MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA IT...

By masdaraimunda

227K 25.9K 2.7K

Avram tidak pernah percaya cinta. Seumur hidup dia sudah meyakinkan diri untuk itu. Membangun tembok pembatas... More

1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
Versi ebook

7

5.2K 1.8K 202
By masdaraimunda

Tidak biasanya aku pulang sore. Saat mobil memasuki pekarangan kulihat Athena baru turun dari taksi sambil membawa sebuah tas kecil. Sebenarnya tidak ingin menyapa tapi entah kenapa kakiku berhenti melangkah dan menunggunya. Beberapa hari tidak bertemu dia semakin cantik. Wajahnya seperti boneka, putih dan bersih. Dia mendekat, bola mata coklat itu kini terlihat jelas.

"Kamu dari mana?"

"Dari rumah sakit pak, gantian dengan perawat menjaga ibu."

"Bagaimana keadaan mami?"

"Sudah lebih baik, katanya besok boleh pulang."

"Kamu naik kendaraan umum, kenapa tidak minta dijemput?"

Dia tidak menjawab hanya menunduk. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dia mengikuti dari belakang.

"Kamu kenal mami di mana?"

"Di rumah yang Di Pulo Mas. Ibu Deswita berlangganan katering pada ibu saya."

"Sudah selesai sekolah?"

"Sudah pak."

"SMU? SMK?"

"Komunikasi."

Dia melirikku sejenak lalu kembali berjalan.

"Kenapa sarjana malah memilih jadi asisten pribadi?"

"Saat baru lulus ibu menawarkan pekerjaan langsung saya terima."

Suaranya terdengar halus dan lembut. Kupastikan dia bukan tipe perempuan yang tidak akan berteriak saat merasakan sebuah kenikmatan. Tapi desahan diantara bibir yang digigit pasti sanggup membuatku on dalam waktu cukup lama.

"Kenapa tidak memilih kerja kantoran padahal kamu punya kesempatan untuk itu?"

"Mana yang cepat saja, saya harus bantu orang tua."

"Kamu lebih mirip pengasuh mami dari pada seorang asisten pribadi." ucapku sambil meninggalkannya.

Kini tak terdengar ada langkah yang mengikuti dari belakang. Kutoleh sebentar dia mematung di sana. Kutunggu, namun akhirnya dia memilih jalan berbeda. Aku tidak harus selalu setuju dengan pilihan orang lain bukan? Itu yang terjadi ketika seseorang menganggap bahwa uang adalah tujuan. Bekerja apa saja asal dapat uang. Bagaimana kalau nanti mami tidak ada? Pengalaman bekerjanya sebagai asisten pribadi pasti tidak bisa dihitung sebagai pengalaman. Aku tahu dia cerdas dan pintar, belum lagi ditambah kecantikan dan tubuh yang indah. Kupastikan kariernya akan melesat.

***

Kutatap sosok tinggi yang berjalan meninggalkanku. Rasanya ada yang salah dalam pikirannya. Memangnya kenapa kalau jadi asisten pribadi? Toh, gajiku jauh lebih banyak daripada pekerja kantoran biasa. Lagi pula bukannya bersyukur ada yang menemani ibunya 24 jam, malahan melecehkan pekerjaanku. Aku tahu dia punya segalanya jadi tidak harus mencari uang. Bisa menerapkan ilmu dibangku kuliah dalam pekerjaan. Bisa punya relasi dan jaringan yang menunjang pekerjaannya. Tapi dia bukan aku! Ayah hanya pegawai biasa sementara ibu punya katering kecil-kecilan. Mereka sudah tua dan mulai tidak bisa bekerja produktif. Wajar kan, sebagai anak yang berbakti membantu orang tua? Memang dasar tidak punya sopan santun. Tapi kalau dipikir, sikapnya pada Ibu Deswita saja begitu apalagi padaku?

Aku tidak pernah dididik untuk memperlakukan orang tua seperti dia. Bayangkan empat hari di rumah sakit tak sekalipun dia membesuk ibu. Kalaupun bertanya cuma melalui asisten pribadinya. Mungkin dia juga tidak punya nomorku. Jadi jangan kaget kalau suatu saat ditanya orang dia tidak akan tahu apa-apa. Sekarang malah mengatakan kalau aku mirip pengasuh ibunya. Hanya orang gila yang bisa berkata seperti itu.

Kubalikkan tubuh menuju kamar karena seharian letih berada di rumah sakit. Aku hanya tidak ingin membalas kalimatnya. Apapun yang terjadi dia adalah putra Bu Deswita. Entah kesalahan apa yang diperbuat ibu sehingga anaknya begitu membencinya. Tapi keluarga ini memang sedikit aneh. Teringat saat ayah sakit, begitu banyak keluarga yang mengunjungi. Tak henti-hentinya orang lain bertanya tentang keadaannya.

Nah Bu Deswita? Anaknya saja tidak mengunjungi apalagi orang lain? Katanya keluarga besarnya di Singapura. Apa mereka tidak punya keluarga dekat yang harus dikabari? Lalu bagaimana kalau nanti ibu meninggal? Seandainya Pak Avram tidak ada di tempat, aku harus menghubungi siapa? Tidak mungkin sendirian yang menguburkan. Aneh sekali rasanya. Tiba di kamar aku segera mandi lalu berbaring setelah sebelumnya membuka tirai sedikit . Takut kalau terlalu lebar dipelototi dari bawah. Hampir saja tertidur ketika suara ketukan di pintu mengganggu istirahatku. Bergegas berdiri dan membuka, Pak Avram kini berada di depan pintu.

"Ya, pak."

"Ponselmu mana?"

"Sedang di-charge pak."

"Mami memintaku ke rumah sakit. Ada apa tadi siang?"

"Ibu baik-baik saja waktu saya tinggal. Katanya besok sudah boleh pulang." jawabku jujur. Memangnya ibu kenapa?

"Kita ke rumah sakit sekarang."

"Tapi sudah ada perawat di sana pak."

"Kamu masih asisten mami, kan?"

Aku hanya bisa mengangguk berpikir pasti ada yang penting. Kuikuti langkah lebarnya dari belakang. Kami memasuki kendaraan pribadinya. Meski ragu akhirnya naik setelah mendapat pelototan yang lebih mirip perintah. Kali ini dia menyetir sendiri. Rasanya seperti berada di neraka duduk di dekatnya, kami tidak pernah berdua. Tercium aroma parfum yang maskulin namun terasa lembut. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut tebal dan kumis yang dibentuk rapi. Rasanya aku tidak layak untuk menilai penampilannya. Dia sudah milik Bu Zea, sementara aku bukan siapa-siapa.

"Sudah berapa lama kamu ikut mami?"

"Hampir enam bulan pak."

"Kamu mau terus menjadi asisten pribadi seumur hidup?"

"Ini adalah pekerjaan halal buat saya tidak masalah."

"Apa yang ada dalam benakmu? Kamu sarjana apa tadi?"

"Komunikasi pak."

"Seharusnya kamu berada dalam lingkungan orang yang sama denganmu dan membangun networking yang bagus. Bukan malah mengurusi orang tua."

"Pekerjaan apapun tidak masalah tujuan saya memang mencari uang untuk membantu keluarga." Tegasku sekali lagi.

"Apakah kamu akan mengerjakan apa saja? Menjadi simpanan akan lebih mudah untuk mendapatkan uang."

"Itu tidak halal pak." jawabku kesal.

"Kamu tambah cantik kalau marah."

Kini aku diam, Bu Deswita benar, dia pandai sekali memancing emosi seseorang. Kenapa ada orang yang memilih seperti itu? Kami kini memasuki area rumah sakit. Aku buru-buru turun, khawatir dengan keadaan ibu. Kalau tentang Pak Avram terserahlah. Untuk apa memikirkan anak seperti dia. Sesampai di ruangan kulihat ada beberapa pria mengenakan dasi dan jas. Ibu kelihatan baik-baik saja, lalu ada apa sebenarnya?

"Ibu kenapa?"

"Avram mana? Saya memanggil dia bukan kamu." ibu menatap tak percaya. Aku tiba-tiba merasa bersalah.

"Tadi aku buru-buru bu, bapak masih di belakang."

Pintu terbuka, Pak Avram sudah ada di sana dan masuk. Dia memberi senyum pada laki-laki yang terlihat paling tua.

"Selamat malam Pak Hutasoit."

"Selamat Malam Pak Avram."

Aku berdiri di samping ibu.

"Pak Hutasoit adalah pengacara saya. Saya ingin mengubah surat wasiat."

Pak Avram terkejut menatap ibunya. "Apa yang akan diubah?"

"Bisakah kamu ke luar sebentar Athena? Saya ingin bicara secara pribadi dengan Avram."

Kulangkahkan kaki ke luar sambil mengomel dalam hati. Tadi dia memang mengatakan kalau dipanggil ibu. Bukan bersamaku, kan? Dia saja yang mengajak ikut dengan alasan aku adalah asisten ibu. Kugelengkan kepala sambil duduk di salah satu kursi. Menatap pemandangan malam dari lantai atas. Di bawah sana ada beberapa penjual makanan. Seketika baru ingat kalau belum makan. Ingin rasanya turun dan membeli. Tapi bagaimana kalau nanti ibu membutuhkan? Tahu sendiri bagaimana hubungan mereka.

Kuputuskan untuk menunggu. Kalau nanti selesai baru pamit pada ibu untuk makan malam. Sambil duduk menikmati orang-orang yang sudah selesai membesuk. Mungkin ruangan Bu Deswita yang paling sepi. Kalaupun ada yang datang hanya sebatas relasi dan juga karangan bunga. Terbayang dulu waktu ibuku sakit dan harus dirawat. Banyak sekali orang datang membawa makanan. Sampai-sampai kami yang sehat merasa kenyang.

Terdengar suara kursi dibanting dari dalam. Pak Avram ke luar dan menatapku tajam. Seketika tubuhku mengigil sepertinya dia sangat marah.

"Aku tidak pernah tahu ternyata ini adalah rencana yang sudah kamu susun dengan matang! Saya kira kamu malaikat, memang malaikat...tapi ternyata malaikat pencabut nyawa!"

Aku terdiam, tidak tahu apa yang terjadi lalu kenapa dia menuduhku seperti itu? Dia segera meninggalkanku disusul sekelompok pengacara. Kembali aku masuk ke dalam kamar.

"Ada apa bu?"

"Ini keputusan terbaik yang ibu buat untuk semua." jawabnya lesu. Ibu seperti seseorang dengan sosok berbeda. Tubuhnya lemah tapi matanya marah.

"Kamu akan tahu beberapa saat lagi. Saya hanya ingin yang terbaik buat Avram meski sepertinya harus mengorbankan orang lain. Dia tidak boleh mengambil keputusan yang salah. Dia tidak tahu bermain dengan siapa, itu akan menghancurkan masa depan dan reputasinya. Kali ini tolong kamu pertimbangkan keinginan saya nanti. Semua untuk kebaikannya."

"Bu,"

Bu Deswita menatap tajam, seketika aku menunduk.

"Dia sudah terlalu jauh melangkah. Tidak ada yang bisa menahannya dari ular itu. Mereka sudah berencana punya anak. Kalau terjadi sesuatu pada Avram, perempuan itu akan memiliki semua. Saya tidak punya anak lain sehingga tidak bisa mati dengan tenang, Athena. Saya akan melakukan segala hal agar keinginan mereka gagal. Tidak terbayangkan semua yang dilakukan Albert papanya akan habis dengan sia-sia. Dia membenci saya tapi tanpa sengaja memberikan peluang besar pada Zea."

"Tapi Pak Avram tetap anak ibu."

"Saya tahu, dia putra satu-satunya. Dan dia akan menjadi pemilik tunggal. Karena itu saya takut Athena."

Aku hanya bisa menatap wajahnya yang putus asa.

***

Zea masih menemaniku minum sepanjang malam. Kami berada di atas pesawat bersama beberapa teman. Kululuskan keinginannya untuk berlibur sejenak ke Hongkong. Dari pada harus tinggal di Jakarta dan menyaksikan Athena yang sudah berhasil mempengaruhi mami. Kukira pada awalnya gadis itu sangat polos. Tapi ternyata seperti inilah caranya. Jauh lebih licik daripada seorang Zea. Atau seharusnya aku membiarkan ketiganya saja berhadapan. Dengan begitu tanganku bersih. Beberapa teman-temanku masih asyik dengan pasangan masing-masing. Zea sendiri menikmati minumannya sambil menatap ke luar pesawat.

"Aku ambil picture ya," rengeknya.

"Nggak boleh. Kamu sudah tahu aturannya bukan? Saya malas jika harus berurusan dengan media dan petugas pajak yang selalu mencari celah."

"Sekali ini saja. Aku kesal sama artis pendatang baru Natasya. Dia bolak-balik buat story dalam pesawat mentang-mentang jadi simpanan pejabat sekaligus pengusaha."

"Aku berbeda dengan kekasihnya. Kamu tahu bagaimana pemerintah di sini. Jangan berbuat aneh nikmati saja."

Zea merengut, tapi ini adalah keputusanku. Yang kumiliki takkan dibagi pada orang lain. Meskipun itu Zea, perempuan yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Keinginan untuk memiliki anak dengannya semakin kuat setelah apa yang dilakukan mami. Kupastikan Athena tidak akan mudah mendapatkan keinginannya.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

22322



Continue Reading

You'll Also Like

308K 12.5K 32
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
292K 27.8K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
1.2M 41.6K 55
Sial bagi Sava Orlin setelah melihat lembar penetapan pembimbing skripsinya. Di sana tertulis nama sang mantan calon suaminya, membuat gadis itu akan...
976K 47.6K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...