Affection

By sourpineapple_

497K 34.4K 453

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... More

P R O L O G
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH SATU
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
E P I L O G

BAGIAN EMPAT PULUH TIGA

15.2K 688 2
By sourpineapple_

"Baiklah, sesuai hasil keputusan rapat yang telah didiskusikan, semuanya sudah jelas?" Suara berat yang mendominasi ruangan rapat itu terdengar kental nada otoriternya, pandangan sang empu menatap ke seluruh anggota rapat hari ini.

Mendapat jawaban berupa anggukan, Jayden balas mengangguk juga. "Rapat selesai. Terimakasih kehadirannya, kalian boleh keluar."

Lantas mereka yang ada di sana, segera berbenah dan menunduk sopan pada sang atasan, sebelum satu persatu keluar meninggalkan ruangan. Begitu hanya tersisa dirinya dan Wisnu yang berada di dalam, Jayden merogoh saku jas, seolah mendapat inisiatif untuk mengecek ponsel.

Saat benda pipih itu menyala, kening Jayden berkerut lantaran banyak sekali pesan masuk serta panggilan tak terjawab dari Jessy. Jayden memang sengaja membisukan ponselnya tadi semenjak masuk ke dalam ruangan rapat, karena itu merupakan salah satu aturan yang harus diterapkan dalam perusahaannya ketika rapat tengah berlangsung.

Seketika perasaan tidak enak merayapi hati pria itu, tatkala hendak menelepon balik, layar ponselnya sudah lebih dulu menampilkan panggilan masuk dari nama kontak yang sama.

"Ha-"

"Jayden, ke rumah sakit sekarang!" Suara Jessy memotong ucapan yang hendak dilontarkan Jayden. Mendengar nada bicara yang tidak santai serta penyebutan kata rumah sakit, membuat Jayden menegakkan punggungnya.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Dera? Katakan, kamu ada di rumah sakit mana sekarang?" tanya Jayden hampir panik.

"Dera kontraksi, sepertinya anak kamu sudah tidak sabar untuk melihat dunia. Cepatlah kemari, aku sudah mengirimkan lokasinya."

Jayden mengangguk-angguk dengan perasaan girang bercampur cemas, pria itu segera bangkit dari kursinya. "Saya akan segera datang, katakan pada Baby Boo untuk bersabar, jangan keluar terlebih dahulu sebelum ayahnya datang." Lalu sambungan telepon Jayden matikan secara sepihak.

Mengantungi kembali ponselnya, Jayden menoleh pada sekretarisnya. "Wisnu, kosongkan semua jadwal saya setelah ini. Saya harus segera ke rumah sakit, istri saya akan melahirkan," ujar Jayden, sembari melangkah lebar-lebar, diikuti Wisnu di belakangnya.

"Baik, Pak!" sahut Wisnu, mengangguk patuh pada Jayden. Langkah pria itu terhenti, begitu Jayden masuk ke dalam lift dan turun ke lantai dasar.

Mempercepat langkah, jantung Jayden bertalu-talu, tidak sabar untuk segera sampai ke rumah sakit. Memenuhi otaknya dengan bayangan yang membahagiakan, senyum pria itu seolah melebar setiap detiknya.

Namun sesampainya di tengah perjalanan, ia justru dihadapkan sesuatu yang membuatnya kesal, apalagi jika bukan kemacetan? Berdecak, Jayden menggoyang-goyangkan kaki tidak sabaran, lalu beberapa kali menekan klakson.

"Tunggu sebentar, Baby Boo, jangan keluar sebelum Daddy sampai,"Jayden bergumam.

Butuh hampir setengah jam hingga ia bisa keluar dari kemacetan panjang ibu kota siang ini, begitu sampai di rumah sakit, Jayden segera berlari mencari ruangan istrinya. Setelah bertanya pada resepsionis, pria itu kembali melangkah dengan lebar, hingga mendapati seorang perempuan beserta ketiga putranya tengah menunggu di depan ruangan.

Senyum yang hampir terulas seolah meluntur perlahan ketika Jayden mendapati raut wajah mereka yang sama-sama tak mengenakkan. "Boys, bagaimana keadaan Mommy dan Baby Boo?" tanya Jayden menghampiri mereka.

Mendengar suara ayahnya, ketiga pemuda itu menoleh bersama, juga Jessy yang berada di sana.

Baik Jansen, Jean, maupun Raiden tak ada yang membuka suara, ketiganya hanya diam dan saling memandang, tak tahu harus berkata apa pada ayahnya. Melihat ketiga putranya hanya diam, Jayden mengerutkan kening.

"Boys, kenapa diam? Jawab Daddy, bagaimana keadaan Mommy dan Baby Boo? Mereka baik-baik saja 'kan?" Jayden mengulangi pertanyaannya.

Segera mendekat, Jessy angkat bicara. "Syukurlah kamu sudah sampai. Istri dan anak kamu baik-baik saja, tapi sepertinya Dera tidak bisa melahirkan normal. Dokter bilang, posisi bayinya sungsang, jadi terpaksa harus melakukan operasi caesar. Maaf karena tidak menunggu kamu terlebih dahulu, karena dokter butuh keputusan segera, tapi jangan khawatir, aku sudah mengurus semua keperluan administrasi, kita hanya perlu menunggu kabar baik dari dalam sana," jelas Jessy, berusaha untuk tenang, agar Jayden tak terbawa suasana dan kalang kabut.

Mendengar penjelasan Jessy, pupil mata Jayden melebar, jantungnya seperti diremas hingga terasa sakit. Dengan napas tak beraturan, pria itu melangkah mendekati pintu. "Biarkan saya masuk ke dalam-"

"Jayden!" seru Jessy, segera mencegah langkah Jayden, dibantu dengan Jansen, Jean, dan Raiden. "Jangan gegabah, dokter dan perawat sedang berada di dalam melakukan proses operasi, biarkan mereka berkeja dengan fokus, kita hanya perlu menunggu tenang di sini," ujar Jessy, menggeleng menatap Jayden.

Menyentak tangan yang menahannya itu, Jayden melotot berang. "Bagaimana saya bisa menunggu dengan tenang di sini, sedangkan istri saya sedang kesakitan di dalam sana?!" Jayden tanpa sadar meninggikan suaranya.

"S-sakit, Jay ... sakit ...,"

Sekelebatan memori yang terjadi empat belas tahun lalu melintas di benak Jayden, membuat rasa cemas dan takut kian membuncah memenuhi rongga dada Jayden.

"Saya harus masuk!" Jayden berusaha menerobos Jessy dan ketiga putranya yang menghalangi dirinya agar tidak nekat masuk ke dalam.

"Daddy! Kalau kita bilang enggak ya enggak! Daddy nggak tau kita lagi dimana? Di rumah sakit! Kalau Daddy cuma mau buat keributan mending Daddy pulang aja, biar kita sama Auntie Jessy yang tunggu Mommy sama Baby Boo di sini!" sentak Jansen, terlanjur geram, pemuda itu menatap ayahnya dengan kedua alis bertaut.

"Percaya kalau Mommy sama Baby Boo bakalan baik-baik aja di dalam, dokter pasti tau apa yang terbaik. Daddy nggak perlu khawatir, kita bantu berdoa aja biar semuanya bisa berjalan lancar," ujar Jansen lagi, nada suaranya tak lagi sekeras tadi.

Akhir-akhir ini memang Jayden selalu nampak gusar, walaupun pria itu berusaha menutupinya, Jansen masih bisa menyadari hal itu. Dari ekspresi panik ayahnya saja, sudah bisa terlihat jika pria itu benar-benar sedang cemas saat ini.

"Mommy ... Daddy tidak ingin kehilangan Mommy lagi ...," lirih Jayden sendu, bahu pria itu meluruh.

"Kita juga nggak mau. Nggak ada yang mau. Tapi Daddy nggak boleh bilang kayak gitu, Mommy sama Baby Boo pasti baik-baik aja. Kita bantu berdoa di sini," balas Jansen, membuat Jayden mengambil beberapa langkah mundur dengan pandangan tertunduk.

Jessy membuang napas pelan, mendekat pada Jayden. "Everything will be okay. Don't worry."

Meneguk ludahnya, Jayden mendongak sesaat. Lantas menjatuhkan tubuhnya di atas kursi tunggu yang berada di depan ruangan. Pria itu menunduk dengan perasaan tidak tenang, napasnya tak teratur, menangkup wajah, tangan pria itu bergetar.

Keringat dingin mengembun di pelipis Jayden, kendati mereka meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja, Jayden tak dapat mengontrol serangan panik yang ia rasakan. Hatinya terus mengharap dan berdoa agar istri beserta buah hatinya selamat.

"Maaf, aku tidak bisa ikut membesarkan mereka. M-maaf, aku tidak bisa menemani mereka tumbuh hingga dewasa. Maaf ... maaf harus membebani kamu terus menerus. Menikahlah lagi nanti, berikan mereka ibu, seseorang yang menyayangi mereka tanpa memandang bulu, juga seseorang yang akan merawat dan mencintai kalian sepenuh hati."

"Risa-"

"Dengarkan aku dulu. Aku bukan sedang memberi izin. Ini akan menjadi terakhir kali aku meminta, aku mohon kamu mau memenuhinya untukku, Jay, dan juga untuk anak-anak kita."

Kilasan memori lampau terus berputar di benak Jayden, suara Risa yang terdengar lemah dan bergetar seolah berdaung dengan jelas di telinganya, membuat napas Jayden kian tak beratur.

"Bertahan, Dera ... saya mohon ...," gumam pria itu bersama lelehan liquid bening yang menetes membasahi tulang hidungnya.

Hingga beberapa waktu mereka menunggu, atmosfer tegang itu terpecah seketika, begitu terdengar suara tangis kencang bayi dari dalam ruang bersalin.

Mereka yang tadinya menunggu dengan cemas kontan bangkit dari duduknya, berusaha untuk mengintip melalui celah gorden yang menutupi jendela.

Sesuatu yang membebani hati Jayden seolah terangkat dalam sekejap tatkala pria itu mendengar suara tangis buah hatinya. Perasaan hangat, haru, dan cemas melebur menjadi satu hingga tanpa sadar pria itu menangis.

Anaknya. Buah hatinya telah lahir.

***

Setelah proses bersalin usai, kini Dera dipindahkan oleh perawat ke ruang inap, sedang bayinya masih harus berada di ruang NICU untuk menjaga suhunya agar tetap stabil.

"Jangan menangis, Jay. Semuanya sudah baik-baik saja sekarang, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan." Suara Dera terdengar lirih dan lemas, wanita itu menatap Jayden yang menangis sembari memeluknya seperti anak kecil.

"Maaf ... maafkan saya. Seharusnya, saya yang menemani kamu disaat kamu sedang kesakitan tadi, seharusnya saya tidak perlu pergi ke kantor hari ini. Maaf karena harus membuat kamu berjuang sendirian, maaf ..." Jayden tak henti-hentinya mengucapkan kata maaf.

Saking keras debaran jantungnya, Jayden hingga dapat merasakan dengan jelas di rongga dadanya. Demi Tuhan, ia sangat takut, pikiran buruknya tentang kehilangan Dera membuat pria itu sampai terkena serangan panik, bahkan hingga saat ini, tangannya masih terasa gemetar.

Dengan mata sayunya, Dera tersenyum tipis. "Semuanya sudah terjadi. Seperti yang kamu lihat, kami baik-baik saja, anak kita sudah lahir, aku juga masih ada di sini. Tuhan telah mengabulkan doa kita. Kamu tidak perlu meminta maaf, lagipula bukankah kamu bilang ada rapat penting yang harus kamu hadiri hari ini?"

Jayden merenggangkan jaraknya, pria itu kini menegakkan punggung, meraih jemari hangat istrinya. "Tidak ada yang lebih penting daripada kamu dan anak-anak. Terimakasih sudah bertahan, terimakasih sudah membantu anak kita untuk melihat dunia. Saya sudah melihatnya tadi, dia cantik, seperti kamu. Saya sangat bersyukur kalian bisa selamat dan baik-baik saja," ujar Jayden, mengecup punggung tangan sang istri.

Kedua sudut Dera tertarik naik. "Tidak perlu berterimakasih, karena itu sudah menjadi kewajibanku. Maaf juga karena sudah membuat kamu khawatir." Dera balas menggenggam jemari suaminya, dapat wanita itu rasakan jika Jayden berkeringat, tangannya juga terasa dingin dan sedikit gemetar. "Tangan kamu dingin, Jay, kamu baik-baik saja?"

Jayden tersenyum dan mengangguk. "I'm okay, and you should to be okay too, because you're the reason I'm okay."

Menatap lekat sang suami, Dera tersenyum sembari mengusapkan pelan jemarinya. "Ngomong-ngomong kamu sudah menyiapkan nama untuk anak kita?"

Melebarkan senyumnya, Jayden mengangguk. "Tentu."

"Can I know what kind of pretty name you have prepared?" tanya Dera dengan senyum kecilnya.

Jayden mengulum bibir, menatap kedua bola mata istrinya, terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali mengembangkan senyum dan menjawab,

"Zoeline Claire Rodriguez."

***

Setelah dipastikan jika kondisi kesehatan serta fisiknya kuat, bayi dengan berat 2,9 kilogram itu sudah bisa keluar dari ruang NICU dan diserahkan pada sang ibu untuk kembali menyusu. Ruang inap yang hanya terisi satu pasien yakni Dera sendiri itu terasa damai nan hangat tatkala Jayden melihat istrinya tengah menggendong putri kecil mereka untuk memberinya minum.

Rasanya, Jayden sangat bahagia hingga tak bisa mendeskripsikan kebahagiaan ini melalui kata-kata. Rumah tangga yang dulu terasa begitu monoton dan entah mau dibawa kemana, kini menjadi jauh lebih baik, dan Jayden amat bersyukur karena itu.

Mungkin semua yang telah mereka lewati selama ini memang sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Jalannya memang tidak mudah, bahkan keduanya hampir putus asa, namun pada akhirnya mereka berhasil melewati itu semua.

Derana, wanita yang dulunya tak tersentuh dan tak berperasaan kini berubah menjadi seseorang yang hangat dan penuh kasih sayang. Bisa jadi peristiwa yang membuatnya terbaring di rumah sakit selama berbulan-bulan hingga harus kehilangan ingatan itu memang cara Tuhan membiarkan wanita itu menebus semua kesalahannya.

Benar, everyone deserves a second chance.

"Jay?"

"Hm?" Menaikkan kedua alisnya, Jayden kontan menoleh saat mendengar suara lembut istrinya memanggil.

"Kamu melamun?" tanya Dera sembari mendongak pada Jayden yang berdiri di sampingnya, tengah memandangi wajah damai putri mereka yang tertidur.

"Melamun?" beo Jayden, lalu pria itu menggeleng. "Saya hanya sedang memperhatikan Zoe, dia benar-benar mirip seperti kamu," ujarnya, menyelipkan anak rambut Dera ke belakang telinga.

Dera tersenyum, membelai helai tipis rambut putrinya dengan lembut. Jujur saja, sebetulnya ia sendiri juga tidak percaya jika bayi mungil ini lahir dari rahimnya. Sungguh tak pernah Dera bayangkan sebelumnya, ia akan berkeluarga dan memiliki anak dari darah dagingnya sendiri seperti ini.

"I still can't believe she was born from my womb," celetuk Dera, memeluk bayi mungil itu dengan penuh kehangatan.

Jayden tersenyum, mengusap puncak kepala sang istri dan mengecupnya. "Boleh saya menggendongnya?" izin pria itu.

Mendongak, Dera tertawa kecil. "Tidak perlu izin seperti itu, tentu saja kamu boleh, Jay," balas Dera, menyerahkan bayi itu pada sang ayah.

Menggendong dan menimang bayi itu dengan luwes, kedua sudut bibir Jayden seolah enggan turun ketika sang putri kecil berada di dekapannya.

Bersamaan dengan itu, pintu ruangan dibuka dari luar, menampakkan ketiga pemuda yang masuk bersamaan. Menyapu pandangan sesaat, ketiganya langsung mendekat begitu mendapati sang adik tengah berada di dekapan ayahnya.

"Daddy, Raiden mau liat Baby Boo!" seru Raiden antusias, karena ia beserta kakaknya belum sempat melihat lantaran adik kecil mereka itu masih harus berada di ruangan khusus bersama bayi lainnya dan tak sembarang orang boleh masuk.

"Shhtt." Jayden berdesis tanda agar mereka tidak membuat suara terlalu keras karena adiknya baru tertidur beberapa saat yang lalu.

Berdiri mengelilingi sang ayah untuk melihat bayi mungil yang tengah tertidur pulas itu, Jansen, Jean, maupun Raiden dibuat tak berkedip karena baru kali ini mereka melihat bayi yang barusaja lahir secara langsung.

"Boo ...," panggil Raiden pelan, mengelus pipi berisi yang masih berwarna kemerahan itu.

Kini sebutan adik kecil bukan lagi miliknya, melainkan milik si mungil berbedong merah muda yang tengah tertidur nyaman di dekapan sang ayah.

Mengembangkan senyumnya, Jansen ikut mengusap dahi adiknya dengan pelan dan hati-hati. "Lucu," gumam pemuda itu.

Jean pun juga turut mendekat, mencium pipi dengan wangi khas bayi yang menguar dari adiknya. "Boo mirip banget sama Mommy," ujarnya, membuat Raiden mengerjap.

"Masa? Mana yang mirip? Enggak ada kok, semua bayi mukanya sama aja. Boo enggak mirip sama Mommy," sahut pemuda itu dengan polos.

Mengundang senyum geli dari ayah serta ibunya.

"Mirip. Boo cantik kayak Mommy," balas Jansen.

Raiden menggeleng. "Mana? Enggak kelihatan cantiknya. Masih cantikan Mommy," ujar Raiden lagi, membuat tangan Jayden terulur untuk mengacak rambut Raiden.

"Kamu mau Boo menangis mendengar kakaknya berkata seperti itu?" tanya Jayden, membuat Raiden kembali mengerjap, memperhatikan adiknya yang masih tertidur.

"Raiden 'kan cuma jujur, emang mukanya sama sekali nggak mirip Mommy kok," ujar Raiden membuat pembelaan.

Dera tertawa pelan. "Bukan enggak, Sayang, tapi belum, nanti kalau Boo sudah besar pasti kelihatan cantiknya, kayak kamu sama Kakak, semakin dewasa juga semakin mirip sama Daddy."

"Belum besar aja, Boo udah kelihatan kok cantiknya," balas Jean, kembali mencium bayi perempuan itu gemas.

Menoleh pada kakaknya, Raiden mendengkus, sedikit menjauh dengan wajah masam. Lantas mendekat pada sang ibu. "Mommy ..." rengeknya, mengerucutkan bibir.

"Kenapa, hm?" sahut Dera.

"Mommy nggak akan lupa sama Raiden 'kan? Mommy tetep sayang sama Raiden juga 'kan?" tanya pemuda itu dengan nada merengek, agaknya mulai merasa cemburu karena adik barunya itu menjadi pusat perhatian ayah, ibu, beserta kedua kakak kembarnya.

Merentangkan tangan, wanita yang tengah berbaring dengan sandaran yang ditinggikan itu membawa Raiden ke dalam pelukannya. "Masa iya Mommy lupa sama jagoan Mommy yang paling manja satu ini?" Wanita itu tersenyum. "Bukan cuma kamu, tapi kalian semua tetep Mommy sayang, nggak ada yang dibeda-bedain, semuanya sama-sama anaknya Mommy."

"Tapi, karena Baby Zoe masih kecil, dia butuh perhatian lebih dari Mommy sama Daddy, apalagi selama beberapa bulan, sumber makanan Baby Zoe cuma dari Mommy, jadi kalian sebagai kakak juga harus mengerti. Mommy nggak bisa main bareng kalian setiap saat dan sesering dulu juga. Paham 'kan?" tutur Dera dengan lembut, memberi pengertian pada ketiga putranya.

Raiden hanya mencebikkan bibir, meringkuk di pelukan ibunya, sedang Jansen dan Jean mengulas senyum sama-sama mengangguk. Karena mereka berdua terbiasa berbagi dengan adik, sedang Raiden barusaja menjadi seorang kakak, jadi Dera memaklumi sikap manja serta kekanakannya sebagai anak bungsu yang masih sulit untuk dilepas.

"Dengar itu baik-baik, Boys. Daddy dan Mommy berusaha untuk adil, jadi kalian harus bisa bersikap adil juga, sesama saudara itu harus berbagi, tidak boleh berkompetisi apalagi sampai mau menang sendiri," Jayden mengimbuhi.

Lalu beberapa detik kemudian, rengekan khas bayi terdengar seolah menengahi obrolan di antara keluarganya itu, membuat semua atensi kontan berpusat padanya.

Menaikkan kedua alis, Jayden tertawa pelan melihat putrinya menggeliat sambil membuka mulut merengek. "Lihat, si kecil ini juga mau ikut mengobrol," kelakarnya, menepuk-nepuk pelan tubuh kecil Zoe dan menimangnya.

Namun karena tangisnya semakin kencang, Jayden memberikan bayi mungil itu pada sang ibu, mungkin saja ia kembali lapar.

"Raiden, menepi sebentar ya, sekarang berganti Boo yang dipeluk Mommy," ujar Jayden, menyerahkan Zoe pada Dera dengan hati-hati.

Bergeser, Raiden memberi ruang agar Dera bisa menyusui adiknya dengan leluasa. Sedang Jansen dan Jean kembali merapat, masih betah memperhatikan adik kecilnya.

"Mukanya emang selalu merah begitu ya, Mom?" tanya Jean, ketika melihat kulit wajah Zoe yang kemerah-merahan.

Dera mengangguk. "Heem. Setiap bayi yang baru lahir itu lapisan kulitnya tipis, pembuluh darahnya jadi kelihatan jelas, itu sebabnya bayi baru lahir kulitnya selalu merah," jelas wanita itu, sembari menenangkan Zoe yang berada di gendongannya.

Mendengar yang dikatakan sang ibu, Raiden memandangi adik kecilnya dengan terheran-heran. "Nggak boleh disentuh?"

Jansen tertawa tanpa suara, menepuk pelan kepala Raiden. "Ya boleh, tapi harus hati-hati."

"Boleh dicium?" tanya Raiden lagi.

Jansen mengangguk. "Gih, cium aja."

Raiden berganti menatap Dera yang tengah tersenyum dan juga memberinya anggukan. Mencondongkan punggungnya, pemuda itu mengecup pelan pipi Zoe yang tengah menyusu pada ibunya.

"Hmm, wangi," komentar Raiden, kembali mendaratkan hidungkan di pipi sang adik.

Dera tersenyum, merasa lega sekaligus senang karena ketiga putranya menerima kehadiran sang adik. Lengkap sudah kini, akhirnya ia bisa mewujudkan keinginan semasa kecilnya untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia sendiri. Ia berharap, seiring tumbuh dewasa nanti, mereka bisa akrab dan tetap saling menyayangi, serta menjaga satu sama lain.

Namun beberapa saat membayangkan hal indah itu, senyum di wajah Dera perlahan meluntur berganti dengan ekspresi masam yang perubahan jelasnya disadari oleh Jayden. Berjalan mendekat, Jayden merangkul Dera dan mengusap pundak wanita itu.

"Kenapa, hm?"

Menaikkan kedua alisnya, Dera menengadah menatap Jayden.

"Tidak. Aku hanya merasa sangat bahagia, hingga khawatir jika ini akan menjadi momen bahagia terakhir kita." Dera mengulas senyum getir. "Berjanjilah jika kita akan terus seperti ini sampai nanti, ya?" Wanita itu menatap obsidian suaminya dengan seri-seri harap di matanya.

Jayden mengulas senyum dan mengangguk. "Tentu. Saya berjanji, akan banyak bahagia lebih dari ini yang akan kita lewati, mungkin juga akan banyak duka yang tak bisa kita hindari, tapi kita tidak selemah itu untuk menyerah 'kan? Selagi kita tetap bersama, saling menyayangi dan menjaga, percayalah, bahagia pasti akan menghampiri dengan sendirinya. Benar, tidak, Boys?"

Ketiga bersaudara itu kompak mengangguk mantap dan tersenyum. "Betul!"

Tanpa melunturkan senyumnya, Jayden mengusap lembut kepala sang istri, lantas menatap ketiga putra beserta putri kecilnya bergantian. "If we believe in destiny, everything will be fine," ucapnya.

Live can be happier if we remember one simple thing. We can't have everything we desire, but we will get all that we deserve. What is meant to be will always find away. []

- AFFECTION -

so, guys yeah, that's the ending, but i'll give one last part- epilogue. setelah part itu publish, kalian nggak akan ada acara gantung lagi di cerita ini, everything is done, the book is finished, finally. fyuuuh~

bonus, triplet siblings

Continue Reading

You'll Also Like

446K 16.7K 35
Bertemu mantan tunangan yang telah memutuskan pertunangan? Cleo dijodohkan dengan seorang pria bernama Nathan. Orang tuanya mengatakan bahwa Nathan a...
168K 8.7K 65
Pangeran Nicholas Veer Ralph, putra bungsu dari Raja Luther pemimpin Kerajaan Tharvis, terkenal sebagai seorang yang angkuh, pemarah, dan pemberontak...
660K 35.3K 25
Kenan Efran, pria yang tak bisa move on dari mantan kekasihnya, Amelia Putri Harrison. Rela melakukan segala cara. Bahkan cara kotor sekalipun ia lak...
188K 5.7K 30
"Suatu saat nanti kamu akan tahu bedanya DICINTAI sama MENCINTAI seseorang. Dan aku yakin kamu bisa rasakan itu disaat aku sudah pergi jauh dari kamu...