MASIHKAH KAU PERCAYA CINTA IT...

By masdaraimunda

228K 25.9K 2.7K

Avram tidak pernah percaya cinta. Seumur hidup dia sudah meyakinkan diri untuk itu. Membangun tembok pembatas... More

1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Versi ebook

5

5.5K 1.8K 160
By masdaraimunda


Pagi hari kami mengunjungi ruang abu milik keluarga Bu Deswita. Pertama kali aku datang ke tempat seperti ini. Tempatnya terkesan sepi dan dingin. Dia menyalakan dupa dan menunduk dengan hormat berkali-kali. Lama menatap foto-foto yang ada di sana seolah bernostalgia dengan masa lalu. Cukup lama kami berada dalam ruangan hingga kemudian mengajakku pulang. Kami masih sempat mampir ke sebuah restoran untuk makan siang. Selesai makan masih ada jadwal untuk bertemu salah seorang dokter di rumah sakit. Sepanjang jalan kembali Bu Deswita bercerita.

"Saya berasal dari keluarga campuran. Papi keturunan Hongkong-Jawa dan mami saya keturunan India, Inggris dan Dayak. Saya besar di sini, masih terbayang Singapura tahun delapan puluhan. Saya tumbuh menjadi perempuan yang memiliki keinginan bebas. Menikah dengan papi Avram membuat semua keinginan saya harus dikubur. Usia kami terpaut jauh saat itu. Dia sudah sangat matang, 34 tahun. Terlalu sibuk berbisnis hingga lupa menikah. Perjodohan pada jaman itu adalah hal biasa. Dan sebagai anak saya harus menurut. Apalagi pihak mak comblang menemukan laki-laki yang kaya raya. Intinya keluarga tidak ingin kalau anak perempuannya hidup susah. Dan akan lebih senang kalau pihak pengantin pria berasal dari keturunan pebisnis."

Pantas wajah Bu Deswita sangat cantik. Ternyata ada banyak darah keturunan mengalir dalam tubuhnya.

"Saya menghabiskan masa kecil di dua kota yakni Jakarta dan Singapura. Sebelum orang tua saya berpisah, kami tinggal di Jakarta. Tapi kemudian saya harus ikut papi tinggal bersama nenek. Papi menikah lagi dengan seorang perempuan yang berasal dari Taiwan. Kehidupan kami sama seperti keturunan peranakan lainnya akur satu sama lain. Meski memang ada sedikit persaingan tapi tidak pernah terlihat. Saya anak tertua dan ada dua saudara laki-laki kandung. Dari ibu tiri saya mendapat tambahan empat saudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Masa remaja saya seperti gadis kebanyakan pada jaman itu. Pergi ke sekolah, kadang menghadiri pesta, menyenangkan sekali."

"Pernikahan kami murni tentang bisnis. Cinta tidak pernah penting dalam kehidupan keluarga. Semua dijalani saja. Namun kehidupan rumah tangga itu tidak seperti yang ada dalam pikiran saya. Mungkin terjebak dengan mimpi gadis muda yang romantis. Saya membayangkan hal yang indah. Sebuah hubungan yang hanya ada suami dan istri. Tidak pernah terpikir dalam benak saya tentang perseteruan mertua menantu dan juga persaingan antar ipar. Saya perempuan polos yang tiba-tiba harus masuk ke dalam kandang singa. Mau tidak mau harus bertahan."

"Papi Avram adalah laki-laki yang menganggap ketika perempuan sudah diberi kemewahan maka harus patuh. Saya bukan berasal dari keluarga yang sangat kaya seperti mereka. Tapi hidup kami cukup. Entah kenapa harta tidak membuat saya silau. Ada hal lain yang hilang dalam hidup dan selalu saya cari sejak kecil. Yakni cinta dan perhatian. Sayang, tidak pernah mendapatkan. Dia sibuk sejak pagi hingga malam. Kadang saya memang mendampingi saat harus ke pesta, tapi sekali lagi hanya sebagai pajangan. Kehadiran Avram tidak membuat hubungan kami semakin dekat. Dia tidak pernah peduli atau bertanya apa yang saya mau. Semua tentang apa yang dia mau dan saya harus menurut."

"Avram kecil adalah kebanggaan papinya. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar juga memiliki kemauan keras. Jika dia ingin mahir dalam sesuatu, maka harus sampai bisa. Takkan pernah mengeluh meski jam belajarnya harus mengorbankan waktu istirahat. Dia fotokopi keturunan papinya. Setiap kali memenangkan perlombaan dia akan datang. Dia begitu memuja saya bahkan pernah mengatakan saya adalah kekasihnya. Namun pada akhirnya saya menjadi orang yang mematahkan hatinya."

Aku hanya mendengarkan. Kalau sedang bercerita seperti ini wajah Bu Deswita terlihat sedih. Sepertinya dia tidak pernah punya teman bercerita. Pembicaraan terhenti karena kami tiba disebuah rumah sakit besar dan mewah bernama Mount Elizabeth. Bu Deswita langsung menuju ruangan. Seseorang segera mendampingi sementara aku hanya ikut dari belakang. Konsultasi tidak terlalu lama, dokternya sangat ramah. Ibu berbicara dalam bahasa inggris yang fasih. Dia memiliki banyak sekali kemampuan yang kadang membuatku tercengang. Ibu juga bisa berbahasa Mandarin dan sedikit Hindi. Selama di sini kami bertemu dengan beberapa keluarganya. Dan dia terlihat sangat bahagia bertemu mereka.

Selesai dari dokter kami pulang kembali ke apartemen. Kubenahi pakaian kotor ibu. Membantunya mandi karena terlihat sangat letih. Sampai kemudian berbaring diatas ranjang.

"Kamu hubungi Prananda asisten Avram. Minta dia menyediakan pesawat, besok pagi kita pulang."

"Baik bu."

"Sini duduk dulu, ibu kepingin ngobrol sama kamu."

Aku kembali duduk ditepi ranjang. Ibu duduk bersandar pada sebuah bantal.

"Kamu sudah punya pacar?"

"Belum bu, belum pernah pacaran."

"Berapa usiamu?"

"Dua puluh dua."

"Waktu seusiamu ibu sudah menggendong Avram. Saya memang menikah terlalu muda. Banyak yang hilang karena tuntutan keluarga. Dulu saya ingin sekali mengenyam pendidikan tinggi sama sepertimu. Berkarier ditempat yang bagus dan pergi ke kantor dengan pakaian berganti setiap pagi. Tapi mimpi itu tak pernah menjadi kenyataan. Keluarga suami menuntut saya untuk segera memberi keturunan. Beruntung tidak perlu terlalu lama mendengar cibiran setiap pagi. Ibu mertua tidak bisa lagi menyalahkan saya karena sudah melahirkan cucu laki-laki. Dan akhirnya berhenti menyindir karena seluruh ipar juga hanya punya satu anak. Kamu sangat cantik dan pintar, pasti banyak yang menyukaimu."

Aku hanya tersenyum sambil menunduk. Yah, ada beberapa yang suka memang. Tapi bukan berarti aku membalas perhatian mereka. Sampai kemudian Bu Deswita melanjutkan kalimatnya.

"Kadang hidup tidak berpihak pada perempuan yang diakui orang lain cantik, sering kali malah membawa penderitaan tanpa batas. Kecantikan menjadi boomerang bagi kita karena lebih sering menjadi pajangan. Semoga kecantikanmu bisa memberikan kebahagiaan untukmu nanti."

Aku kembali mengangguk.

"Kalau begitu hubungilah Prananda sekarang."

Kuraih ponsel untuk menghubungi asisten Pak Avram tersebut. Kusampaikan pesan ibu dan dia segera menyanggupi.

"Sudah bu."

"Terima kasih. Apa gaji yang ibu beri bulan ini cukup?"

"Lebih dari cukup bu. Sebagian sudah saya kirim untuk ibu di rumah."

Kembali dia mengangguk, anggun sekali. Aku kemudian pamit setelah Bu Deswita kembali berbaring. Saat tiba di kamar, kembali terbayang akan wajah ibu yang gembira saat aku mengirim uang. Sempat aku berpesan.

"Belikan sepatu untuk ayah ya, bu. Ibu juga beli saja mesin cuci baru."

Rasanya senang sekali saat bisa membantu mereka. Ini saja sudah lebih dari cukup untukku. Mereka begitu baik, sudah mengambilku dari panti asuhan. Aku harus menjadi anak yang berbakti agar mereka juga bahagia. Teringat dulu saat pernah ayah dan ibu berembuk dimalam hari tentang ke mana harus menyekolahkanku. Meski keuangan mereka kurang baik, tetap memasukkanku ke sekolah yang sama dengan Mas Zeus. Menurut mereka meski sedikit mahal, tapi kualitasnya bagus. Aku tidak pernah melihat ibu atau ayah mengeluh. Ayah tetap mengantar kami ke sekolah dengan sepeda motornya. Dan ibu sangat berhemat ketika tahun ajaran baru. Karena harus membeli buku pelajaran baru.

***

Tiga hari ini aku kehilangan sosoknya, duniaku seolah berhenti sejenak. Tidak ada tatapan takut dan wajah yang menunduk. Padahal aku begitu ingin melihat tatapan mata bening dan jernih miliknya. Mami membawanya pergi ke Singapura. Tapi pagi tadi setahuku dia sudah kembali. Karena itu aku pulang cepat. Tak sabar menatapnya dari kejauhan. Kali ini aku bersembunyi dari balik gazebo sambil merokok. Dia belum menutup gorden kamar. Bisa kulihat bagaimana dia berlalu lalang membereskan koper. Langkahnya teratur dan anggun. Kalau aku ada di sana sudah kupeluk dia dari belakang lalu mengajaknya menghabiskan malam. Ingin rasanya mendengar desahannya, pasti terdengar menggairahkan.

Timbul sebuah pertanyaan kenapa aku berada di sini? Sementara begitu banyak perempuan di luar sana yang bisa kutatap dan kupilih langsung agar mendekat. Tidak perlu bersusah-susah semua sudah tersedia. Tapi malah lebih senang diam dan menatapnya dari jauh. Langkah itu kini mendekati kaca. Menatap ke bawah dan langsung menutup gorden. Dia tidak tahu kalau aku sudah menikmatinya sejak tadi.

Ada sedikit kecewa, kenapa dia tidak menyadari kehadiranku. Tapi ini memang jauh lebih baik karena tidak akan menimbulkan masalah baru. Aku tidak mau Zea tahu lalu mengamuk. Rasanya ingin mendepak Zea sejauh mungkin. Tapi aku masih membutuhkannya untuk membangkitkan kemarahan mami. Dia adalah salah satu senjata agar mami tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa berkuasa atasku.

Puas berada di area taman kulangkahkan kaki memasuki rumah. Suasana sangat sepi, dan biasanya juga seperti ini. Kadang terpikir mengabulkan keinginan Zea untuk hamil. Setidaknya beberapa temanku membiarkan kekasih mereka melakukan itu karena ingin memiliki keturunan. Tapi tidak, aku tidak ingin melibatkan perasaan seorang anak dalam carut marut kehidupan. Sudah cukup aku yang menjadi korban. Tidak perlu mengorbankan satu jiwa lagi.

***

Pagi ini aku dan Bu Deswita sedang mengelilingi taman dekat kolam renang. Setelah seharian kemarin beristirahat. Dari sini bisa kulihat posisi Pak Avram berdiri. Sesuatu yang membuatku bergidik. Aktifitas di dalam kamar jelas terlihat dari sini. Sempat terpikir apakah aku pernah mengenakan gaun yang kurang pantas? Atau berganti pakaian di luar kamar mandi tanpa sengaja? Untung rasanya tidak pernah.

"Ini pasti Avram yang merokok. Untuk apa dia bersembunyi di sini?" omelan Bu Deswita menghentak lamunanku. Segera kulangkahkan kaki mendekat.

"Dia jorok sekali, apa tidak tahu kalau abu rokok itu panas? Lihat tanaman saya!"

Aku segera membantu membersihkan, sementara Bu Deswita yang kesal duduk di sebuah kursi. Ya, dari kamarku sepertinya area ini tidak terlihat. Kalau begitu mulai sekarang setiap sore aku akan segera menutup tirai. Selesai membersihkan aku segera mengambil cemilan buah ibu untuk pagi hari. Dia penyuka semangka. Bahkan ada yang di tanam langsung di salah satu area rumah ini.

"Besok kita akan ke kantor ibu ada rapat di sana."

"Baik bu."

"Setelah itu kita pulang ke rumah Pulo Mas. Kamu pasti kangen pada ibu dan ayahmu. Kita akan pulang malam, kamu boleh menemui mereka."

"Terima kasih bu."

Dia mengangguk sambil tersenyum lembut.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

16322

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 22.4K 27
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.3M 125K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
791K 6.7K 8
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...
2.1M 93.7K 53
SEQUEL "THE DEVIL WANTS ME" Bisa di baca terpisah [FOLLOW DULU SEBELUM BACA!] DON'T COPY MY STORYβŒοΈβ€ΌοΈ 17+ Awal dari bencana ini di mulai ketika Edel...