Mother, I Don't Want To Get M...

By QiandraQueensha

23.4K 2.9K 605

"Kalau begitu, maukah Bapak menjadi pacar saya?" "Kenapa saya harus menerima tawaran itu?" "Um ... tentu saja... More

Chapter 01
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
19 : Throw Back
20 : Sweet Jealousy
21 : Tender Touch
22 : Aren't You My Wife?
23 : One Year Marriage
24 : Vacation
25 : Small Revenge
26 : Mysterious Old Man
27 : I've Found You
28 : Plead Forgiveness
29 : Farewell Gift
30 : Confession
31 : Fake Kiss
32 : False Rumour
33 : Sweet Injury
34 : Under The Starry Sky
35 : Mysterious Number
36 : Surprise

Chapter 02

1.2K 160 54
By QiandraQueensha

"Wah, speechless gue. Jaman udah serba canggih gini, masih ada ya yang ginian?"

"Ada tuh buktinya. Nyokap gue," balas Rere lalu menyedot es kopi espresonya perlahan. Saat ini, dia bersama dengan seorang wanita cantik di salah satu kafe yang cukup terkenal di kalangan kaum milenial. Namanya Tiara Adisty Lituhayu atau yang akrab disapa dengan Rara. Penampilannya begitu stylish dan mencolok dengan rambut pendek lurusnya yang dicat merah. Perawakannya tinggi dan langsing dengan proporsi tubuh yang ideal. Sekilas melihat saja, orang-orang pasti akan menebak bahwa Rara adalah seorang model.

Ya, tebakan mereka memang benar, bahkan Rara merupakan salah satu yang terbaik. Reputasinya sangat bagus sehingga mengantarkannya menjadi salah satu model papan atas di Indonesia. Selain membawakan busana para desainer terkenal di atas catwalk, dia juga membintangi sejumlah iklan komersial dan video musik. Dia bahkan menjadi brand ambassador beberapa merek tas, perhiasan dan make up dari daratan Eropa. Belakangan ini, dia mulai melebarkan sayapnya ke dunia film. Bisa dibilang, dia sedang berada dalam masa keemasannya di usianya yang terbilang masih sangat muda.

"Terus, respon lo gimana?" tanya Rara.

"Jelas gue tolak dong. Gila aja kalau gue sampai manut gitu aja," jawab Rere tanpa ragu. "Tapi, Mama tetap ngotot meski gue udah jelasin alasannya panjang kali lebar. Nggak ngerti lagi gue," imbuhnya lalu mendesah agak berlebihan.

"Mungkin Mama Yuli punya alasan khusus?" celetuk Rara. "Misalnya aja, karena beliau punya hutang yang gede banget ke orang itu. Karena udah jatuh tempo dan Mama Yuli nggak sanggup bayar, akhirnya lo deh yang ditawarin sebagai gantinya."

Spontan Rere mendengus dan tertawa. "Nggaklah. Seabsurd apapun tindakan Mama, nggak mungkinlah beliau sampai setega itu ngejual gue. Lagian, semua hutang Mama udah lunas dari sebelum kita lulus SMA. Ada-ada aja lo," ucapnya lalu menggeleng-geleng tidak habis pikir.

"Ya siapa tahu, kan?" Rara mengangkat bahu. "Mama Yuli sendiri kan nggak nyebutin dengan jelas siapa orangnya. Bisa jadi om-om duda kaya raya, atau bisa jadi aki-aki bau tanah yang asetnya ada di mana-mana. Kan enak lo bakal jadi holang kaya instan. Aw ... sugar daddy," candanya dengan suara yang sengaja dibuat imut lalu mengedipkan mata kanannya dengan centil.

"Sialan. Lo aja sono yang kawinin tuh aki-aki," umpat Rere kesal sambil melempar bola tisu hingga mengenai dahi Rara yang rata dan mulus. Rara pun tertawa lebar dibuatnya.

"Tenang, masalah beginian nggak perlu dibikin ribet. Lo diminta buat ketemuan sama dia, kan? Yaudah, lo ketemu aja. Tegasin ke dia bahwa lo menolak perjodohan ini. Kalau lo pengen yang ekstrim, lakuin aja semua kekonyolan di hadapannya dia. Dijamin dia bakal illfeel dan akhirnya dia sendiri yang batalin perjodohan. Simple, kan?" ujar Rara santai lalu menyedot es kopi kapucinonya lumayan banyak.

Rere memutar bola matanya malas. "Simple sih simple, tapi imej gue yang jadi korban. Emang nggak ada cara lain yang lebih elegan, apa?"

"Cara yang lebih elegan ya, hm ..." Rara berpikir selama beberapa menit. Sebuah ide yang menurutnya brilian pun terlintas di dalam otaknya. "Gimana kalau lo bawa pacar aja ke rumah?"

Alis Rere terangkat. "Pacar?"

"Yoi. Menurut gue, lo dijodoh-jodohin karena lo nggak pernah kelihatan tertarik dengan lawan jenis. Orang tua manapun pasti khawatir, apalagi lo anak perempuan satu-satunya. Nggak heran kalau Mama Yuli sampai kepikiran yang macem-macem. Jadi, hal pertama yang harus lo lakuin adalah mengatasi kekhawatiran itu. Tunjukin bahwa lo berhak bahagia dengan lelaki pilihan lo sendiri. Lo udah cukup dewasa untuk menentukan siapa yang pantas berada di sisi lo," jelas Rara dengan mimik wajah yang ekspresif, seolah mengajak pendengarnya untuk meyakini setiap kalimat yang diucapkannya.

"Hm ... oke." Rere mengangguk-angguk kecil. "Terus?"

"Masa gue perlu jelasin lebih detail sih? Gue yakin lo udah paham arahnya ke mana." Rara memasang seringai licik.

Rere mendesah pendek. "Terlalu kelihatan setting-annya. Gue nggak pernah menjalin hubungan spesial dengan siapapun, terus tiba-tiba punya pacar pas lagi dijodohin. Siapapun pasti curigalah, apalagi Mama yang tahu keseharian gue."

"Yaelah, belum juga dicobain, udah pesimis aja. Justru karena itu lo harus totalitas. Makanya, lo harus cari yang ganteng, tajir, pinter, husband material bangetlah pokoknya."

Rere sedikit melebarkan matanya. "Pacar bohongan doang kriterianya sebanyak itu? Gila."

"Ya harus dong. Justru karena bohongan itu lo harus cari cowok yang meyakinkan. Yakali mau asal comot?" timpal Rara tanpa ragu. "And who knows, dia bakal jadi soulmate lo beneran suatu saat. Kan enak tuh, sekali nembak dapet dua burung," imbuhnya dengan senyum penuh arti.

Rere tertawa. "Astaga, lo habis nonton drama India apa sih? Halunya tinggi banget sampai menembus awan."

Rara pun ikut tertawa. "Itu namanya mengantisipasi masa depan, bukan halu. Malahan, gue bakal seneng banget kalau sohib sepergoblokan gue akhirnya menemukan cinta sejati. Nggak ada yang bisa nebak kan jodoh kita bakal datang dari mana?" katanya ringan tanpa beban.

"Iyain aja dah." Rere menghela napas sejenak lalu berujar, "Sekarang pertanyaannya, di mana gue harus mencari Mr. Perfect itu? Kalaupun gue nemu, belum tentu dia mau terlibat dalam urusan beginian."

Rara mengerjapkan matanya sekali, sedikit heran mendengar pertanyaan Rere barusan. "Lho? Bukannya di tempat kerja lo ada banyak ya? Si Daniel tuh misalnya. Dia perhatian dan selalu bantuin lo, kan? Atau nggak, si Billy juga oke tuh. Kan kalian lumayan deket tuh, bisalah lo minta tolong ke dia."

"Heh, ngawur. Billy udah punya bini. Bisa dibakar hidup-hidup gue kalau nekat macarin suami orang," tegur Rere dengan intonasi yang sedikit meninggi.

"Oh ya? Malah lebih bagus dong. Banyak yang bilang suami orang itu lebih menggoda. Lebih menantang." Rara memyeringai nakal seraya menaikturunkan alisnya seperti wanita player yang menemukan mangsanya.

"Pala lo lebih menantang. Bisa-bisanya lo malah ngajarin gue jadi pelakor. Sesat lo," ujar Rere gemas dengan mata melotot tajam, sementara Rara hanya tertawa tanpa beban. Ingin rasanya Rere menoyor kepala sahabatnya yang sontoloyo itu. Kalau saja dia tidak ingat bahwa mereka sedang berada di tempat umum, sudah pasti dia melakukannya sekarang.

"Lo kalau kesel tambah manis deh. Coba kalau gue cowok, udah pasti lo jadi pacar gue sekarang."

Spontan Rere mengernyit geli. "Dih, pede amat. Emang gue mau gitu sama lo?"

"Why not? Gue punya semua hal dari pacar idaman. Tampang oke, style juga keren, job apalagi, dan pastinya gue bakal selalu bikin lo bahagia. Gue yakin Mama Yuli pasti bangga punya calon menantu paket komplit kayak gue," ucap Rara penuh percaya diri lalu mengibaskan rambut merahnya seolah memamerkan dirinya yang luar biasa.

Rere meringis. "Iyuh, amit-amit. Dasar narsis."

Mereka tertawa bersama. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak mengobrol empat mata serileks ini. Tatapan Rara lalu tertuju pada seorang pria berkacamata tebal yang duduk di pojok ruangan. Sekilas tidak ada yang salah dengan dirinya. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih lama ternyata pria itu diam-diam mencuri pandang ke arah Rere. Kedua pipinya pun merona. Sebenarnya, bukan hanya pria itu saja yang menunjukkan ketertarikannya terhadap Rere. Hampir semua pria di kafe ini, termasuk mas-mas kasir di ujung sana terpana akan kecantikannya.

Ya, Rere memang populer di kalangan pria sejak masa sekolah. Wajah cantiknya yang khas dengan netra hijau yang jernih menjadi daya tariknya yang utama. Perawakannya pun bisa dibilang idaman sejuta kaum adam. Tidak terlalu kurus maupun terlalu gemuk, dengan bagian dada dan bokong yang padat berisi. Pendidikan dan pekerjaan? Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kepribadiannya pun cukup menyenangkan, meskipun terkadang dia menunjukkan sisi cuek dan dinginnya terhadap lawan jenis. Agak lucu juga bila wanita semenarik itu justru kesulitan mendapatkan kekasih. Mungkin Rara harus memberinya sedikit dorongan kali ini?

"Ternyata banyak juga ya yang naksir sama lo," ujar Rara setengah berbisik.

Rere mendengus kasar dan memutar bola matanya malas. "Apa lagi? Mau bahas si Daniel lagi? Kan gue udah bilang kalau gue nggak ada rasa sama dia."

"Ish, lo ini. Bukan itu maksud gue," desis Rara agak gemas. "Noh, coba lo tengok deh ke belakang," ujarnya seraya memberi isyarat dengan lirikan matanya. Rere pun menoleh mengikuti arah tunjuk Rara. Sontak pria berkacamata tebal itu terkejut dan cepat-cepat menundukkan pandangannya. Rere mengernyit dengan tatapan heran. Padahal dia yakin mereka tidak saling kenal, tetapi entah kenapa pria itu bertingkah malu-malu seperti bocah laki-laki yang tertangkap basah menyukai teman bermain perempuannya. Pria yang aneh.

"Lo bingung mau nyari Mr. Perfect di mana, kan? Bisa tuh lo coba."

Rere tersentak dan cepat-cepat menoleh ke arah Rara. "Mr. Perfect apaan? Orang tampakannya super nerd gitu. Kemayu pula," protesnya setengah berbisik.

"Hey, jangan salah. Justru orang-orang kayak gitu yang biasanya menyimpan banyak potensi. Kayak Peter Parker di film Spiderman tuh. Ternyata setelah dipoles dikit jadi ganteng banget, kan? Terus, dia kelihatannya tipe yang penurut. Lo bakal lebih gampang ngendaliin dia," tutur Rara lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Rere dan berbisik, "Perfect kan buat jadi pacar bohongan lo?"

Rere tersentak. "Gila lo ya. Lo habis kesambet apa sih idenya ngaco mulu dari tadi? Heran gue," ujarnya dengan nada setengah mengomel.

Rara tertawa. "Emang lo punya ide yang lebih baik? Nggak punya, kan?"

Rere terdiam selama beberapa detik lalu menjawab, "Iya sih ...."

Suara notifikasi pesan masuk tiba-tiba menginterupsi suasana. Rara meraih ponsel pintar kesayangannya yang berlambang apel digigit dan mulai membaca pesan yang tertera secepat kilat. Dengan kedua jempol panjangnya, dia lalu mengetik pesan balasan dan menekan tombol send.

"Eh, bentar lagi gue dijemput Rio nih. Gue ada pemotretan di Bandung sore ini," ujar Rara.

Rere agak kaget. "Dadakan banget."

"Ya begitulah. Model yang seharusnya datang tiba-tiba mengundurkan diri karena kecelakaan. Kakinya terkilir dan sekarang lagi dirawat di rumah sakit," jelas Rara. "Sorry banget ya, Beb. Padahal gue udah janji buat nemenin lo selama weekend ini," imbuhnya dengan nada penuh penyesalan.

"It's okay. Lo mau dengerin curhatan gue aja udah lebih dari cukup kok. Mau gimana lagi kan kalau lo ada kerjaan yang nggak bisa ditunda?" respon Rere dengan senyum lebar.

"Pengertian banget lo ya." Rara balas memasang senyum. "Mungkin nggak banyak yang bisa gue lakukan, tapi lo harus selalu inget bahwa gue selalu ada di pihak lo. Apapun jalan yang lo pilih, gue siap menjadi support system lo yang utama. Lo itu pinter dan cakep, jadi gue yakin lo pasti bisa lewatin semua ini," pesannya dengan tatapan lembut dan tulus, menenangkan hati siapapun yang mendengarnya.

"Thank's ya, Beb. Berkat lo, gue jadi agak legaan sekarang."

***

Dua puluh menit kemudian, akhirnya Rara beranjak dari kursi. Dengan agak berat hati, Rere harus melepas kepergiannya. Apa boleh buat? Sebagai seorang model profesional, Rara harus selalu siap sedia akan tawaran pekerjaan yang datang kepadanya. Rere sendiri sudah sangat memahami hal itu, jadi dia tidak pernah menuntut banyak. Sudah sangat bagus Rara menemaninya selama hampir 1 jam tadi. Itu sudah lebih dari cukup untuk saling melepas rindu. Toh, dia masih bisa menghubunginya via chat atau telepon, bahkan video call kalau perlu.

"Satu iced avocado latte, satu spicy chicken truffle mayo, satu vegetables shumai," ujar seorang pelayan sambil meletakkan hidangan yang disebutkan satu per satu. "Pesanannya sudah lengkap semua ya, Kak?"

"Iya." Rere mengangguk seraya tersenyum tipis. "Makasih ya, Mas."

"Sama-sama."

Setelah membersihkan kedua tangannya dengan hand sanitizer, Rere meraih pisau dan garpu yang ada di depannya. Sepotong demi sepotong, dia menikmati roti panggang dan siomai itu dengan lahap. Enak sekali. Memang, makan makanan lezat selalu berhasil menaikkan suasana hati seseorang. Karena itulah, Rere selalu menggunakan metode ini untuk menghibur dirinya sendiri. Selain itu, dia juga bisa sekalian mengisi ulang energi kehidupannya. Bukankah ide-ide luar biasa tidak akan muncul bila perut dalam keadaan lapar?

Matahari telah kian meninggi. Mungkin karena sudah memasuki jam istirahat kantor, kafe ini menjadi lebih ramai daripada ketika Rere datang bersama Rara tadi. Mayoritas para pengunjung datang berkelompok dua atau tiga orang. Ada juga yang bergerombol hingga tujuh orang. Entah apa yang mereka bicarakan, kedengarannya seru sekali. Sekilas Rere menangkap beberapa nama dalam obrolan mereka. Sepertinya mereka tengah membicarakan atasan atau rekan kerja mereka. Rere mendengus geli di dalam hati. Apa mereka tidak punya hal menyenangkan lainnya untuk dibicarakan selain keburukan orang lain?

Mendadak suasana menjadi hening. Rere tidak tahu apa yang terjadi, tetapi perhatian semua orang tertuju pada satu tempat. Karena penasaran, Rere pun mengikuti arah pandang mereka. Seorang pria jangkung berjas biru tua memasuki kafe dengan langkah kakinya yang penuh percaya diri. Seisi ruangan langsung dibuat terpana olehnya.

"Oh my God, mimpi apaan gue semalam? Ganteng banget, anjir. Senyumnya, lirikan matanya, bahkan urat-urat di tangannya ganteng banget nggak ada obat. Emang boleh seganteng itu?" ujar salah satu wanita yang duduk di belakang Rere dengan setengah berbisik.

"Hus, jangan norak gitu dong. Biasa aja, kali," tegur wanita yang duduk di sebelahnya.

"Gimana mau biasa aja? Orang dia aja gantengnya nggak biasa. Fix, dia bukan manusia, tapi goblin. Gue coba gebet dia ah."

"Heh, cewek gila! Mau cari mati, hah? Lo tahu kan dia siapa? Nggak usah aneh-aneh deh."

Rere terpaku dalam diam. Matanya sampai tidak berkedip saking takjubnya dengan mulut yang sedikit menganga. Harus diakui, pria itu memiliki ketampanan yang luar biasa. Bila harus memberinya peringkat, maka dia akan menduduki peringkat pertama dari semua pria tampan yang pernah Rere lihat. Cara berpakaian dan gerak-geriknya pun sungguh elegan dan berkelas. Dari kejauhan, Rere bisa mencium aroma uang dan kekuasaan yang begitu pekat darinya. Hanya dengan kehadirannya saja, dia mampu mendominasi seisi ruangan.

"Permisi, apa saya boleh numpang duduk di sini?"

Rere terkesiap begitu mendapati pria tampan itu kini berdiri tepat di depan matanya. Dia pun menyapu pandang ke seisi ruangan secara sekilas. Semua kursi telah diduduki, hanya meja yang ditempatinya saja yang masih memiliki kursi kosong.

"Silakan, Pak," respon Rere seramah mungkin.

"Terima kasih," balas pria itu dengan senyum simpul lalu duduk di kursi kosong yang ditempati Rara tadi. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dan menghidangkan secangkir kopi hitam pesanannya. Dia mengulurkan tangan kanannya untuk meraih cangkir itu dan menyesap isinya perlahan. Wow, bahkan cara minum kopinya pun elok sekali. Dari hal kecil ini saja sudah menegaskan bahwa pria itu berada di strata sosial yang berbeda dengan kebanyakan orang. Jujur, Rere mulai merasa terintimidasi. Namun anehnya, matanya tidak bisa lepas dari pria itu. Seperti ada magnet tak kasat mata yang membuat Rere betah berlama-lama memandanginya.

Dari hasil pengamatannya, Rere menyimpulkan bahwa kemungkinan besar pria itu merupakan seorang big boss, entah di perusahaan yang mana. Setiap barang yang melekat di tubuhnya merupakan barang bermerek dengan harga yang fantastis. Jam tangan kulit bergaya klasik yang dikenakannya saja berharga miliaran rupiah. Apa yang dilakukannya di kafe yang penuh dengan budak korporat ini? Kenapa dia datang sendirian saja tanpa didampingi sekretaris atau asistennya?

"Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?"

Jantung Rere seolah akan melompat keluar dari tenggorokannya begitu mendengar suara dalam yang sedikit serak itu. Cepat-cepat Rere memasang senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Sepertinya dia terlalu terang-terangan memperhatikannya. Memalukan sekali.

"Oh, tidak kok, Pak. Saya cuma bertanya-tanya kenapa Bapak datang sendirian saja ke sini. Hari yang cerah begini akan lebih menyenangkan bila dihabiskan dengan seseorang," jawab Rere sesantai mungkin.

Pria itu menoleh ke arah jendela besar yang ada di sebelahnya. Langit tampak begitu biru dan cerah tanpa awan. Bunga-bunga tabebuya yang tumbuh di sepanjang trotoar menari-nari bersama angin yang datang berembus. Dalam waktu singkat, bunga-bunga itu jatuh berguguran dan menghiasi permukaan tanah. Indah sekali, mengingatkannya akan pemandangan musim semi di suatu tempat nun jauh di sana.

"Ya, cuacanya memang sedang bagus sekarang. Sayangnya, saya tidak memiliki seseorang yang bisa saya ajak untuk menikmati hal-hal seperti ini," ujar pria itu dengan senyum simpul.

"Iyakah, Pak? Sayang sekali." Rere tertawa kecil dengan manis.

"Kamu sendiri, apa kamu sedang menunggu seseorang?"

"Tidak sama sekali kok, Pak," jawab Rere sambil menggeleng. "Tadinya saya bersama teman, terus dia pamit duluan karena urusan pekerjaan. Jadi sendirian deh."

"Oh, gitu ya."

Percakapan mereka pun berakhir. Rere kembali sibuk dengan makan siangnya, sementara pria itu tampak asyik membaca sesuatu di tablet yang sedang dipegangnya. Bola matanya bergulir teratur ke kanan dan ke kiri, menyoroti setiap tulisan yang tertera. Sesekali, dia menyesap kopi hitamnya. Saking fokusnya, dia sampai tidak menyadari puluhan pasang mata yang menatapnya penuh kekaguman. Tidak, lebih tepatnya dia tidak mau sadar dan tidak mau peduli. Dia benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri. Bahkan hingga Rere selesai makan pun, dia masih betah dengan bacaannya. Dia pasti seseorang yang sangat gigih dan ambisius. Tidak mengherankan bila dia menjadi pria yang sukses seperti sekarang.

Tiba-tiba, perkataan Rara setengah jam yang lalu terlintas begitu saja di dalam benak Rere. Bagaimana kalau Rere menjadikan pria itu sebagai 'pacarnya'? Meskipun kedengarannya sangat konyol dan kemungkinan besar pria itu tidak akan menyetujuinya, tetap saja dia tidak bisa melepaskan kesempatan emas ini begitu saja. Dengan keterbatasan waktu yang dimilikinya, akan lebih bijak bila dia memanfaatkan setiap kesempatan yang ada sekecil apapun peluang keberhasilannya. Anggap saja coba-coba berhadiah.

"Permisi, Pak. Apa saya boleh mengganggu waktunya Bapak sebentar?" Rere memecah keheningan.

Perhatian pria itu teralih dan balas menatap Rere tepat di matanya. "Ya?"

Rere tertegun sejenak. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat mata yang begitu indah dari seorang pria. Selaput pelanginya yang hitam dengan sorot mata yang tajam membuatnya tampak begitu misterius. Alisnya yang lurus dan tebal tidak hanya menambah derajat ketampanannya, tetapi juga membuatnya terkesan lebih tegas dan percaya diri. Padahal hanya saling bertatapan saja, tetapi jantung Rere sudah dag-dig-dug tidak karuan. Tidak, ini bukan saatnya untuk terlena akan pesonanya. Rere harus tetap tenang dan fokus terhadap tujuan utamanya.

"Sebelumnya, mohon maaf kalau saya lancang, Pak. Saya memiliki beberapa pertanyaan untuk Bapak." Rere berdeham kecil lalu mulai bertanya, "Apakah Bapak saat ini sudah beristri?"

Pria itu mengerjap sekali. "Belum."

"Kalau tunangan? Pacar? Gebetan?" berondong Rere.

"Tidak. Saya tidak memiliki satupun dari yang kamu sebutkan." Pria itu sedikit memiringkan kepalanya dan balik bertanya, "Kenapa memangnya?"

"Itu ..." Rere menarik napas dalam-dalam lalu mengucapkan, "Maukah Bapak menjadi pacar saya?"

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
16.6M 705K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
241K 19.1K 33
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
6.9M 342K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...