Weird Girl

By yetimutimut

38.6K 4.1K 376

Akira Inggit Kinanti si gadis tanpa ekspresi, tidak seperti manusia normal pada umumnya, ia tidak bisa menang... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43

Part 34

668 76 11
By yetimutimut

Happy reading 😊

Setelah mengantar Akira ke kamar, Marvin kembali ke tempat sebelumnya, ia lantas bertanya pada salah seorang pekerja yang sedang membersihkan ruang tamu, mengenai keberadaan si kepala pelayan yakni Ivan.

Setelah mengetahuinya, Marvin langsung bergegas pergi untuk mengatasi rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada istrinya saat penyusup berhasil tertangkap.

Dengan gerakan pelan Marvin mengetuk pintu ruangan di depannya yang tidak lain adalah ruang kerja Theo. Begitu masuk, Marvin langsung mendapatkan perhatian dari 3 orang yang berada disana.

"Sepertinya sedang ada perbincangan serius." Marvin menatap satu persatu orang di dalam ruangan itu.

Di dalam ruang kerja Theo ada Ivan, Marc, juga si pemilik ruangan.

"Mansion ini baru saja kemasukan penyusup, tentu saja harus dibahas dengan serius," ucap Marc, sepupu Marvin.

Marvin mendudukkan tubuhnya di sofa single. "Jadi, sudah sampai mana pembahasannya?" Tatapan Marvin terarah pada Theo yang berdiri memunggungi mereka, sambil menatap keluar jendela.

"Kemungkinan di mansion ini ada pengkhianat, Tuan," Ivan menjawab pertanyaan Marvin.

Marvin memegang dagunya. "Dilihat dari mereka yang begitu mudah masuk kemari, itu bisa saja benar."

"Lalu dalangnya?" Tanya Marvin. "Apa lagi-lagi Igor?"

"Ya. Dilihat dari otak ketiga penyusup itu yang sama tumpulnya dengan pria itu, sepertinya memang dia yang lagi-lagi mengganggu kita," ucap Theo dengan tenang.

Marc tak bisa menahan tawanya saat mendengar pamannya yang begitu berterus terang. "Pfttt! Otak tumpul." Marc membekap mulutnya.

"Tentu saja tumpul. Orang bodoh mana yang menyusup di siang benderang begini?" Theo membalikan bandannya dan langsung menatap Marc.

"Apa tidak ada kemungkinan yang ketiga penyusup itu lakukan hanya untuk mengalihkan perhatian?" Tanya Marvin.

Walaupun Marvin tidak memungkiri bahwa dalang kejadian ini memang orang yang bodoh, tapi tetap mereka tak bisa menganggap remeh hal itu, bisa saja kemampuan berfikirnya meningkat dan mampu membuat mereka lengah.

Marc terkekeh pelan. "Tidak-tidak, dia tidak memiliki rencana lain. Yang kalian lihat hari ini adalah rencananya yang dibuat dengan kemampuan otaknya. Tidak ada rencana lain yang tersembunyi dalam kejadian hari ini."

Mendengar ucapan Marc, ketiga orang disana seketika mengarahkan pandangannya pada pria itu.

Marc seketika merapatkan mulutnya saat menyadari dirinya menjadi pusat perhatian.

"Bagaimana bisa kau seyakin itu?" Tanya Marvin dengan ekspresi curiga.

Marc berdehem pelan, ia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya. "Seperti yang kita ketahui, Igor itu akalnya pendek. Mudah sekali membaca pikiran orang seperti dia."

Marvin mendengus. "Sependek-pendeknya akal Igor bukan berarti kita bisa menebak isi pikiran orang itu. Kecuali kau memang memiliki kemampuan membaca pikiran atau...," Marvin menjeda ucapanya, "kau memiliki komunikasi yang lancar dengannya."

Setelah mendengarnya, untuk sebentar Marc menampakkan ekspresi serius, sebelum akhirnya tawanya pecah. "Ahaha... Oh ya ampun. Sepupu ku ini ternyata mencurigaiku sebagai pengkhianat," ucap Marc di sela-sela tawanya.

Marc mengusap air matanya yang keluar akibat tertawa lepas, ia menghentikan tawanya lalu tersenyum miring yang ditunjukkan pada Marvin. "Jangan-jangan pengkhianat itu kau, Marvin."

"Jangan sembarang. Sudah hampir 8 tahun aku tidak berada disini bagaimana bisa aku menjadi pengkhianat." Marvin menampakkan ekspresi yang begitu dingin.

Marc mengendikan bahunya. "Ya mana ku tahu."

"Cukup." Theo mengintrupsi keduanya.

Marvin yang baru ingin membalas ucapan Marc pun, harus kembali menelan kata-katanya.

"Jangan lengah dan justru membuat pertikaian sendiri," Theo memberikan peringatan pada Marvin juga Marcus. "Ivan selidiki semua ini secara diam-diam."

Ivan mengangguk sekali. "Baik Tuan. Kalau begitu saya permisi."

Setelah Ivan keluar dari ruangan, Marvin juga turut undur diri dari ruang kerja Theo. Dengan cepat, Marvin langsung menyusul Ivan untuk segera bertanya mengenai apa yang terjadi pada istrinya tadi.

"Ivan tunggu. Aku mau bertanya."

Mendengar panggilan Marvin, Ivan langsung berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadap majikannya itu.

"Iya Tuan? Apa yang ingin Anda ketahui?" Tanya Ivan dengan sopan.

"Istriku-"

"Iya, tadi aura Nyonya Akira sangat mengerikan, sampai tidak ada yang berani menghentikannya." Salah seorang anak buah Czaren bicara dengan menggebu-gebu.

"Benar. Salah-salah kita yang disetrum jika sampai menghalangi," timpal yang lain.

"Oh iya, katanya tembakan di kaki para penyusup itu juga perbuatan Nyonya." Seolah tak ingin kalah, yang lain terus menimpali.

"Ahaha! Nyonya kita sangat hebat!" Ucap salah seorang dengan begitu bersemangat.

Mendengar semua itu Marvin hanya bisa mematung dan tak mampu berkata-kata.

"Dasar mereka itu. Saya akan tegur mereka Tuan," Ivan langsung undur diri untuk menegur mereka. Setelah memberikan teguran, Ivan kembali menemui Marvin. "Jadi, apa yang ingin Tuan tanyakan adalah mengenai Nyonya Akira?" Tebak Ivan.

Marvin mengangguk. "Ya, aku sudah tahu secara garis besar dari orang-orang tadi. Tolong ceritakan detailnya," pinta Marvin, yang langsung diangguki oleh Ivan.

*
*

Marvin membuka pintu kamarnya, dengan langkah pelan ia menghampiri Akira yang sedang tidur dengan nyenyak di atas ranjang.

Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Akira, Marvin duduk di tepi ranjang. Tangannya yang besar bergerak untuk mengusap pipi istrinya itu. "Maaf. Kupikir tempat ini aman untukmu, tapi ternyata kamu tetap menghadapi bahaya walaupun berada di dalam mansion," ucap Marvin dengan lirih.

"Ya mau bagaimana? Orang-orang disini kan manusia biasa semua. Tidak semuanya bisa dengan sempurna melindungi mansion ini." Akira membuka matanya dan langsung menggenggam tangan suaminya yang masih berada di pipinya.

Akira yang tadinya baru terlelap langsung sadar setelah mendengar suara langkah kaki.

Marvin tersenyum tipis sebentar, sebelum akhirnya ia menghela nafas. "Tapi semua hal buruk yang terjadi padamu selama ini, dimulai karena aku membawamu kemari."

"Kamu kan juga manusia biasa yang tidak bisa menebak masa depan, siapa yang tahu kalau semua ini akan terjadi padaku. Kita berada disini karena ini satu-satunya pilihan yang paling baik. Jadi jangan menyalahkan dirimu." Akira mengelus rahang Marvin.

Marvin yang tadinya menampakkan ekspresi muram, seketika dibuat tersenyum tipis. "Iya." Marvin menggenggam tangan Akira lalu mengecupnya. "Istirahatlah, kamu pasti lelah setelah menghadapi para penyusup itu."

Akira menggeleng. "Tidak mau. Katakan dulu, apa aku akan mendapat keadilan untuk apa yang telah dilakukan Ana padaku dan calon anakmu?"

"Pasti." Marvin mengangguk mantap. "Sekarang istirahatlah."

Akira mengangguk pelan lalu kembali memejamkan matanya.

Marvin kembali mengecup kening Akira cukup lama, sebelum akhirnya ia beralih mengecup perut buncit istrinya itu. "Semoga kalian selalu diberi kesehatan," bisik Marvin.

Keheningan seketika meraja di dalam kamar Marvin. Matanya yang tajam menatap lurus jendela di hadapannya, tangannya bersidekap seolah sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah, hukuman apa yang kiranya cocok untukmu Ana?" Gumam Marvin.

**

Dengan gerakan pelan Akira menggerakkan kursi goyang yang didudukinya. Sambil memakan singkong gorengnya, Akira tampak asyik melamun, menatap keluar jendela.

"Mama."

Suara kecil yang terdengar di telinganya, seketika menarik Akira ke dunia nyata. Saat ia menoleh, dirinya mendapati Natasha yang sedang menunduk, menatap lantai, sehingga ia tidak bisa melihat ekspresi putrinya itu.

Ekspresi terakhir yang Akira lihat dari Natasha, adalah saat ia membanting ibu kandungnya kemarin, tapi parahnya saat itu Natasha memandangnya dengan ekspresi ketakutan.

"Kamu sudah tidak takut padaku? Aku sudah menyakiti Mama kandungmu loh." Akira menatap Natasha dengan wajah datarnya.

Natasha hanya bergeming untuk sesaat, sebelum akhirnya ia mengangkat wajahnya lalu menggeleng pelan. Mata Natasha terlihat berkaca-kaca. "Nat-Nat sudah pernah melihatnya, Mama yang marah besar karena seseorang menyakiti hal yang berharga bagi Mama." Natasha mengusap matanya. "Saat itu kan Mama juga pernah marah besar untuk Nat-Nat, waktu ada orang yang menampar Nat-Nat. Sampai-sampai Mama dipenjara."

Natasha langsung memeluk perut Akira. "Intinya, yang Mama lakukan kemarin itu untuk menghukum Mama Ana yang menyakiti Adik di dalam perut. Nat-Nat kaget, juga takut sedikit, tapi sekarang sudah tidak."

Akira mengelus rambut kecoklatan Natasha, ia lalu meletakkan dagunya pada kepala putrinya itu. "Sekarang aku jadi lega," bisik Akira.

Ia lalu mengecup kepala putrinya itu, Natasha yang juga tak kalah senangnya semakin mengeratkan pelukannya pada Akira, sambil sesekali mengecup perut sang Mama.

"Oh ya Mama, Papa ke mana?" Natasha mendongak menatap Akira.

"Papamu bilang dia ingin membereskan sesuatu. Tidak tahu deh apa itu." Akira mengendikan bahunya.

Mendengarnya Natasha langsung ber oh ria, lalu kembali memeluk perut Akira.

*
*

Dengan langkah yang terlihat ragu-ragu, Ana berjalan menghampiri sesosok pria bertubuh tegap yang berdiri di depan pintu rumahnya.

Pria itu masih belum menyadari kehadiran Ana karena posisinya yang membelakanginya. Saat Ana sudah semakin dekat, barulah ia menoleh ke belakang.

Ana langsung mundur beberapa langkah begitu mendapat tatapan dingin yang menusuk dari pria itu, membuat tubuhnya seketika gemetar karena ketakutan.

"Ma-maafkan aku Marvin, a-aku benar-benar tak bermaksud menyakiti calon anakmu. A-aku hanya ingin membuat Akira merasakan mulas sedikit karena kontraksi." Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya Ana bicara dengan sedikit terbata-bata.

Marvin menyipitkan matanya dengan tajam. "Semua kata-katamu hanya berisi pembelaan diri," ucapnya dengan nada sinis juga dingin.

Hal itu seketika membuat Ana tak mampu untuk kembali berkata-kata. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya untuk menyangkal ucapan Marvin.

"Dengarkan baik-baik. Ini sebuah peringatan! Selama dua Minggu ke depan sebaiknya kau selalu berhati-hati dan juga waspada, perhatikan apa yang kau makan, juga perhatikan orang yang ada di sekelilingmu," Marvin menjeda ucapanya, lalu tersenyum miring. "Jika dalam dua Minggu kau masih bisa bertahan, tak ada lagi yang harus kau khawatirkan,

"Dan itu, dimulai dari besok," ucap Marvin dengan sedikit ambigu.

Mendengarnya wajah Ana seketika memucat, seketika semua pikiran buruk langsung memenuhi otaknya, percobaan diracun dan disakiti akan menimpanya jika ia tak waspada. Ana tidak menyangka pria yang dulu mencintainya kini berbalik mengancamnya.

"Kenapa?! Kenapa kamu melakukan ini Marvin?! Bagaimana kamu bisa melakukan hal seperti itu pada Ibu dari anakmu!" Dengan tubuh gemetar ketakutan, Ana meneriaki mantannya itu.

Marvin mendengus. "Kalau ada orang lain yang mendengar kata-katamu jadi aku yang kelihatan jahat, padahal ini semua terjadi akibat dari tindakanmu. Tindakan dimana, kau menyakiti Ibu yang telah merawat anakmu."

Air mata Ana seketika mengalir, ia tampak menangis terisak-isak, namun Marvin sama sekali tak luluh, ia hanya memandang dingin ibu kandung putrinya itu.

Tak menunggu tangisan Ana mereda, Marvin kembali bicara, "Semoga kau bisa bertahan, dan selalu baik-baik saja selama dua minggu ke depan. Hiduplah dalam ketakutan selama itu." Marvin langsung berbalik dan pergi meninggalkan Ana yang sudah terduduk di lantai karena kakinya yang lemas.

Walaupun sudah berjalan sedikit jauh, Marvin masih bisa mendengar tangisan keras Ana, namun ia sama sekali tak gentar, itu semua untuk memberikan hukuman yang sepadan dengan apa yang telah ia lakukan pada istri juga calon anaknya.

Begitu memasuki mobilnya, Marvin langsung menghembuskan nafas panjang. "Jalan. Kita kembali ke mansion."

"Baik Tuan," ucap si supir.

*
*

Sambil memangku sepiring singkong goreng dan bersandar pada kepala ranjang, Akira tampak begitu serius menonton televisi yang tergantung di dinding kamarnya, setelah tadi selesai berbincang dengan Natasha.

Suara langkah kaki yang mendekat, bahkan sama sekali tidak membuat Akira mengalihkan pandangannya pada televisi di depannya.

"Aku tersinggung, setidaknya menoleh lah sayang. Suamimu ini baru saja pulang." Marvin langsung mengecup pelipis Akira.

Akira langsung menoleh menatap Marvin, dengan mulut yang masih mengunyah singkong goreng.

"Habis darimana?" Tanya Akira setelah menelan singkong gorengnya.

Marvin langsung duduk di sisi Akira lalu meletakkan kepalanya pada bahu istrinya itu. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, Marvin lantas menceritakan apa yang baru saja ia lakukan.

"Hm, jadi selama 2 minggu ke depan dia akan hidup dalam ketakutan. Apa kau benar-benar serius akan melakukan sesuatu dalam makanannya, atau menyuruh seseorang untuk menyusup di sekelilingnya?"

Marvin menegakan kepalanya, lalu menatap dalam-dalam wajah istrinya itu. "Tidak, toh dia akan kesulitan karena harus selalu bersikap waspada, karena sebelumnya ia mendapatkan peringatan seperti itu, secara tak langsung itu mensugesti otaknya. Paling aku hanya akan meminta orang mengawasinya sesekali." Marvin mengelus pipi putih Akira. "Apa menurutmu itu sepadan?"

Akira terdiam, hal itu membuat jantung Marvin berdegup kencang. Ia sudah berusaha agar Akira tidak sampai melakukan hal kelewat batas untuk membalas perbuatan Ana, itulah kenapa ia memberikan hukuman seperti ini, hukuman yang setimpal namun tidak melewati batas hingga menyakiti Ana.

Akira menutup mulutnya. "Ha. Aku mau tertawa, rasanya pasti lucu melihat dia waspada dengan makanan yang akan ia santap dan selalu memandang curiga orang di sekelilingnya. Ya, hukuman itu cukup setimpal." Akira kembali menonton televisi dan melanjutkan makan singkong gorengnya.

Mendengarnya Marvin menghembuskan nafas panjang lega dan lantas membatin, 'Anastasia setelah menjalani hukumanmu, ku harap kau tidak main-main lagi dengan istriku.'

Setelahnya Marvin langsung memeluk pinggang Akira dan merebahkan kepalanya di bahunya. "Tidak ada ucapan terimakasih?" Cicit Marvin dengan manja.

"Hm. Terimakasih," ucap Akira, masih dengan mata yang tertuju pada televisi.

Marvin berdecak. "Hanya begitu? Tidak ada bonusnya?"

Akira melirik Marvin lalu memberikan kecupan singkat pada pipi Marvin. "Sudah."

Marvin berdecak, lalu mendekatkan wajahnya. "Kurang,"

Hal itu membuat semburat merah muncul di pipi Akira, karena wajahnya yang begitu dekat dengan suaminya. Walaupun begitu, ekspresi datar Akira sama sekali tak berubah. "Lalu mau apa?"

Marvin menjawabnya dengan berbisik tepat di dekat telinga Akira, membuat wajah putih Akira semakin merah layaknya tomat.

Sampai jumpa di part selanjutnya 😉

Continue Reading

You'll Also Like

49.4K 7.8K 30
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk
110K 13.4K 111
"Kita punya tujuan yang sama Hel, bedanya lo ngelindungi gue untuk masa depan sedangkan gue melindungi lo dari masa depan" Setelah kematian kakak lak...
172K 13K 23
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...
41.8K 2.9K 40
Siapapun yang menyakiti orang terdekatku akan merasakan dekatnya kematian. -freya Ini Hanya Fiksi Jangan Dibawah Kedunia Nyata JADWAL UP (SEBISANYA D...