Her Crush is My Dad [END]

By YunitaChearrish

3.3K 884 858

Please vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Berkisah tentang Sa... More

Prolog
Unexpectated Day
Homeroom Teacher
Making Friend
Her Crush
Payus as Dad
The Meeting
The Fate
His Reason
Justin Haedar
Malika and Modar
Unrequited
Negotiation
Empathy
His Attention
The Denial
Being Caught
The Deal
Love By Habit
Justin's Pride
Camping
Madam Juwita
Flirting
About Family and Feeling
Saskara and His Problem
Juwita The Chatty
Dodgeball Game
Unexpectated Accident
Dejavu
Memory
His Grief
Clarification
Perspective
What If....
Trending Topic
Climax
Controversy
Comprehension
The Final Fate

What is Exactly The Point

39 19 15
By YunitaChearrish

"PAK, BAPAK DARI DULU AKRAB SAMA ANULIKA APAKAH KARENA MAU PEPETIN MAMANYA?"

Semua memberikan reaksi yang kurang lebih sama; syok dan berfokus kepada sang pelaku--Jeremy. Meskipun demikian, Pak Yunus berhasil menunjukkan wibawa pria berusia matang yang stabil, yang tidak akan secepat itu terpengaruh.

Hanya saja sesuai karakter Pak Yunus yang jago mengeluarkan kata-kata 'serangan' agar si pembuat ulah kapok, beliau spontan bertanya, "Kalo iya, kenapa dan kalo tidak, kenapa? Jelaskan dalam bahasa yang sopan biar Bapak tidak perlu memikirkan alasan untuk menghukum kamu."

"Kenapa saya dihukum, Pak? Saya, kan, cuman nanya."

"Masalahnya kamu bisa menciptakan kontroversi pagi-pagi," balas Pak Yunus lugas sebelum tatapannya jatuh ke arah jam sepuluh di mana posisi Anulika berada. Sedari tadi, gadis itu terus menunduk seolah-olah sedang mengobservasi ada berapa banyak bakteri di atas meja. Keadaannya yang sangat bertolak belakang dengan kesehariannya yang biasa membuat beliau merasa kalau kontroversi tersebut telah memberikan dampak kepadanya.

"Berarti benar, dong, Pak?" tanya Jeremy sambil menyeringai, merasa bangga karena intuisinya benar. "Bahwa Bapak dekat sama Anulika karena ngincar Mamanya? Pantesan, ya, Pak. Dari dulu kita-kita heran lihat kedekatan Bapak sama Anulika. Kedekatannya rada nganu, sih, Pak. Boleh jujur nggak, sih?"

"Nganu gimana? Bahasamu bisa nggak, sih, tidak mengundang kontroversi?" tanya Pak Yunus yang kesabarannya mulai berkurang. "Nih anak makin jadi aja, ya, Bapak lihat."

"Nggak tau perasaan saya apa bukan, sih, tapi cukup banyak rumor yang beredar tentang dia. Yaaa... nggak heran, sih, soalnya dia rada sombong gitu. Circle pertemanannya cuman sama yang selevel kayak Justin--eh kalau dipikir-pikir, temennya cuman satu, loh."

"Ya, trus?" Pak Yunus mulai kepo, sampai tidak sadar kalau empat pelajar di barisan depan sedang mengeluh meski dalam situasi yang berbeda; mulai dari Saskara yang overthinking dan parno, Juwita yang 'menikmati' jerih payahnya sebagai mata-mata sekolah, Justin yang berkali-kali menatap cemas pada teman sebangkunya, hingga Anulika yang berusaha sekuat tenaga untuk menahan ledakan tangisnya.

Gadis itu ingin mempercayai bahwa Pak Yunus tidak mungkin mempunyai alibi seperti yang dituduh oleh Jeremy, tetapi entah mengapa suara di dalam kepalanya tidak mau berhenti meneriakkan kalau dia kecewa terhadap beliau.

Anulika ingin menyangkal, tetapi dadanya kepalang sesak sebelum berangsur-angsur memberikan rasa nyeri, yang sepaket dengan rasa sakit pada tenggorokannya. Kali ini, sakitnya dua kali lebih parah daripada yang tadi gara-gara menahan semampu yang dia bisa. Lantas seolah melengkapi semua penderitaannya, fokusnya mulai mengabur karena ada lapisan bening yang menutupi netranya.

Gawat, gue nggak mungkin nangis di sini, 'kan? Tisunya Justin nggak mungkin membantu.

Kini, Anulika hanya memiliki dua pilihan; apakah dia harus kabur untuk menyelamatkan diri atau menunggu lebih lama demi mendengar jawaban Pak Yunus?

Seharusnya Pak Yunus nggak membenarkan tuduhan Jeremy. Harusnya nggak. Kalaupun iya, seharusnya nggak terang-terangan di depan gue....

"Lika--" Justin mengulurkan tangan, sedang bersiap untuk mengeluarkan kata-kata penghiburan, tetapi kalah oleh bunyi meja yang berdecit karena pergerakan yang buru-buru. Awalnya, cowok itu mengira sumbernya adalah Anulika, tetapi siapa sangka dalangnya adalah Saskara Damian.

Tanpa izin terlebih dahulu, dia meninggalkan ruang kelas dengan langkah yang super kilat, membuat semua penghuni kelas lagi-lagi syok. Anulika juga berhasil terdistraksi dan air matanya tidak jadi tumpah, tetapi pada saat yang sama, dia juga terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Namun siapa sangka, Juwita juga selaras dengan Anulika seolah bisa membaca pikirannya. Mereka beranjak dalam durasi yang hampir bersamaan dan terlihat kompak, membuat semua orang terbengong-bengong.

"Pak, saya nyusul Saskara, ya." Juwita meminta izin dengan sopan yang saat itu menjadi kesempatan bagi Anulika untuk berjalan duluan. Aksinya lagi-lagi menimbulkan kehebohan, yang memberi multitafsir kepada seisi kelas dan kehebohannya mencapai dua kali lebih parah daripada kontroversi yang ditimbulkan Jeremy barusan.

Pasalnya, mayoritas setuju bahwa aksi Anulika tadi adalah karena ingin mengejar Saskara dan tidak mau kalah start dari Juwita. Ditambah topic trending tentang keduanya yang masih hangat semakin memperkuat asumsi atas pembenaran yang berujung pada terpatahnya pemikiran sepihak dari Jeremy.

"Jer, lo pasti mau nebak kedekatan Pak Yunus sama Anulika kayak ada something, ya?"

"Kayaknya lo salah tafsir, deh."

"Iya, nih. Lihat aja, Anulika sampai ngejar Saskara."

"Tapi... gue jadi salah fokus, nih. Sejak kapan, ya, Saskara jadi famous? Mana masuk topik hangat, lagi."

"Iya, sih. Selama ini gue rada ngeri kalo deket-deket Saskara, entahlah. Rasanya kayak mau dipalak sama dia."

"Berasa kayak bawa golok, padahal mainannya penggaris besi."

"Heh, lo belum tau aja penggaris gituan bisa bunuh orang."

"Lah, denger dari mana?"

"Eh, nggak, deng. Canda aja gue."

"Ish. Intinya, nggak usah lebay, Jeremy. Memang, sih, kedekatan Anulika sama Pak Yunus bisa menimbulkan kontroversi dan rumor sana-sini, tapi situasinya sekarang, kan, Pak Yunus mau nikah sama mamanya Anulika. Yaaa... jadi, nggak usah nambah-nambah bumbu yang nggak perlu kali, Jer."

"Yaaa... gue, kan, cuman nanya. Kalo bukan, ya udah, sih. Kalian nggak usah mendalami terlalu lebay juga."

"Yeee... lo, sih! Mancing-mancing!"

"Sudah... sudah...." Pak Yunus menengahi. "Kita lanjut ke materi aja, ya. Waktu kita jadi terbuang selama setengah jam gegara topik ini."

"Tapi, Pak... Bapak belum klarifikasi."

"Ya, ampun, Jeremy--"

"Biar saya lega, Pak." Jeremy nyengir lebar. "Kelewat kepo saya, tuh."

"Fine. Bapak ngenal Anulika lebih dulu dan dekat sebelum ketemu mamanya. Okay?"

"Wah. Jadi nikahnya kapan, Pak? Trus gimana perasaan Bapak karena menikah sama wanita single parent--"

"LAMBEMU, JEREMY! KAMU ITU SISWA, BUKANNYA REPORTER! Makin lancang aja kamu. Heran, deh."

"Iya, deh, iya. Nggak nanya lagi." Jeremy akhirnya mendecak sebagai persetujuan untuk menyerah.

*****

"Saskara!" teriak Juwita sembari terus berlari untuk melampaui langkah Saskara yang masih jauh di depannya. Meski jarak mereka terpaut jauh, nyatanya gadis itu pantang menyerah dan pada akhirnya bisa menahan cowok itu untuk pergi lebih jauh.

Keduanya berada di pelataran Ruang Auditorium ketika Juwita berhasil memblokir jalan Saskara dengan kedua lengan yang terbentang lebar. "Udah cukup, ya, kejar-kejaran bak adegan drama Bollywood. Gue jadi haus, nih."

"Saya nggak minta kamu kejar."

"Betewe, Malika mana?" Juwita malah menanyakan topik lain. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke segala arah, seolah-olah berharap Anulika keluar dari semak-semak yang menghiasi halaman Ruang Auditorium.

"Kok, nanya saya?"

"Tadi dia keluar duluan, loh. Gue kira ngejar lo."

"Nggak."

"Oh--eh, mau ke mana?" tanya Juwita, tiba-tiba bersikap impulsif karena Saskara melangkah lagi.

"Kamu kembali aja ke kelas."

"Lo gimana?"

"Hmm...." Saskara diam agak lama. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Kenapa?"

"Saya sumpek di kelas. Tadi pada heboh, jadi... jadi nggak tahan aja."

"Oh."

"Balik ke kelas sana."

"Nggak, ah. Seru juga bisa bolos."

"Juwita Ramlan."

"Wuihhh... lo hapal nama gue?" Tidak disangka-sangka, Juwita merespons heboh.

"Iya. Namamu nggak susah dihapal," jawab Saskara kalem, membuat pembawaan keduanya terlihat begitu kontras. "Saya juga hapal nama-nama murid di kelas."

"Hm... kirain."

"Hah?"

"Oh, nggak." Juwita mengibaskan tangannya ke depan seperti sedang melakukan tamparan. "Betewe, berarti si Malika lagi sedih dong, ya. Come on.... apa yang gue bilang tadi ke lo itu udah terbukti. Masa lo masih nggak percaya?"

"...."

"Jeremy aja bisa peka dan ngerasain, begitu juga yang lain meski gue lebih tau dari mereka. Lo mau denger teori gue, nggak?"

"Apa?"

"Nggak lama lagi lo berada dalam bahaya, Saskara, karena keadaan udah berbalik. Insiden hari ini bisa jadi bukti konkretnya."

"Yang mana?"

"Malika ikutan keluar nggak lama setelah lo keluar. Trus fatalnya, gue juga dalam posisi yang sama tadi. Inget, nggak, pas gue belain lo di depan anak-anak waktu Malika ajak lo ngomong berdua? Malika, kan, sempat kayak debat sama gue dan bersikap seolah-olah dia layak mengatur lo. Nah, bibitnya dari situ, sih. Makanya, gue kepo sama pembicaraan kalian juga karena ini. Yaaa... hati-hati aja jangan sampe kalian berdua--terutama lo--diserang pertanyaan bertubi-tubi demi kebutuhan klarifikasi."

Saskara tidak menjawab, tetapi fokusnya terarah pada satu titik sebelum terdengar embusan kasar dan cowok itu akhirnya menatap langsung ke mata Juwita.

Juwita bisa saja ketar-ketir absurd karena ditatap oleh cowok yang baru dia sadari ternyata cukup ganteng, tetapi berbeda halnya dengan Saskara karena dia sedang sibuk mempertanyakan takdir apa yang sedang direncanakan untuknya.

Eksistensi Juwita juga dipertanyakan di sini.



Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

9.2M 779K 35
"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam...
154K 6.2K 50
salahkah bila diriku mencintaimu?sedangkan sudah jelas di depan mataku kau tak mencintaiku.Terkadang aku mengutuk rasa yang hadir di saat yang tidak...
10.3M 528K 37
Bagaimana jika aku menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku? Bagaimana jika kau juga menjadikanku lelaki satu-satunya dalam hidupmu? ...
359K 18.1K 14
Aku pernah mencintainya. Ia memintaku untuk jangan pernah meninggalkannya. Tapi ia sendiri yang meninggalkanku. -Sein Oceano Seanberg- Aku bukan temp...