam hatinya.

Mendekat satu langkah, Oreki mengacak lembut surai coklat kekasihnya. "Kan aku udah bilang, kalau butuh bantuan bilang aja, pasti aku bantu, kok." ia berjalan menjauh, hendak menyimpan konsol game di suatu tempat dengan radius lima meter dari tempat (Y/n) berdiam diri.

Setelah menyimpannya di atas meja di kamarnya, Oreki kembali ke tempat semula, yang kemudian menemukan (Y/n) sudah selonjoran pasrah dengan kepala yang direbahkan di atas tumpukan buku.

Menyadari kehadiran Oreki, (Y/n) mengangkat kepalanya. "Game aku kemanain?" tanyanya terburu-buru. "Aku simpan, lah." Oreki menjawab santai, lantas mendudukkan diri di sisi lain meja, tak mempedulikan tatapan memelas yang (Y/n) tujukan padanya.

"Houtarou ...."

"Tidak."

"Please ...."

Menatap (Y/n) lelah, Oreki bersuara, "(Y/n)-chan ...."

Namun, (Y/n) tampak tidak terganggu sama sekali. Ia masih memasang tatapan penuh harapnya agar diberikan konsol game dibanding mengerjakan soal yang dipenuhi lambang dan huruf yang tidak ia mengerti.

"(Y/n)-chan, tidak," tegas Oreki. "Apa kau sadar akhir-akhir ini kau kecanduan konsol game? Kau tidak boleh memainkannya terlalu sering, apalagi sebentar lagi kau akan kelulusan, apa kau lupa tujuanmu untuk kuliah setelah ini?"

"Iya, sih ...," gumamnya penuh sesal dengan kepala menunduk dalam, memainkan ujung pakaiannya gelisah. (Y/n) juga tidak ingin seperti ini, tapi ia tak bohong bahwa kepalanya nyaris meledak ketika mencoba menyelesaikan latihan soal matematika ini. Otak (Y/n) tak bisa memprosesnya sedikitpun.

Melihat raut wajah (Y/n) yang kian menyendu setiap saatnya, Oreki hanya bisa menghela nafas panjang. "(Y/n)-chan maaf, aku tidak bermaksud begitu." Kepala (Y/n) terangkat mendengar ucapan itu. Menggaruk kepalanya yang tak gatal, Oreki kemudian menawarkan, "Aku tau kau jenuh mengerjakan latihan soal sebanyak ini. Bagaimana jika besok kita pergi? Tapi setelah itu kau harus belajar."

Mendengar penuturan Oreki, dalam sekejap mata (Y/n) dipenuhi oleh binar bahagia. "Beneran?! Besok kita pergi jalan-jalan??" tanyanya masih dengan nada tidak percaya. Oreki hanya membalas dengan anggukan dan seulas senyum kecil di bibirnya.

Sesaat kemudian ruangan yang sepi itu dipenuhi oleh jeritan bahagia dari gadis itu. Ia benar-benar senang sampai melompat-lompat dengan kedua tangannya yang naik ke atas. Melihat hal itu, Oreki hanya bisa terkekeh pelan sembari menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Jadi, ada tempat yang ingin kau kunjungi?"

Pertanyaan dari Oreki membuat gerakan (Y/n) terhenti, lalu beralih menatapnya lekat. "Aku ingin ke pantai."

Oreki tampak mengangguk-anggukan kepalanya setuju. "Pilihan bagus. Oke, besok kita—"

"Ke pantai ...." belum selesai Oreki menamatkan ucapannya, (Y/n) sudah memotong perkataan itu dengan tatapan penuh arti yang tertuju pada kekasihnya. "Di dekat rumah lama kita, dulu."

Oreki tertegun. Ia hanya bisa terdiam tanpa melepaskan tatapan mata satu sama lain. Hingga di detik berikutnya, ia menghembuskan nafas singkat, seiring dengan seulas senyum yang terbit di bibirnya.

"Baiklah."

.
.
.
.
.

Dua orang itu tampak menuruni bis satu persatu. Sang gadis sempat tersandung oleh trotoar ketika berpijak, untung sekali tangannya yang digenggam Oreki membuat tubuhnya tidak jatuh menghantam jalanan.

"Terima kasih," ungkapnya sembari merapikan helaian rambut ke belakang telinga, yang kemudian ditanggapi oleh senyuman. "Tidak masalah." Oreki mengangguk lembut.

Setelah memastikan barang bawaan mereka sudah lengkap, bis yang mereka naiki langsung melaju, meninggalkan keduanya di halte dekat tujuan mereka. (Y/n) tampak masih mencoba merapikan pakaiannya, sementara Oreki menunggu dengan sabar di sampingnya.

"Sudah?"

Pertanyaan lembut yang keluar dari kekasihnya membuat (Y/n) mendongak. Mengangguk beberapa kali, ia membalas, "Sudah."

Oreki tampak tersenyum mendengar jawaban itu, lalu mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Ayo." (Y/n) langsung merespon dengan senyuman yang terulas, lantas meraih tangan Oreki yang kemudian menuntunnya berjalan di depan.

Hanya dengan perjalanan yang menghabiskan waktu dua jam, mereka sudah tiba di sini. Tempat keduanya berasal, tempat di mana keduanya pertama kali bertemu. Butuh waktu beberapa menit dengan jalan kaki untuk sampai tepat di tujuan mereka.

Angin berhembus lembut, membawa sensasi khas pantai ketika angin itu menerpa wajah dan menerbangkan surainya ke belakang. Perbatasan antara daratan dan perairan itu sudah tertangkap oleh mata, tampak tenang, tetapi menyimpan seribu rahasia di dalamnya.

Langkah terhenti seketika, mengharuskan laki-laki yang berjalan lebih dulu ikut berhenti menyadari gadisnya menahan tangan Oreki. Ia menoleh, menatap wajah khawatir sang gadis. "Kau baik-baik saja?"

(Y/n) terdiam sesaat, membiarkan udara di sekitar membuat anak rambutnya menari-nari. Berdeham, ia menggelengkan kepalanya cepat. "Aku baik." ia mengangkat tangannya, mengusap dahi yang ternyata sudah basah oleh keringat dingin. "Aku pikir aku sudah terbiasa, ternyata masih saja begini."

Oreki menghembuskan nafas kecil, lantas mengusap punggung tangan gadisnya yang tengah ia genggam dengan lembut, membuat (Y/n) balik menatapnya. "Tidak apa, ini yang pertama bagimu setelah sekian lama, kan?" ia tersenyum menenangkan.

Mengangguk-anggukan kepalanya kecil, (Y/n) turut membalas usapan tangan Oreki dengan menggenggamnya lebih erat. "Benar, ini yang pertama setelah sembilan tahun lamanya." menunduk dalam, ia menarik nafas sebelum melanjutkan, "Aku masih bisa tahan jika mendatangi pantai yang lain. Tapi pantai ini ...."

Alis (Y/n) tampak mengernyit kecil ketika dirinya mulai kesulitan bernafas.

"... Ini berbeda. Aku ternyata belum cukup siap."

(Y/n) mengulum bibirnya, panas yang menyerang matanya membuat gadis itu mendongak, bersusah payah untuk sekedar memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya.

Melihat hal itu, Oreki menatap cemas terhadap gadisnya. Hingga kemudian ia menarik (Y/n) ke dalam pelukan, merengkuhnya lembut, tetapi dengan perasaan kuat yang tersalurkan dari setiap usapan yang ia berikan pada kepala (Y/n).

"Maaf, padahal kau sudah membantuku selama ini, tapi aku—" (Y/n) tampak tak bisa meneruskan ucapannya, memilih mengulum bibir ketika dirinya mulai terisak lemah. Ia memejamkan mata erat, menyembunyikan wajahnya yang berantakan pada ceruk leher Oreki.

Oreki hanya menggeleng mendengar pernyataannya, lantas menjawab tanpa menghentikan usapan yang ia berikan, "Tidak apa. Sungguh, ini tidak apa-apa. Aku mengerti."

Oreki tetap memeluk (Y/n) untuk beberapa saat, hingga akhirnya gadis itu merasa lebih baik dan melepas pelukannya. Dengan hidung yang memerah dan anak rambut yang menempel di sekitar wajah, (Y/n) mengangkat kepalanya. "Terima kasih, Terima kasih sudah selalu mendukungku selama ini," ujarnya sembari mengulas senyum.

Menghembuskan nafas pelan, Oreki mengangkat tangannya, merapikan rambut sang gadis dan menyelipkannya ke belakang telinga (Y/n). Tersenyum lembut, ia bersuara, "Aku ada di sampingmu untuk suatu alasan, dan itu salah satunya."

(Y/n) tak mampu menyembunyikan senyumannya ketika mendengar perkataan Oreki, apalagi ketika laki-laki itu mengacak rambutnya dengan lembut. "Mau langsung ke rumah saja?" tanyanya kemudian.

Menganggukkan kepala, (Y/n) membalas, "Sepertinya lebih baik begitu."

Oreki tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu, ayo."

"Ayo ...!"

.
.
.

Mereka sampai di halaman suatu rumah. Pekarangannya terlihat berantakan, dengan sampah dan daun yang berserakan terbawa-bawa angin. Sangat tidak terawat.

Memutuskan melangkah masuk, mereka mengabaikan keadaan di luar. (Y/n) segera merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kunci yang kemudian ia gunakan untuk membuka pintu yang membatasi dunia luar dan bagian dalam rumah.

Setelah mencoba beberapa kali karena kunci yang sempat macet, Oreki yang menggantikan untuk membuka pintu berhasil membukanya. Apa yang menyambut mereka hanyalah kegelapan dan sedikit cahaya yang masuk lewat pintu yang terbuka.

(Y/n) masuk terlebih dahulu, lantas menekan saklar lampu yang berada di samping pintu. Dan seketika, matanya kembali memanas. Memang sudah lama sejak terakhir kali ia meninggalkan rumah ini, tetapi tetap saja,

Ternyata tidak banyak berubah.

Selama ini, Akita tak pernah berniat menjual rumah ini. Ibunya itu selalu rutin datang kemari dalam jangka waktu tertentu dan membereskan tempat ini. Menyapu, mengepel, membersihkan setiap debu yang menempel. Meski sudah tak ditempati lagi, rumah ini tetap terasa hidup.

"Ayah, Mama, aku pulang." (Y/n) menahan air matanya agar tidak jatuh ketika mengucapkan kata-kata itu.

Oreki di belakangnya mengedarkan pandangan, melihat-lihat setiap sudut rumah yang cukup asing di ingatannya. Ini, adalah tempat yang begitu berharga bagi gadisnya, pasti banyak kenangan yang cukup menyakitkan untuk diingat, tetapi juga hangat di saat yang sama.

Mengabaikan (Y/n) yang masih mematung di depan pintu, Oreki memilih melangkahkan kaki memasuki bagian samping rumah itu tanpa (Y/n) menyadarinya.

Ketika ibunya masih hidup, ia memang sangat rajin membersihkan tempat ini. Namun, sejak Akita meninggal, tentu tak ada lagi yang mengurusnya. Selama kurang lebih dua tahun tak ada yang mendatangi rumah ini.

Karena itu, meski tidak sekotor itu untuk dikatakan kapal pecah, beberapa debu yang cukup tebal menempel di setiap sudut ruangan. Di lantai, dinding, furniture rumah yang tidak ditutupi apapun. Tempat ini tetap perlu di bersihkan.

Menyudahi acara sedih-sedihannya, (Y/n) mengusap wajah sekali, lantas berbalik ke belakang. "Houtarou, ayo kita—"

Belum selesai ucapannya, ia benar-benar terkejut melihat Oreki yang sudah siap dengan alat-alat pembersih di tangannya. Seperti sapu, alat pel, kemoceng, semprotan dan lap yang tersampir di bahu kanannya.

Dengan bulir keringat yang menetes di dahi kanannya, (Y/n) mengangkat jari ragu. "Kau, sepertinya sudah sadar kita akan bersih-bersih di sini, ya?" tanyanya.

Mengangkat bahu ringan, Oreki tampak tak acuh. "Yah, lagipula apalagi kalau bukan bersih-bersih?"

Ah, (Y/n) jadi merasa tidak enak.

Gadis itu hanya bisa tertawa canggung, kemudian meraih beberapa barang yang Oreki genggam. "Baiklah, kalau begitu, mohon bantuannya!" ia berujar semangat, mengulas senyuman paling lebarnya.

Mereka pun menghabiskan waktu dengan membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai, membersihkan barang-barang dari debu, mengelap kaca dan beberapa bingkai foto, diselingi obrolan dan candaan yang saling dilontarkan.

(Y/n) yang terus menerus bersin dengan kemoceng di tangannya, Oreki yang menumpahkan air bekas pel ke lantai, (Y/n) yang nyaris menjatuhkan pot bunga, Oreki yang terjatuh karena wajahnya dilempar lap basah, yang kemudian terdengar gelak tawa puas dari (Y/n). Seharian itu, banyak hal yang terjadi, dipenuhi tawa dan suka hingga petang mulai menjemput.

Seisi rumah seketika berkilauan setelah mereka membereskan setiap sudutnya. (Y/n) dan Oreki menjatuhkan diri pada sofa, suara nafas yang bersahutan dengan keringat mengucur deras dari tubuh memperlihatkan betapa lelahnya mereka.

"Mau ku bawakan minum?" (Y/n) bangkit dari posisinya, menunduk menatap Oreki. Laki-laki itu hanya mengangguk, mengusap dahinya yang basah oleh keringat. "Boleh, tolong, ya." (Y/n) tersenyum, mengangguk kemudian meninggalkan Oreki. "Santai saja," ucapnya selagi berjalan.

(Y/n) membuka keresek putih berisi beberapa macam minuman kaleng. Sebelum ke rumah, mereka sempat mampir ke minimarket dan membeli beberapa makanan untuk nanti malam. Gadis itu membawa dua kaleng minuman, lantas kembali berjalan mendekati Oreki.

Tangannya terjulur, menyerahkan minuman itu pada Oreki sementara dirinya sudah meneguk rakus minuman di tangannya yang lain. Oreki meraih minuman itu, lalu membukanya ketika (Y/n) mulai mendudukkan diri di samping.

Meneguk minuman beberapa kali, Oreki mendesah lega. Rasa lelahnya sudah mulai memudar saat ini. Ia menoleh ke samping, menatap (Y/n) yang masih sibuk meminum minuman kalengnya. "Kapan kita akan pergi ke sana?"

(Y/n) melirik Oreki, berfikir sejenak. "Setelah ini, kita istirahat dulu beberapa menit."

"Benar hari ini? Kau yakin akan baik-baik saja?"

Mendengar suara Oreki yang menyiratkan kekhawatiran, (Y/n) terdiam sesaat. Kemudian, di detik berikutnya senyuman lembut terbit di bibirnya. "Tenang saja," ucapnya menenangkan. "Aku akan berusaha."

.
.
.

Langit telah berubah menjadi jingga sejak beberapa waktu lalu. Angin yang berhembus sejuk mengiringi kedua orang yang tengah melintasi jalanan lenggang kendaraan menggunakan sepeda. Setelah mengunjungi toko bunga, mereka pun mendatangi tempat ini.

Pemakaman umum.

(Y/n) menuruni sepeda—entah punya siapa, tapi ada di depan halaman rumahnya—sembari menunggu Oreki memarkirkan sepeda itu. Dengan buket bunga cukup besar di tangan, gadis itu tersenyum senang ketika Oreki telah menyelesaikan pekerjaannya.

"Ayo," ajaknya, (Y/n) mengangguk mendengar itu. "Ayo."

Keduanya mulai memasuki pemakaman umum itu. Butuh beberapa menit untuk (Y/n) mencari batu nisan yang tepat untuk meletakkan buket bunga yang ia bawa sepenuh hati ini. Sampai akhirnya gadis itu menemukannya, lantas berjongkok pelan di sampingnya.

"Aku pulang, Ayah."

Oreki hanya bisa diam, memperhatikan (Y/n) yang tengah tersenyum lembut dengan mata mulai berkaca-kaca.

"Maaf, aku bukan anak yang berbakti." gadis itu mulai terisak ketika melanjutkan ucapannya. "Aku bahkan sempat melupakan wajah Ayah, anak macam apa aku ini? Haha." ia tertawa, terdengar begitu pilu.

"Aku membawakan bunga ini sebagai permintaan maaf, aku harap Ayah memaafkanku." ia terkekeh pelan, kemudian menaruh rangkaian bunga itu di samping nisan bertuliskan nama sang Ayah. "Maafkan aku, Ayah, aku benar-benar minta maaf."

Tatapan gadis itu turun ke bawah, terlihat semakin sendu. "Terakhir kali aku ke sini, itu sembilan tahun yang lalu, bukan?" ia bertanya, seolah tengah mengobrol dengan sosok ayahnya. "Lihat, aku sudah besar." ia merentangkan tangan, menunjukkan dirinya yang jelas berubah setelah sembilan tahun berlalu.

Lebih dewasa, dengan beribu luka yang menggores hatinya.

"Aku tumbuh dengan baik, itu semua karena Ibu, aku benar-benar berterima kasih kepadanya." tatapan (Y/n) meredup, seolah kehilangan segala semangatnya hari ini. Ia menunduk, menatap lekat nisan sang Ayah dan mengusapnya lembut.

"Ayah, apa kau sudah bertemu Ibu?"

Ia tersenyum, begitu lembut dan penuh kehangatan, meski tak dapat dipungkiri dadanya sesak tak terkira.

"Kalian tengah bersama-sama menatapku yang ada di sini, bukan?" ia menghembuskan nafasnya, terdengar lega. "Bahagialah, Ayah dan Ibu pantas mendapatkannya."

Sore itu pun dihabiskan dengan (Y/n) yang bercerita bersama Ayahnya. Membicarakan setiap hal yang terjadi selama sembilan tahun tanpa merasa bosan sedikitpun. (Y/n) pikir, akan sulit baginya untuk sekedar berbicara di hadapan makam sang Ayah. Namun, ternyata ia sangat tenang, lebih tenang dari yang ia kira.

Ia merasa, sang Ayah yang sedang merangkul Ibunya sama-sama tengah menatapi dirinya hangat. (Y/n) mencengkram kain yang membalut dadanya. Sesuatu di dalam sana, terasa menghangat. (Y/n) meneteskan air mata dengan senyuman yang terlukis manis di bibirnya.

"(Y/n)-chan, langit sudah mulai gelap."

(Y/n) terkesiap, mendongakkan kepalanya. "Ah, benar." nada suaranya terdengar sedikit tidak rela. Terlalu asik mengobrol membuat dirinya lupa waktu. Gadis itu berdiri, menepuk bagian tubuhnya yang terkena tanah setelah duduk tanpa alas.

"Ayah, aku harus pulang sekarang." ia menarik kedua sudut bibirnya. "Setelah ini, aku akan lebih sering berkunjung. Aku janji."

Oreki ikut bangkit, kemudian tersenyum ke arah gadis di hadapannya. "Ayo pulang."

(Y/n) menatap Oreki, terdiam membisu. Oreki yang melihat itu hanya bisa mengangkat alisnya bingung, tetapi tidak berani mengganggu. Sampai sepuluh menit kemudian, sebuah kata terlontar dari bibir gadis itu.

"Terima kasih."

Oreki mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa tiba-tiba?"

Gadis itu menurunkan tatapannya seiring dengan nafas yang terhembus pelan. "Saat Ibu pergi, kau sempat merasa bersalah, bukan?" tanyanya, kembali menatap tepat pada manik indah Oreki. ""Jika aku tidak mengajaknya ke pantai ini pasti tidak akan terjadi, jika aku tidak memaksanya menghilangkan traumanya Bibi akan baik-baik saja" itu kan, yang kau pikirkan?"

Oreki hanya diam, mendengar setiap kata yang keluar dari bibir sang gadis. Detik berikutnya, (Y/n) tersenyum tipis. "Sebenarnya itu tidak seburuk itu." ia menoleh, kembali menatap nisan sang Ayah. "Karena tanpamu, aku tidak akan pernah bisa mengingat wajah Ayah kembali."

Ia kembali menoleh, menatap wajah Oreki. "Aku tidak akan berani menunjukkan wajahku di depan makam Ayah. Tidak akan pernah."

"Karena itu, Terima kasih."

Ia memiringkan kepalanya, tersenyum manis.

"Terima kasih banyak."

*˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Waiting for you : update, update, update
Memories : aku anak siapa?

Continue Reading

You'll Also Like

110K 18.2K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
81.8K 13.1K 21
'Florista tadi cantik.' Mungkin, itu yang pertama kali Todoroki Shouto pikirkan saat melihatmu--(Full Name). [ T o d o r o k i x R e a d e r ] ╰| s...
9.9K 760 18
Suatu hari terjadi penyebaran virus yang dimana banyak yang mati secara mendadak sehingga hanya tersisa anak-anak kecil. seorang gadis Yang berawal h...
252K 37.4K 73
Haruhi, perempuan yang mulai menyukai sepak bola karena kagum dengan permainan seseorang. Namun ia tidak diperbolehkan ikut bertanding di klub sekola...