HURU-HARA HATI [BTS] โœ“

By wawawisky

376K 14.5K 3.1K

HURU-HARA HATI (18+) "Saat semua tak lagi sama." *** Kata siapa backstreet itu enak? Sialnya, Raras terpaksa... More

[HHH] : b l u r b
[HHH] : 01. Apartemen Bhisma
[HHH] : 02. Susu Cokelat
[HHH] : 03. Dua Bulan Lalu
[HHH] : 04. Bohong Lagi
[HHH] : 06. Dua Dini Hari
[HHH] : 07. Waktu Terbaik
[HHH] : 08. Interogasi
[HHH] : 09. Jemput Raras
[HHH] : 10. Bukan Tanpa Alasan
[HHH] : 11. Ebi Tempura
[HHH] : 12. Cuma Sebentar
[HHH] : 13. Pelan-Pelan
[HHH]: 14. Semalam
[HHH]: 15. Hai
[HHH] : 16. Tidur Bareng
[HHH] : 17. Cowok Lain
[HHH] : 18. Pajak Jadian
[HHH] : 19. Jangan Sekarang
[HHH] : Backstreet atau HTS?
[HHH] : Peluk Saga & Raras

[HHH] : 05. Tidak Baik-Baik Saja

6.6K 799 182
By wawawisky

Komentar yang ini harus rame juga, ya? Kan udah double up. Ya kali sepiiii :')

***

Film sudah mulai sejak satu jam yang lalu, tetapi Raras masih duduk di depan studio 4 sambil menatap sendu dua tiket yang tadi dibelinya begitu sampai bioskop.

Tadi, Raras berharap inisiatifnya ini tidak akan membuat Bhisma repot mengantre membeli tiket lagi begitu cowok itu tiba di bioskop. Raras juga sudah membeli minuman dan popcorn caramel ukuran large untuk dinikmati berdua Bhisma.

Lalu, di mana Bhisma sekarang? Kenapa laki-laki itu belum juga datang?

Entah sudah berapa kali Raras menghubungi Bhisma, tetapi teleponnya tidak juga mendapat jawaban. Chat-nya pun tidak kunjung terbalas.

Apa jangan-jangan Bhisma ada panggilan mendadak dari agensi lagi? Bukankah laki-laki itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya di Bali?

Raras memang tidak tahu kapan Bhisma sampai di Jakarta, tetapi membaca pesan ajakan nonton subuh tadi, cukup membuat Raras paham jika hari ini Bhisma sudah pulang.

Namun, lama-kelamaan perasaan Raras jadi tidak enak. Takut Bhisma sedang tidak baik-baik saja. Terlebih kekasihnya itu memang sibuk sekali akhir-akhir ini. Mungkin-mungkin saja jika Bhisma jatuh sakit, kan?

Dengan perasaan cemas bercampur gelisah, Raras kembali menghubungi Bhisma. Ia tidak peduli lagi pada tiket yang telanjur ia beli, atau sudah sejauh mana ia tertinggal untuk menonton film, atau popcorn di sisi kanan tubuhnya yang masih penuh, atau minuman bersoda favorit Bhisma yang belum sempat tersentuh sama sekali dan es batunya mulai mencair.

"Halo?"

Raras hampir saja memekik kegirangan saking senangnya begitu mendengar Bhisma menjawab teleponnya. "Halo, Bhisma."

"Ya, Ras?"

Raras sedikit mengernyit saat suara Bhisma terdengar mirip orang yang baru bangun tidur. Jangan bilang ....

"Bhisma, kamu ... di mana?" Demi apapun, jantung Raras berdebar hebat saat melontarkan pertanyaan ini.

"Di apartemen, Ras." Lalu terdengar Bhisma menguap lebar di seberang sana, sedangkan Raras semakin menahan napas tidak mengerti dengan penjelasan Bhisma. "Kamu neleponin aku dari tadi, ya? Sori, aku baru bangun. Aku---astaga! Ras?"

Raras tersenyum tipis kemudian begitu mendengar Bhisma tersentak sendiri di tengah kalimatnya yang belum selesai. Saat itu juga, ada rasa nyeri yang mampir di sudut hatinya. Tanpa sadar, sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel begitu kuat mencengkeram pinggiran kursi.

"Baru ingat sesuatu?" tanya Raras sambil menunduk menatap tiket bioskop di atas pangkuannya. Yang kemudian ia remas kuat-kuat dengan tangan kiri.

Sekuat rasa sesak yang semakin lama semakin menekan dadanya.

"Ras, sori banget, banget, banget. Astaga .... Aku lupa banget kita mau nonton hari ini." Bhisma terdengar menghela napas sebentar. "Aku baru sampe apartemen subuh tadi, Ras. Abis chat kamu, aku ketiduran. Aku .... argh, shit."

Raras menggigit bibirnya sepanjang mendengar penjelasan Bhisma dan ia cukup menerima dengan baik bahwa sepertinya Bhisma merasa sangat bersalah padanya.

Mau bagaimana lagi. Semesta tampaknya memang belum merestui mereka untuk saling melepas rindu.

"Kamu pasti marah sama aku," imbuh Bhisma dengan suara penuh penyesalan. "Maaf, ya, Sayang?"

"Ya udah nggak apa-apa." Sebisa mungkin, Raras menormalkan nada bicaranya. Bhisma tidak boleh mendengar getar suaranya karena hatinya terhimpit sesak. "Kamu pasti capek banget sampai baru bangun sore ini."

"Kamu marah?"

Raras diam. Sebab ia sendiri bingung bagaimana menjabarkan perasaannya saat ini. Rasanya seperti campur aduk. Siapa yang tidak kesal karena batal bertemu setelah lama menunggu? Namun, bukankah seharusnya Raras sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini? Terlebih, ini bukan kali pertama ia kecewa.

"Nggak. Kamu lanjut istirahat lagi aja, Bhisma." Raras menghela napas sebentar secara perlahan di antara bibir yang bergetar sambil mendongak. "Aku tutup teleponnya, ya."

"Ras?"

"Ya?"

"Kamu nggak kangen aku?"

"Kangen."

"Kalau gitu, ke apartemenku, ya? Aku pengin peluk kamu."

***

Sepanjang perjalanan meninggalkan bioskop tadi, Raras banyak melamun. Sangat berbahaya sebetulnya karena ia pulang naik ojek online. Beberapa kali, ia hampir terjengkang karena tidak sempat berpegangan atau mengatur kesiapan saat tiba-tiba driver menambah kecepatan.

Ada yang mengusik pikiran Raras sampai-sampai ia tidak begitu tertarik dengan sekitar. Sampai-sampai ia tidak menanggapi driver ojol yang basa-basi mengajaknya berbincang supaya tidak bosan. Sampai-sampai ia tidak peduli jika ongkos yang ia berikan pada driver ojol tadi terlalu banyak dan belum sempat ia terima kembaliannya.

Raras hanya ingin duduk, merenungi satu hal agar ia yakin kalau pendengarannya masih normal. Sejujurnya ia tidak ingin memikirkan ini terus-menerus. Namun, suara lembut perempuan yang tidak sengaja terdengar di ujung sambungan telepon usai Bhisma berpamitan, berhasil mengacak-acak fokus Raras.

"Bhisma, ayo bangun. Makan dulu, baru nanti lanjut lagi---" Begitu yang terdengar, lalu telepon terputus dan meninggalkan Raras yang mematung dengan beribu tanda tanya dalam kepalanya.

Namun, pertanyaan yang paling mengusik pikirannya adalah, itu suara siapa? Jika telepon tidak keburu terputus, kira-kira Bhisma mau lanjut apa?

Dan, Raras tidak bisa menemukan jawaban saat pertanyaan lain terdengar bising berputar-putar membisikinya. Kenapa bisa ada perempuan di apartemen Bhisma? Bukankah selama ini hanya Raras yang tahu nomor pin apartemen Bhisma?

Sebetulnya, mudah saja jika Raras ingin tahu siapa perempuan yang ada di apartemen Bhisma. Ia hanya perlu terus melangkah dan berdiri di depan apartemen kekasihnya, lalu menekan digit-digit nomor pin yang sudah ia hafal, yang selalu ia buka tanpa perlu permisi dengan pemiliknya lagi saking sudah terbiasa mendapat izin.

Namun, Raras hanya terdiam, menatap kosong sepatunya sendiri. Membiarkan segala pertanyaan terus menjejal isi kepalanya hingga membuatnya merasa lelah.

Tuk!

"Akh!" pekik Raras sambil mengusap keningnya yang baru saja terbentur bola basket. Benar-benar sukses membuatnya tersadar kalau melamun di pinggir lapangan bukanlah ide yang bagus.

Raras mendongak, mendapati Saga yang berdiri menjulang sambil memegangi bola basket di hadapannya. Ia mengernyit. Jangan bilang, barusan Saga sengaja membenturkan bola basket yang keras itu ke jidatnya?

"Sakit nggak, Ras?"

Pertanyaan macam apa itu? Raras mencebik sebal. "Sakit, lah."

Sambil masih mengusap keningnya, tatapan Raras mengedar ke sekeliling lapangan outdoor di sisi barat daya fakultasnya. Suasana cukup ramai. Banyak beberapa teman sejurusan yang duduk menonton di bangku semen bertingkat di pinggir lapangan. Sama sepertinya.

Tak jauh dari sisi kanan Raras pun ada Gendhis yang tengah menemani Hagi istirahat. Teted dan Nino juga ada.

Akan tetapi, Raras baru sadar, kalau sejak ia tiba di pinggir lapangan, ia tidak duduk bergabung bersama yang lain dan tenggelam dengan lamunannya sendiri. Ia bahkan tidak benar-benar memperhatikan Hagi, Saga, Teted, dan beberapa anggota lain yang sedang berlatih.

Sekilas, Raras teringat tadi Gendhis sempat histeris kebingungan menyambut kedatangannya. Jangankan Gendhis. Raras pun bingung mengapa akhirnya ia memilih mampir ke sini daripada terus ke apartemen Bhisma.

Tuk!

"Akhhh! Mas, lo ngapain, sih?" ketus Raras sambil kembali mendongak dan memegangi keningnya.

"Lo ke sini cuma mau numpang bengong, Ras?" Saga mendribel bola basketnya. "Mending lo pulang daripada ngerepotin orang gara-gara lo kesurupan."

Mengingat lapangan basket dikelilingi banyak pohon besar dan tua. Tidak jarang, banyak pengalaman beberapa mahasiswa yang diganggu di sekitar sini karena masih beraktivitas saat magrib.

"Resek lo, Mas!" Namun, Raras telanjur sebal dengan tingkah Saga. Ia ingin menangkis bola basket yang dimainkan Saga, tetapi tidak berhasil. Saga lebih dulu menangkap dan kembali membenturkan bola itu ke keningnya. "Astagaaa! Sakit, Mas!"

"Masa, sih?"

Sekali lagi, dengan tekanan yang Saga yakini tidak akan membuat kepala orang amnesia, ia memantulkan bola bakset itu ke kening Raras sambil tertawa kecil.

"Mas Nyunyu!"

"Heh! Gue udah sering bilang, jangan manggil gue kayak gitu!" protes Saga.

"Bodo," cibir Raras. Dengan ekspresi menyebalkan dan kepala bergoyang ke kiri dan kanan, ia lanjut meledek Saga. "Mas Nyu-nyu-nyu-nyuuuuu."

Tuk!

"Mas, kok lo resek banget, sih? Curang, ih, pake bola!" kesal Raras sambil berdiri mengentakkan kaki. Siap mengejar Saga yang melangkah mundur ke tengah lapangan.

Berhubung latihan sudah selesai dan lapangan kosong tidak terpakai, Saga dengan leluasa berlari ke sana kemari saat Raras mengejarnya, sebisa mungkin berhasil menghindar agar Raras tidak bisa menangkapnya.

Lalu ketika Raras mulai lelah dan menyerah, Saga akan kembali mendaratkan bola basket di kening adik sahabatnya itu. Semata-mata hanya agar rengekan manja Raras terdengar menggema memenuhi ruang-ruang kosong lapangan.

Dan, Saga tidak peduli, jika belum sempat beristirahat seperti yang lain dan malah kembali bermain basket, satu lawan satu dengan Raras. Toh, ini bukan benar-benar permainan karena Raras tidak bisa main basket.

Saga juga tidak peduli jika permainan itu lebih banyak diisi dengan jeritan Raras yang merengek minta diberi bola, atau Raras yang mengeluh lelah karena selalu gagal melempar bola ke ring, atau Raras yang memekik bahagia saat Saga menggendong gadis itu tinggi-tinggi di bahunya agar bisa berkali-kali memasukkan bola ke ring.

Terpenting, Saga tidak melihat wajah murung itu muncul lagi.

***

Tidak terasa, langit yang tadi masih berwarna jingga, perlahan berubah gelap. Satu per satu orang mulai meninggalkan lapangan basket dan sepakat akan latihan bersama lagi, beberapa hari lagi.

Di sebelah Hagi, dengan tatapan fokus ke lapangan, Nino berdecak seraya mendengkus geli. "Modus banget Saga sama adek lo, Gi ..., Gi. Bisaan banget ngajak main basket biar bisa dipeluk-peluk Raras, segala ditinggi-tinggiin bolanya pula. Ck."

"Mas Nino ngiri apa cemburu, nih? Hehehe," ledek Gendhis sambil tertawa-tawa. Buru-buru ia berlindung di balik bahu Hagi, takut Nino marah. Pasalnya, seniornya yang satu itu cukup sensitif perihal cewek.

Nino tertawa hambar. "Kurang kerjaan amat. Mending gue main game."

Nino berdiri, lalu mencolek bahu Teted yang masih duduk selonjoran sambil asyik memotret Raras bermain basket dengan Saga di lapangan. "Ayo, balik, Ted. Ke rumah Hagi. Main PS lagi."

"Siap, Mas!" sahut Teted, lalu buru-buru mencangklong tasnya menyusul Nino.

"Nah, pas banget Bos Gilang baru sampe." Nino berlari menghampiri Gilang yang baru tiba, lalu merangkul dan memutar balik teman sekelasnya itu untuk kembali ke parkiran. "Langsung ke rumah Hagi aja. Latihannya udah kelar, Lang. Lo pacarannya kelamaan, sih. Mana kunci mobil lo? Biar gue yang nyetir."

Gilang hanya geleng-geleng sambil menyerahkan kunci mobilnya pada Nino. Ia melirik sebentar ke arah Hagi, lalu melambaikan tangan tanda pamit setelah Hagi menyuruhnya pergi duluan.

Hagi masih ingin duduk di pinggir lapangan sebentar lagi. Menikmati senja yang menggelap sambil tersenyum memandangi adik perempuannya melompat-lompat berusaha menggapai bola di tangan Saga. Yang akhirnya berujung dengan Saga memberikan bola itu pada Raras, lalu berdiri di belakang Raras, meraih kedua pinggang Raras dan mendorong gadis itu tinggi-tinggi agar berhasil memasukkan bola ke ring.

Lalu, tawa bahagia Raras tercetak jelas, menularkan rasa tenang, juga senyum yang semakin melebar di wajah Hagi.

Alih-alih kesal melihat adiknya diusili Saga---yang kata Nino itu modusnya Saga, Hagi justru ingin berterima kasih. Setidaknya, Saga tidak hanya berhasil menghibur Raras, tapi juga mengusir cemas yang sempat mengacaukan konsentrasi Hagi saat bermain basket tadi.

Saat Hagi melihat Raras tiba di lapangan dengan wajah murung dan ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja.

"Mas Nyu, gendong lagiiii!"

"Besok lagi, Ras. Ayo balik, udah gelap, nih. Nanti wewe gombelnya minta ikutan main basket, Ras!"

Raras berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Saga yang berjalan meninggalkan lapangan. Menyusul Hagi dan Gendhis yang berada beberapa langkah di depan mereka.

"Mas Nyunyu nggak asyik, ah!"

"Jangan panggil kayak gitu bisa nggak?"

"Mas ... Nyu-nyu-nyu-nyuuuu?"

"Ras." Saga berhenti melangkah.

"Iya, Mas Nyu?"

"RAS!"

"KYAAA! AMPUUUN. HAHAHA. MAS HAGIIIII! TOLOOONG!"

"Magrib, Raras. Jangan teriak-teriak. Saga, berhenti ngejar-ngejar adek gueee!"

***

Feel-nya dapet nggak, sih? Huhu. Aku lagi semangat nulis, tapi ... takut nggak ngefeel. 🌚

Silent reader, jangan lupa vote, ya. Aku udah double up menghibur kalian 😌

See you next chapter yorobuuun. 🧡

Republish 3 April 2023
Republish 6 Juli 2023

Continue Reading

You'll Also Like

630K 49.3K 48
Cerita ini sudah rampung sejak : 17 May 2018 - 06 Juni 2018 Versi terbaru : 13 May - 10 Okt 2019 ***** "Nick itu judes tapi dia baik. Meskipun kalau...
3.8M 125K 33
SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA Sudah ditamatkan di wattpad sejak 2014. Blurb: Celovia Andien Damarsandi "Kakek akan memberi 35% saham peru...
2.4K 243 19
Dimana ada kisah keempat gadis yang di jadikan pet darah/makanan vampire #bluesy #whitory #haetsuki #moonmeng JANGAN SALPAK LAPAK BXG KALO GAK SUKA...
2.8M 148K 28
BEBERAPA PART DI HAPUS Karena titah sang ayah, Nala Asmara Maharani harus menikah dengan Askara Banyu Samudera yang notabenenya saudara angkatnya. E...