Bring Me Home

By ashervalto

244K 28.3K 1.9K

Anak kelas XI-IPS2 kali ini mendapatkan tugas kelompok untuk mewawancara orang-orang berdarah non-Asia di sek... More

Single
Double
Triple
Quadruple
Quintuple
Sextuple
Septuple
Octuple
Nonuple
Decuple
Undecuple
Duodecuple
Tredecuple
Quattuordecuple
Sexdecuple
Septendecuple
Octodecuple
Novemdecuple

Quindecuple

8.6K 1.1K 70
By ashervalto

"Sen, mau saya anterin?" tanya yang lebih tua ketika Senandika menyalakan mesin motornya di depan gerbang rumah Marco.

Tanpa menoleh, Senandika menggeleng tanpa ada suara apa pun yang keluar dari lisan.

"Kamu marah?" tanya Marco yang lagi-lagi hanya dijawab dengan gelengan semata.

"Ish, ini kenapa susah banget, sih!" gerutu yang lebih muda frustrasi. Memang kalau motornya tidak dipakai sehari saja, mesinnya menjadi dingin dan susah dinyalakan. Maklum, sudah motor tua, belum ganti aki pula.

Dan Senandika merutuk, mengapa harus di saat seperti ini? Di saat dirinya mau buru-buru kabur dari seorang Marco Blackweeds?

"Senandika, maaf," gumam si kakak kelas pelan, tak memedulikan Senandika yang tengah dongkol dengan kondisi motornya, juga situasi ini. "Kamu boleh benci saya."

Sekonyong-konyong Senandika menoleh, menatap sang pria bermarga Blackweeds tajam.

"Kak Marco sebenernya emang nggak mau temenan sama saya, 'kan?" Mata Senandika memicing ketika berkata demikian.

Menghela napasnya pelan terlebih dahulu, lantas Marco menjawab, "Saya mau jadi temen kamu ... in one condition, kamu nggak suka sama saya. This is why I want to be your friend."

"Jadi sekarang Kakak nggak mau temenan sama saya setelah tau kalo saya suka sama Kakak?"

"Senandika, bukan gitu ...."

Dalam sekali tekanan pada kick starter motornya, tahu-tahu motor Senandika menyala dengan suara yang berderu kencang.

Senandika membuang mukanya, menatap lurus ke jalan seraya membenarkan posisi duduk, "Saya pulang."

Dan motornya melaju cepat, membelah jalanan yang sepi nan gelap.

-

"Dika, kantong mata kamu gede banget." Alana yang duduk di hadapannya memberi tahu sambil mencondongkan wajahnya pada si teman sekelompok.

"Oh, aku kurang tidur semalem," singkatnya sambil menenggelamkan kepalanya pada lipatan lengan, menatap punggung Ralian Kamandanu yang juga menenggelamkan kepalanya, namun bedanya, wajah lelaki itu seutuhnya menghadap meja.

Mengembuskan napasnya pelan, Senandika berpikir; nggak kakaknya, nggak adeknya, sama aja misteriusnya.

Lalu, Senandika mengikuti posisi Ralian, memejamkan matanya hingga sang guru bahasa Inggris datang.

-

Kondisi kantin seperti biasa ramai. Senandika merasa sial karena terlambat ke kantin hari ini karena Bu Agatha yang menyuruhnya membawa buku terlebih dahulu ke ruang guru.

Memang naas nasib seksi kependidikan macam Senandika Kelana ini.

Senandika yang telah keroncongan lantas buru-buru memesan mie ayam Pak Muis, dan sialnya lagi, meja kantin penuh.

Triple sialan, tidak ada yang Senandika kenal di sini. Bukannya no life atau bagaimana, hanya saja beberapa alumni datang kemari untuk mengambil ijazah mereka, lalu memutuskan untuk makan—sebenarnya nongkrong—sisanya adalah anak kelas dua belas yang sedang beristirahat. Anak kelas sepuluh dan sebelas tentu tengah melipir memilih makan di kelas atau ke taman belakang sekolah, atau ke atap? Senandika tak tahu.

Brak!

"Lo jangan songong! Mentang-mentang anak orang kaya, jadi nggak ada sopan santunnya sama yang lebih tua!"

Seketika kantin yang tadinya ramai berubah menjadi hening, semua atensi tertuju pada meja di pojokan sebelah sana yang baru saja digebrak keras—tempat si terduga anak mafia sering duduk.

Senandika menyaksikan itu dari jarak kurang lebih tiga meter, ia menggigit bibir dalamnya pelan karena bimbang. Bimbang ingin pura-pura tidak peduli dan mengeloyor saja ke kelas sembari memakan mie ayamnya, atau harus ... harus apa? Memangnya apa yang bisa ia lakukan untuk membantu Marco?

Bisa dilihat oleh Senandika kalau yang berteriak barusan adalah Kak Budi yang sedang berkacak pinggang dikelilingi circle-nya.

Kak Budi sendiri adalah mantan wakil ketua OSIS yang sebenarnya cukup galak, keras kepala, dan tak mau kalah. Ketika sang mantan ketua OSIS, Kak Ijat, terlihat berkepala dingin, Kak Budi adalah kebalikannya sehingga acapkali Kak Ijat yang menasihati, sedang Kak Budi yang mengeksekusi siswa yang bermasalah di sini.

Maka Senandika mengambil opsi tengah, dia tak meninggalkan, juga tak membantu apa-apa. Lelaki itu hanya maju sekitar satu meter dan menjadi salah satu dari para penonton amukan Budi kepada Marco.

Terlihat Marco melepas earphone-nya kalem, menutup buku bacaannya pelan jua.

"Kakak mau duduk, 'kan? Saya udah kasih izin Kakak duduk di sini, apa lagi?" Marco bertanya dengan datar, tiada gentar dalam suaranya.

"Lo liat, dong! Kita berdelapan, enggak cukup kalo lo masih di sini!" balas Budi sewot.

Marco membuang napasnya pelan, "Terus saya harus apa?"

"Pergi dari sini."

Si lelaki Blackweeds mengangkat satu alisnya heran, "Kenapa saya harus? Kan saya yang duduk duluan di sini?"

"Lo ini—"

"Eh, astaga, Kak!" Senandika tahu-tahu sudah berdiri di samping Marco dengan mangkuk mie ayam yang masih ia pegang dengan satu tangannya. "Kakak dipanggil Bu Agatha!"

Setelahnya, Senandika menggaet lengan Marco dengan kebohongannya. Menarik yang lebih tua dari situasi panas antara Budi yang sedang murka terhadap si pria blasteran Spanyol ini.

"Maaf ya, kakak-kakak sekalian. Udah nggak usah diperpanjang, ini temen saya lagi dipanggil Bu Agatha juga, kok. Silakan, silakan duduk sini aja," kata Senandika dengan senyum getirnya.

Terlihat beberapa siswa yang lain menatap Senandika dan Marco kebingungan. Bagaimana mereka bisa berteman? Tumben Marco punya teman? Dan bagaimana bisa Senandika tak takut dengan rumor-rumor Marco yang telah beredar luas?

"Dasar, anak pembawa sial!" Budi menggerutu di balik punggung Marco yang baru berjalan dua langkah dari mejanya, "Tau nggak, sih? Si Marco-Marco itu, ngebunuh ibunya sendiri tau. Jelas aja dia jadi nggak ada akhlak gitu."

Mendadak lengan Dika dihempaskan paksa oleh Marco yang telah berbalik badan kembali ke mejanya semula.

"Kamu bilang apa tadi?" Marco berujar dingin disertai tatapannya yang tajam sekali.

Budi berdecih, "Eh, anak pembawa sialnya balik lagi."

"Marco Blackweeds, anak pembawa sial. Ngebunuh ibunya, ibu tirinya juga dibunuh sama keluarganya. Dijadiin tumbal pesugihan apa giman—"

Brak!

Marco menendang kursi yang diduduki Budi dan kedua temannya kencang sehingga ketiganya terguling ke lantai. Membuat yang lain memelototkan matanya kaget.

Wajah Budi lantas memerah, untuk kemudian berdiri dan menatap muka Marco dari dekat dengan raut tak terima.

"Apa? Mau marah?!" Budi semakin menantang.

Marco dengan secepat kilat memukul pelipis Budi keras, yang mana segera Budi balas dengan pukulan di rahang Marco.

Perkelahian antara Marco dan Budi tak terelakkan. Tak ada yang berani melerai, takut jikalau ikut campur, bisa-bisa mereka yang terkena bogem. Dapat dilihat kengerian dalam perkelahian itu, Budi adalah atlet karate, sedangkan Marco terlihat sangat mahir berkelahi.

Suara pukulan menyebabkan ngilu, suara tabrakan antara mereka dan benda-benda sekitar pun ikut menyebabkan pilu.

"Kak Marco, stop!" Senandika berteriak agar lelaki itu sadar dan berhenti saling baku hantam dengan si alumni.

"Anak pembawa sial! Mati lo!" Budi duduk di dada Marco, memukuli wajah si blasteran dengan pukulan bertubi-tubi.

Diteriaki begitu, Marco dengan marah membanting tubuh Budi hingga lelaki itu telentang di sampingnya. Lalu, Marco berdiri, menginjak dada yang lebih tua keras hingga alumni itu megap-megap seperti ikan di daratan.

"Lebih baik kalo kamu yang mati," bisik Marco sarat emosi, terlihat urat di pelipis pria Spanyol itu tercetak jelas.

Ketika injakannya dirasa kurang kuat, Marco berjongkok untuk kemudian mencekik Budi. Tampak teman-teman Budi hendak menarik si anak kelas dua belas, namun ditepisnya mereka dengan kuat hingga terdorong jatuh.

Kemarahan Marco tentu telah mencapai puncaknya. Orang-orang pasti tahu itu. Urat lelaki itu menonjol sangat jelas, sehingga tentu bisa dibayangkan bagaimana seluruh tenaga lelaki itu telah dikerahkan untuk menghabisi yang lebih tua.

Senandika dengan bergetar takut menyentuh lengan Marco yang tengah mencekik Budi.

"Kak, tolong berhenti ...," mohon Dika seraya mengendurkan jari-jari Marco yang mencengkeram leher Budi kaku. "Kak Marco bukan pembunuh, kan? Then please, don't kill him."

Marco menoleh ketika mendengar suara Senandika yang bergetar, "Kamu mimisan lagi."

Perlahan cekikan itu mengendur, lantas ia membanting Budi yang sudah lemas, terbatuk karena akhirnya dapat kembali mengambil napas.

Marco berdiri, wajahnya masih datar, tetapi tidak dengan amarah setinggi tadi. Wajahnya pun sudah tak merah.

"Marco! Budi! Ada apa ini!?" Teriakan Bu Karin si guru BK menggema di sepenjuru kantin, "Kalian, cepat ke ruang BK sekarang!"

Si anak kelas dua belas merogoh sakunya tanpa menatap Senandika, memberikan sapu tangannya pada yang lebih muda.

"Buat apa?" tanya Senandika sengau sebab punggung tangannya menutup darah yang mulai mengalirinya.

Marco menoleh, menarik tangan Senandika yang menutup si indra penciuman, menggantinya dengan sapu tangan putihnya.

"Jangan takut," gumam Marco. "Kamu selalu mimisan tiap kamu ketakutan."

Senandika tertegun. Marco lumayan pemerhati sekitar ternyata, dan tak disangka hal ini tak luput jua. Tak banyak yang menyadari respons tubuh Senandika yang satu ini.

"Kak Marco ...."

"Cepat, Marco! Bantu Budi sekalian untuk bangun!"

Marco menatap datar ke arah Budi yang masih tersengal di lantai, terlihat mengenaskan dengan baju berantakan, penuh darah, noda, juga bersimbah keringat.

Kepalang muak, Marco tak mengindahkan suruhan Bu Karin. Lelaki itu malah menghampiri sang guru BK untuk mendatangi ruangannya. Dengan tak merasa berdosa pula, ia sempatkan kakinya menginjak telapak tangan yang lebih tua sehingga Budi merintih kesakitan.

"Sen, nanti pulang bareng, ya?" kata Marco sambil menoleh sekilas pada Senandika yang masih terbengong dengan tangan membekap hidung.

><
><
><
>>>Bersambung<<<

Continue Reading

You'll Also Like

511K 19.4K 45
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
2.3M 34.8K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
698K 68.4K 49
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
4.9M 183K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...