Jendela Joshua (End)

By meynadd

5.1K 1.3K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 23 - Sang Legenda

55 25 0
By meynadd

     Lamunan Joshua buyar sekejap saat Budiman sepintas memergokinya termenung.

     Joshua tersenyum kikuk.

     Di saat yang sama, dia langsung bertanya kepada pria tersebut barangkali ada nomor sang ayah yang dapat dihubungi lantaran ayahnya tidak pernah membagi nomor telepon rumah atau dari tempat kerja kepadanya apalagi kepada sang ibu.

     Namun, yang dikatakan Budiman justru hasilnya sama.

     Nihil.

     Mungkin, itulah alasan mengapa sang ayah mengiming-imingi bertukar kabar lewat surat.

     Joshua lantas beranjak, kembali menuju kamar tidur.

     Karena suntuk rebahan terus dan terlalu memikirkan perkataan sang ibu di telepon tadi sehingga membuat kepalanya pening. Joshua lantas merogoh ransel yang tergantung di dinding. Hendak mengeluarkan sebuah notebook mungil dan sebuah bolpoint.

     Sudah lama rasanya Joshua tidak menulis puisi lagi sejak diterpa Writer's Block kemarin-kemarin karena terlanjur sibuk dengan urusan ini dan itu.

     Begitu dia mendapatkannya, selembar kartu tak sengaja terjatuh dari dalam ransel.

     Joshua berjongkok, mengerutkan kening. Tangannya meraih kartu tersebut, tiba-tiba saraf otaknya mulai memberitahu akan sesuatu.

      Ini bukannya kartu nama Kartika?

     Astaga! Aku lupa kalau mba Tika ada janji buat nerima naskahku!

     Joshua memekik histeris dalam diam.

     Ah, di saat ada kesempatan gini masa disia-siakan gitu saja?

     Kemudian memperingati dirinya

     Dia lantas menggeleng-geleng kepala. Kemudian merogoh ransel, mengambil beberapa lembaran potongan puisi miliknya untuk disatukan menjadi sebuah naskah utuh.

     Sayang sekali, dia harus menyalin ke dalam kertas yang baru dikarenakan media yang dia gunakan sangatlah tidak wajar. Malah jadi tambah kerjaan baru saking repotnya itu.

     Joshua lantas keluar kamar, berinisiatif untuk menghampiri Budiman.

     Terlihat pria renta itu sedang menyesap secangkir kopi dengan nikmat sambil membaca surat kabar dengan takzim, duduk manis di sebuah sofa, ruang keluarga yang terhubung langsung dengan ruang tamu.

     "Pak Budi, bapak ada kertas HVS?"

     Budiman menelengkan kepala dari surat kabar, melihat seseorang yang tengah berdiri di hadapannya sekarang.

     "Ada. Ngomong-ngomong kertas HVS buat apa, Joshua?" tanya Budiman seraya meletakkan cangkir kopi ke atas meja di dekatnya.

     "Ya, untuk menulis, Pak."

     Sesaat Budiman terkekeh, melipat lalu menghempaskan surat kabar ke atas meja.

     "Kalau itu sih saya juga tahu. Maksud saya, mau ditulis apa gitu?"

     Lantas Budiman bangkit dari sofa. Berjalan menuju suatu tempat, Joshua lekas mengikutinya dari belakang.

     "Kumpulan Puisi, Pak Budi."

     Budiman manggut-manggut paham. Mereka kemudian tiba di sebuah ruangan yang sisi kanan-kirinya dipenuhi dengan rak buku usang. Terdapat berbagai macam barang rongsokan yang dimuat dalam kardus, tergeletak di sudut ruangan.

     Tangan urakan Budiman meraih satu rim kertas HVS dari dalam lemari kecil, di bawah rak buku.

     Lalu menyerahkan beberapa lembar kepada Joshua sembari berujar, "Menghasilkan sebuah karya itu bagus, Joshua. Terlebih dalam bentuk tulisan. Kamu dapat mengubah persepsi banyak orang melalui tulisan."

     Joshua mengernyit, tak mengerti. Dalam hal apa? Dalam hal membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi seorang penulis atau bagaimana?

     "Maksud bapak apa ya? Selama ini saya nulis sekedar mencurahkan apa yang saya lihat, saya pikirkan dan saya rasakan."

     Sontak Budiman menggaruk-garuk tengkuk. Tertawa kecut.

     "Kayaknya kamu salah nangkap yang saya bilang. Maksud saya, kamu bisa menuangkan pendapat-pendapat kamu dalam bentuk tulisan. Kalau orang beranggapan salah ketika memandang suatu kejadian atau situasi. Kamu bisa meluruskan anggapan orang-orang itu dengan telak."

     Pria renta itu berjongkok, segera memasukkan kembali setumpuk kertas HVS dalam lemari kecil. Kemudian berdiri tegak lalu melihat-lihat jejeran buku usang, menarik salah satunya.

     Dia berjalan menuju meja. Duduk manis di kursi seraya menarik tuas lampu sorot di atas meja.

     Joshua dengan penasaran mendekat, memperhatikan sebuah buku tebal usang di bawah pendaran cahaya kekuningan. Sampul buku itu bergambar tangan-tangan orang teracung ke atas. Tak lupa sebuah bendera merah putih berkibar di antaranya. Begitu selaras dengan judul, Katanya Negara Demokrasi. Kok Suara Rakyat Dibungkam?

     Hingga kedua netra Joshua terhenti ketika melihat bawah judul, terdapat sebuah nama penulis yang tak asing lagi baginya.

     "Tirto Koesno?" celetuk Joshua.

     Budiman menoleh sekilas, kembali menatap buku tersebut.

     "Betul. Buku ini adalah buku kumpulan puisi yang ditulis di era 90-an dan terkenal pada masanya."

     Budiman mengulas senyum lebar. Bernostalgia pada masa-masa itu untuk sesaat. Pikirannya mulai berkelana kemana-mana.

     "Tulisan dari Bung Tirto memang apik dan luar biasa. Penggunaan diksi yang pas. Tutur kata yang enak dibaca. Ditambah bahasa sindiran yang sangat halus sampai orang nggak sadar kalau beliau sedang menyindir dalam tulisan."

     Budiman tampak bersemangat untuk menceritakannya. Sementara Joshua masih diam menyimak dengan takzim.

     "Tapi dari semua itu. Ada yang nggak kalah penting. Beliau berhasil menulis pendapatnya melalui bait-bait puisi dan menjabarkan sudut pandangnya, dari apa yang dilihat, dipikirkan dan dirasakannya."

     Tangan Budiman mengusap-ngusap sampul buku yang sedikit berdebu. Lalu membukanya, menampilkan halaman pertama dari buku tersebut.

     Sekilas Joshua membaca. Dia angguk-angguk.

     Budiman benar, tulisan-tulisan Tirto Koesno sangatlah fantastis. Susunan bait-bait puisi itu seolah berapi-api. Mengobarkan jiwa sesiapapun yang membacanya sehingga membuat sebagian dari mereka terkesiap. Tak berani membantah tanggapannya lagi.

     "Beliau adalah legenda bagi negeri ini, Joshua. Sudah berapa banyak buku karyanya yang saya khatamkan, terutama yang satu ini. Jujur saja, Tirto Koesno pantas mendapatkan nobel dan penghargaan penyair terbaik!"

     Kali ini nada suara Budiman mulai meninggi seiring berjalan dia bercerita. Dia tampak menggebu-gebu dan napasnya memburu. Dia masih mengukir senyuman di wajah yang telah termakan usia.

     "Menurut saya, fakta ini cukup mengejutkan bagimu."

     Ruangan tersebut lengang sejenak usai Budiman bersuara.

     Budiman berdeham, setelah beberapa saat akhirnya berkata, "Tirto Koesno merupakan teman dekat Evans Chandra, ayahmu, Joshua."

     Itu sungguh hal di luar dugaan Joshua.

     Pemuda putih pucat itu mencerna baik kalimat yang dilontarkan barusan. Hingga mengerjap berkali-kali.

     "Jadi, beliau selama ini berteman dekat dengan penulis terkenal itu?" tanya Joshua dengan tidak yakin.

     Sedangkan Budiman mengiyakan.

     "Ayahmu juga penggemar setianya dan berkat ayahmu, saya jadi mengenal tulisan-tulisan hebat dari Bung Tirto, Joshua."

     Percakapan tersebut berakhir begitu saja, keluar dari ruangan yang dipenuhi rak buku dengan membawa setumpuk kertas di genggaman.

     Membiarkan Budiman di dalam, bernostalgia dengan buku-buku bacaannya.

     Kali ini, Joshua benar-benar ingin menemui Evans. Dan petunjuk yang akan mengarah ke situ adalah sang legenda itu sendiri.

     Tirto Koesno.

***

***

     "Jadi bagaimana pendapat Mba Tika?" tanya Joshua ragu-ragu. Menggigit jemarinya.

     Menelan air liur begitu wanita yang duduk di hadapannya membuka lembar demi lembar tumpukan kertas HVS. Tampak fokus membaca tanpa memperdulikan Joshua yang sejak sedetik lalu bertanya.

     Siang ini, pemuda itu sedang berada di kantor penerbitan sesuai yang tertera pada kartu. Untung saja, Kartika sudah membicarakan kepada atasan dan mengatakan bahwa ada seorang teman yang ingin datang untuk menyerahkan naskah kepadanya langsung selaku editor akuisisi.

     Joshua duduk dengan tidak tenang di kursinya. Kedua kaki berkali-kali dia hentakkan ke lantai.

     Menjelang lima menit berikutnya, Kartika selesai juga. Lalu meletakkan setumpuk kertas di atas meja dengan tatapan tak berselera.

     Wanita itu memijat kening seraya berkata. "Saya nggak tahu mau bilang bagaimana, tapi dari sekian naskah yang saya sortir. Naskah ini lebih kurang sama saja dengan naskah lain dan nggak ada istimewanya sama sekali, Josh."

     Joshua tersentak. Hatinya memberontak.

     Ayahnya sendiri yang bilang kalau tulisannya bagus. Kenapa orang-orang justru menganggap tulisannya biasa saja?

     Dia terbata-bata hendak membuka mulut. Lalu menghela napas pelan.

     "Kalau gitu. Beri tahu saya yang mana yang perlu direvisi, Mba Tika," ujarnya untuk kedua kali.

     Kartika menatap Joshua kasihan ketika pemuda itu berusaha tegar untuk tidak menangis, suaranya terdengar serak.

     Kartika menggeleng-geleng.

     "Saya cuma editor akuisisi, Josh. Yang tugasnya menyeleksi naskah-naskah yang masuk. Bukan editor pemeriksa aksara."

     "Tapi Mba Tika bilang kalau mba mengedit sendiri buku-buku itu!" protes Joshua.

     Kartika menggeleng-geleng untuk kedua kali. "Bukan begitu maksud saya. Mengedit dalam artian menyeleksi naskah, Josh."

    "Gimana kalau minta ke editor pemeriksa aksara langsung aja, Mba?"

     "Tetap aja nggak bisa. Sistemnya harus melalui editor akuisisi lebih dulu."

      Seketika Joshua mendesah, menopang wajah dengan kedua telapak tangan. Merutuki pada dirinya sendiri. Sebenarnya letak kesalahannya dimana? Padahal sudah berusaha keras menulis itu semua, tetapi kenapa justru hasilnya tetap sama tanpa ada perubahan signifikan?

     Ternyata Eomma benar, itu semua cuma tulisan-tulisan bodoh.

     Joshua mengerang. Membiarkan diri larut dalam pikiran negatif.

     Sementara Kartika sedari tadi, tak tega melihat pemuda tersebut. Raut wajah wanita itu terlihat begitu cemas. Seolah dia telah melakukan sebuah kesalahan besar lantaran menghakimi seorang penulis dan menuntut kesempurnaan.

     Selaku editor, Kartika merasa malu.

     Hampir setiap saat, dia berjumpa dengan penulis seperti Joshua. Mereka menyetor naskah terbaik mereka. Namun, Kartika hanya bisa membuat pilihan terima atau tolak.

     Dari hal itu, ada banyak penulis di luar sana yang langsung jatuh tak berdaya meneruskan usaha mereka demi menerbitkan sebuah karya, lalu beberapa yang lain bangkit dan terus melangkah sampai karya mereka tembus ke penerbit dan laku di pasaran.

     Kartika mencoba menenangkan.

     "Joshua, saya tahu kamu ingin sekali karyamu terbit."

     Pemuda itu mendongak dari tangkupan tangannya.

     "Saya bisa memberimu saran. Agar naskahmu terlihat oke. Kamu bisa menyelipkan pesan-pesan, tanggapanmu terhadap sesuatu, dan kalimat-kalimat bijak yang membuat orang lain yang membacanya tercenung."

     "Kalau saya lihat naskahmu ini, kamu nulis berdasarkan pada dirimu sendiri. Memang bagus, tapi pembaca menginginkan hal yang lebih dari itu."

     Kartika lantas mendemonstrasi melalui gerakan tangannya.

     "Buatlah sesuatu yang pembaca butuhkan bukan sekadar apa yang pembaca inginkan, Joshua."

     "Lalu?" Joshua masih mengernyit.

     Kartika buru-buru melanjutkan. "Kayak tulisan-tulisan Tirto Koesno, Josh!"

     "Maksud Mba Tika, saya harus meniru tulisan beliau gitu?"

     Sontak, Kartika menepuk dahinya.

     Sungguh naif pemuda blasteran itu.

     "Bukan, tapi kamu ambil saja inspirasi darinya. Berkat tulisan yang menginspirasi, banyak orang yang berebut mewarisi kemampuannya itu!"

     "Kalau bisa, belajarlah dengan dia langsung atau terserah kamu saja maunya gimana. Setelah itu, datang kemari lagi setelah semua naskahmu itu siap."

     Joshua menganga sejenak. Saraf-saraf di otaknya sedang aktif bekerja. Belajar dengan sang legenda? Itu ide yang brilian. Dengan begitu, Joshua dapat mengorek informasi tentang ayahnya lewat seorang penyair terkemuka di negeri ini.




Hlm 23 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 1.1K 26
Sejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengge...
2K 233 36
Bloom (noun): A Beautiful Process of Becoming. Sederhana saja, Areksa Gatra Sadajiwa jatuh cinta pada target incaran sahabatnya sendiri. Namira Gea R...
10.9K 1.8K 5
[Tenaga Pendidik Version] Seven still choosy and Juni still clumsy
STRANGER By yanjah

General Fiction

659K 74.5K 52
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...