BARA [END]

By AlinaAliya13

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... More

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Sebuah Penjelas
Pelampiasan
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Kegagalan
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Alasan Mencintai
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Epilog
BARA

Usai

32 3 0
By AlinaAliya13

POV Naira

Persembunyiannya di balik hidupku benar-benar membuatku tak habis pikir. Bima dengan rencana-rencananya berhasil membuatku menyadari bahwa memang banyak sekali hal yang tidak aku ketahui, sekalipun di balik punggungku sendiri. Ia membuatku menyadari bahwa dunia memang tidak pernah bisa berisi dengan hal-hal yang baik-baik saja. Pasti selalu saja ada hal-hal yang tak pernah kita harapkan hadir, namun mereka hadir dengan begitu leluasanya dan membuat kita akhirnya menyadari bahwa hidup memang tak selamanya hanya bisa diwarnai dengan suka-tawa-bahagia.

Ada kalanya, masa membawa kita ke sebuah istana megah dengan banyak keistimewaannya, tetapi ada kalanya juga masa membawa kita ke sebuah istana sepi, sunyi dan suram, yang dimana hanya berisi dengan debu-debu dan sawang-sawangnya yang bergelantungan. Ada kalanya semesta memberikan waktu untuk kita bercanda, namun ada kalanya juga semesta memberikan kita waktu untuk berduka. Semuanya sudah dirancang dengan kombinasi yang adil, namun kita sebagai manusia dengan sifat serakahnya, selalu ingin terus bahagia tanpa adanya kehancuran dan air mata. Bukankah itu hal yang lumrah? karena memang begitulah manusia. Namun kendati begitu, manusia juga dianugrahi kesempatan untuk memperbaiki segala hal-hal yang salah. Itupun jika kita memang benar-benar berniat untuk memiliki hidup yang lebih baik lagi kedepannya. Itulah yang aku renungkan sekarang.

Kejelasan yang telah bertahun-tahun aku tunggu akhirnya muncul dipermukaan dan menghampiriku dengan belati yang bersembunyi. Bohong, jika aku tidak marah dan membenci. Namun aku juga bohong, jika aku mengatakan bahwa aku sudah tidak lagi mencintai. Tak menutup kenyataan bahwa ia pernah membuatku bahagia, ia juga sering memberikan warna pada kanvas hidupku yang sebelumnya hanya berisi goresan-goresan tinta hitam dan kelabu, dan ia juga pernah menjadi harapan bagiku, bahwa jika dengannya—aku pasti akan baik-baik saja. Namun lagi-lagi, harapan selalu menjadi entitas yang berbatasan pada ruang dan waktu dan aku sudah tak lagi memiliki kesempatan untuk itu.

Tak terlepas dari banyaknya masalah yang menghampiri, aku hanya berharap untuk kedepannya aku bisa hidup dengan lebih baik lagi. Hidup dengan pribadi yang tak pernah kehilangan dirinya sendiri, hidup dengan pribadi yang hatinya tak sering digunakan untuk membenci, hidup dengan pribadi yang raganya tak pernah sekalipun lagi menghindari isi-isi dunia yang ingin sekedar mampir ataupun ingin selalu hadir. Aku ingin rehat dari segala luka yang berhasil merajai hidupku selama ini. Aku ingin berani melangkah, menjejaki masa-masa yang dirancang semesta dengan begitu apik maupun begitu pelik. Aku Naira, yang akan belajar ikhlas dengan segala kehilangan yang sempat aku punya dan akan belajar menerima ketidakutuhan di dalam keluargaku, mulai saat ini.

***

"Kamu enggak akan lupain aku kan, Nay?" tanyaku saat sebelum Nayla terbang ke Malaysia.

"Ah elah lebay amat lu. Gw ke Malaysia, Ra bukan ke surga."

"Lho, jadi kalau kamu ke surga, kamu akan lupain aku?"

"Ya iyalah, ngapain ke surga ngajak-ngajak kamu, surga yang indah itu sayang kalau dibagi-bagi."

"Ih Nayla, enggak gitu ajaran islam. Biar aja kamu kena marah sama Allah."

"Hahahhaa. Duh, gemes banget si sama dedek Raraaa. Jadi enggak kepengin pergi, deh."

"Yes!" ujarku senang.

"Yaudah, enggak usah pergi ya, Nay. Ok!"

"Tapi sayang, gw bercanda tadi."

"Ish! Nyebelin." gerutuku kesal

"Hahhaha. Tenang aja, gw usahain tiga atau empat bulan sekali pulang ke Indonesia."

"Lama kali."

"Yaudah tiga atau empat tahun aja."

"Naylaa!" pekikku ngambek.

"Hahhaha."

Saat ini, aku sedang dibandara. Mengantarkan Nayla dan Jordan yang akan pergi ke Malaysia. Jujur aku sedih sekali Nayla pergi, tetapi kata ibu dan Nayla suatu saat nanti, aku pasti bisa mendapatkan teman seperti dirinya lagi. Namun, bagiku Nayla tetap Nayla, perempuan freak dan tangguh yang tak pernah sekalipun menyerah untuk menuntunku keluar dari kurungan yang kubuat sendiri, bagiku Nayla tak akan pernah terganti.

"Sob. Maaf ya kalau gw sering buat salah sama lo." ujar Jordan kepada Bima.

Yaps. Disini bukan cuma aku yang mengantarkan mereka, namun ada Bima juga. Hal ini jelas, karena Bima dan Jordan juga bersahabat selaiknya aku dan Naira. Aku tahu bahwa Bima juga pasti akan berada disini, namun aku akan menjadi sahabat yang jahat jika aku tak mengantar mereka hanya karena masih ada amarah kepada Bima.

"Iya. Selow aja. Dan gw juga mau bilang makasih sama lo, karena udah mau jadi teman gw, haha. Makasih udah sering bantu gw. Lo yang paling tahu tentang hidup gw, man."

"Apaan sih kalian. Udah kayak enggak akan ketemu lagi aja. Maaf-maafan lagi, dikira lebaran." celetuk Nayla yang pastinya menjengkelkan. Namun, kami semua tertawa.

"Memangnya maaf-maafan pas lebaran aja? Kalau gitu, manusia enggak akan ada yang masuk surga." respon Bima.

"Kenapa gitu?" tanya Nayla lagi.

"Karena belum tentu dimaafin." sambungku.

Suasana menjadi hening. Tak ada lagi tanggapan dari mereka. Jordan dan Nayla terlihat menjadi canggung dan Bima menatapku nanar. Aku tahu, perkataanku pasti membuat mereka menyadari bahwa memang hubunganku dengan Bima belum membaik karena aku belum bisa memaafkannya. Aku pun bergeming. Dan kemudian terdengar pengumuman keberangkatan pesawat Jordan dan Nayla.

"Ra, gw berangkat ya." ujar Nayla yang kemudian memelukku.

"Iya, semoga selamat sampai tujuan."

"Aamiin."

Hal yang sama pun dilakukan dengan Jordan dan Bima. Kemudian, aku dan Bima melambai-lambaikan tangan pada mereka yang perlahan menghilang. Hingga hanya menyisakan aku dan ia yang kini berdiri bersampingan. Seketika aku menjadi bingung harus berbuat apa. Apakah aku harus pergi begitu saja dengan tak mengindahkannya? Atau aku harus menyapa dan pamit duluan? Aku bingung untuk sesaat. Pada akhirnya, aku putuskan untuk pergi begitu saja.

"Naira." namun ia menyanggah tanganku.

Aku berhenti dan menatapnya tanpa berkata apapun.

"Kamu sudah makan?"

"Sudah." ujarku tak ingin memperpanjang. Aku tahu pasti masih ada yang ingin ia bicarakan padaku. Bukan aku tak lagi mau bicara padanya, hanya saja aku sedang ingin mengistirahatkan diriku sendiri.

"Kalau gitu, aku mau mengajakmu ke suatu tempat." tetapi inilah Bima dengan segala rencana-rencananya. Ia tak pernah kehabisan cara.

"Aku-"

"Please!" ucapnya segera memotong penolakanku. Tak ada pilihan, aku menyetujuinya.

***

POV Bima

"Udah semua? Ada yang ketinggalan gak? Coba di cek lagi." ujarku kepada Jordan dan Nayla yang sedang memasukkan kopernya ke bagasi mobilku.

Ya, aku akan mengantarkan Jordan dan Nayla ke Bandara, dan sudah pasti ku tebak akan ada Naira juga disana.

"Sudah kok. Aman." ucap Jordan.

"Makasih ya, Bim udah ngasih tumpangan." kata Nayla.

"Nanti aja bilang makasihnya, belum juga sampe bandara."

"Hahaha, maklum gw 'kan terlalu ramah."

"Naira enggak ikut kita?" tanya Jordan. Nayla mengangguk.

"Pasti gara-gara gw. Dia enggak mungkin mau semobil dengan orang yang udah nyakitin dia." ujarku sedih kepada mereka.

"Enggak gitu, Bim. Naira tadi nelfon gw kalau dia mau bantuin ibunya dulu belanja di pasar. Jadi-"

"Itu cuma dalih, La. Gw ngerti kok, gw paham perasaan dia sekarang. Lo juga kalau diposisi Naira, pasti akan lakuin hal yang sama 'kan? Enggak usah ngehibur gw, gw enggak layak untuk itu."

"Ya, emang bener sih. Lo emang susah dimaafin. Yaudahlah, yok berangkat." ujar Jordan yang merangkulku.

"Bim, Lo enggak akan ninggalin Naira, 'kan?" tanya Nayla saat setelah di mobil.

"Kayaknya kalau gw tetap berada disampingnya, akan terasa berat bagi Naira."

"Tapi, Bim. Lo enggak mau bantu Naira untuk memulihkan hatinya lagi?"

"La, lo pikir deh. Selama ini gw yang nyakitin dia, dan gw enggak mungkin bisa jadi obat buat dia, karena gwlah yang buat luka itu ada, Nayla. Jadi, keputusan gw untuk pergi adalah yang paling tepat."

Bagiku, mengambil jeda untuk hubunganku dengan Naira adalah hal yang baik, karena aku dan dirinya sama-sama perlu istirahat. Istirahat dari segala hiruk-pikuk masalah yang hadir. Mencintai juga perlu jeda, begitu pikirku. Tetapi bukan aku, maksudku aku tak perlu jeda untuk mencintainya, hal itu berlaku untuk Naira. Aku pikir, jika ia masih mencintaiku, maka jeda adalah langkah yang baik untuk menenangkan hatinya. Namun, jika setelah ini cintanya untukku sudah tak ada, maka keputusan untukku pergi memanglah hal yang paling tepat.

***

Sesudah mengantarkan Jordan dan Nayla, aku mengajak Naira ke suatu tempat. Tempat dimana aku bisa berbicara serius dengannya. Pikirku, memberinya salam perpisahan adalah hal yang baik sebelum aku memang benar-benar harus pergi.

Aku mengajaknya ke galeri seni tempat dimana karyaku terpajang sebagai rangka acara pameran minggu depan. Setelah ku pikir, aku memang belum pernah mengajaknya ke tempat seperti ini selain galeri seni pribadiku dirumah. Disini sepi, hanya ada aku, Naira dan lukisan-lukisan bisu yang berbicara banyak makna di dinding-dinding itu.

Aku dan Naira berdiri tepat didepan karyaku sendiri. Aku melukiskan dua insan manusia, yang satu lelaki dengan trisula yang tumbuh di jari-jarinya dan satu lagi seorang perempuan dengan kain yang menutupi seluruh wajahnya, mereka kehujanan dan mereka dinaungi dengan pelangi dan petir secara bersamaan, dan disebrangnya terdapat rumah yang tampak merindukan seorang penghuni.

"Ini karyamu?"

Aku mengangguk.

"Disitu ada rumah, mengapa mereka tak dibiarkan meneduh?" tanyanya lagi.

"Enggak bisa. Si perempuan gak bisa melihat dan si laki-laki gak bisa menuntunnya karena jari-jarinya tajam, ia gak mau melukai perempuan itu hanya untuk meneduh."

"Terus kenapa kamu harus menggambar rumah, kalau enggak bisa untuk berteduh?"

"Karena mereka menginginkannya, mereka ingin berteduh, hanya tak bisa."

"Si trisula bisa berteduh sendirian 'kan dia bisa berjalan, kenapa dibiarkan kehujanan?"

"Karena trisula enggak bisa meninggalkan si buta."

"Kenapa?"

"Karena ia mencintainya."

Kami bergeming sesaat. Naira menatapku penuh, saat ini aku tidak melihat tatapan amarah pada manik matanya.

"Lalu, kenapa pelangi dan petir hadir bersamaan? Bukankah seharusnya pelangi hadir belakangan?"

"Itu kehendak semesta."

"Kalau gitu, si buta enggak pernah tahu bahwa laki-laki di depannya ini berjari trisula dan diatas kepalanya ada pelangi dan petir?"

"Si buta hanya tahu kalau dia kehujanan dan ia cuma yakin akan satu hal, bahwa setelah hujan pasti ada pelangi. Ia merasa, hujan itu adalah hujan kebahagiaan untuk dirinya."

"Kenapa gitu?"

"Karena dia senang, dia berada di bawah hujan bersama lelaki yang ia cintai."

"Dia juga enggak tahu kalau ada rumah tepat disampingnya?"

"Iya. Dia enggak tahu apa-apa. Dia cuma yakin, selama dia bisa merasakan kehadiran laki-laki itu. Dia akan baik-baik saja dan tak pernah lagi merasakan kegelapan yang hampa."

"Padahal dia tertipu?"

"Iya."

"Lalu, apakah trisula akan mengakui kalau ia telah menipu?"

Kemudian, aku mengajaknya kepada lukisanku yang lain. Disana terlukis masih dengan dua insan yang sama, namun hujan sudah reda. Dan trisula menggandeng si buta untuk berteduh.

"Iya. Dia mengaku. Hal itu membuat tangan si buta berdarah."

"Lalu apa yang terjadi kemudian?"

Aku kembali mengajaknya ke lukisanku yang lain. Disana terlukis bahwa si buta hanya sendiri berteduh, sedangkan trisula sudah tidak ada.

"Trisula pergi?" tanyanya.

"Iya."

"Begitu saja? Dia sudah melukai! Setidaknya dia mengobati dulu."

"Enggak bisa, Naira. Trisula tetap trisula. Jari-jemarinya tajam dan runcing. Bagaimana dia bisa membalut luka si buta? Hal itu cuma bisa membuat si buta tambah tersakiti."

Naira menitikkan air mata, kini aku melihat tatap amarahnya. Aku yakin, dia sudah mengerti maksudku.

"Aku akan pergi, Naira. Supaya kamu tidak tersakiti, lagi."

"Harus kamu memberikan penjelasan seperti ini?"

"Supaya kamu paham. Kalau aku hanya bisa berujung melukaimu."

"Kenapa kamu datang kalau hanya untuk pergi, Bim?"

"Kamu masih mencintaiku, Naira?"

"Ntahlah."

"Kalau gitu, pilihanku untuk pergi adalah pilihan yang tepat. Selama aku pergi, kamu bisa mencari tahu, apakah kamu masih mencintaiku atau tidak."

"Lalu, setelah aku dapat jawabannya apa yang akan kamu lakukan?"

"Ntahlah. Aku belum tahu. Aku akan cari tahu juga apa yang akan aku lakukan setelah kamu sudah mengetahui apakah kamu masih mencintaiku atau tidak."

Aku menitikkan air mata, begitupun Naira. Kami disini, berdua dengan sunyi, berteman berisik dalam kepala. Ia menangis pilu, aku memeluk membasuh rindu.

"Aku mencintaimu." ucapku memeluknya.

Demi trisula dengan runcingnya.
Demi si buta dengan gelapnya.
Disini dua insan menyecapi duka
untuk kesekian kalinya.

Demi rumah yang merindukan seorang penghuni.
Demi petir dan pelangi yang menaungi.
Disini aku, masih sangat mencintai.

Habislah trisula dikutuk semesta,
namun baginya tak apa.
Karena hatinya telah penuh dengan cinta.

***



Hai!!!! Sampai jumpa di part Epilog!!!
Terimakasih sudah baca sampai disini.

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 496K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
1.4M 113K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
1.8M 59.2K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...