Something About You

By matchamallow

4.1M 570K 253K

18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Ka... More

INTRODUCTION
Sinopsis - Something about This Story
Part 1 - Something about Blackmere Park
Part 2 - Something about Rejection
Part 3 - Something about True Sadness
Part 4 - Something about A New Hope
Part 5 - Something about Beauty
Part 6 - Something about Dream
Part 7 - Something about Madame Genevieve
Part 8 - Something about Reputation
OFFICIAL ACCOUNT
Part 9.1 - Something About Kindness
Part 9.2 - Something About Kindness
Part 10 - Something About Manner
Part 11 - Something About Rules for Lady
Part 12 - Something About The Season
Part 13 - Something About Scandal
Part 14 - Something About Laugh
Part 15 - Something About the Reason
Part 16.1 - Something About That Man
Part 16.2 - Something About That Man
Part 17 - Something About Gentleman
Part 18 - Something About Heart
PART 19.1 - Something About Lisette
Part 19.2 - Something About Lisette
Part 20 - Something About The Way You Make Me Feel
Part 21.1-Something About Missunderstanding
Part 21.2 - Something About Missunderstanding
Part 22.1 - Something About Distance
Part 22.2 - Something About Distance
Part 22.3 - Something About Distance
Part 23.1 - Something About Gossip
Part 23.2 - Something About Gossip
Part 23.3 - Something About Gossip
Part 23.4 - Something About Gossip
Part 24.1 - Something About Proposal
Part 24.2 - Something About Proposal
Part 24.3 - Something About Proposal
Part 24.4 - Something About Proposal
Part 25.1 - Something About Purpose
Part 25.2 - Something About Purpose
Part 26.1 - Something About Plan
Part 26.2 - Something About Plan
Part 27. Something About The Truth
Part 28 - Something About Chaos
Part 29 - Something About Revenge
Part 30-Something About Another Woman
Part 31.1 - Something About Friendship
Part 31.3 - Something About Friendship
Part 32.1 - Something About Betrayal
Part 32.2 - Something About Betrayal
Part 33 - Something About Seduction
Part 34.1 - Something About The Fear
Part 34.2 - Something About The Fear
Side story/ POV Raphael
Part 35.1 - Something About Happiness
Bab 35.2 - Something About Happiness
Part 36 - Something About Boundary
Part 37 - Something About Carlisle
Part 38 - Something About True Sadness
Part 39 - Something About Awakening
Part 40 - Something About Lost
Part 41 - Something About Hopeless
Part 42.1 - Something About Keele
Part 42.2 - Something About Keele
Bab 43 - Something About Doubt
Part 44 - Something About Invitation
Part 45.1 - Something About Love and Confession

Part 31.2 - Something About Friendship

39.1K 8.1K 3.6K
By matchamallow

UPDATE!!

Jangan lupa memberi bintang

Jangan lupa komen

Jangan lupa berdoa sebelum membaca, semoga kita semua diberi ketabahan

***

Note : di zaman itu sebuah kecelakaan seperti mati terbakar api perapian di pesta sangat lumrah terjadi. Dan biasanya tidak akan ada yang menolong karena takut apinya akan merambat pada gaun pesta yang mudah terbakar. 


***


PART 31| SOMETHING ABOUT FRIENDSHIP


"Aku tidak akan menahannya lagi di sini. Jika dia ingin ke Harrogate atau ke Carlisle aku tidak akan menghalanginya. Tahun depan sebaiknya ia melanjutkan debutnya di Mayfair bersama Malton. Aku akan tetap bertanggung jawab sebagai sponsor sesuai wasiat Josephine," cerocos Raphael siang itu di kamar neneknya tiba-tiba, padahal tak ada angin dan hujan.

"Apa ada masalah?" tanya Dowager Marchioness keheranan.

Raphael duduk di salah satu sofa dekat jendela. "Tidak. Sampaikan saja seperti yang kukatakan tadi."

"Kenapa tidak kau sampaikan sendiri padanya?"

"Aku tidak bisa," jawab Raphael muram. Setidaknya untuk saat ini, di mana ia baru saja hampir mencemari seseorang. Raphael tidak berani mendekati wanita itu atau berada dalam ruangan yang sama dengannya sebelum benar-benar bisa menenangkan diri.

"Aku akan kembali ke Harrogate besok pagi." Sang nenek malah memberitakan hal lain.

"Kenapa begitu mendadak?"

Dengan santai Dowager Marchioness menaruh tehnya. "Aku sudah mengatakan acara makan siang kemarin adalah acara terakhir kita di estat."

"Besok sore Kaytlin sudah berjanji akan menghadiri undangan di Torrington House."

"Aku tidak ingin datang," ujar neneknya tegas. Ketenangan wanita itu sedikit menghilang. "Aku tahu tidak banyak yang bisa diundang ke sana, tapi Kaytlin bisa masuk atas rekomendasi Duchess of Schomberg."

Raphael terdiam mendengar nama itu disebut dengan dingin.

"Aku tahu kau masih berhubungan dengan wanita itu dan memanfaatkan debut Kaytlin untuk kedekatanmu dengannya," tukas sang nenek menyuarakan apa yang dipendamnya selama ini. Raphael tidak terlalu terkejut dengan itu karena ia juga sudah menyangka sejak dulu.

Lalu Dowager Marchioness melanjutkan. "Atau mungkin kebalikannya? Kau tidak memanfaatkannya, tetapi kau membuat alasan itu untuk debutnya karena kau ingin ia tetap di sini."

Karena neneknya mulai terbuka memperlihatkan maksud, Raphael pun tidak menahan apa yang dipendamnya lagi. "Dan dengan pemikiran itu, kau berusaha mendekatkanku pada Kaytlin?"

"Tapi kau memang tertarik padanya, bukan?" tukas neneknya santai.

"Ya, Tuhan..." Raphael membuang muka sembari tertawa miris.

"Tetapkan pilihanmu, Raphael."

"Tidak ada yang perlu kupilih. Aku tidak pernah menjanjikan apa pun pada Kaytlin, begitu pula sebaliknya. Ia juga tidak pernah mengatakan memiliki perasaan apa pun padaku."

"Bagaimana jika ia memiliki perasaan padamu? Apakah itu akan mengubah sesuatu?"

Sorot mata neneknya terlihat sungguh-sungguh. Raphael bahkan tidak berani membayangkan mengingat ia sering lepas kendali jika sudah berhubungan dengan wanita bernama Kaytlin de Vere. Hal itu membuatnya ngeri hingga memilih mengalihkan fokus pertanyaan.

"Mengapa kau sangat membenci Sophie?"

Merasa gagal mendapatkan yang diinginkan, sang nenek menghela napas kasar. "Ia memanfaatkanmu. Begitu Duke of Schomberg meninggal, seluruh harta dan gelar akan jatuh pada Marshall, putranya yang masih di bawah umur. Ia memang Dowager Duchess yang akan mendapat tunjangan bulanan yang cukup besar, tapi keluarga Duke of Schomberg membencinya sejak awal karena berharap gelar duke akan jatuh pada mereka sebelum Sophie datang. Kedudukannya terancam, begitu juga Marshall. Jika terjadi sesuatu pada Marshall, maka kau adalah pilihan terakhirnya."

"Aku tahu," sahut Raphael.

Sophie memang sudah berubah, wanita itu bukan lagi debutan naif yang dulu menangis di taman belakang karena merasa kecantikan dan statusnya adalah kutukan. Keinginan yang kuat untuk melindungi itu muncul setelah melihatnya karena salah satu hal yang Raphael sesali dalam hidupnya adalah bahwa ia tidak bisa membantu Josephine. Ia merasa menemukan ketakutan Josephine dalam diri Sophie.

"Kau sudah tahu tapi kau masih tetap bertahan. Kau terlalu baik padanya."

"Jika bukan aku, lalu siapa lagi yang tersisa untuk mendukungnya?"

"Ia yang memilih jalannya sendiri. Seharusnya ia bisa memilih menikah denganmu dan mungkin aku tidak akan sebenci ini padanya."

"Awalnya aku juga merasa seperti itu, tetapi lambat laun aku sadar ia berpikir realistis dengan tidak menerima lamaranku."

Neneknya tertawa sinis. "Ia takut dikucilkan dari masyarakat jika kawin lari denganmu. Ia akan kehilangan statusnya di kalangan bangsawan dan mendapat malu. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak mau melepaskanmu. Betapa menggelikan."

"Ia tidak mungkin menentang keluarganya," debat Raphael. "Lagipula hubungan gelapnya denganku juga tidak terencanakan. Ia tidak dengan sengaja melakukannya."

"Aku percaya itu. Wanita seumur Sophie saat menikah dulu pasti tidak mungkin merencanakan suatu hal yang berisiko, apalagi ia penakut. Tapi manusia cenderung semakin berani untuk mengambil risiko yang setingkat lebih besar setelah berhasil lolos dari risiko yang lebih rendah. Dan pengulangannya akan terus berlaku hingga ke titik yang tidak terbatas jika manusia itu tidak bisa mengontrolnya. Kau tidak boleh percaya sepenuh hati pada Sophie. Aku mengatakan ini karena aku sendiri wanita."

"Kau hanya belum mengenalnya."

"Kuharap tidak. Rasa kasihan akan membutakan perspektifku. Aku cukup melihatnya melalui analisaku bertahun-tahun. Sejak dulu hingga kini yang ia pikirkan adalah dirinya."

"Semua orang pasti akan memikirkan dirinya."

"Mengapa kau tidak? Sekali-kali lupakan keberadaan Sophie dan pikirkan dirimu sendiri."

"Lalu apa bedanya dirimu dengan Sophie? Sophie memanfaatkanku. Sedangkan kau memanfaatkan Kaytlin untuk memisahkanku dengan Sophie."

"Di luar rencanaku untuk memanfaatkannya, aku memang menyukainya!"

"Dan aku juga menyukai Sophie!" sanggah Raphael kesal. "Berhentilah berpikir berlebihan dan keluar dari khayalanmu. Tidak ada apa pun yang terjadi antara diriku dan Kaytlin!" Dengan gusar Raphael beranjak pergi meninggalkan sang nenek yang hanya bisa terdiam dalam kesendirian.


***

Manusia cenderung semakin berani untuk mengambil risiko yang setingkat lebih besar setelah berhasil lolos dari risiko yang lebih rendah.

Kalimat neneknya masih terngiang di kepala Raphael. Sebenarnya kalimat itu lebih tepat ditujukan untuk dirinya dibanding Sophie. Ciuman pertama di lorong itu hanya sebatas ciuman biasa, yang kedua semakin berbahaya, yang ketiga Raphael bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi jika Kaytlin tidak menghentikan. Darah di tubuhnya masih menggelegak mengingat itu meski beberapa jam telah berlalu.

Dalam keheningan, Raphael menyesap madeira seorang diri di chateau-nya. Apalagi yang bisa ia lakukan selain melarikan diri? Tapi ini untuk terakhir kalinya karena ia sudah membebaskan wanita cerewet itu, menjauhkannya dari hidup Raphael. Persetan ia akan memilih menjadi penjahit rendahan ataupun menikah dengan Breadbane, Fenwood, dan pria baik hati lainnya yang tidak memiliki hidup sekelam Raphael. Dan Raphael tidak akan peduli karena ia tidak perlu menyaksikan.

Terdengar suara-suara di luar chateau sebelum pintu dibuka. Sophie muncul dari balik pintu dengan penuh keterkejutan.

"Raphael, aku mendapat pesan dari Rebecca untuk menyuruhku kemari."

"Ya, aku yang memintanya mengirim pesan untukmu."

"Bukankah kita akan bertemu tiga hari lagi?"

"Aku tidak akan lama."

"Tapi kau akan datang tiga hari lagi, bukan?" Sophie memastikan.

Tanpa ekspresi berlebih, Raphael mengangguk. Sophie tersenyum dan duduk di sofa yang tepat berada di hadapan Raphael lalu membuka sarung tangan dengan gerakan anggun. 

"Kau meminum madeira-ku," komentarnya melihat minuman di tangan Raphael.

"Aku akan menggantinya."

"Padahal aku hanya bergurau, tapi kau sangat manis." Sophie menyipitkan mata mengamati. "Apa ada masalah? Kau terlihat kacau."

"Tidak." Raphael menggeleng sembari tersenyum muram. "Aku hanya ingin melihatmu."

Sophie memberikan tatapan yang menyiratkan bahwa ia terheran mendengar ucapan Raphael. Jika Raphael sudah memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya bersama Sophie maka ia akan mendedikasikan waktu bagi wanita itu. Selama ini mungkin Raphael tidak pernah mempedulikannya. Harus ia akui inisiatif ini muncul karena omelan Kaytlin de Vere.

"Kau harus tahu bahwa aku sangat senang mendengarnya. Akhir-akhir ini aku sedikit berpikir berlebihan tentangmu."

"Berpikir berlebihan?"

"Kau tidak akan ingin mendengarnya."

"Justru mulai sekarang aku akan mendengarnya. Katakanlah semua yang ingin kaukatakan."

Kerutan muncul di kening mulus Sophie. "Benarkah?" tanyanya heran. "Tapi lupakan saja karena pikiran itu sudah hilang sekarang."

Dengan binar bahagia yang muncul di matanya, Sophie beranjak dari sofa tunggal itu dan menuangkan madeira untuk dirinya sendiri. Lalu setelahnya ia memilih duduk di samping Raphael.

"Semudah itu?" tanya Raphael.

"Semudah itu." Sophie mengiyakan dan menyesap madeira tanpa melepaskan tatapan dari Raphael. "Kau berubah menjadi begitu perhatian."

"Hanya ingin menebus waktu yang terbuang. Aku ingin tahu tentangmu sekarang...keadaanmu...dan apa yang kauinginkan."

"Aku merasa sangat baik." Tangan Sophie mengelus sisi wajah Raphael. "Kau yakin tidak akan lama di sini?"

"Aku khawatir menyita waktumu."

"Tidak...sama sekali tidak. Aku tidak memiliki rencana ke mana pun hari ini..." Sophie mendekatkan wajah, tetapi sesuatu membuatnya terhenti saat bibirnya hanya seinchi lagi dari bibir Raphael. 

Wanita itu mengambil sedikit jarak untuk menatap Raphael dan terdiam dengan tatapan tak terbaca. Lalu sesaat kemudian ia membenamkan wajah di bahu Raphael dan mulai tertawa seperti seseorang yang baru saja mendengar lelucon murahan.

"Kaytlin de Vere..." Sophie bergumam seraya tertawa miris. "Tidak kusangka...dia."

Raphael bergeming mendengar nama itu disebut.

"Dia..." Dengan wajah masih terkubur di bahu Raphael, Sophie melingkarkan tangan memeluknya. "Dia menceritakan keluh kesahku padamu?"

"Tidak," sahut Raphael. "Ia hanya menasehatiku setelah membaca suratmu."

"Karena itukah kau memperhatikanku?"

Raphael tidak akan menjawabnya karena itu pertanyaan yang berbahaya.

"Kau tahu..." Sophie tertawa kembali. "Ia memiliki beberapa pengagum sekarang, tapi sebagian besar pengagumnya adalah pria-pria yang mengerikan. Kau tidak akan percaya siapa yang diajaknya berdansa saat aku terakhir kali berbicara dengannya di pesta. Seorang pria gemuk dengan aksen gagap__"

"Breadbane."

"Itukah namanya? Bahkan namanya pun terdengar konyol."

"Ia pria yang baik."

"Ya, Tuhan...biasanya kau akan menanggapi dengan hujatan yang lebih menusuk. Kau...benar-benar berubah."

"Aku tidak berubah."

"Kau berubah." Sophie mengangkat wajah. Sorot mata sedih sekaligus terluka itu kembali muncul.

"Tapi tentu saja aku senang kau lebih memperhatikanku," lanjutnya serak. Jarinya menyentuh deretan kancing kemeja Raphael. "Kau sungguh ingin tahu apa yang kuinginkan?"

Sophie benar-benar menangis sekarang entah apa yang menjadi pemicunya. Tapi wajahnya tetap tersenyum. Raphael menghapus airmata itu dengan jarinya.

"Aku ingin kau...menginginkanku...sekarang."

Sebenarnya ini di luar rencana Raphael, tetapi penolakan hanya akan membuat kesedihan wanita itu bertambah berkali lipat. Ia menangkup wajah Sophie, menahan napas saat menatap serius wanita itu lalu menutup mata sebelum menciumnya.

Dalam kegelapan, yang ia bayangkan adalah bibir itu. Yang berbicara tanpa jeda tapi selalu berhasil menarik Raphael untuk tenggelam ke dalam kenikmatannya.

Tangannya membuka pakaian Sophie dan menelusuri tubuhnya, sementara yang ia bayangkan adalah tubuh itu, yang terbaring pasif di lantai perpustakaan. Raphael bahkan masih mengingat suara desahannya saat tubuh itu menerima sentuhan tangan serta bibir Raphael di kulit telanjangnya. Bayangan-bayangan yang terpatri itu berhasil membangunkan hasratnya dengan cepat. Meskipun menyadari kenyataan itu dengan muram bahwa ia telah menipu Sophie dan juga dirinya sendiri, Raphael akan tetap meneruskan apa yang ia tetapkan meski seumur hidup harus membayangkannya setiap kali bercinta.

***


Ia...bukan 'wanita lain' itu, bukan?

Dengan ketakutan bercampur linglung, Kaytlin meminum limun di pesta yang dihadirinya malam itu.

Setelah kejadian di perpustakaan, syukurlah Kaytlin belum bertemu Lord Blackmere lagi. Ia belum siap. Mungkin ia tidak akan siap selamanya. Sekujur tubuhnya masih teringat dengan sentuhan pria itu sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun. Ia sempat bercakap-cakap dengan para gentleman pasangannya saat sedang berdansa tadi, tetapi ia tidak bisa mengingat topik apa saja yang mereka bicarakan. Seusai berdansa semua seakan hilang dan hanya Lord Blackmere yang menjadi pusat pikirannya.

"Aku benci ini." Terdengar keluhan Selene saat mendekati Kaytlin bersama Melissa. Kaytlin menoleh dengan gugup dan mencoba berkonsentrasi mendengar percakapan teman-temannya.

"Ada apa?" 

"Ibunya memperkenalkan Selene dengan berbagai pria mulai dari yang muda hingga...setengah tua," tutur Melissa.

"Dan semua melihat dadaku lebih lama dibanding wajahku." Selene memberengut. 

Seperti biasa, aturan tata krama tidak boleh menyebut anggota tubuh tertentu tidak berlaku bagi mereka saat bersama. Kaytlin otomatis memperhatikan dada Selene dan mengerjap-ngerjap.

"Mengapa semua pria yang kutemui rata-rata berotak mesum?" lanjut Selene. "Jika aku menemukan pria yang tidak melihat dadaku saat berkenalan, aku akan langsung menikahinya."

"Pria itu harus melamarmu lebih dulu, Selene," ledek Melissa.

"Tidak akan ada yang melamarku selama Mama masih menyuruhku memakai gaun-gaun anehnya. Aku benci syal besar aneh ini...dan bulu bulu ini. Lihat, kipasku juga berbulu." Selene menggelitiki hidung Melissa dengan kipas bulunya sambil tertawa.

"Mengapa Lady Spearmont harus memakaikanmu gaun yang cenderung rumit dan...berbulu?" Sebagai seseorang yang menyukai keindahan fashion, Kaytlin bertanya dengan setengah prihatin dan setengah ingin tahu.

"Kata Mama ini bisa menutupi tubuhku yang besar. Ia juga melarangku memakan kue agar aku bisa selangsing Anne Cahill," jelas Selene menyebutkan salah satu debutan populer yang memiliki tubuh kurus.

"Aku tidak mengerti, apa ibumu tidak bisa melihat kecantikanmu?" tanya Kaytlin heran karena tidak merasa Selene bertubuh besar, tetapi hanya sediki berisi bahkan berlekuk di tempat yang tepat. Korset di tubuhnya terlihat menyiksa karena terlalu ketat. Memang pada saat itu tubuh ramping sangat dipuja. Semakin kecil pinggangmu maka akan semakin baik.

"Ia akan memujiku cantik jika sudah sekurus Lulu. Tenanglah, aku mengatakan padanya bahwa aku sangat mendukung ide diet itu dan ia cukup senang." Selene mengangguk-angguk santai seraya mengambil beberapa cupcake di piring kecilnya. "Ayo kita cari tempat tersembunyi. Jangan sampai Mama melihatku memakan ini."

Sambil tertawa, mereka berjalan-jalan di selasar balkon yang berada di balik tirai-tirai pilar. Kaytlin merasa bersyukur teman-temannya masa bodoh dengan standar kecantikan masyarakat. Mungkin karena mereka sudah terlalu bosan menjadi debutan yang tak kunjung mendapat lamaran. Umur mereka tidak bisa digolongkan muda seperti debutan lain sehingga Kaytlin tidak merasa sendirian. Tahun ini Kaytlin menginjak umur 23, Melissa 21, dan Selene 25.

"Kay, kau masih ada dansa setelah ini, bukan?" tanya Melissa.

"Dua dansa lagi. Dowager Marchioness tidak bisa pulang terlalu malam karena angin musim gugur tidak baik untuknya. Aku terpaksa menolak dansa lain."

"Kurasa kau yang akan paling cepat menikah di antara kita, padahal kau yang paling tidak berambisi," goda Melissa.

"Tidak juga," tanggap Kaytlin. 

"Omong-omong, apa kau ada tertarik dengan salah satu dari para pengagummu?"

"Ja-jangan mengatakan mereka pengagumku," sanggah Kaytlin malu.

"Aku sering mendapati diriku merasa kesal berbicara denganmu yang terlalu tidak peka," gerutu Melissa. Kaytlin membuka bibir hendak memprotes, tapi Melissa lebih dulu beralih pada Selene yang sedang asyik memakan kuenya. "Selene, menurutmu siapa pria-pria Kaytlin yang berpotensi?"

Selene menatap Kaytlin dan Melissa bergantian. "Kurasa Osborne lumayan, tapi Fenwood yang terbaik di antara semua, dilihat dari kualitas dan parasnya."

"Aku juga sependapat. Fenwood yang terbaik."

"Tapi Lord Fenwood tidak mencari istri," jelas Kaytlin. "Lady Winny memaksanya berdansa denganku."

"Jika kulihat-lihat, ia tidak tampak terpaksa," komentar Selene.

"Kami berteman setelahnya." Kaytlin meyakinkan. "Ia mengatakan akan mengajakku berjalan-jalan suatu saat nanti dengan kereta terbuka ke Vauxhall Garden."

"Kapan?!" Melissa berteriak di wajah Kaytlin.

"Aku menolaknya. Aku harus pulang ke Carlisle dalam waktu dekat."

"Ah! Sampaikan salamku pada Lissy dan Anthony!" pekik Melissa. "Tapi sayang sekali kau harus menolak ajakan Fenwood. Padahal itu sebuah kesempatan."

"Sebenarnya hidupmu dikelilingi pria-pria tampan," tilik Selene melanjutkan topik. "Jika kau tidak tertarik pada para pengunjungmu, kulihat kau juga akrab dengan Lord Vaughan dan George Sommerby."

"Selene!! Kau pasti tidak serius menganjurkan Kaytlin bersama mereka!" Melissa tertawa tak percaya.

"Kemungkinan itu selalu ada, bukan?" elak Selene.

"Tidak." Ikut tertawa, Kaytlin menggeleng. "Mereka hanya teman-teman yang baik. Dan mereka belum ingin menikah."

"Bagaimana dengan Lord Blackmere?" celetuk Melissa tiba-tiba.

Tidak menyangka Melissa akan menyebut nama itu, Kaytlin berhenti tertawa. "Mi-Missy, apa kau juga serius menyebutnya?"

"Tentu saja aku serius. Bukankah itu lebih masuk akal dibanding Lord Vaughan dan Mr. Sommerby?" Melissa memaparkan. "Awalnya aku tidak memikirkannya karena Lissy selalu mengatakan sebaliknya, tapi pandanganku sedikit berubah sejak bertemu dengannya langsung. Aku malah sempat percaya dengan tabloid gosip itu saat pertama kali membacanya."

"Percaya...aku bertunangan dengannya?" tanya Kaytlin ragu.

Melissa mengangguk. "Mengingat kau pernah berbicara dengan orang sesulit dirinya. Caranya memandangmu seperti hanya kau yang ada di sana. Bahkan tidak melihatku yang merupakan orang asing. Lalu ia juga memanggilmu Kaytlin."

"Benarkah?!" Selene mulai ikut ingin tahu karena Melissa menjelaskan dengan dramatis.

"I-itu karena ia kebingungan untuk membedakan panggilanku dengan Lissy. Makanya ia memanggil nama depanku," jelas Kaytlin cepat. Sebenarnya kata-kata itu juga ditujukan untuknya agar ia tidak terlalu terbawa perasaan setelah kejadian terakhir...

"Ia juga tidak membantah berita pertunangannya denganmu." Melissa mengangkat bahu.

"Ia tidak membantahnya karena nama baik Her Lady yang dipertaruhkan."

"Tapi ia menyuruhmu tinggal di sini setelah Lissy menikah, bukan? Tidakkah menurutmu itu berarti sesuatu?" Melissa bertanya dengan gaya khasnya mengorek informasi. "Memiliki minat padamu, misalnya."

"Missy, kumohon jangan mengatakan hal aneh itu padaku."

"Itu tidak aneh, Kay. Missy mengutarakan kemungkinan," tutur Selene.

"Kau tidak suka padanya?" desak Melissa.

"Bu-bukan seperti itu. Aku...aku menyukainya...maksudku aku tentu saja tidak membencinya. Tapi jelas ia tidak menyukaiku dalam arti spesial." Kaytlin meminum limunnya mengatasi kegugupan. Ia harus menjaga akal sehat agar Melissa tidak memunculkan harapan dalam diri Kaytlin. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkan Lord Blackmere memiliki minat padanya, meski terdengar indah. Namun, jika Lord Blackmere memiliki minat padanya pasti sudah sejak dulu pria itu melamarnya, bukan?

"Lalu apa alasannya? Dulu kau mengatakan ia tidak mau mensponsorimu, lalu tiba-tiba ia mensponsorimu setelah Lisette menikah. Siapa tahu niat mensponsori itu hanya alasan agar kau bisa tinggal di sana lebih lama," gurau Melissa sambil tertawa.

"Tidak. Seseorang bisa berubah pikiran. Hanya itu." Kaytlin hendak meminum limunnya lagi tetapi Melissa menahan tangannya. 

"Kadang aku kebingungan denganmu yang tidak pernah memanfaatkan kesempatan. Ia satu atap denganmu. Dan yang terpenting ia belum menikah ataupun memiliki kekasih. Jika aku menjadi dirimu sudah lama aku akan mengeluarkan pesonaku habis-habisan. Jika perlu aku akan merayunya," desak Melissa. "Ayolah."

Sementara Melissa dan Selene tersenyum penuh persekongkolan, Kaytlin menggeleng horor. Ia berharap mereka mengubah topik atau ada suatu kejadian besar seperti...tiba-tiba muncul angin tornado yang membuat mereka lupa menginterogasinya.

Seakan menjawab doa Kaytlin, terdengar keributan dari arah lantai dansa. Mereka bertiga segera melihat ke sumber suara. Tampak seorang lady mengempas-empaskan gaunnya karena terkena api perapian sambil berteriak histeris. Suasana berubah mencekam seketika.

"Gaun Anne Cahill terbakar," seru Melissa terbelalak.

"Kenapa tidak ada yang menolong?" tanya Kaytlin yang keheranan melihat orang-orang di sekitar Lady Anne Cahill malah menjauh berlari. Hanya sedikit pria yang ada di ruang dansa karena sebagian besar beristirahat di ruang pria. Pria-pria yang tersisa itu juga hanya diam menonton. Api dengan cepat merambat ke sekitar rok gaun Anne dan pinggangnya.

"Ibu juga menyuruhku begitu. Kata Ibu jika ada yang terbakar di pesta maka kita semua harus menjauh karena gaun kita rentan ikut terbakar."

Kaytlin terperangah tak percaya. Lagi-lagi peraturan bangsawan yang aneh. "Ini tidak benar! Kita tidak mungkin diam melihat seseorang terbakar hingga mati. Jika kalian takut, aku yang akan menyiram air pada Anne, tetapi aku perlu bantuan kalian untuk ikut mengambil air. Selene__" Ucapan Kaytlin terhenti karena Selene tidak ada di sampingnya.

Tak lama setelahnya, terlihat Selene yang basah kuyup berlari susah payah membelah ruang pesta. Ia menutup api di gaun Anne dengan syalnya. Anne jatuh terjerembab ke lantai. Selene berusaha memadamkan sisa-sisa api dengan syal basahnya pada tubuh Anne. Api hampir padam di gaunnya sementara api kecil lain merembet hampir ke rambut Anne. Kaytlin dan Melissa berlari untuk membantu.

"Jaga gaun kalian jangan sampai terbakar!" teriak Selene khawatir. Ia mengambil gelas berisi limun di tangan Kaytlin, lalu menyiram kepala Lady Anne dengan sisa limun hingga Anne terkesiap seperti ikan yang menggelepar. Kaytlin dan Melissa melanjutkan menginjak-injak sisa api di lantai dengan takut-takut hingga padam sepenuhnya.

Para pria yang terlambat datang memasuki aula pesta. Mereka terhenti dan mematung melihat apa yang terjadi sementara para pelayan bergegas memastikan api benar-benar padam. Selene dan Melissa membantu Anne berdiri. Ia selamat meski penampilannya menyedihkan seperti baru tercebur got.

"Anne!! Anne!! Oh, Anne!! Kau tidak apa-apa?" Countess Gladstone, ibu Lady Anne berlari dan memeluk putrinya. Setelah tenang, ia menoleh pada Selene dengan tatapan garang. "Apa yang kaulakukan padanya?!" Tanpa disangka, Lady Gladstone malah membentak Selene.

"Apa yang kulakukan padanya?!" Selene membalas jengah. "Jika aku tidak melakukan apa-apa, putrimu sudah mati! Lalu Anda sendiri ke mana saat ia terbakar?"

"Kau!!" Lady Gladstone ternganga tak percaya. Kaytlin pun tak percaya Selene bisa membalas tanpa ragu seperti tadi. Mungkin jika ia di posisi Selene, ia akan hanya terdiam.

"My Lady, Selene menyelamatkan putri Anda. Itu sama dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri," bela Kaytlin dengan lebih sopan.

"Ya, kami melihatnya sendiri!" tambah Melissa.

Merasa dikeroyok, Lady Gladstone akhirnya pergi dengan bersungut-sungut sambil memeluk putrinya yang menangis. Beberapa tamu mengucapkan simpati pada Lady Gladstone dan putrinya, beberapa bertepuk tangan pada Selene, sisanya mencibir sembari berbisik.

"Aku pasti akan masuk tabloid gosip lagi besok," gerutu Selene yang hanya terdengar oleh Melissa dan Kaytlin.

"Seharusnya Lady Gladstone berterima kasih padamu," geram Melissa. "Anne berengsek itu juga, seharusnya kau membiarkannya mati terbakar sehingga satu pesaing dalam season berhasil tersingkirkan."

"Apa yang kaulakukan sudah benar, Selene." Kaytlin tersenyum dan menyentuh lengan Selene yang gemetar kedinginan karena basah. Tampaknya Selene menceburkan diri ke kolam lebih dulu sebelum menyelamatkan Anne agar ia tidak ikut terbakar nantinya, suatu tindakan spontan yang brillian.

"Well, setidaknya aku sempat menyiramnya dengan limun. Dan...aku berhasil menyingkirkan syal buluku."

Mereka menatap selendang Selene yang teronggok di lantai, lebih menyerupai lap dapur dengan sedikit hitam di sisi-sisinya. Lalu mereka tertawa berbarengan.

"SELENE!!" Suara teriakan Viscountess Spearmont menggelegar dari selasar lantai dua.

"Itu Ibu, aku harus kabur!" Selene berlari bersama Kaytlin dan Melissa yang juga mengikutinya sambil menahan cekikikan.

***

Malam ini sungguh luar biasa. Setidaknya Kaytlin bisa melupakan masalahnya sejenak hingga perjalanan pulang di kereta yang sunyi membuatnya melankolis kembali. Tapi sepertinya ia tidak sendirian merasakan itu karena sudah cukup lama Kaytlin melihat Dowager Marchioness menatap murung ke luar jendela kereta. Wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak berangkat hingga setengah jam berlalu.

"My Lady, maaf jika aku bertanya. Apakah Anda marah aku terlibat dengan peristiwa tadi?" tanya Kaytlin takut-takut.

Dowager Marchioness menoleh dari lamunannya. "Marah? Justru sebaliknya, tadi adalah aksi paling menarik yang pernah kulihat dari wanita muda. Kalian memang pemberani, terutama Selene St Clair. Aku menyayangkannya sering menjadi ledekan para ton. Tabloid gosip itu terlalu jahat padanya."

Kaytlin tersenyum lega. "Kukira Anda memikirkannya karena kulihat Anda tampak sedih."

"Aku sedih karena hal lain." Dowager Marchioness tersenyum. "Aku akan ke Harrogate besok pagi."

Mendengar itu, Kaytlin hanya bisa menjawab, "baiklah, My Lady."

"Kudengar kau ada janji untuk menghadiri pesta minum teh di kediaman Dowager Duchess of Torrington besok."

Kaytlin mengangguk.

"Itu prospek yang baik. Hadirilah pesta itu sebagai penutup seasonmu tahun ini."

"Baik, My Lady," sahut Kaytlin patuh.

Selesai dengan penuturan itu, Dowager Marchioness merebahkan punggung ke kursi kereta dengan tatapan sedih kembali. "Tampaknya ini akhir dari semuanya." Ia berkata sayup-sayup.

"Maksud Anda?"

"Aku sudah berbicara dengan Raphael. Ia mengatakan kau boleh melanjutkan debutmu season depan tanpa harus berada di estat. Mungkin kau ingin di Mayfair bersama Malton yang juga mendebutkan adiknya Georgina. Tapi Raphael akan tetap menjadi sponsor untuk memenuhi wasiatnya pada ibumu."

"Oh..." Kaytlin bergumam rendah dan terdiam. Itu terdengar seperti pengusiran. Sebenarnya itu yang diharapkan Kaytlin, tetapi sekarang semua ini malah membuatnya sesak karena terjadi tepat setelah ciuman itu.

"Baiklah. His Lord sangat baik dengan tetap menjadi sponsorku, padahal itu tidak perlu." Kaytlin tersenyum sedih. "Aku merasa beruntung."

"Raphael mengatakan padaku untuk berhenti mengkhayalkan hal romantis."

Kaytlin menjaga dirinya tetap fokus dengan percakapan sementara pikirannya sudah menerawang. "Apakah Anda pernah mengkhayalkan hal romantis?" Ia tertawa pelan karena figur sang lady yang dingin sangat jauh dari hal tersebut.

"Aku sempat berharap Raphael akan berpaling dari wanita itu karena terpikat padamu."

Kaytlin tercekat menahan napas, lalu menggeleng. "My Lady, His Lord tidak memiliki perasaan semacam itu padaku."

"Bagaimana jika dia memilikinya? Apakah itu akan mengubah sesuatu?" Dowager Marchioness menatap dengan sungguh-sungguh.

"Mengubah sesuatu...yang seperti apa, My Lady?"

"Bahwa kau tidak diam, tetapi akan berusaha untuk meraihnya."

"Itu__" Ucapan Kaytlin bercampur tawa miris. "Aku..."

Dengan kebingungan Kaytlin berandai-andai. Meski Lord Blackmere menyukainya pun, Kaytlin terkesan seperti seorang pengkianat, orang ketiga dalam hubungan Lord Blackmere dan Duchess of Schomberg. Seandainya saja Kaytlin tidak tahu, tetapi masalahnya ia tahu hubungan mereka. Apalagi sang duchess sangat mempercayainya. Selamanya Kaytlin akan memendam rasa bersalah meski ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sudah jelas, tidak ada akhir indah untuk hubungan semacam itu.

"Maaf...tapi sepertinya tidak. Aku tidak seberani itu, My Lady," sahut Kaytlin lirih.

Cahaya bulan yang tertutup awan membuat sinar di wajah Dowager Marchioness meredup. Kaytlin khawatir telah menambah kesedihan wanita itu, tetapi ia mencoba jujur bahwa kemungkinan itu memang tidak ada.

"Kurasa aku memang harus belajar menerima wanita itu," ucap Dowager Marchioness setelahnya.

***

Tahan emosi ya, guys.

Part 31.3 besok. Kejar tayang. Semoga sebelum puasa bisa kelar di puncak konflik.

Terima kasih sudah memberi bintang dan komen.

Continue Reading

You'll Also Like

322K 48.2K 75
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
5.6K 567 9
You Hurt Me Aku harus pergi kan? Dan pada akhirnya, kau akan menyesali semuanya Disetiap aliran darahmu Short story series ✔
98.5K 8K 11
❤ Bastien Love Story [Pertama kali dipublikasikan di akun Hai2017]
613K 28.4K 13
TERSEDIA DI PS, KUBACA APP, KARYAKARSA Temui Ameera, gadis matang berusia dua puluh empat tahun yang jutek dan idealis. Baginya, kemapanan dalam hidu...