Affection

By sourpineapple_

481K 33.9K 449

COMPLETE - FOLLOW SEBELUM MEMBACA Mature Content (18+) so selection ur reading. *** Derana Gangga Mirabelle... More

P R O L O G
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB ENAM
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
BAB DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
BAB DUA PULUH EMPAT
BAB DUA PULUH LIMA
BAB DUA PULUH ENAM
BAB DUA PULUH TUJUH
BAB DUA PULUH DELAPAN
BAB DUA PULUH SEMBILAN
BAB TIGA PULUH
BAB TIGA PULUH SATU
BAB TIGA PULUH DUA
BAB TIGA PULUH TIGA
BAB TIGA PULUH EMPAT
BAB TIGA PULUH LIMA
BAB TIGA PULUH ENAM
BAB TIGA PULUH TUJUH
BAB TIGA PULUH DELAPAN
BAB TIGA PULUH SEMBILAN
BAB EMPAT PULUH SATU
BAB EMPAT PULUH DUA
BAGIAN EMPAT PULUH TIGA
E P I L O G

BAB EMPAT PULUH

12.5K 686 10
By sourpineapple_

Tiga pemuda yang berada di ruang tamu tampak tengah menunggu sesuatu itu sama-sama terdiam, fokus pada pikirannya masing-masing, hingga keheningan diantara mereka terpecah saat salah satu menyuarakan suara.

"Daddy kenapa sih kok lama banget sampainya?" celetuk Raiden, merasa sudah tidak sabar lagi untuk menunggu.

Jansen dan Jean kontan mendongak bersamaan, menatap adik bungsunya. "Tunggu aja, pasti masih di jalan, kalau nggak lagi macet," balas Jansen, membuat Raiden mendengkus.

Padahal ia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu sang ibu, setelah sekian lama harus menunggu, kini akhirnya mereka bisa bertemu kembali. Dengan bibir berkerut, Raiden menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa sembari menggoyang-goyangkan kaki untuk membunuh rasa bosannya akibat menunggu.

Sedang di sisi lain, sebuah mobil Fortuner yang ditumpangi oleh tiga orang— termasuk dari supir itu, melaju setelah melewati kemacetan yang untungnya tak terlalu panjang.

"Sudah tidak sabar untuk sampai di rumah?" tanya Jayden, ketika sedari tadi ia memperhatikan Dera tampak tersenyum kecil, melempar pandangannya keluar dari kaca jendela mobil yang terbuka.

Menoleh pada suaminya, kedua sudut bibir Dera bertambah naik hingga senyumnya terlihat jelas. Wanita itu mengangguk. "Senang rasanya bisa kembali menginjakkan kaki di kota ini. Aku tidak sabar untuk bertemu anak-anak."

Jayden tersenyum. "Mereka pasti sedang menunggu sekarang."

Laju mobil hitam itu berkurang ketika sampai di depan sebuah bangunan rumah megah kediaman keluarga kecil Rodriguez, begitu satpam membukakan pintu gerbang, mobil hitam itu berjalan masuk, dan berhenti di pelataran rumah.

Melepas sabuk pengamannya, Dera dan Jayden sama-sama membuka pintu, turun dari mobil. Menyapu pandangannya pada sekitar, Dera tersenyum tipis, rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di rumah ini.

"Ayo masuk," ajak Jayden, membuat atensi Dera beralih.

Membalas dengan anggukan, wanita itu menggandeng tangan kiri Jayden, lalu sebelah tangannya lagi mengusap perut. Begitu pintu rumah dibuka dan keduanya masuk, suara teriakan nyaring menyambut mereka diiringi tiga manusia yang berlari menghambur, memeluk Dera, hingga wanita itu hampir kehilangan keseimbangan, beruntung Jayden segera menahan.

"Boys, hati-hati," tegur Jayden yang tengah menahan punggung Dera.

"Mommy!! Raiden kangen banget sama Mommy, I miss you so so so much, Mommy jangan pergi lagi, Raiden nggak mau ditinggalin, Raiden sayang Mommy," seru Raiden beruntutan, pemuda itu menenggelamkan dirinya, memeluk erat sosok wanita yang sangat ia rindukan itu bersama kedua kakak kembarnya.

"I miss you, Mom," cicit Jean, meremas baju yang dikenakan Dera, pemuda itu juga memeluk tak kalah erat. Sedang Jansen hanya diam, membiarkan rasa rindunya untuk terobati, pemuda itu mengeratkan gigi gerahamnya agar tak menangis.

Mengerjapkan kelopak mata gandanya beberapa kali, Dera menatap ketiga bersaudara yang tengah memeluk dirinya itu. Tersenyum dengan ekspresi harunya, Dera balas memeluk, mengusap kepala mereka satu persatu.

"Miss y'all too. I'm sorry," ujar Dera, tangannya setia bergerak pelan mengusap-usap punggung mereka. Membiarkan rasa rindu yang selama ini ia tahan untuk meluap.

Sebagai penonton, Jayden hanya memperhatikan ibu dan anak yang saling berpelukan, sama-sama melepas rasa rindu. Rasanya damai sekali melihat pemandangan itu, bagaimana bisa dulu Jayden setega itu untuk memisahkan merela, bahkan tanpa berpikir ia memaksa ketiga putranya untuk menerima keputusan yang ia buat tak peduli mereka setuju atau tidak. Jayden benar-benar dibutakan oleh emosi dan rasa dendamnya sendiri.

"Mommy janji ya, jangan pergi lagi? Raiden nggak mau kehilangan Mommy, Raiden nggak mau ...," pinta Raiden mendongak menatap sang ibu.

Dera tersenyum dan mengangguk, mengusap mata Raiden yang basah. "Janji. Jangan nangis lagi, ya?" ujar Dera. Berselang kemudian, wanita itu mengerutkan dahi, sedikit merenggangkan jarak dengan mereka bertiga.

"Sebentar dulu— Mommy engap ..." Wanita itu bergeser mundur, merasa tidak nyaman lantaran perutnya yang terhimpit, membuat ia kesulitan mengambil oksigen dengan leluasa.

Melepaskan pelukannya, Jansen, Jean, dan Raiden sama-sama menatap Dera yang tengah mengusap perut. Melihat hal itu, dengan cekatan, Jayden langsung membuka suara.

"Ayo duduk dulu. Sebentar, boys, Mommy pasti lelah setelah perjalanan jauh, beri ruang dulu ya," ujar Jayden, memapah Dera untuk duduk di sofa ruang tamu.

Mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang empuk, Dera membuang napas panjang. Rasanya ia hampir tak bisa bernapas tadi.

Memperhatikan sang ibu yang nampak berbeda, Jansen, Jean, dan Raiden saling bertukar pandangan. Mata Jansen memicing, dahi Jean berkerut, dan kelopak mata Raiden berkedip beberapa kali. Karena terburu-buru menghambur ke pelukan ibunya, mereka tak menyadari hal ini tadi, baru setelah Jayden membawa Dera untuk duduk, mereka melihat adanya perubahan jelas pada postur tubuh sang ibu.

Raiden yang penasaran pun langsung melontarkan tanya. "Mommy kenapa perutnya gemuk?" tanya pemuda itu polos, membuat Jayden dan Dera saling melempar pandang.

Mengalihkan tatapan sesaat, Jayden terkekeh akibat pertanyaan polos putranya. Begitu pula dengan Dera, wanita itu tersenyum hingga ainnya tenggelam. Melihat ayah ibunya yang malah tertawa dan tersenyum sendiri, membuat Raiden kembali mengerjap, beralih menatap kedua kakak kembarnya yang mengulum senyum.

"Kenapa Kakak ikutan senyum juga?" tanya Raiden.

"Perut Mommy gemuk karena ada baby-nya," jawab Jayden, mengundang tatapan kejut dari Raiden.

"Huh? Baby? Mommy ... hamil?" tanya pemuda itu.

Dera mengangguk. "Iya, Sayang."

"Berarti Raiden mau punya adik baru?" tanya Raiden lagi.

Eh, tunggu sebentar ... aDIK BARU?!

"MOMMY, RAIDEN NGGAK MAUUU," rengek pemuda itu tiba-tiba dengan ekspresi berat hatinya, membuat mereka yang ada di sana terkejut akibat reaksi Raiden.

"Raiden, tidak boleh berbicara seperti itu," peringat Jayden.

"Nggak boleh bicara kayak gitu." Jansen turut menegur.

Raiden mencebikkan bibirnya dan menggeleng. "Nggak mau ... nggak mau adik baru ...," rengeknya.

"Kenapa, hm? Memangnya Raiden nggak pengen punya adik dari Mommy?" Dera melontar tanya.

Dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung ke bawah, Raiden menjawab, "Nanti kalau punya adik, Mommy jadi nggak sayang Raiden lagi ...," gagas pemuda itu, membuat Dera menaikkan kedua alisnya.

Wanita itu menyuarakan tawa halusnya. "Kata siapa Mommy nggak sayang Raiden lagi, hm?" Dera mengulurkan tangannya, mengusap poni yang menutupi dahi Raiden. "Kalian itu tetap jagoan kesayangannya Mommy, sampai kapanpun. Coba Mommy tanya, pernah nggak Mommy pilih kasih sama kalian bertiga?" tutur Dera, menatap ketiga putranya bergantian.

Kompak mereka menggeleng. Dera memang tak pernah membeda-bedakan di antara mereka bertiga, wanita itu selalu berusaha untuk adil, walaupun yang paling suka manja itu Raiden, seolah ingin 24/7 untuk terus menempel bersamanya, namun Jansen dan Jean tak pernah keberatan, karena memang sudah dari sananya adik kecil mereka itu paling banyak tingkah dan manja.

"Tapi nanti Mommy lebih sayang adik daripada kita," cicit Raiden.

"Sayang, semuanya itu sama, nggak ada yang beda. Kalian sama-sama anak Mommy, nggak ada istilah lebih sayang kakak, lebih sayang adik, semuanya sama-sama kesayangan Mommy. Mommy sayang Kak Jansen, Mommy sayang Kak Jean, Mommy juga sayang Raiden. Mommy loves you three a lot," urai Dera lembut.

Mempehatikan sang ibu yang menatapnya dengan teduh, Raiden beringsut mendekat, memeluk Dera dari samping. "Love you more, Mommy," balas pemuda itu, mengundang senyuman terbit di wajah Dera.

Menatap Jansen dan Jean, Dera mengangguk, isyarat agar keduanya ikut mendekat. Paham dengan kode yang diberikan ibunya, mereka berdua mendekat, ikut memeluk dari samping.

Jayden tersenyum, ikut mendekat, pria itu juga memeluk istrinya dari sebelah lain. "Daddy loves y'all too."

"Mommy, nanti malam Mommy tidur sama Raiden ya?" celetuk Raiden, hingga tak hanya Dera, Jayden juga menoleh pada pemuda itu.

"Tidak boleh," tukasnya.

Raiden menegakkan punggungnya, menatap sang ayah dengan alis bertaut. "Kenapa? Raiden masih kangen sama Mommy, jadi Daddy harus ngalah."

Jayden menggeleng. "Tidak boleh. Kalian itu anak laki-laki, sudah besar, harusnya malu jika tidur masih minta ditemani Mommy."

"Daddy juga udah besar, harusnya bisa tidur sendiri!" sanggah Raiden.

"Kenapa? Mommy 'kan istrinya Daddy, wajar kalau tidurnya bersama Daddy," bela Jayden, membuat Dera pusing mendengar ayah dan anak yang tiba-tiba berdebat itu.

"Daripada Daddy sama Raiden berdebat kayak gitu, mending Mommy tidur sama aku aja." Jansen ikut membuka suara, membuat ayah dan adik bungsunya kontan menoleh bersama.

"Mana bisa? Aku yang ajak Mommy dulu," cerca Raiden.

"Kamu ini sudah besar harusnya bisa jadi contoh buat adiknya, bukan malah ikut-ikutan minta tidur bersama Mommy," omel Jayden.

"Udah, udah, adilnya Mommy sama aku aja." Jean menengahi.

"Kamar kalian berdua itu ribet, harus naik-turun tangga, nanti Mommy capek, mending kamar Kakak yang di bawah," ujar Jansen.

Merasa pengang mendengar pertengkaran itu, Dera akhirnya angkat bicara. "Stop, kalau kalian terus bertengkar begini, lebih baik Mommy tidur sendiri, masih banyak 'kan kamar yang kosong?"

"Tidak boleh."

"Nggak boleh!" seru Jayden dan ketiga putranya bersamaan, lalu mereka saling melempar pandang.

"Ya sudah kalau begitu, jangan berdebat," tandas Dera, pusing karena terus dioper-oper menjadi bahan rebutan.

"Tapi Raiden mau tidur sama Mommy ...," pinta pemuda itu, mengerling dengan mata anjingnya.

"Kita buat jadwal aja, biar bisa gantian tidur bareng Mommy," usul Jean.

"Daddy tidak setuju," tolak Jayden mentah-mentah.

"Kalau Daddy nggak setuju, itu artinya Daddy nggak masuk jadwal, nggak usah tidur sama Mommy," balas Jean.

Memejamkan matanya, Dera menggeleng pelan. "Masih mau dilanjut? Kalau iya, silakan, biar Mommy pergi untuk istirahat," ujar Dera, beranjak dari duduknya.

Jayden tersenyum. "Dengar, boys, biarkan Mommy untuk beristirahat. Berhenti memperdebatkan hal itu, karena Mommy akan tetap tidur bersama Daddy," ujar Jayden penuh kemenangan, sedang Dera yang masih bisa mendengar itu pun hanya membuang napas pelan.

Tidak anak, tidak ayah, sama saja.

"DADDY NGGAK ADIL!!!" teriak Raiden kesal, pada Jayden yang tengah melenggang pergi. Sementara pria itu hanya tertawa tanpa suara, tak berniat menanggapi.

***

"Bisa kita berbicara sebentar?" Suara bariton yang menginterupsi membuat perhatian Dera beralih, bersama dengan kedua alisnya yang terangkat saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut.

Meletakkan gelas yang dipegangnya di pantry, Dera membalas, "Go ahead."

Pria bertubuh kekar itu mengangguk tipis, sesaat ia menyapu pandangan pada sekitar, lantas menarik kursi bar dan mendudukinya. "Tidak tau harus memulainya darimana, but glad to see you again, Derana."

Dera mengangguk sebagai respons. "Maaf, tapi anda ingin membicarakan apa? Silakan saja pada intinya," ujar Dera, tak mau berbasa-basi.

Rasanya tidak etis ketika ia mengobrol dengan pria lain hanya empat mata seperti ini, apalagi mereka sedang berada di rumah yang mana rumah ini adalah milik Jayden, meski Dera tahu jika Mario adalah sahabat karib Jayden, pria itu tetap seseorang yang asing bagi Dera, dan mengobrol dengan seorang pria yang tak dekat dengannya tanpa konteks penting sangat bukan dirinya sekali.

Menunduk, Mario tersenyum tipis. Masih sama ternyata, batin pria itu.

"Maaf. Ngomong-ngomong, jangan terlalu formal, santai saja. Saya sudah meminta izin pada Jayden untuk mengobrol berdua denganmu tadi, just in case, jika kamu takut akan menimbulkan kesalahpahaman," jelas Mario.

Pria itu menarik napas, sebelum kembali mengeluarkan suara.

"Mungkin bagi kamu ini tidak terlalu penting untuk dibicarakan, hanya saja saya ingin memberitahu. Well, as you know, saya berteman dengan Jayden tidak hanya satu-dua tahun saja, saya mengenalnya, bahkan mungkin lebih dari orang tuanya sendiri kenal. Awalnya, saya kira memang begitu, tapi nyatanya, apa yang terjadi selama kalian bersitegang benar-benar diluar dugaan saya," urai Mario yang didengarkan oleh Dera.

"He's so messed up. Terakhir kali saya melihatnya kacau yaitu saat kematian Risa, lalu terulang lagi tiga bulan yang lalu, but the situation was more than chaotic. He smokes, he drunks, workaholic, jarang makan, kurang tidur, mengunci diri di kamar, also cry every night," ujar Mario, membuat Dera tersentak pelan.

Apakah sampai separah itu?

Mario tertawa tanpa suara, pandangan yang tadinya menatap pantry itu beralih pada Dera. "Tidak berakhir di situ, dia juga harus mendapat perawatan intensif selama berhari-hari, beruntung tidak ada permasalahan yang fatal, hanya saja pencernaannya benar-benar terganggu. Saya kira, dengan sakit seperti itu, akan membuat Jayden merasa jera atas pelampiasan buruknya, seakan belum cukup, he also tried to hurt himself, I mean— luka fisik, you know?"

Dera mengerjap, menelan ludahnya dengan susah payah. "Is this the reason why he said he was almost crazy?"

Mario tertawa. "Dia berkata seperti itu? But, I think, bukan hampir, tapi memang sudah gila." Lalu merogoh saku celananya, mengambil sesuatu yang entah apa itu.

"Here's the proof." Mario menunjukkan sebuah wadah kecil yang berisi ... pil?

"Apa itu?" tanya Dera.

Mario menggeser benda kecil itu pada Dera. "Lihat saja."

"Obat?" Dera mengerutkan kening.

"Right. Ini adalah pil antidepresan yang sempat dikonsumsi Jayden," ujar Mario, membuat kedua bola mata Dera melebar.

"J-jayden mengonsumsi ini? Untuk apa?" tanya wanita itu terkejut. Setahunya obat semacam ini tidak boleh dikonsumsi tanpa pengawasan dan resep dokter.

"He's depressed. Hanya ringan, dia juga hanya beberapa kali meminum ini, setelah itu dia putus obat atas kesepakatan bersama psikiaternya." Mario menggoyangkan botol kecil itu, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana.

Dera bergeming. Jadi seberat itu hari yang dilewati Jayden selama tiga bulan ini? Pantas saja tubuhnya terlihat lebih kurus.

Melihat Dera hanya diam, Mario berdehem pelan. "Saya mengatakan ini bukan untuk menyalahkan kamu, lagipula ini juga bukan salah kamu. Saya hanya ingin memberi tau."

"Yang dilakukan Jayden memang sudah keterlaluan, entah bagaimana dia bisa menjadi tolol seperti itu. Saya harap kamu benar-benar mau memaafkan dan memberinya kesempatan, abaikan dulu hipotesis tentang dia akan mengulangi hal sama atau tidak nanti. Dia tidak mungkin sampai melewati hal seperti ini jika tidak sangat mencintai kamu. Percayalah, Risa memang istri pertamanya, tapi kamu memiliki tempat sendiri di hati Jayden, he loves you very much, Derana," ujar Mario, sedang Dera masih terdiam.

Dera percaya akan gagasan itu. Tidak mungkin Jayden sampai rela mencarinya ke New York, bahkan sampai berlutut dan hampir bersujud di kakinya jika pria itu tak benar-benar mencintai dirinya.

"Serius sekali, apa yang sedang kalian bicarakan?" Suara berat yang familier itu membuat Dera tersentak pelan, kompak menoleh bersama Mario pada sumber suara.

Ada Jayden yang tengah berjalan mendekat, lalu merangkul Dera dan mengusap pundak wanita itu. "Pulanglah, ini sudah malam, waktunya istriku untuk beristirahat," ujar Jayden, mengusir Mario.

"Tch. Istirahat atau istirahat?" sindir pria itu, bangkit dari kursi bar yang ia duduki. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Terimakasih kunjungannya," ujar Mario, membuat satu alis Jayden terangkat.

"Ya, sama-sama," balas pria itu, tersenyum miring, menatap punggung Mario yang menjauh dan menghilang di balik tembok.

Kini Jayden beralih menatap Dera. "Apa yang dibicarakan Mario tadi? Kelihatannya serius sekali," tanya Jayden.

Dera menggeleng dan tersenyum. "Bukan apa-apa," jawabnya.

Menatap kedua manik sang istri, Jayden menarik kedua sudut bibirnya naik, lalu mencondongkan punggung, mengecup singkat bibir sang istri. "Sudah malam, ayo istirahat. Kamu pasti masih lelah."

"Hanya aku? Baby-nya tidak mendapatkan kecupan juga?" ujar Dera, menunduk dan mengusap perutnya, membuat Jayden terkekeh, melepaskan rangkulannya dan bersimpuh di depan perut sang istri.

"Mau dicium Daddy juga, hm?" gumam Jayden, mengusap dan mengecup perut istrinya berkali-kali.

Tawa Dera mengudara. "Stop, Jay, geli," ujar wanita itu menahan kepala Jayden.

Seolah menular, Jayden ikut tertawa, beranjak dari posisinya. "Sekarang waktunya tidur," ujar pria itu, tiba-tiba meraih punggung dan kaki Dera, membawa wanita itu pergi ke kamar.

"Astaga, Jay, turunkan aku! Bahaya jika sampai jatuh!" pekik wanita itu, terkejut.

Namun Jayden justru terkekeh. "Tidak akan jatuh, tenang saja," balas Jayden menatap wajah istrinya.

Mengalungkan tangan di leher Jayden, Dera menyembunyikan wajahnya. "Aku malu, Jay. Aku pasti sangat berat, ya?"

"In the right place," ujar Jayden, membuat Dera mengerjap, memerlukan waktu beberapa saat untuk mengerti ucapan Jayden.

Memukul bahu Jayden, Dera mendengkus. "Mulut kamu kotor sekali, Jay!" seru wanita itu, mengundang tawa dari Jayden.

"So? Can you clean it with your lips?" goda Jayden.

"Jay!" Lalu pukulan kembali pria itu dapatkan, bersama tawanya yang mengudara.

— AFFECTION —

om jayy, inget umur ommm

btw, maaf updatenya lama, hehe ✌🏻

ke depannya juga bakalan lebih lama lagi, karena aku lagi siboookkk, super duper sibokk. sekalinya ada waktu, eh malah ketiduran sambil menghayal.

Continue Reading

You'll Also Like

50.4K 3K 42
Khaluna baru saja lulus kuliah sebagai perawat, ia langsung mendapat pekerjaan di Klinik. Di klinik itu ia bertemu seorang dokter tampan. Saat hari p...
195K 12.4K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
60.5K 3.8K 25
Berwajah manis dengan tubuh mungil, membuat Airin mudah dikagumi dan dicintai oleh banyak orang sekaligus menjadikan Airin sangat dimanja dan dilindu...
93.5K 4.5K 24
•Total 23 chapters, termasuk extra parts. ⚠ Terdapat beberapa kata kasar Sejak awal laki-laki dengan iris abu-abu itu mampu menarik perhatianku hingg...