Happy reading_
•••
Jangan pernah lari dari masalah, karena sejatinya semakin kau berlari semakin bertambah keruh masalah itu.
—Tirta Amarta
•••
Tidak sampai di sana, begitu sampai di rumah Aegir menyeret Alayya ke kamar mandi. Dia mengguyur tubuh gadis itu seraya memijit tengkuknya.
"Gue udah bilang, gue nggak suka benda itu! Sekarang keluarin semuanya!" titah Aegir masih belum puas hingga terdengar Alayya bergumam, "A—abang udah ... sakit ... Aya nggak minum ...."
Bahkan rintihannya tidak ia pedulikan, Aegir masih menyiram kepalanya membuat gadis itu menggigil karena kedinginan.
"A—bang ...," lirihnya mencoba mengatur napas karena airnya masuk ke hidung dan matanya. "Sakit ...."
"Baru tahu kalau sakit?!"
*****
"Ha, kamu jaga bengkel dulu aku mau nyusul Aegir," pinta Tirta yang turun dari ruang lantai dua dengan tergopoh-gopoh. "Emang, kenapa?"
Sejak tadi Nuha masih sibuk kerja sampai belum sempat membuka ponsel, Valdrin pun sama.
"Aya kena masalah," jawab Tirta yang tengah mencari kunci mobilnya. Begitu mendengar nama Alayya keduanya langsung panik.
"Gue ikut!" Kompak Valdrin dan Nuha secara bersamaan. "Nggak usah kalian jaga bengkel saja."
"Sama gue aja, Kak. Naik motor kalau naik mobil pasti kena macet sekarang jamnya orang pulang kerja juga," saran Valdrin segera mencuci tangan kemudian mengambil tas kecilnya. "Okay."
"Lo di sini aja, Ha. Bagi tugas," kata Valdrin membuat cowok itu mengangguk setuju. "Jangan lupa kalau ada apa-apa kabarin!"
Valdrin mengacungkan jempol ke udara sebelum naik motor. Mereka sempat ke sekolah sebentar, tapi kata teman-temannya Aegir sudah membawa Alayya pulang.
"Gimana nih, Kak? Kita nyusul ke sana?" tanya Valdrin yang belum tahu masalahnya, tapi ikutan cemas begitu mendengar Alayya terkena masalah. "Iya, kamu tahu gimana kalau Aegir udah emosi, bisa-bisa habis tuh anak."
"Siap, Kak. Meluncur!" serunya langsung menancap gas menuju rumah Aegir.
Sesampainya di rumah, keduanya dikejutkan dengan suara dari kamar mandi. Tanpa pikir panjang keduanya langsung masuk rumah.
Valdrin membulatkan mata melihat Aegir yang menyiksa adiknya, dia terus menyiram tubuh Alayya dengan air meski gadis itu meringis kesakitan sedangkan Tirta mengusap wajahnya sendiri, memang berbahaya kalau Aegir sudah telanjur emosi. Aegir tidak gampang emosi, tapi sekalinya emosi kelar seluruh dunia.
"Lo tau kita bukan dari kalangan berada, Aya! Kalau lo buat ulah kayak gini yang susah kita berdua!" Alayya hanya terisak, tidak berani melawan atau menghentikan Aegir lagi.
Bahkan untuk sekarang saja dia tidak kuasa melihat mata Aegir yang menyalakan emosi.
"Kita belum tahu kebijakan sekolah! Kalau mereka minta denda gimana?" kesal Aegir terus mengguyur tubuh Alayya hingga air di bak mandi terkuras habis.
"Hentikan, Gir!" pinta Tirta langsung menjauhkan tubuh Aegir dari Alayya kemudian menahannya. "Lepasin, Kak."
"Nggak, aku nggak akan biarin kamu nyiksa Aya," sahutnya membawa Aegir menjauh. "Gue nggak akan nyakitin Aya, gue ngusir setan yang ada di tubuh Aya!"
"Tapi itu berdampak ke fisik Aya, Gir," katanya mengatur napas, menahan laki-laki sepantarannya ini sangat sulit apalagi tenaga Aegir tidak main-main.
Saat ingin kembali ke kamar mandi, Aegir ditahan. "Tenangin dirimu dulu, jangan sampai kamu nyesel nanti."
Tirta mengingatkan jika penyesalan ada di akhir, kadang manusia tidak sadar apa yang dilakukannya di masa ini akan berdampak di masa depan. Tidak sedikit dari manusia menuruti emosi dan akhirnya hanya ada penyesalan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Valdrin langsung menghampiri gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu terkulai lemas dengan kepala yang bersandar di bak mandi, dia menyabet handuk kemudian memakaikannya ke Alayya.
"Lo nggak papa, Ay?" Wajahnya pucat sedang bibir dan jemarinya mulai mengerut, menggigil. Sepertinya Aegir cukup lama menyiram Alayya. "Sakit ...."
Laki-laki itu menuntun Alayya keluar sembari merapatkan handuk, agar gadis itu merasakan kehangatan.
"Lo ganti baju dulu biar nggak sakit, ya," saran Valdrin membuatnya mengangguk, sambil menunggu Alayya ganti baju, dia ke ruang tamu yang di sana ada Aegir dan Tirta.
"Lo kenapa bisa kek orang kesetanan nyet! Lo sadar, kan? Itu adik lo ... AYA," kata Valdrin menepuk bahu Aegir yang masih membeku di tempat. Sepertinya Aegir sedang menenangkan diri.
Aegir mengusap wajahnya sendiri, kemudian berniat keluar rumah. Namun, Tirta menghentikan. "Kamu mau ke mana? Jangan lari dari masalah."
"Gue mau nenangin diri, Kak."
"Sebaiknya jangan, Gir. Lo mau Aya nggak percaya sama lo? Setelah nyiksa dia, lo juga mau ninggalin dia?" Ucapan Valdrin ada benarnya juga. "Gue nggak ada niatan sedikitpun buat nyakitin Aya."
"Terus tadi apa, Gir? Party?" tampik Valdrin berdecak kesal.
"Lo tau gegara minuman sialan itu gue kehilangan bibi gue! Gegara paman mabuk dia ...." Aegir menjatuhkan diri, merasa kesal sekaligus cemas. "Gue benci minuman sialan itu!"
"Cara lo ke Aya salah, Gir. Lo mau adik lo mati kedinginan?" sinis Valdrin masih menyalahkan Aegir atas tindakannya yang terlalu keras.
"Itu hukuman yang pantas dia dapat karena ngelanggar apa yang gue larang, lagipula lo nggak tahu sejauh mana trauma gue sama minuman haram itu!" Kesal Aegir seraya memejamkan mata, meluapkan semuanya.
"Aku tahu, tapi tidak seperti ini cara mengingatkan Aya, tadi kamu terlalu kasar bisa-bisa Aya takut sama kamu," sahut Tirta membuat Aegir sadar akan sesuatu. "Nah, bener kata Kak Tirta. Lo tahu paman dan bibi lo sering nyiksa dia sekarang lo juga ...."
Akhirnya emosinya meluruh, benar apa yang sahabatnya katakan.
"Okay, iya gue akui gue salah. Gue nggak tahu musti gimana sekarang!" Pikirannya kacau, sedang batin dan logikanya terus bertengkar. "Lo orang tuanya, bukan? Berarti lo tahu harus apa."
"Berdamailah dengan diri sendiri dulu, jangan biarkan Aya sendirian kita juga belum tahu masalah ini murni kesalahan Aya atau Aya hanya korban," kata Tirta bijak. "Kita tinggal dulu."
Tirta dan Valdrin pamit pulang, mereka percaya emosi Aegir sudah meluruh. Beberapa menit berpikir akhirnya dia masuk kamar.
"Bubble ...." Melihat Alayya yang duduk dengan seluruh tubuh selimutan sarung membuat Aegir merasa bersalah. "Maafin gue, ya."
Tidak mendapat respon Aegir memeluk Alayya erat. "Gue tadi keterlaluan, maaf."
Biasanya Alayya akan membalas, tapi kali ini dia tidak meresponnya. "Aya ...."
"A—bang kalau mau nyiram Aya lagi besok aja, sekarang Aya udah kedinginan," tuturnya dengan suara lemah disertai mata yang sudah berkaca-kaca. "Ay ...."
Tangan Aegir menghapus air mata yang berlinang di pipi Alayya tanpa komando. "Gue tadi sangat nyakitin lo, ya?"
Dia menangkup wajah adiknya, mengusap bekas tamparan yang masih memerah. Aegir menciumnya berulang kali. "Udah nggak sakit, kan?"
Alayya menggeleng. "Aya capek mau tidur."
Gadis itu segera merebahkan diri kemudian tidur dengan membelakangi Aegir, seakan tidak mempedulikan abangnya.
Alayya menangis tanpa suara, bagaimana tidak hancur saat dunia menuduhmu melakukan sesuatu yang buruk padahal kamu tidak melakukannya dan orang yang kau harap mau mendukungmu malah ikut mempercayai ucapan mereka. Sungguh Alayya merasa sendiri, benar-benar sendiri.
Ternyata abang sama seperti paman dan bibi, batinnya sembari berusaha memejamkan maya meski dia tahu sangat sulit.
*****
Alayya memang berangkat bersama Aegir, tapi setelah sampai dia langsung menjauhinya. Bahkan saat di ruang BK pun keduanya nampak seperti orang asing.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" Bu Cantika menyidang Alayya. "Tapi saya tidak melakukannya."
Bu Cantika mengembuskan napas, dia sudah melihat video yang tersebar di grup-grup chatting kelas dan mendengar cerita dari beberapa murid SMA Sky Light yang kemarin ada di lokasi kejadian.
"Apa kamu punya bukti?" Sontak Alayya menggeleng, bahkan dia tidak mengingat apa yang terjadi kemarin.
"Selama masalah ini belum selesai, kamu kami skors seminggu. Kami akan cari tahu apa benar yang kamu katakan atau hanya sebatas pembelaan diri yang salah," ucap bu Cantika tanpa diganggu gugat karena ini sudah peraturan yang diterapkan sekolah.
Dia menerima tanpa banyak tanya, merasa malu sudah mempermalukan dirinya sendiri meski terbesit di hatinya ingin berteriak bahwa dia tidak salah. Alayya tidak pernah meminum atau membawa minuman haram itu ke sekolah hanya saja dia tidak mempunyai bukti.
"Bubble, mau ke mana?" tanya Aegir sedikit mempercepat langkah untuk menyusul Alayya yang berjalan cepat sembari menunduk.
"Oh, itu cewek yang kemarin mabuk di sekolah!"
"Stress emang dikira ini club apa!"
"kakaknya mengharumkan nama sekolah, eh adiknya merusak citra sekolah."
"Hiya, lo tahu segera kejadian kemarin bu Cantika sampai turun tangan menghimbau biar beritanya nggak semakin naik."
"Lha kenapa?"
"Sekolah mau akreditasi, bukan?"
Beberapa bisikan itu ia abaikan. Alayya masuk kamar mandi perempuan, membuat Aegir menyerah mengikutinya. Dia tidak bisa masuk juga.
Setelah dirasa cukup aman, gadis itu ke rooftop sekolah meluapkan sejuta tangis yang sejak tadi terbendung.
"Harus pada siapa gue bergantung lagi, jika Abang saja sudah tidak percaya!" serunya berteriak di bibir gedung yang menjulang tinggi.
"Aya ...." Seorang laki-laki membalikkan badannya, tanpa berpikir panjang dia membawa tubuh Alayya ke pelukannya.
"Ststst, nggak papa keluarin semuanya biar nggak ganjel," katanya mengusap kepala Alayya lembut.
"Abang ...."
Valdrin tahu masalahnya. Dia sedikit menunduk melihat wajah Alayya yang memerah karena tangis, tangannya terulur menghapus air matanya.
"Jangan jauhi Aegir, Ay. Kalau lo jauh itu nggak cuma nyakitin Aegir, tapi diri lo sendiri juga."
"Tapi dia nggak sayang sama Aya, Kak. Bahkan dia nggak percaya sama Aya," elaknya membuat Valdrin terkekeh. "Kata siapa? Justru kalau dia nggak peduli, dia nggak akan ngelakuin ini."
Semilir angin menyapu halus wajah mereka. "Gue tahu mungkin cara Aegir kemarin nyakitin, tapi lo tahu itu bukti dia sayang sama lo, Ay."
Alayya mendengarnya seksama, menunggu Valdrin melanjutkan ucapannya.
"Lo nggak lupa, kan dia udah bekerja keras buat lo, ngidupin lo, dan memenuhi kebutuhan lo. Aya, jangan karena satu kesalahan kamu melupakan seribu kebaikannya." Dia mengerti posisi Alayya, tapi gadis itu juga harus mengerti posisi abangnya. "Aya harus apa?"
.
.
.
Satu kata buat Aegir, Alayya, kak Tirta, dan Valdrin di part ini?
Nggak ada pesan gitu yang ingin disampaikan ke saya😂
Kira-kira Alayya bakal baikan atau tetep marahan, ya sama Aegir🤔
Okay, see you next chapter.
Salam hangat,
Amalia, Lia, Yaya, Amal, dan kaay🐝
25 Maret 2022